Sebutkan 5 bentuk tindakan yang tidak sesuai dengan UU PERLINDUNGAN anak

Akhir-akhir ini, banyak diberitakan soal kekerasan terhadap anak. Ada yang dipukul, disiram dengan air panas, hingga ada juga yang tubuhnya disetrika. Kenyataan itu sangat memprihatinkan dan makin meneguhkan persepsi bahwa kekerasan terhadap anak belum bisa diselesaikan, walaupun dengan aturan hukum dan perundang-undangan.

Selain adanya kekerasan fisik terhadap anak, ada pula bentuk kekerasan yang dialami anak-anak. Misalnya, penjualan anak untuk tujuan komersial. Baru-baru ini kita mendengar berita di Batam, kepolisian berhasil menggagalkan penjualan beberapa bayi ke Singapura. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, saat ini tercatat lebih dari 3.800 anak menjadi korban kekerasan dan diperdagangkan di beberapa negara, seperti Malaysia, Filipina, dan Singapura.

Di Indonesia, kekerasan terhadap anak sudah membudaya dan dilakukan turun-temurun. Akibatnya, dari tahun ke tahun kasus kekerasan terhadap anak terus bertambah. Salah satu pemicunya adalah kemiskinan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi para orang tua.

Namun, faktor tersebut bukan satu-satunya faktor pemicu kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak terkait erat dengan faktor kultural dan struktural dalam masyarakat.

Dari faktor kultural, misalnya, adanya pandangan bahwa anak adalah harta kekayaan orang tua atau pandangan bahwa anak harus patuh kepada orang tua seolah-olah menjadi alat pembenaran atas tindak kekerasan terhadap anak. Bila si anak dianggap lalai, rewel, tidak patuh, dan menentang kehendak orang tua, dia akan memperoleh sanksi atau hukuman, yang kemudian dapat berubah menjadi kekerasan.

Faktor struktural diakibatkan adanya hubungan yang tidak seimbang (asimetris), baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Di sini, anak berada dalam posisi lebih lemah, lebih rendah karena secara fisik, mereka memang lebih lemah daripada orang dewasa dan masih bergantung pada orang-orang dewasa di sekitarnya.

Akibatnya, pendiskreditan dan pendistorsian anak secara struktural sering terjadi, baik secara sadar maupun tidak. Karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya para orang tua, untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Paradigma bahwa anak adalah milik orang tua harus segera diubah. Untuk itu, diperlukan peran serta pemerintah dan kepedulian masyarakat..

Anggapan bahwa anak adalah milik orang tua sehingga orang tua berhak melakukan apa pun terhadap anak jelas tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Sebab pada prinsipnya, anak adalah titipan Tuhan kepada para orang tua untuk dicintai, dijaga, dan dibesarkan.

Dengan paradigma bahwa anak adalah milik orang tua, ketika orang tua depresi atau stres karena menghadapi persoalan hidup, anak pun menjadi pelampiasan kekecewaan.

Selain itu, kecekatan pemerintah dalam mengatasi krisis ekonomi diharapkan dapat membantu menekan angka kekerasan anak. Karena itu, pemerintah harus menjadikan masalah kemiskinan dan penyediaan lapangan pekerjaan sebagai prioritas utama.

Lebih penting lagi, kesadaran masyarakat untuk ikut membantu mengawasi dan melindungi anak-anak juga perlu ditingkatkan. Kalau ada tetangga yang memukul anaknya, kita harus berani menegur dan mencegahnya. Sebab, anak-anak dilindungi undang-undang..

Secara yuridis formal, pemerintah telah memiliki Undang-Undang (UU) No 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak, UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak, UU No 3/1997 tentang Pengadilan Anak, Keputusan Presiden No 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak. Meski demikian, realitas kesejahteraan anak masih jauh dari harapan. Busung lapar yang hingga kini masih dialami sejumlah balita di beberapa daerah menegaskan buruknya kondisi anak di Indonesia.

Belum lagi, persoalan kekerasan terhadap anak, baik yang dipekerjakan di sektor pekerjaan terburuk, diperdagangkan, maupun korban eksploitasi seksual. Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, di Indonesia terdapat 4.201.452 anak (berusia di bawah 18 tahun) terlibat dalam pekerjaan berbahaya, lebih dari 1,5 juta orang di antaranya anak perempuan.

Bahkan, data IPEC/ILO memperkirakan, terdapat 2,6 juta pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia dan sedikitnya 34,83 persen tergolong anak. Sekitar 93 persen anak perempuan (Kompas, 2/7/05). PRT anak perempuan berada dalam posisi rentan, mulai situasi kerja buruk, eksploitasi, hingga kekerasan seksual.

Di pedesaan, kemiskinan, pernikahan dini, minimnya pendidikan, dan kondisi kesehatan yang buruk mendorong anak perempuan terjerembap dalam prostitusi dan masuk dalam jerat perdagangan manusia.

Karena itu, untuk menanggulangi persoalan tersebut, perlu ada penegakan hukum maksimal. Sebab, bukan tidak mungkin fakta-fakta tentang kesengsaraan dan kesusahan hidup anak akan mengakibatkan persoalan yang sangat pelik di masa mendatang.

Adapun langkah nyata yang harus dilakukan adalah mengampanyekan penghapusan kekerasan terhadap anak, seperti pemasangan stiker, pelatihan kepada ibu-ibu, dan permintaan dukungan dari pemerintah daerah agar hak-hak anak perlu dilindungi.

Tanggung Jawab Negara, Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Mengenai tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diatur dalam beberapa pasal yang diantaranya mewajibkan dan memberikan tanggung jawab untuk menghormati pemenuhan hak anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental, serta melindungi, dan menghormati hak anak dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan perlindungan anak. Kemudian dalam undang-undang ini pemerintah daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan perlindungan anak di daerah yang dapat diwujudkan melalui upaya daerah membangun kabupaten/kota layak anak, serta memberikan dukungan sarana, prasarana, dan ketersediaan sumber daya manusia dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Selain kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana di atas negara, pemerintah, dan pemerintah daerah juga menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak, mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak, menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak, serta kewajiban dan tanggung jawab yang paling penting adalah menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak dan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada anak untuk memperoleh pendidikan serta memberikan biaya pendidikan atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang tinggal didaerah terpencil. Semoga amanah besar yang diberikan oleh undang-undang ini dapat dilaksanakan oleh negara, pemerintah dan pemerintah daerah demi mewujudkan tanggung jawab dan kewajibannya terhadap anak yang merupakan generasi bangsa.

Kewajiban dan Tanggung Jawab Masyarakat

Selain tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah, undang-undang ini pun memberikan amanah, tanggung jawab dan kewajiban kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak boleh lagi berpangku tangan dan bermasa bodoh dalam hal perlindungan kepada anak, diantara kewajiban dan tanggung jawab masyarakat diantaranya adalah melakukan kegiatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang dilaksanakan dengan melibatkan organisasi kemasyarakatan, akademisi, dan pemerhati anak. Sehingga dalam hal ini organisasi masyarakat, akademisi dan pemerhati anak sudah seharusnya turun langsung ke lapangan melakukan pencegahan dengan jalan banyak melakukan edukasi dalam hal perlindungan kepada anak, sehingga kasus-kasus kejahatan terhadap anak (terutama kejahatan seksual) yang akhir-akhir ini banyak menghantui kita bisa diminimalisir .

Kewajiban dan Tanggung Jawab Orang Tua

Selain undang-undang ini memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada negara, pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, undang-undang ini juga memberikan kewajiban dan tanggung jawab kepada orang tua dalam hal perlindungan kepada anak, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak. Karena pada kenyataannya orang tualah yang paling dekat dengan sang anak dalam kesehariannya yang secara langsung memantau pertumbuhan fisik dan psikis sang anak dan memantau pergaulan keseharian sang anak.

Kejahatan Seksual Terhadap Anak

Salah satu kejahatan terhadap anak yang menjadi perhatian publik adalah kejahatan seksual yang akhir-akhir ini banyak terjadi di sekeliling kita, bahkan terkadang dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan sang anak yang selama ini kita tidak pernah sangka-sangka, seperti kejahatan seksual yang dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya (baik ayah kandung maupun ayah angkat), bahkan pada tahun 2014 ada kasus yang menggemparkan dunia pendidikan yakni adanya kejahatan seksual yang terjadi disalah satu sekolah yang konon kabarnya "bertaraf internasional" yang "diduga" dilakukan oleh oknum pendidik, serta masih banyak kasus kejahatan seksual lainnya yang terjadi diberbagai pelosok nusantara.

Dahulu, kejahatan seksual terhadap anak dianggap tabu dan menjadi aib yang luar biasa, namun seiring berjalannya waktu dan kemajuan teknologi, kejahatan seksual terhadap anak sudah dianggap sesuatu hal yang tidak tabu lagi. Bahkan pelaku kejahatan seksual terhadap anak, adalah pelaku-pelaku yang mempunyai trauma masa lalu, tentu masih segar dalam ingatan kita pelaku kejahatan seksual pada tahun 1996 yang terjadi di Jakarta yang dilakukan oleh Robot Gedek yang menyodomi 8 (delapan) orang anak dan selanjutnya membunuh anak-anak tersebut dan dari pengakuannya Robot Gedek mengaku puas dan merasa tak bersalah dan tidak takut masuk penjara apalagi dosa. Semua itu dilakukan demi kepuasaan seksnya dan ia mengaku pusing kepala apabila dalam sebulan tidak melakukan perbuatan tersebut (www.museum.polri.go.id). Dalam kasus lain yang tidak kalah hebohnya terjadi pada tahun 2014 dimana jumlah korban pedofilia dengan pelaku Andri Sobari alias Emon, 24 tahun, telah mencapai 110 anak (tempo.co), ternyata baik Robot Gedek dan Emon mempunyai trauma masa lalu dalam hal pelecehan seksual. Maraknya kasus-kasus kejahatan seksual tersebut menjadi perhatian publik, sehingga publik pun mendesak supaya hukuman bagi pelaku kejahatan seksual lebih diperberat dan ketentuan minimalnya dinaikkan.

Dalam undang-undang perlindungan anak yang lama ancaman pelaku kejahatan seksual hanya diancam dengan pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 3 (tiga) tahun dan denda maksimal Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) dan minimal Rp60.000.000,- (enam puluh juta rupiah), sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 diubah dengan ancaman pidana maksimal 15 (lima belas) tahun, minimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal sebanyak Rp5.000.000.000,- (lima milyar rupiah). Yang lebih khusus dalam undang undang ini adalah jika pelaku pemerkosaan atau pencabulan dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga pendidik maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga).

Anak Penyandang Disabilitas

Dalam undang-undang ini juga sudah mengakomodir perlindungan hukum kepada anak-anak penyandang "disabilitas". Istilah "disabilitas" mungkin masih awam kita dengar apa yang dimaksud dengan "disabilitas". Istilah ini mulai dikenal dalam Convention on The Rights of Persons With Disabilities (CRPD). Dalam CRPD tersebut, penyandang disabilitas diartikan sebagai mereka yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 lebih spesifik kepada pengertian anak penyandang disabilitas yaitu anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.

Sehingga, dengan berlakuknya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, diharapkan sudah memberikan perlindungan hukum, persamaan derajat anak penyandang disabilitas dengan anak-anak yang normal, dan tidak ada lagi diskriminasi kepada anak penyandang disabilitas. Dan hal tersebut merupakan tanggung jawab negara, pemerintah dan pemerintah daerah dalam memberikan fasilitas kepada anak-anak penyandang disabilitas, karena hal tersebut merupakan hak asasi anak-anak penyandang disabilitas.

Restitusi

Hal yang sangat baru dalam sistem pemidanaan kita di Indonesia adalah adanya hak restitusi dalam undang-undang ini. Mendengar istilah restitusi mungkin kita belum mengerti apa yang dimaksud dengan "restitusi" walaupun mengenai restitusi ini sudah diatur dalam hukum positif kita di Indonesia.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia restitusi dapat berarti ganti kerugian, pembayaran kembali, pegawai berhak memperoleh pengobatan, penyerahan bagian pembayaran yg masih bersisa, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat, restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.

Berdasarkan gambaran tersebut di atas tentu kita sudah faham bahwa yang dimaksud dengan restitusi adalah adanya ganti rugi kepada korban. Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 masalah restitusi hanya di atur dalam satu pasal yakni pada Pasal 71 D yang menyebutkan bahwa:

(1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan;

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.

Dalam penjelasan pasal tersebut di atas yang dimaksud dengan "restitusi" adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau imateriil yang diderita korban atau ahli warisnya. Khusus untuk anak yang berhadapan dengan hukum yang berhak mendapatkan restitusi adalah anak korban.

Demikian tulisan ini, semoga memberikan gambaran baru kepada kita akan paradigma baru perlindungan kepada anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 yang selama ini belum diatur dalam aturan yang lama yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Penulis: Muliyawan, S.H., M.H., Hakim Pengadilan Negeri Palopo, artikel sama pernah dimuat di surat kabar harian Palopo Pos