Sebutkan penggolongan kelas sosial penduduk Hindia Belanda pada masa pemerintahan kolonial

Sebutkan penggolongan kelas sosial penduduk Hindia Belanda pada masa pemerintahan kolonial

SEJARAH SINGKAT TERBENTUKNYA PENGADILAN NEGERI KUPANG KELAS IA.

Bahasan tentang sejarah atau riwayat pembentukan Pengadilan Negeri Kupang Kelas I A sebagai salah satu unsur Lembaga Peradilan Umum pada hakekatnya tidak terlepas dari sejarah keberadaan Pemerintahan Hindia Belanda dengan bentuk-bentuk peradilan yang ada pada waktu itu.

Dimasa  Pemerintahan  Hindia  Belanda   dahulu, penduduk  Indonesia  digolongkan  dalam 3  (  tiga  ) golongan  sebagaimana  ditentukan  dalam  Pasal   163 Indische Staatsrgeling (IS) yaitu :

1. Golongan Eropa dan mareka yang disamakan.

2. Golongan Timur Asing.

3. Golongan Pribumi.

Penggolongan   penduduk  yang  dilakukan   Pemerintah Hindia Belanda membawa konsekwensi terhadap system hukum yang dianut dan diterapkan pada saat itu. Bagi masyarakat golongan Eropa dan kepada mereka yang disamakan tunduk pada hukum Eropa. Bagi masyarakat golongan Timur Asing tunduk pada hukum mereka. Bagi masyarakat golongan Pribumi tunduk pada Hukum Adat yang berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan azas-azas kepatutan dan keadilan yang diakui secara umum.

Khususunya di Kupang sebagai salah satu wilayah yang dibawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, dalam proses pelaksanaan Peradilan, terdapat beberapa lembaga diperuntukkan bagi 3 ( tiga ) golongan masyarakat yang ada antara lain :

Residentiegerecht Van Landrecht sebagai Badan Peradilan yang diperuntukkan bagi golongan Eropa atau kepada mereka yang disamakan.

Raad Van Landshofden ( R.V.L ) sebagai Badan Peradilan yang diperuntukkan bagi golongan Timur As ing.

Distriegerecht ( Peradilan Distrik ) yang diperuntukkan atau sebagai lembaga Peradilan bagi golongan Indonesia asli.

Dalam perkembangan selanjutnya Jepang menguasai dan memerintah wilayah indonesia, maka lembaga Peradilan turut diperbaharui seperti Residentie - gerecht dihapus dan diganti dengan Landgerecht gaya baru. Tetapi pada tanggal 11 September 1945 diboncengi Tentara Belanda yang langsung membentuk Pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia, termasuk menghidupkan kembali lembaga - lembaga Peradilan yang ada di Kupang dibentuk pula Landgerecht Versi Hindia Belanda pada tahun  1947.

Sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, puncak perjuangan bangsa Indonesia merupakan awal penjebolan hukum kolonial yang membawa akibat perubahan-perubahan dibidang Peradilan antara lain Landgerecht diubah dan disesuaikan menjadi Pengadilan Negara dan terakhir dirubah menjadi Pangadilan Negeri.

Pengadilan Negeri dalam menjalankan tugasnya tetap memeriksa dan mengadili perkara-perkara dari golongan Eropa dan mereka yang disamakan, sedangkan bagi golongan Indonesia asli tetap diberlakukan Raad Van Landshofden dan Districhgerecht (Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat).

Dalam rangka meningkatkan  tugas-tugas Pengadilan Negeri dan menghapus Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat, maka pada tahun 1951 pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Lembaga Negara Nomor 9 Tahun 1951 yang menegaskan Tentang Penghapusan Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat.

Setelah ditetapkannya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan Nomor J.B.4/2/20, tanggal 19 Mei 1954 Tentang Penghapusan Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat terhitung mulai tanggal 1 September 1954. Dengan penghapusan kedua jenis Lembaga Peradilan tersebut, semua berkas perkara dan barang bukti dialihkan kepada Pengadilan Negeri, Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat yang berada diwilayab daratan Timor dialihkan ke Pengadilan Negeri Kupang yang wilayah hukumnya meliputi daratan Timor dan kepulauan termasuk Alor dan kepulauannya.

Dalam perkembangan selanjutnya, Menteri Kehakiman mengeluarkan lagi Surat Keputusan Nomor JP.IB/71/6, tanggal 27 Mei 1957 Tentang Pengklasifikasian Pengadilan Negeri.

Berdasarkan Surat Keputusan tersebut Pengadilan Negeri Kupang ditingkatkan statusnya menjadi Pengadilan Negeri Klas III. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor JP.IB/71/13, tanggal 11 Juli 1961, maka Pengadilan Negeri Klas III Kupang ditingkatkan statusnya menjadi Pengadilan Negeri Klas II Kupang, dan selanjutnya ditingkatkan statusnya menjadi PengadiIan Negeri Klas I Kupang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor IZP.IB/71/10, tanggal 18 September 1964 Tentang Peningkatan Status Pengadilan Negeri.

Berdasarkan Undang - undang Nomor 13 Tahun 1965 Tentang Peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung, maka Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan Nomor IZB.1/2/4, tanggal 11 Desember 1973 Tentang Perubahan Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Kelas I Kupang yang dahulunya meliputi daratan Timor dan kepulauannya serta Alor dan kepulauannya hanya meliputi daratan Timor, pulau Sabu dan pulau Rote. Sedangkan untuk wilayah pulau Alor dan Kepulauannya dibentuk suatu Pengadilan Negeri tersendiri.

Ditingkatkannya status Pengadilan Negeri Klas II Kupang menjadi Pengadilan Negeri Kelas I Kupang adalah berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor J.S.I/715, tanggal 4 Agustus 1977 Tentang Pola Penyempurnaan Pembinaan, dimana untuk Pengadilan Negeri diklasifikasikan dalam 4 (empat) klas yaitu :

1.  Pengadilan Negeri Klas I A, dengan ketentuan dalam
jangka  waktu 1 tahun dapat  memeriksa lebih  dari
300 perkara  Perdata dan  lebih  dari 800  perkara Pidana (tidak termasuk perkara rol).

2.  Pengadilan Negeri Klas I B, dengan ketentuan dalam
jangka  waktu 1 tahun dapat memeriksa kurang  dari
300 perkara  Perdata dan kurang  dari 800  perkara
Pidana (tidak termasuk perkara rol).

3.  Pengadilan  Negeri  Klas II A, yaitu  jika  dalam
jangka waktu 2 tahun  dapat memeriksa tidak kurang
dari 400 perkara Perdata dan tidak kurang dari 500 perkara Pidana (tidak termasuk perkara rol).

4.  Pengadilan Negeri Klas II B, yaitu jika dalam jangka waktu 2 tahun dapat memeriksa kurang dari 200 perkara Perdata dan kurang dari 200 perkara Pidana (tidak termasuk perkara rol).

         Selain pengklasifikasian menurut jumlah penanganan perkara juga dilatarbelakangi pada faktor letak Pengadilan Negeri Kelas I Kupang di Ibu Kota Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur sebagaimana syarat lanjutan dari pengklasifikasian Pengadilan Negeri atas beberapa tingkatan yang dimaksud dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor J.S.I/715, tanggal 4 Agustus 1977 yaitu jika Pengadilan Negeri tersebut berkedudukan di Ibu Kota Daerah Tingkat I, maka ditetapkan sebagai Pengadilan Negeri Klas I, dan jika berkedudukan di Ibu Kota Daerah Tingkat II maka ditetapkan sebagai Pengadilan Negeri Klas II. Sebagai Pengadilan Negeri Klas I, Pengadilan Negeri Kelas I Kupang dilihat dari sisi kelembagaan, termasuk lembaga Peradilan Umum.

Sebagai lembaga Peradilan Umum, secara Yuridis merupakan manifestasi dari penerapan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 yang telah beberapakali diubah dan terakhir dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009,Tentang Ketentuan - ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 10 yang mengatur Tentang Bentuk-bentuk Peradilan Di Indonesia antara lain :

a. Peradilan Umum.

b. Peradilan Agama.

c. Peradilan Militer.

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Serba Sejarah - Masyarakat Indonesia pada masa Kolonial Eropa dibedakan dalam beberapa golongan atau garis warna. Garis warna atau perbedaan warna kulit pada tanah jajahan sangat ketat diberlakukan oleh Kolonial Eropa. Pemerintah Kolonial Belanda umpamanya membagi golongan sosial di Indonesia berdasarkan kepada hukum dan keturunan atau status sosial.

1. Pembagian masyarakat menurut hukum Belanda, terdiri atas: a. golongan Eropa; b. golongan Indo; c. golongan Timur Asing; d. golongan Bumiputera. 2. Pembagian masyarakat menurut keturunan atau status sosial, terdiri atas: a. golongan bangsawan (aristokrat); b. pemimpin adat; c. pemimpin agama; d. rakyat biasa. Berdasarkan golongan sosial tersebut, orang-orang Eropa dianggap sebagai ras tertinggi, kedua orang-orang Indo (turunan pribumi dan Eropa), ketiga orang-orang keturunan Timur Asing (Cina), dan terakhir orang-orang pribumi (Indonesia). Posisi Indonesia yang berada pada urutan paling bawah masih juga dibedakan. Kedudukan seseorang pribumi tersebut dalam perkembangannya dibedakan pada aspek keturunan, pekerjaan, dan pendidikan. Pembagian kelas tersebut sebenarnya untuk menunjukan pada kaum pribumi bahwa bangsa kulit putih kedudukannya jauh lebih tinggi dari kulit berwarna. Golongan bangsawan (aristokrat) merupakan golongan tertinggi dari stratifikasi sosial yang diberlakukan oleh Kolonial Eropa. Aristokrat ialah golongan dari orang ningrat. Adapun orang yang termasuk orang ningrat ini ialah Raja/Sultan dan keturunannya, para pejabat kerajaan, dan pejabat pribumi dalam pemerintahan kolonial. Sebelum Kolonial Eropa masuk ke Indonesia, Raja/Sultan ialah orang tertinggi dalam golongan sosial masyarakat. Nama raja dari masing-masing kerajaan di setiap daerah di Indonesia berbeda-beda. Ada yang bergelar Pangeran, Sultan, Adipati, Senopati, Panembahan, Sunan, Susuhunan, Karaeng, Batara, Arong, Kelano, dan masih banyak lagi gelar lainnya. Raja tinggal di Istana atau keraton. Di tempat ini tinggal juga keluarga raja/sultan. Mereka itu bisa benar-benar keturunan raja atau orang-orang yang telah diangkat sebagai keluarga raja karena telah berjasa pada kerajaan. Raja yang berkuasa biasanya turun-temurun, dari ayah kepada anak atau cucu. Namun ada juga yang menjadi raja di luar keluarga kerajaan. Hal tersebut umpamanya disebabkan oleh adanya perebutan kekuasaan atau pengambilalihan kekuasaan. Setelah Kolonial Eropa masuk ke Indonesia, banyak raja atau sultan ditundukan oleh mereka. Kedudukan raja berada di bawah Kolonial Eropa. Simbol kerajaan/kesultanan ada yang tetap dipertahankan dan ada juga yang dihapuskan. Raja yang berkuasa nantinya diangkat sebagai pegawai negeri, misal menjadi Bupati yang mengabdi pada pemerintah kolonial. Golongan aristokrat lainnya adalah golongan elite. Golongan elite merupakan golongan terbaik atau pilihan dalam kelompok masyarakat. Mereka dipandang status sosial yang tinggi sesuai dengan kedudukan atau pekerjaannya. Orang-orang yang termasuk golongan elite ini ialah para pejabat yang membantu pemerintahan kerajaan/kesultanan, misal mangkubumi, patih, perdana menteri, dan hulubalang. Pejabat-pejabat ini sebenarnya kawula (abdi) negara atau raja sehingga mereka bekerja untuk kepentingan raja. Mereka juga menjadi penghubung antara raja dan rakyatnya. Para pejabat itu dikenal juga sebagai golongan priyayi. Pada masa kolonial, para priyayi yang bergelar Raden atau Raden Mas ini menjadi pejabat administrasi pemerintah kolonial Belanda. Mereka menjadi penghubung antara pemerintah kolonial dan rakyat yang dijajah. Dengan demikian, kedudukan para priyayi ini dimanfaatkan demi kepentingan kolonial. Memasuki awal abad ke-20, golongan elite ini tidak hanya didapat secara turun-temurun. Rakyat biasa yang telah mendapatkan tingakat pendidikan tertentu dapat menjadi golongan elite. Mereka nantinya sangat membantu dalam memperjuangkan bangsanya. Mereka ini dikenal dengan golongan eliter terdidik. Selain golongan aristokrat, golongan elite atau priyayi, dalam masyarakat biasa pada masa kolonial disebut dengan golongan wong cilik. Golongan ini sangat besar jumlahnya, antara lain petani, pedagang biasa, dan nelayan. Kehidupan mereka tidak seperti para priyayi yang hidup dalam kemewahan. Mereka hidup sederhana dan banyak yang hidup miskin sehingga disebut dengan wong cilik. Sebagian besar pendapatan kerajaan atau kesultanan diperoleh dari wong cilik. Untuk itu ketika Kolonial Eropa berkuasa di Indonesia, wong cilik ini yang menjadi korban penindasan yang paling besar. Selain diambil tenaganya, harta mereka juga banyak yang dirampas. Tidak mengherankan jika kehidupan wong cilik sangat menderita pada masa kolonial. Di bawah wong cilik masih ada satu golongan lagi yang hidup paling menderita. Mereka itu ialah golongan budak. Golongan budak ini ada antara lain disebabkan mereka tidak mampu membayar hutang. Untuk menebus atau membayar hutang-hutang, dirinya dan keluarganya dijadikan budak. Mereka ini dipekerjakan di dalam istana atau di rumah para golongan aristokrat. Sebelum kolonial masuk ke Indonesia, semua orang termasuk budak benar-benar mengabdi kepada raja. Apapun yang dilakukan oleh raja mereka terima dengan senang hati. Tetapi setelah Kolonial Eropa berkuasa, para budak ini benar-benar dipekerjakan sebagai budak kolonial. Di antara mereka ada yang dijadikan pekerja bangunan gedung, jalan raya, jalan kereta api, dan pekerjaan berat lainnya. Ada juga yang dijadikan kuli-kuli atau buruh yang tanpa dibayar di perkebunan dan perusahaan-perusahaan asing.

Pada tahun 1881, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Undang-Undang Koeli Ordonantie. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang mengatur para kuli/buruh di Indonesia. Melalui Undang-Undang ini, kuli-kuli yang bekerja di perkebunan atau perusahaan-perusahaan harus melalui prosedur kontrak kerja. Berdasarkan dari kontrak kerja ini sebenarnya mereka diberi upah atau gaji sesuai dengan jasa tenaga dan waktu yang telah dikeluarkan.