Sebutkan salah satu budaya atau adat istiadat di daerahmu yang dapat mendukung pembangunan

Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan Kemenko PMK, I Nyoman Shuida :

"Upaya pelindungan, pemanfaatan, pengembangan, dan pembinaan terkait Objek Pemajuan Kebudayaan, termasuk Seni, merupakan tugas dan tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Diperlukan adanya peran dan sinergi seluruh pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan di bidang kebudayaan, salah satunya adalah Pelaku Seni," katanya lagi.

Penyebaran arus globalisasi menjadi suatu hal yang tak terelakkan dewasa ini. Perkembangan globalisasi memiliki dampak positif dan juga negatif. Terkait dengan hal tersebut, Kebudayaan harus menjadi fondasi dari setiap kebijakan pembangunan yang dilakukan di Indonesia. Kebudayaan memiliki peran strategis bagi sebuah bangsa.

Hal tersebut disampaikan oleh Deputi Bidang Koordinasi Kebudayaan Kementerian Koordinator Bidang Kebudayaan  Kemenko PMK, I Nyoman Shuida membuka Lokakarya Peningkatan Peran Pelaku Seni dalam Pemajuan Kebudayaan di Jakarta pada medio Oktober lalu. Shuida menegaskan, penyebaran arus globalisasi menjadi suatu hal yang tak terelakkan dewasa ini. Perkembangan globalisasi memiliki dampak positif dan juga negatif. "Arus budaya asing yang masuk dan menyebar, turut mengikis nasionalisme terhadap budaya sendiri," katanya. Terkait dengan hal tersebut, Kebudayaan harus menjadi fondasi dari setiap kebijakan pembangunan yang dilakukan di Inonesia. Kebudayaan memiliki peran strategis bagi sebuah bangsa.

Seperti diketahui Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan untuk mempertahankan budaya nasional sebagai jati diri bangsa Indonesia. Unsur kebudayaan yang menjadi sasaran utama pemajuan kebudayaan disebut sebagai objek pemajuan kebudayaan. Undang-Undang No. 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, Pasal 5 menyebutkan 10 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK), dimana salah satunya adalah Seni. "Upaya pelindungan, pemanfaatan, pengembangan, dan pembinaan terkait Objek Pemajuan Kebudayaan, termasuk Seni, merupakan tugas dan tanggung jawab bersama, baik pemerintah maupun non-pemerintah. Diperlukan adanya peran dan sinergi seluruh pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan di bidang kebudayaan, salah satunya adalah Pelaku Seni," katanya lagi.

Pada tahun lalu, tepatnya dalam Rakornas Pemajuan kebudayaan nasional yang berlangsung akhir Juli, dihadapan para kepala daerah yang hadir, Shuida menegaskan, semua yang hadir memandang Indonesia sebagai negara multi-etnik dengan keragaman budayanya. “Sudah saatnya mendapat perhatian dan komitmen kita bersama guna terwujudnya Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan,” ujarnya.

Penegasan kembali disampaikannya pada penghujung 2018, khususunya terkait potensi Indonesia. Shuida meyakini potensi negeri ini tidak diragukan lagi. Karena kekayaan kebudayaannya, negeri ini pula pantas dinobatkan sebagai laboratorium antropologi terbesar di dunia. “Dengan status sebagai negara kepulauan terluas di dunia, dihuni lebih dari 300 suku bangsa dan sekitar 64 ribuan lebih peninggalan purbakala di Indonesia. Jadi, apa lagi yang kurang dari negeri ini?” pungkasnya. dbs

Sejak zaman dahulu hampir semua kebudayaan di dunia memiliki ritual ‘memanggil’ hujan. Begitu juga dengan masyarakat di Indonesia. Inilah delapan ritual ‘memanggil’ hujan di beberapa daerah di Nusantara hingga saat ini masih lestarikan.

1. Tradisi Cambuk Badan Tiban, Tulungagung

Ritual ini merupakan tradisi warisan raja Kediri yang terus dilestarikan oleh warga desa Trajak, Boyolali, Tulungagung, Jawa Timur, hingga saat ini. Ketika kemarau panjang melanda dan warga mulai kesulitan untuk mendapatkan air, maka tradisi cambuk badan tiban yang dilakukan oleh pria dewasa ini diselenggarakan.

Para pria dengan bertelanjang dada, satu lawan satu, saling cambuk tubuh mereka di tengah lapang. Makna di balik darah yang keluar akibat cambukan dipercaya bakal mendatangkan hujan. Selain di Tulungagung, tradisi yang sama juga bisa ditemui di Trenggalek yang dinamai Cambuk Badan Ojung.

2. Tradisi Ujungan, Purbalingga  

Jika tradisi tiban di Tulungagung menggunakan ranting pohon aren, tradisi unjungan yang terdapat di Purbalingga dan Banjarnegara, Jawa Tengah, ini menggunakan sebilah rotan. Ritual memanggil hujan ini dilakukan oleh para pria di tengah lapangan. Namun ritual ini bisa dibilang cukup ekstrem, pasalnya unjungan dilakukan dengan hitungan ganjil. Artinya jika dalam tiga kali pukulan pada lawan hujan belum juga turun, maka akan dilanjutkan dengan tujuh kali pukulan dan seterusnya.

3. Tari Sintren, Cirebon

Tari Sintren atau Lais adalah tarian yang beraroma magis, bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono. Tarian ini hanya disajikan saat masyarakat mengalami kemarau panjang. Biasanya ritual tari sintren ini diadakan selama 40 malam berturut-turut. Namun doa dan harapan tetap dipanjatkan pada Yang Maha Kuasa agar hujan cepat turun yang dilakukan oleh seorang pawang sintren.

Penari sintren adalah seorang perempuan yang harus benar-benar masih gadis suci (perawan). Sedangkan pemain lais yang perankan oleh pria, harus benar-benar bujang (masih perjaka).  Tarian ini dilakukan oleh sang penari dalam keadaan tidak sadar atau kesurupan.

4. Tari Gundala-Gundala, Karo

Tari gundala-gundala dikenal juga dengan sebutan tari Gundala Karo merupakan tari berasal dari Kabupaten Karo yang terletak di kawasan Bukit Barisan, Sumatera Utara. Tarian gundala-gundala disajikan saat warga Karo mengalami kemarau panjang dan ritual ini dilakukan warga untuk memanggil hujan atau dalam bahasa batak di sebut Ndilo Wari Udan. Para penari Gundala menggunakan kostum dengan pakaian seperti jubah dan topeng yang terbuat dari kayu.

5. Tradisi Gebug Ende, Karangasem

Ritual memanggil hujan di Bali ini dilakukan secara turun temurun sejak peperangan kerajaan Karangasem dengan kerajaan Seleparang di Lombok. Dilakukan oleh dua kelompok pria dewasa yang saling pukul dengan rotan yang dilengkapi tameng sebagai pelindung. Sebagai penengah, pertarungan ini dipimpin oleh wasit yang disebut Saye. Oleh warga Karangasem, darah yang ditimbulkan dari pertarungan gebug ende ini diyakini dapat mendatangkan hujan.

6. Tradisi Ojung, Bondowoso

Di setiap akhir musim kemarau yang panjang, Desa Tapen, Kecamatan Bondowoso, Jawa Timur, warga berkumpul untuk menyaksikan ritual Ojung. Ritual ini dilakukan sebagai permohonan untuk memanggil hujan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam ritual ojung, dua orang pria berhadapan dengan bertelanjang dada sambil menggenggam erat sebatang rotan. Pertarungan ini akan dipimpin oleh seorang wasit.

7. Tradisi Cowongan, Banyumas

Ritual memanggil hujan ini lumayan unik, karena hanya boleh ditarikan oleh 10 perempuan di Desa Plana, Kec. Somagede Kab. Banyumas, Jawa Tengah. Para pelaku cowongan memaknai cowongan sebagai simbol permohonan dan bukti pengabdian mereka terhadap peninggalan budaya para leluhur. Mereka menjalani ritual cowongan dengan ikhlas, niat yang tulus dan tanpa paksaan karena cowongan merupakan hal yang keramat.

Cowongan memiliki arti blepotan pada wajah, dengan media boneka yang dirasuki bidadari yang dipercaya dapat memanggil hujan. Boneka cowongan hanya boleh dipegang oleh kaum lelaki. Cowongan hanya dilakukan pada musim kemarau yang sangat panjang. Biasanya ritual ini dilaksanakan mulai pada akhir massa kapat (hitungan dalam kalender jawa) atau sekitar bulan September. 

8. Tarian Suling Dewa, Bayan

Suling dewa merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Bayan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebelum tarian berlangsung, masyarakat Bayan akan menentukan hari, waktu, dan tempat yang dinilai baik untuk melaksanakan ritual tersebut. Selain itu, masyarakat Bayan juga menyiapkan sesaji berupa kembang, makanan dan kapur sirih. Kapur sirih ini menjadi komponen yang paling penting dan dipercaya dapat mendatangkan hujan.

Keunikan lain yaitu suling yang digunakan, ada filosofis yang begitu mendasar dan mulia. Alat musik seruling ini menggambarkan wujud manusia, apabila seruling ini tidak diberikan hembusan nafas, maka tidak akan menghasilkan nada-nada indah. Begitu juga dengan manusia, bila raga tanpa atma atau roh, tentu tidak akan ada kehidupan.

Berita Terkini05-05-2017

oleh M. Salman dan Ramadian Nugrahane

“Indonesia memiliki tradisi dan sumber pengetahuan lokal yang sangat kaya dan hidup. Kedua hal tersebut dapat menjadi dasar yang kuat untuk membantu melaksanakan rencana pembangunan nasional”, ujar Bambang Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, dalam sambutannya di seminar nasional pada tanggal 4 April 2017 tentang “Peran Kebudayaan dalam Pembangunan Nasional”, yang diselenggarakan oleh Bappenas dan didukung oleh KSI.

Kebudayaan harus dianggap sebagai aset penting yang berkontribusi terhadap pembangunan nasional. Bapak Menteri menggarisbawahi bahwa Indonesia hanya dapat menjadi bangsa yang besar apabila mampu mengejawantahkan kebudayaan ke dalam pembangunan nasional.

Seminar tersebut diselenggarakan untuk mewujudkan pembuatan kebijakan yang lebih baik dalam pembangunan nasional, yang tidak meninggalkan kearifan lokal, dimana hal tersebut telah diperoleh dan dikumpulkan selama bertahun-tahun melalui pengalaman langsung, dan tercermin dalam ekspresi kebudayaan. Kearifan lokal dapat memberikan masukan yang signifikan untuk menjamin keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional tanpa memicu perlawanan lokal. 

Pembangunan nasional bukanlah hanya terkait dengan peningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, tapi juga peningkatan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Untuk itu, memahami kebudayaan lokal merupakan sesuatu yang penting bagi pembangunan nasional. Dalam sektor pendidikan, misalnya, kurikulum nasional belum tentu cocok untuk diterapkan di komunitas atau suku lokal tertentu. Saur “Butet” Marlina Manurung adalah seorang antropolog dan ahli pendidikan, dan dalam presentasinya mengatakan bahwa bagi anak-anak dari suku terpencil, pendidikan bukanlah untuk mengejar nilai yang tinggi. Pendidikan bagi mereka berarti memperoleh dan menguasai hal-hal untuk membela diri dan lingkungan mereka agar tidak dieksploitasi. Sokola Rimba yang didirikannya merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan untuk memberikan program literasi dan advokasi bagi Masyarakat Adat dan Terpinggirkan di seluruh nusantara. Melalui pendidikan dari sudut pandang berbeda, mereka dapat mewariskan kebudayaan dan kearifan mereka ke generasi berikutnya. Lagu daerah, serta norma dan nilai tradisional, dapat ditulis dan didokumentasikan dalam bahasa ibu mereka sendiri. 

Melestarikan dan mendayagunakan kebudayaan dapat menjadi hal yang efektif dalam mendorong ekonomi, sebagaimana dibuktikan oleh Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Dalam lima tahun terakhir, Banyuwangi telah berhasil mendorong perekonomiannya dengan memanfaatkan kebudayaan, melalui berbagai acara dan perayaan. Pada 2012, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi telah menyelenggarakan 12 acara kebudayaan, sedangkan di tahun 2017, jumlah tersebut meningkat menjadi lebih dari 70 acara kebudayaan kepada turis lokal dan asing. Peningkatan pariwisata ini telah membuat pendapatan asli daerah Banyuwangi melonjak, sehingga meningkatkan perekonomian setempat, dari salah satu PDB per kapita terendah di Jawa Timur, menjadi tiga teratas hanya dalam lima tahun. Contoh lain bagaimana kebudayaan dapat mendongkrak perekonomian ke arah yang lebih baik dapat dilihat di Bali, yang sudah sangat terkenal di dunia, kebudayaan batik Jawa, dan Karnaval Busana Jember atau Jember Fashion Carnival (JFC), yang telah menelurkan puluhan Karnaval lain di seluruh negeri. Pimpinan karismatik JFC, Dynand Fariz, membawakan presentasi penuh warna terkait bagaimana kebudayaan dapat digunakan untuk menyokong pariwisata dan sektor usaha.

Kisah keberhasilan Banyuwangi dan Jember dapat diadaptasi dan direplikasi di daerah lain di Indonesia, dalam rangka membantu mewujudkan pembangunan nasional lewat kebudayaan. Karena setiap daerah memiliki kebudayaan uniknya masing-masing, replikasi ini sebaiknya difokuskan pada metodenya, seperti penggunaan teknologi informasi. Misalnya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi tidak memperbolehkan pengembang untuk membangun pusat perbelanjaan modern dalam Kabupaten. Sebaliknya, pemerinteh daerah telah membangun mal daring yang menjual berbagai produk lokal. Hal ini menarik tidak hanya pembeli domestik, tapi juga internasional.

Di tingkat nasional, tantangan untuk menggabungkan kebudayaan ke dalam pembangunan nasional berada pada aspek koordinasi antara berbagai kementerian dan lembaga yang terlibat dalam isu-isu terkait kebudayaan. Ini adalah salah satu isu penting yang dibahas dalam seminar tersebut. Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kekebudayaanan, Kementerian Pendidikan dan Kekebudayaanan, mengatakan bahwa pemerintah harus juga memberikan perhatian kepada praktisi kebudayaan di wilayah terpencil, dan tidak hanya fokus pada mereka yang tinggal di kota-kota besar. Pemerintah harus berperan aktif dalam melindungi, mengelola, dan memberikan arahan dan strategi untuk memanfaatkan kebudayaan sebagai aset pembangunan nasional. Menurut Melani Budianta, Profesor Kajian Kebudayaan Universitas Indonesia, pemerintah juga harus mampu menentukan sasaran dari pembangunan nasional berbasis kebudayaan. Prinsip dasarnya, ujar Budianta, adalah melalui kebijakan inklusif yang non-diskriminatif, berdasarkan partisipasi masyarakat lokal. Kebijakan yang demikian menjamin tidak seorang pun yang tertinggal dalam proses pembangunan. Ia juga mendorong agar setiap daerah mengembangkan potensi kebudayaannya sendiri dan membangun sinergi kebudayaan antar warga masyarakat yang dapat memberikan wawasan berharga kepada pemerintah terkait arah dari pembangunan nasional. Menggabungkan kebudayaan ke dalam pembangunan merupakan cara untuk membentuk dan melestarikan identitas Indonesia sebagai bangsa dengan kebudayaan yang kaya raya

Topik : pembangunan nasional, kebudayaan

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA