Sebagaimana jamak diketahui, shalat Jumat termasuk ibadah yang wajib dilakukan oleh setiap muslim mukalaf, atau yang dikenal fardlu ain. Berkaitan dengan nama ‘Jumat’, al-Ârifbillâh Syekh Abdul Qadir bin Abi Shalih al-Jilani (wafat 561 H) dalam karyanya al-Ghunyah menjelaskan beberapa pendapat seputar asal muasalnya. Pendapat pertama, berdasarkan hadits riwayat sahabat Salman ra menyatakan, karena di hari itulah bapak umat manusia, Nabi Adam as diciptakan. Pendapat kedua mengatakan, akar kata ‘Jumat’ adalah ijtima’ (penyatuan), yang mana raga Nabi Adam as diberi ruh di hari itu setelah selama 40 hari tanpa nyawa sejak diciptakan. Pendapat ketiga beralasan, karena hari Jumat adalah hari di mana Nabi Adam as bertemu dengan Sayyidah Hawa pertama kali di surga setelah Allah menciptakannya. Pendapat keempat mengatakan, bukan demikian, melainkan lantaran Nabi Adam as dan siti Hawa berjumpa di hari Jumat setelah lama terpisah sejak diturunkan ke dunia. Sebab peristiwa-peristiwa tersebutlah hari Jumat menjadi sangat mulai. (Abdul Qadir bin Abi Shalih al-Jilani, al-Ghunyah li Thâlibî Tharîqil Haqq ‘Azza wa Jalla fil Akhlâq wat Tashawwuf wal Âdâb al-Islâmiyyah, juz II, halalaman 109). Dalil Shalat Jumat dan Harinya yang Mulia من ترك ثلاث جمع تهاونا بها طبع الله على قلبه (رواه أحمد والحاكم. حسن) Artinya, “Siapa pun yang meninggalkan shalat Jumat tiga kali karena meremehkannya, maka Allah ta’âlâ akan mengecap )menutup( hatinya (sehingga tak mampu menerima hidayah).” (HR Ahmad dan al-Hakim. Hadits hasan). Ada pula hadits riwayat Jabir bin Abdillah ra, Nabi saw bersabda: مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ عَلَى مَرِيضٍ، أَوْ مُسَافِرٍ، أَوْ صَبِىٍّ، أَوْ مَمْلُوكٍ وَمَنِ اسْتَغْنَى عَنْهَا بِلَهْوٍ أَوْ تِجَارَةٍ اسْتَغْنَى اللهُ عَنْهُ، وَاللهُ غِنَىٌّ حُمَيْدٌ. (رواه البيهقي) Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka ia wajib shalat Jumat pada hari Jumat, kecuali bagi orang sakit, musafir, anak kecil, atau budak. Barangsiapa yang mengacuhkan shalat Jumat karena lalai atau sibuk urusan perniagaan, maka Allah tak akan memperhatikannya, Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (HR al-Baihaqi) Karena ketegasan teks-teks syariat yang memerintah shalat Jumat, Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fathul Mu’în mengatakan, ‘Wa shalâtuha afdhalu al-shalawât’, (Shalat Jumat adalah shalat yang paling utama di antara shalat lainnya). (Zainuddin bin Abdil Aziz al-Malibari, Fathul Mu’în pada Hâsyiyyah I’ânatut Thâlibîn, [Indonesia, al-Haramain], juz II, halaman 52). Demikian halnya hari Jumat, ia termasuk hari paling mulia dibandingkan hari lainnya dalam sepekan. Abu Hurairah ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw: خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ فِيهِ الشَّمْسُ يَوْمُ الْجُمُعَةِ، فِيهِ خُلِقَ آدَمُ، وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ، وَفِيهِ أُخْرِجَ مِنْهَا، وَفِيهِ تَقُومُ السَّاعَةُ. (رواه أحمد) Artinya, “Hari terbaik di mana matahari terbit di hari itu adalah hari Jumat, pada hari itulah Nabi Adam as diciptakan, hari itu ia dimasukkan ke surga dan dikeluarkan dari sana, dan hari Jumat adalah hari tibanya kiamat.” (HR Ahmad) Bila tidak karena kemuliaan hari Jumat, tidak mungkin rasanya Allah mengabadikan momen-momen bersejarah (awal mula dan penutup kehidupan) di hari tersebut. Sampai-sampai, malaikat sendiri menyebut hari Jumat dengan yaumul mazîd (hari bonus besar-besaran), sebab, di hari inilah Allah membuka sekian banyak pintu kasih sayang, karunia, dan kebaikan-Nya. Niat Shalat Jumat Kalau sebagai makmum, maka niatnya:
Ushallî fardha jumu’ati ma’mûman lillâhi ta’âlâ. Artinya, “Saya shalat Jumat sebagai makmum karena Allah ta’âlâ.” Jika sebagai imam, maka niatnya: أُصَلِّي فَرْضَ الْجُمْعَةِ إِمَامًا لِلهِ تَعَالَى Ushallî fardhal jumu’ati imâmal lillahi ta’âlâ. Artinya, “Saya shalat Jumat sebagai imam karena Allah ta’âlâ.” Demikian pula bila seseorang terlambat menuju shalat Jumat dan ia tidak sempat melakukan satu rakaat bersama imam—dengan batasan ia tidak sempat ruku’ bersama imam di rakaat kedua—maka ia harus menyempurnakan shalatnya menjadi shalat Dhuhur empat rakaat, meskipun niatnya tetap niat shalat Jumat. Waktu Pelaksanaan Shalat Jumat Tiga Kategori Syarat Shalat Jumat Pertama, syarat wajib. Yaitu sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang yang mana wajib dan tidaknya shalat Jumat tergantung pada ada dan tidaknya sifat tersebut. Syarat wajib Jumat ada tujuh, yaitu:
Terkait syarat terakhir, sebenarnya dalam bab shalat Jumat kita dikenal dua istilah, muqîm (orang yang bermukim) dan mustauthin (orang yang berdomisili). Makna kata domisili di sini berbeda dengan makna yang sering dopahami biasanya. Dalam kitab Syarhul Yaqûtin Nafîs Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syathiri menjelaskan: فالمستوطن هو الذي يعتبر البلد الذي هو فيه وطنه، لا يسافر منها لا صيفا ولا شتاء إلا لحاجة دائم الإقامة بها ولا يحدث نفسها بفراقها Artinya, “Mustauthin adalah orang yang menganggap tempat ia tinggal seketika itu adalah tanah airnya, tidak akan berpindah-pindah seiring perubahan musim kecuali ada kebutuhan saja. Juga, tak pernah berpikir untuk meninggalkan tempat tersebut.” أما المقيم فهو الذي نزل بها ولم ينو الإستطان كطالب العلم أوالتاجر Artinya, “Adapun muqîm adalah orang yang menetap di suatu daerah dan tidak bermaksud untuk tinggal selamanya di sana, seperti santri, atau pedagang.” (Muhammad bin Ahmad bin Umar as-Syathiri, Syarhul Yaqûtin Nafîs, halaman 235) Kedua, syarat sah. Sah dan tidaknya shalat Jumat tergantung apakah syarat-syarat sahnya terpenuhi atau tidak. Untuk hal ini, sama persis dengan syarat sah shalat Dhuhur dan shalat lainnya, hanya ada enam syarat tambahan yang membuatnya berbeda. Berikut rinciannya:
Ketiga, syarat in’iqâd. Yaitu syarat yang menentukan shalat Jumat tersebut dapat menggugurkan kewajiban shalat Dhuhur jamaah yang lain atau tidak. Artinya, seseorang bisa saja shalat Jumatnya sah, namun tidak dapat menggugurkan kewajiban shalat Dhuhur jamaah lainnya, sehingga mereka harus melakukan shalat Dhuhur setelah itu. Lalu, apa saja syarat in’iqad tersebut? Secara umum yaitu ketika seluruh syarat wajib dan syarat sah terpenuhi secara sempurna. Secara lebih detail, Syekh Abu Bakr Usman bin Muhammad Syatha (wafat 1300 H) dalam kitab I’ânatut Thâlibîn menjelaskan enam macam jamaah shalat Jumat berdasarkan statusnya:
Ustadz Ahmad Dirgahayu Hidayat, Pengajar di Ma'had Aly Pesantren Salafiyah Syafi'iyah, Sukorejo, Situbondo. |