Secara de facto Anusapati adalah putra dari perkawinan

Redaktur Last Updated 2010-12-15T11:18:47Z

I. Kerajaan Agrabinta (awal abad ke-1 M) - Kerajaan di Banten, dengan pusat kerajaan di sekitar Mantiung - Banten. II. Kerajaan Salakanegara (th 130 M) 1. Dewawarman I (130 - 168 M) - Seorang raja pelarian dari India yang menikah dengan Pohaci putri Aki Tirem, seorang tetua di Rajatapura - Pusat pemerintahannya ada di Salakanegara di sekitar Banten Sekarang - Gelarnya adalah Prabu Darmalokapala Dewawarman (H)Aji Rakja Gapura Sagara - Wilayahnya meliputi propinsi banten sekarang ditambah Agrabintapura (Gunung Padang Cianjur) dan Apuynusa (Krakatau). 2-7. ? 8. Dewawarman VIII (348 - 363 M) - Bergelar Prabu Darmawirya Dewawarman III. Kerajaan Tarumanegara Tarumanegara berdiri karena Dewawarman IX, memindahkan pusat kerajaan dari Rajatapura ke Tarumanegara sekaligus mendirikan kerajaan baru. Sehingga Salakanegara berubah statusnya menjadi kerajaan bawahan Tarumanegara. Pada masa kejayaannya di bawah daerah kekuasaannya meliputi selat Sunda di barat hingga ke Purwalingga (Purbalingga) di timur dan membawahi 48 raja muda. 1. Jayasinghawarman / Dewawarman IX (358-382 M) - Maharaja resi dari Salankayana, India, yang mengungsi ke Jawa karena kerajaannya ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Magada. - Merupakan menantu Dewawarman VIII dan misan dari Mulawarman, raja Balakapura (Kutai) ke-III. - Bergelar Jayasinghawarman Gurudarmapurusa 2. Dharmayawarman (382-395 M) 3. Purnawarwan (395-434 M) - Memindahkan ibukota Tarumanegara dari Tarumanegara ke Sundapura di sekitar Karawang-Bekasi - Bergelar Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswara Digwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati - Dikenal pula sebagai Wyagrahaning Tarumanagara / Sang Purandara Saktipurusa 4. Wisnuwarman (434-455) 5. Indrawarman (455-515) 6. Candrawarman (515-535 M) 7. Suryawarman (535-561 M) - Menikahkan putrinya Tirtakencana dengan seorang resi dari Jawa Tengah, Manikmaya, yang kemudian mendirikan Kerajaan Kendan/Keindraan, yang menjadi bawahan kerajaan Tarumanegara, di sekitar Nagreg. 8. Kertawarman (561-628) 9. Sudhawarman (628-639) 10.Hariwangsawarman (639-640) 11. Nagajayawarman (640-666) 12. Linggawarman (666-669 M) - Menikahkan Manasih/Minawati, putri sulungnya dengan Tarusbawa pendiri kerajaan Sunda Sembawa. - Putri keduanya, Sobakencana, dinikahkan dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri kerajaan Sriwijaya. IV. Kerajaan Kendan Kendan yang didirikan Manikmaya merupakan kerajaan kecil yang berkuasa di Galuh di sekitar Ciamis sekarang. Meski kecil, peranan Kendan amat penting karena keturunannya diperkirakan menjadi leluhur raja-raja besar di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Diantaranya Galuh, Panjalu dan Sumedang di Jawa Barat serta Kalingga dan Medangjati di Jawa Tengah. 1. Manikmaya 2. Suraliman Sakti 3. Kandiawan 4. Wretikandayun - Pendiri kerajaan Galuh. - Suami dari Parwati puteri Maha Rani Mahisasuramardini Satyaputikeswara / Dewi Sima (Ratu Kalingga) V. Kerajaan Sunda Sembawa / Sundapura Kerajaan Sunda Sembawa berdiri setelah raja Tarumanegara ke-XIII memindahkan pusat kerajaan Tarumanegara ke Pakuan (Pakuwuan) sekitar Bogor sekarang. Dan menyatakan berakhirnya kekuasaan Tarumanegara dan berdirinya kerajaan baru Sunda Sembawa yang kemudian disebut sebagai Kerajaan Sunda. 1. Tarusbawa/Tohaan di Sunda (669 - 723 M) - Raja Tarumanegara ke-XIII. - Karena kekuasaan Tarumanegara ditiadakan oleh Tarusbawa, maka Wretikandayun, putra mahkota Kendan , dan cicit dari Manikmaya menuntut bekas daerah Tarumanegara dibagi dua. Dengan alasan dia masih keturunan raja-raja Tarumanegara. - Karena Galuh mendapat dukungan dari Kerajaan Kalingga yang berkuasa di sekitar Banyumas sekarang, dan tidak ingin terjadi perang saudara, Tarusbawa menyetujui pembagian itu. - Tarumanegara dibagi dua menjadi dua kerajaan di tahun 670 M dengan batas wilayah adalah sungai citarum. Wilayah barat sungai Citarum hingga ke selat Sunda dikuasai Sunda Sembawa, sedangkan wilayah timurnya sampai ke sungai Pemali di Brebes, Jawa Tengah dikuasai oleh Galuh. - Karena wilayah Tarumanegara semula dibagi dua, Tarusbawa memindahkan pusat kerajaan ke pedalaman, di sekitar hulu sungai Cipakancilan / Bogor. 2. Harisdarma/Rakyan Jamri/Sanjaya (723 - 732 M) - Cicit Wretikandayun, pendiri kerajaan Galuh dan memerintah Sunda atas nama istrinya Tejakencana. Tejakencana adalah cucu Tarusbawa dan menjadi pewaris kerajaan  Sunda karena ayahnya yang merupakan putra mahkota Sunda dan putra dari Tarusbawa, meninggal sebelum sempat naik tahta. - Menikahi Sudiwara putri Dewasinga raja Kalingga barat. - Pendiri kerajaan Mataram Hindu di tahun 732 M, yang merupakan pecahan Kalingga di barat. Pecahan Kalingga di timur adalah Kerajaan Kanjuruhan. 3. Tamperan Barmawijaya /Rakyan Panaraban (732-739 M) - Putra Sanjaya dari perkawinan dengan Tejakencana - Saudara seayah dari Rakyan Panangkaran, penerus tahta Mataram, putra Sanjaya dari perkawinan dengan Sudiwara 4. Kamarasa/Arya Banga/ Rakeyan Banga / Prabu Kretabuwana Yasawiguna Aji Mulya (739-766 M) - Putra hasil hubungan gelap antara Tamperan dengan Pangreyep, istri Premana, raja Galuh. - Membangun parit Pakuan untuk melindungi kedaton Sunda. - Banga berjuang selama 20 tahun untuk diakui sebagai penguasa yang berdaulat di sisi barat Citarum dan lepas dari kedudukan sebagai raja bawahan Galuh. 5. Rakyan Medang / Prabu Hulukujang (766-783 M) - Putra Arya Banga 6. Prabu Gilingwesi (783-795 M) - Salah seorang putra Manarah - Menantu Rakyan Medang, memerintah dari Pakuan 7. Pucukbumi Darmeswara (795-819 M) - Menantu Gilingwesi memerintah dari Pakuan 8. Prabu Gajah Kulon / Rakyan Wuwus (819-891 M) - Putra Darmeswara, menikah dengan putri Galuh dan memerintah dari Pakuan VI. Kerajaan Galuh Kerajaan Galuh didirikan oleh Wretikandayun melalui sebuah perundingan dengan Tarusbawa, hasilnya raja Sunda itu menyetujui pembagian bekas wilayah kekuasaan Tarumanegara. 1. Wretikandayun (670-702 M) 2. Rakyan Mandiminyak (702-709 M) - Putra bungsu Wretikandayun - Putra sulung Wretikandayun, Batara Danghyang Gurusempakwaja tidak dapat menjadi raja Galuh karena cacat jasmani, sehingga ia hanya menjadi raja muda di yaitu kerajaan Galunggung. - Putra kedua Wretikandayun yang bernama Resi Jantaka/Rakyan Kidul juga tidak bisa naik tahta karena sakit kemir/hernia. Jantaka adalah ayah dari Bimareksa/Balangantrang. 3. Bratasenawa/Sena/Sanna (709-716 M) - Putra Mandiminyak dari hasil hubungan gelap dengan istri Sempakwaja. - Ayah Sanjaya/Rakyan Jamri/Harisdarma - Senna dan keluarganya lari ke tempat istrinya di Kalingga setelah digulingkan dari tahta oleh Purbasora. 4. Purbasora (716-723 M) - Putra sulung Sempakwaja yang ingin menguasai Galuh karena merasa lebih berhak sebagai pewaris resmi Galuh. - Dia menggulingkan Senna di tahun 719 dengan bantuan pasukan mertuanya, raja Indraprahasta/Wanagiri yang berkuasa di sekitar Cirebon sekarang. 5. Sanjaya/Rakyan Jamri/ Harisdarma (723-732 M) - Menggulingkan Purbasora, raja Galuh yang menggulingkan ayah Sanjaya, Senna, dari kekuasaan di Galuh. Sanjaya bersama pasukan Sunda, dibantu oleh Rabuyut Sawal dari Gunung Sawal yang merupakan sahabat ayahnya, Senna. Saat melakukan serbuan ke Galuh, Sanjaya memimpin pasukan Mataram dari Gunung Sawal, sedangkan pasukan Sunda dipimpin oleh Patih Anggada. Serangan dilakukan pada malam hari dan hasilnya seluruh keluarga Purbasora yang berada di Galuh terbunuh, kecuali menantunya Bimareksa/Balangantrang yang merupakan Patih Galuh. - Setelah mengalahkan Galuh, Sanjaya kemudian menghancurkan Indraprahasta. - Setelah dendamnya kepada Purbasora terbalas, Sanjaya berniat memberikan kekuasaan Galuh kepada adik Purbasora, Demunawan, putra kedua Sempakwaja. Karena takut Demunawan ikut dibunuh oleh tipu muslihat Sanjaya, Sempakwaja menolaknya. Sanjaya juga tidak berhasil menemukan Balangantrang yang bersembunyi di kampung Geger Sunten, dan berusaha menghimpun kekuatan-kekuatan anti Sanjaya. - Sanjaya menjadi penguasa tunggal Mataram Hindu, Sunda dan Galuh, meski sebenarnya dia enggan berkuasa di Galuh. Karena dia tahu kehadirannya tidak disukai dan ibukota Galuh, terletak jauh dari Medang Kamulan, ibukota Mataram Hindu, tempat dirinya memerintah sebagai raja. Oleh karena itu pada tahun 732, dia menunjuk Premana Dikusuma menjadi raja Galuh, Tamperan, putranya menjadi raja Sunda, dan Demunawan menjadi raja Galunggung dan Kuningan yang menjadi bawahan Galuh. Sedangkan tahta kerajaan Mataram, diwariskan kepada putranya Rakai / Rakeyan Panangkaran. 6. Premana Dikusuma/Begawan Sajalaya (732 M) - Cucu Purbasora yang sedang tidak berada di Galuh saat terjadi penyerbuan oleh Sanjaya. - Suami Naganingrum, cucu Balangantrang, yang membuahkan anak bernama Manarah yang kemudian dikenal sebagai Ciung Wanara. - Ditunjuk sebagai raja Galuh oleh Sanjaya, meski berada dibawah pengawasan oleh Tamperan, putra Sanjaya yang ditugaskan menjadi patih Galuh dan pemimpin pasukan Sunda di Galuh. - Dinikahkan Sanjaya kepada Dewi Pangreyep, putri Anggada patih Sunda, untuk mengikat kesetiannya. - Premana hanya beberapa bulan menjadi raja Galuh. Karena merasa tidak bisa memerintah, Premana menyerahkan kekuasaan Galuh kepada Tamperan dan memilih menjadi pertapa lalu meninggalkan keluarganya. 7. Tamperan/Rakyan Panaraban (732-739 M) - Menjadi penguasa tunggal di Jawa Barat setelah ditunjuk menjadi raja Sunda oleh ayahnya dan memperoleh tahta Galuh yang diserahkan oleh Premana kepadanya. - Memperoleh seorang anak bernama Kamarasa/Arya Banga dari hasil hubungan gelap dengan Pangreyep yang ditinggal bertapa oleh suaminya, Premana. - Menyuruh orang untuk membunuh Premana karena tidak ingin skandalnya dengan Dewi Pangreyep tercium. Pembunuh Premana ini kemudian dibunuh pula oleh orang suruhan Tamperan. Meski demikian skandal ini diketahui oleh Balangantrang yang masih bersembunyi di Geger Sunten. - Tanpa diketahui Tamperan, Manarah, anak tirinya, diam-diam disiapkan oleh Balangantrang untuk membalas dendam. Dalam suatu pesta sabung ayam kerajaan, Manarah membuat keributan dengan cara berkelahi dengan Arya Banga. Sementara secara tiba-tiba Balangantrang bersama pasukan dari Geger Sunten, menyerbu kedaton. Dalam serangan tiba-tiba itu, Tamperan, Pangreyep dan putra mereka Arya Banga tertawan. Banga berhasil meloloskan diri dan membebaskan orang tuanya lalu melarikan diri bersama-sama. - Dalam usaha pelarian itu, Banga tertangkap kembali setelah sempat berduel dengan Manarah. Sementara Tamperan dan Pangreyep, terbunuh oleh pasukan panah yang melepaskan panah dalam kegelapan. - Berita terbunuhnya Tamperan dan Pangreyep terdengar sampai ke Medang. Hal mana membuat Sanjaya marah besar dan segera menyiapkan pasukan untuk menyerbu ke Galuh. Namun hal ini sudah diantisipasi oleh Balangantrang yang mengerahkan sisa-sisa pasukan Galuh yang setia kepada Purbasora dan sisa-sisa pasukan Indraprahasta yang telah berubah nama menjadi Wanagiri, serta sisa-sisa pasukan raja-raja dari Kuningan yang ditaklukan oleh Sanjaya. Perang besar tidak dapat dihindarkan. Tetapi Resi Demunawan yang mendengar tentang peperangan antar keturunan Wretikandayun segera turun tangan untuk melerainya. - Dalam perundingan di Galuh tercapai kesepakatan. Banga akan menguasai Sunda dan menjadi bawahan Manarah yang menguasai Galuh. Walapun kurang senang tapi Banga tetap bisa menerima, mengingat Manarah, dua kali mengampuni nyawanya. Sunda dan Galuh terpecah kembali. - Untuk memperteguh perdamaian, Banga dan Manarah masing-masing dinikahkan dengan cicit-cicit Demunawan. Manarah memperistri Kencanawangi, sedangkan Banga memperistri Kencanasari adik Kencanawangi. 8. Manarah/Ciung Wanara/Prabu Jayaprakosa Mandaleswara Salakabuana (739-783 M) - Manarah dikaruniai umur panjang dan memerintah Galuh selama 44 tahun sebelum kemudian mengundurkan diri. Ia meninggal 15 tahun kemudian dalam usia 80 tahun. - Sepeninggal Manarah melalui serangkaian perkawinan antar keluarga dan perebutan kekuasaan, Sunda, Galuh dan Kuningan (Saunggalah) akhirnya menjadi satu kembali.  - Walaupun demikian, Karena masih adanya sedikit rasa permusuhan antara rakyat Sunda dan Galuh, ibukota kerajaan sering berpindah-pindah dari Pakuan ke Galuh. Persatuan antara Sunda, Galuh dan Kuningan pertama kali dimulai sejak pemerintahan Prabu Gajah Kulon 9. Prabu Gilingwesi (783 - 795 M) - Putra Manarah, menikah dengan putri Rakyan Medang. Penguasa gabungan Sunda Galuh. 10. ? (795 - 813 M) 11. Prabulinggabumi (813 - 852 M) - Cicit Manarah - Adiknya menikah dengan Rakyan Wuwus. - Mengundurkan diri untuk menjadi resi dan menyerahkan kekuasaan Galuh ke suami adiknya VII. Kerajaan Sunda-Galuh Raja-raja Sunda-Galuh adalah sbb: 1. Prabu Gajah Kulon / Rakyan Wuwus (819-891 M) - Putra Darmeswara, menikah dengan adik Prabulinggabumi, penguasa Galuh - Memperoleh tahta Galuh setelah Prabulinggabumi mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan Galuh kepadanya - Memerintah dari Pakuan 2. Prabu Darmaraksa Buana (891-895 M) - Adik ipar dari Rakyan Wuwus memerintah dari Pakuan - Darmaraksa yang merupakan orang Galuh tewas dibunuh oleh seorang menteri Sunda fanatik. Karena peristiwa ini, setiap raja yang akan naik tahta selalu memperhitungkan tempat kedudukan yang akan dipilihnya menjadi pusat pemerintahan. Dengan demikian, pusat pemerintahan itu berpindah-pindah dari barat ke timur dan sebaliknya. Antara tahun 895 sampai tahun 1311 kawasan Jawa Barat diramaikan sewaktu-waktu oleh iring-iringan rombongan raja baru yang pindah tempat. 3. Windusakti / Prabu Dewageng (895-913 M) - Putra Darmaraksa, memerintah dari Galuh 4. Rakeyan Kemuning Gading / Prabu Pucukwesi (913-916 M) - Putra Windusakti, memerintah di Galuh 5. Rakeyan Jayagiri  / Prabu Wanayasa (916-942 M) - Menantu Pucukwesi, memerintah dari Pakuan 6. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M) - Putra Wanayasa, memerintah dari Pakuan 7. Limbur Kancana (954-964 M) - Putra Pucukwesi, memerintah dari Galuh 8. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M) - Putra Limbur Kancana, memerintah dari Galuh 9. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M) - Putra Ganawirya, memerintah dari Galuh 10. Prabu Brajawisesa (989-1012 M) - Menantu Wulung Gadung, memerintah dari Pakuan 11. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M) - Putra Brajawisesa memerintah dari Pakuan 12. Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M) - Putra Dewa Sanghyang memerintah dari Galuh - Menikah dengan putri dari kerajaan Sriwijaya yang merupakan kerabat dekat raja Wura-wuri 13.Prabu Detya Maharaja / Sri Jayabupati (1030-1042 M) - Putra Sanghyang Ageng, memerintah dari Pakuan - Menikah dengan putri Raja Darmawangsa, istrinya adalah adik Dewi Lasmi, istri dari Airlangga - Mendapat gelar Sri Jayabupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuwanamandaleswaranindita Haro Gowardhana Wikramottunggadewa yang merupakan  gelar raja-raja Jawa Timur dari mertuanya Darmawangsa - Menjadi saksi peristiwa Pralaya di tahun 1019 M ketika kerajaan mertuanya, Darmawangsa, dihancurkan oleh Raja Wura-wuri yang didukung oleh Sriwijaya. Hal ini terjadi setelah kegagalan Darmawangsa dalam serbuannya untuk menguasai Sriwijaya. Meskipun ia bersama ayahnya mengetahui akan rencana serbuan oleh Wura-wuri ini, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa, karena diancam untuk bersikap netral oleh Sriwijaya. 14. Darmaraja / Sang Mokteng (Mukti Ing) Winduraja (1042 - 1065 M) - Memerintah dari Pakuan 15. Langlang Bumi / Sang Mokteng Kerta (1065 - 1155 M) - Memerintah dari Pakuan 16. Rakeyan Jayagiri / Prabu Menak Luhur (1155 - 1175) - Memerintah dari Galuh 17. Prabu Guru Darmasiksa / Sang Hyang Wisnu (1175 - 1297) - Memerintah dari Saunggalah lalu pindah ke Pakuan 18. Prabu Ragasuci / Sang Lumahing Taman / sang Mokteng Taman (1297 - 1303 M) - Putra Darmasiksa, menjadi raja karena kakaknya Rakeyan Jayadarma meninggal dalam usia muda sedangkan Putra Jayadarma, Wijaya, mengabdi pada Kertanegara di Singasari. - Memerintah dari Saunggalah kemudian setelah meninggal dimakamkan di Taman (Ciamis) - Menikah dengan Dara Puspa, putri kerajaan Melayu, istrinya ini adalah adik Dara Kencana istri Prabu Kertanegara, raja Singasari. - Rakeyan Jayadarma menikah dengan Dyah Singamurti/Dyah Lembu Tal, puteri Mahisa Campaka/Narasingamurti, anak Mahisa Wonga Teleng, yang merupakan anak dari Ken  Arok dan Ken Dedes. Narasingamurti bersama Rangga Wuni/Wisnuwardhana, anak Anusapati, anak dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes, memerintah Singasari di Jawa Timur. Singasari sendiri kemudian diperintah oleh Kertanegara, anak dari Wisnuwardhana - Putra dari Jayadarma adalah Sri Nararya Sanggrama Wijaya/Kertarajasa Jayawardhana/Raden Wijaya/Jaka Susuruh, menantu Kertanegara, raja Majapahit pertama. 19. Prabu Citraganda / Sang Mokteng Tanjung (1303 - 1311 M) - Putra Ragasuci - Memerintah dari Pakuan 20. Prabu Lingga Dewata (1311 - 1333 M) - Putra Citraganda - Memerintah dari Kawali, ibukota kerajaan yang baru, yang terletak diantara Saunggaluh, Galunggung dan Galuh 21. Prabu Ajiguna Wisesa (1333 - 1340 M) - Menantu Lingga Dewata - Memerintah dari Kawali 22. Sri Baduga Maharaja Prabu Lingga Buana / Prabu Wangi (1340 - 1357 M) - Memerintah dari Kawali - Gugur dalam perang Bubat melawan pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Gajah Mada - Perang yang terjadi di desa Bubat ini karena Gajah Mada meminta Citraresmi/Dyah Pitaloka, putri Lingga Buana, diserahkan kepada Maharaja Hayam Wuruk/Rajasanagera raja Majapahit sebagai tanda tunduknya kerajaan Sunda-Galuh kepada kekuasaaan Majapahit. Sedangkan kerajaan Sunda-Galuh menganggap pernikahan tersebut adalah sebagai pernikahan antara kerabat kerajaan yang  berdiri sederajat. Pada perang tersebut yang dikenal sebagai Palagan Bubat, semua kerabat keraton Sunda-Galuh yang ikut dalam rombongan pengantin, termasuk Dyah Pitaloka, gugur tak bersisa. - Perang ini menyebabkan terjadinya kerenggangan hubungan antara Sunda-Galuh di barat dengan Majapahit di timur. Sehingga timbul peraturan "estri larangan ti kaluaran" yang maksudnya keturunan laki-laki Sunda-Galuh tidak boleh menikahi secara resmi keturunan selain Sunda-Galuh, dalam hal ini yang dimaksud adalah keturunan Majapahit. - Selain itu, perang ini juga menyebabkan renggangnya hubungan antara Maharaja Hayam Wuruk dengan Patih Gajah Mada yang berujung dengan pengasingan Gajah Mada hingga akhir hidupnya. 23. Prabu Bunisora/Prabu Kuda Lalean/Prabu Borosngora/Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata (1357 - 1371 M) - Memerintah dari Kawali - Saudara Lingga Buana, naik tahta karena Wastu Kancana putra Lingga Buana masih terlalu muda pada saat ayahnya meninggal. - Sewaktu muda dikenal dengan nama Mangkubumi Suradipati - Digelari Batara Guru di Jampang karena menjadi resi dan pertapa yang ulung - Putra pertamanya adalah Giridewata yang setelah menjadi raja muda di Singapura (sekitar Cirebon) bergelar Ki Gedeng (Ki Ageng) Kasmaya. - Putra keduanya Bratalegawa menurut hikayat adalah keturunan Sunda-Galuh pertama yang memeluk agama Islam. Dia memilih menjadi saudagar dan berkelana ke Sumatera, Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Dalam persinggahannya di Gujarat dia bertemu dengan seorang wanita muslim bernama Farhana binti Muhammad. Dalam pernikahannya inilah dia memutuskan untuk memeluk agama Islam dan bergelar Haji Baharudin Al-Jawi. Sebagai haji pertama di negaranya dia mendapat julukan Haji Purwa. Setelah pulang mengembara dia berusaha mengajak Ratu Banawati, adiknya menjadi muslim, namun ditolak dengan halus, demikian pula saat ia mengajak kakaknya Giridewata menjadi muslim. Namun putra Giridewata yang bergelar Ki Gedeng Tapa dan keturunannya, akhirnya memeluk Islam. Haji Purwa sendiri akhirnya tinggal di Cirebon Girang, wilayah yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa, sampai akhir hayatnya. 24. Prabu Maharaja Wastu Kancana / Prabu Wangisuta / Prabu Anggalarang / Niskala Wastu Kancana (1371 - 1475 M) - Memerintah dari Kawali - Putra Lingga Buana - Menikah dengan Lara Sarkati puteri Lampung - Menikah kedua kalinya dengan Mayangsari, putri Mangkubumi Suradipati - Ketika wafat dimakamkan di Nusalarang Setelah wafatnya Wastu Kancana, kerajaan Sunda-Galuh kembali terbagi dua secara damai sebagai dua kerajaan yang sederajat. Kerajaan Sunda (1475 - 1482 M) 1. Prabu Susuktunggal/Sang Haliwungan/Prabu Dewatmaka - Putra Wastu Kancana dari Lara Sarkati - Memerintah dari Kawali - Menikah dengan Putri Baramuci Larang, yang menghasilkan putra-putri: Amuk Murugul/Surabima raja muda Sunda di Japura (sekitar Cirebon), Kentring Manik Mayang Sunda, dan Dipati Kranda, penguasa pelabuhan Sunda Kelapa. Kerajaan Galuh (1475 - 1482 M) 1. Prabu Dewa Niskala / Ningrat Kancana - Putra Wastu Kancana dari Mayangsari - Memerintah dari keraton Jayagiri di Kawali - Setelah meninggal dimakamkan di Gunatiga. Kedua kerajaan ini kembali bersatu saat pemerintahan Jayadewata, putra Dewa Niskala. Hal ini terjadi, karena setelah kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) Raja Majapahit, banyak kerabat keraton Majapahit yang mengungsi ke barat. Kejatuhan Prabu Kertabumi ini setelah serangan Ranawijaya/Girindrawardhana, raja Kediri yang mendendam kepada Prabu Kertabumi karena Suraprabawa/Brhe Pandanalas, ayahnya diturunkan dari tahta Majapahit oleh Prabu Kertabumi. Salah seorang diantara para pengungsi Majapahit, itu adalah Raden (Rahadiyan) Baribin, adik bungsu Prabu Kertabumi yang lari ke barat menghindari kejaran Girindrawardhana. Raden Baribin oleh Dewa Niskala dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana, salah seorang putrinya yang merupakan adik dari Raden Banyak Cakra (Kamandaka) penguasa Pasir Luhur (daerah Banyumas sekarang). Keturunan Raden Baribin dan Ratna Ayu Kencana inilah yang akhirnya menjadi leluhur penguasa Banyumas. Dewa Niskala sendiri menikahi Socainten, salah seorang kerabat keraton Majapahit, yang sebenarnya telah bertunangan. Menurut aturan "estri larangan ti kaluaran", kerabat keraton Sunda-Galuh dilarang menikahi kerabat keraton Majapahit sejak terjadinya peristiwa Palagan Bubat. Socainten adalah seorang wanita yang sudah bertunangan, menurut aturan tersebut, seorang wanita yang sudah bertunangan dan tunangannya belum memutuskan hubungan, serta nasib tunangannya belum diketahui apakah masih hidup atau sudah mati, tidak boleh dinikahi. Karena kedua pelanggaran adat yang berat ini, Susuktunggal menuntut pengunduran diri Dewa Niskala dan mengancam untuk memutuskan hubungan. Bahkan Susuktunggal berniat menyerbu ke Kawali. Beruntung keributan dapat dihindarkan setelah diadakan perundingan  para tetua Sunda-Galuh di Batu Layang. Dari hasil perundingan, didapatkan keputusan, kedua raja akan mengundurkan diri dan menyerahkan kekuasaan kepada Jayadewata yang juga merupakan menantu Susuktunggal. Masa pemerintahan Jayadewata dan penerusnya dikenal sebagai masa pemerintahan raja-raja Pajajaran. Menurut salah satu penelitian, hal ini terjadi setelah Jayadewata membangun beberapa keraton yang dibangun secara berjajar di wilayah Pakuan. Sehingga untuk membedakan dengan kerajaan Sunda-Galuh sebelumnya yang juga beribukota di Pakuan, kerajaan ini disebut sebagai Pakuan Pajajaran. Istana-istana tersebut yaitu, Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Menurut legenda lain, dikatakan kelima keraton itu sebenarnya adalah satu kesatuan bangunan keraton yang dibangun diantara buah sungai yang mengalir sejajar dan sama besar yakni Cihaliwung (Ciliwung) dan Cisadane. Karenanya, tidak mustahil nama kerajaan Pajajaran dihubungkan dengan kenyataan bahwa istana raja terletak di antara dua buah sungai yang sejajar. Keraton ini pada mulanya dibangun oleh Prabu Susuktunggal yang lalu diteruskan oleh Jayadewata. Dalam beberapa literatur Sunda, masa pemerintahan Susuktunggal dan Dewa Niskala ini sering tidak disebutkan. Pertama, karena keduanya hanya menjadi raja wilayah setingkat raja muda di wilayah masing-masing, bukan setingkat Maharaja. Kedua, karena skandal yang dilakukan oleh Dewa Niskala. Sehingga sering disebutkan setelah masa pemerintahan Wastu Kencana, langsung berlanjut ke masa pemerintahan Prabu Siliwangi. VIII. Kerajaan Pajajaran 1. Sri Baduga Maharaja Prabu Guru Dewapranata/Prabu Siliwangi/Ratu Jayadewata/Raden Pamanah Rasa/Raden Sunu (1475/1482 - 1521 M) - Putra Dewa Niskala, saudaranya seibu adalah Ningratwangi, sedangkan saudara lainnya seayah adalah Banyak Cakra/Catra atau Kamandaka, Banyak Ngampar, Ratu Ayu Kirana dan Kusumalaya. Kamandaka inilah yang terkenal dalam legenda Lutung Kasarung. Dia menjadi penguasa daerah Pasir Luhur di daerah Banyumas sekarang, setelah menikah dengan Ciptasari/Purbasari, putri raja Pasir Luhur. - Memerintah dari Pakuan Pajajaran. Kerajaan Sunda-Galuh yang namanya menjadi Pajajaran mencapai puncak kekuasaannya sekali lagi dibawah pemerintahan Prabu Siliwangi. Meskipun kemudian Cirebon dibawah pemerintahan Sunan Gunung Jati, melepaskan diri dari kekuasaan Sunda-Galuh. - Pertama kali dinobatkan sebagai raja Galuh, dengan gelar Prabu Guru Dewapranata - Dinobatkan kedua kalinya sebagai raja Sunda-Galuh, dengan gelar Sri Baduga Maharaja Ratu (H)Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata mengambil gelar buyutnya Sri Baduga Maharaja Lingga Bumi untuk mengenang keberanian buyutnya tersebut yang gugur dalam peristiwa Palagan Bubat - Nama Siliwangi diberikan karena dia dianggap menjadi penganti (silih) Maharaja Prabu Niskala Wastu Kancana yang juga bergelar Prabu Wangi. - Sewaktu lahir diberi nama Pamanah Rasa oleh kakeknya Prabu Niskala Watu Kancana dan Jayadewata oleh ayahnya, Dewa Niskala. Pemberian nama oleh orang tua dan kakeknya merupakan suatu adat yang umum di Jawa Barat pada masa itu. Seperti juga nama Anggalarang dan Wangisuta yang keduanya merupakan nama dari Niskala Watu Kancana. Atau Rakeyan Santang dan Walangsungsang yang keduanya merupakan nama dari orang yang sama yaitu Pangeran Cakrabuana, pendiri Kerajaan Cirebon. - Menikah dengan Ambetkasih/Ngabetkasih sepupunya sendiri, yang merupakan putri dari Ki Gedeng Sindangkasih, putra ketiga Wastu Kancana dari Mayangsari, yang menjadi raja muda di Surantaka (Sekitar Majalengka sekarang). Dengan pernikahan ini dia ditunjuk menjadi pengganti Ki Gedeng Sindangkasih sebagai raja muda Surantaka. Dari Ambetkasih dia tidak mendapat keturunan. - Istri keduanya adalah Subanglarang/Subangkrajang putri Ki Gedeng Tapa/Ki Gedeng Jumajan Jati yang didapatkannya melalui sayembara setelah mengalahkan Amuk Murugul. Ki Gedeng Tapa sendiri adalah putra Ki Ageng Kasmaya, sehingga Subanglarang masih terhitung sepupunya. Dengan pernikahan ini dia juga ditunjuk menjadi raja muda Singapura, pengganti Ki Gedeng Tapa. - Subanglarang, seperti juga ayahnya adalah seorang muslim. Dia menjadi murid dari Syekh Hasanudin, seorang penganut muslim Hanafi yang berasal dari Campa yang ikut dalam rombongan Laksamana Cheng Ho, seorang panglima perang dari Cina yang beragama muslim. Syekh Hasanudin adalah pendiri pesantren Quro di Pura, Karawang yang didirikan pada tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. - Istri ketiganya adalah Kentring Manik Mayang Sunda, adik dari Amuk Murugul. Kentring Manik Mayang Sunda, dinikahkan kepadanya untuk menyatukan kembali kekuasaan Sunda-Galuh yang sempat terpecah menjadi dua. Keturunan Kentring Manik Mayang Sunda dan Prabu Siliwangi inilah yang dianggap paling sah menduduki tahta Pajajaran. - Istri lainnya yaitu Nyai Aciputih putri Ki Dampu Awang, seorang panglima perang dari Cina yang menjadi nakhoda kapal Laksamana Cheng Ho. - Untuk memperkuat pertahanan Keraton Pajajaran, Prabu Siliwangi membangun parit sepanjang tiga kilometer di tebing sungai Cisadane dan tanah bekas galiannya dijadikan benteng. Parit dan benteng ini terbukti berkali-kali berhasil menghindarkan Keraton Pajajaran dari serbuan musuh. - Menjadikan Banten dan Sunda Kelapa sebagai pelabuhan utama Pajajaran dan membangun jalan darat dari Sunda Kelapa ke Pakuan. Pelabuhan lainnya yaitu Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang),  dan Cimanuk, satu-satunya pelabuhan Pajajaran di sebelah timur dan sekaligus perbatasan antara Pajajaran dan Cirebon. - Selain itu juga dibangun jalan dan Sakakala Gunungan di Rancamaya, tempat perabuan raja-raja Pajajaran. Dan hutan sekitarnya dijadikan hutan larangan. Kemudian membangun juga Telaga Rena Mahawijaya sebagai sumber air yang digunakan untuk upacara keagamaan di Pakuan. 2. Surawisesa/Guru Gantang/Mundinglaya Di Kusuma (1521 - 1535 M) - Putra Siliwangi dari Mayang Sunda. Adiknya adalah Surasowan, yang menjadi raja muda di Banten Girang dan pendiri keraton Surasowan di Banten. - Menikahi Kinawati putri Mental Buana (cicit Munding Kawati, tokoh dalam cerita Panji di Sunda yang merupakan salah satu raja muda Pajajaran yang memerintah di Tanjung Barat). - Menjalin kerjasama dengan Alfonso D’Albuquerque penguasa Portugis di Malaka untuk mengimbangi persekutuan Cirebon-Demak. - Dalam kerjasama itu disepakati bahwa Portugis akan mendukung Pajajaran dengan kekuatan angkatan lautnya sebagai balas jasa hak dagang ekslusif di pelabuhan Sunda Kelapa, yang diberikan Pajajaran kepada Portugis. Portugis kemudian berencana membangun benteng di pelabuhan tersebut. - Bersama Portugis berperang dengan Cirebon-Demak yang dipimpin Falatehan/Fadillah Khan/Arya Burah/Fatahillah selama 5 tahun dengan hasil kekalahan Pajajaran di Banten dan Sunda Kelapa. - Dengan kekalahan itu Pajajaran akhirnya mengakui Cirebon sebagai negara merdeka dan sejajar. - Kekalahan Pajajaran dari Cirebon ini menyebabkan Surawisesa masygul hatinya dan teringat akan kebesaran ayahandanya. Akhirnya untuk menghormati dan mengenang ayahandanya itulah ia membuat prasasti di Batutulis, Bogor sebagai tanda puja kepada ayahnya. 3. Ratu Dewata (1535 - 1543 M) - Putra Surawisesa - Merupakan seorang raja-resi - Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaannya sempat diserang oleh pasukan tak dikenal yang kemungkinan besar merupakan pasukan pengintai dari Banten dan Sunda Kelapa. Serangan ini menyebabkan gugurnya panglima perang Pajajaran, Tohaan Ratu Sangiang dan Tohaan Sarendet. Meskipun serangan itu gagal, karena kokohnya benteng Pakuan yang dikelilingi parit, tetapi daerah sekitarnya berhasil diduduki oleh pasukan tersebut. 4. Ratu Sakti (1543 - 1551 M) - Putra Ratu Dewata - Dikenal sebagai raja yang lalim, kejam dan tidak bermoral. Merampas harta rakyat dan menghukum mati orang dengan sewenang-wenang. Melanggar pantangan ‘estri  larangan ti kaluaran" dengan menikahi wanita yang sudah bertunangan. Selain itu dia juga berbuat skandal dengan selir-selir ayahnya - Karena kesewenang-wenangannya, akhirnya dia diturunkan oleh Nilakendra, saudaranya satu ayah 5. Ratu Nilakendra / Tohaan di Majaya (1551 - 1567 M) - Putera Ratu Dewata - Dikenal sebagai penganut agama Tantra yang menggunakan mantra-mantra dan benda-benda sakti untuk menjaga diri dan kekuasaannya - Dikenal pula sebagai raja yang lemah dan kurang memperhatikan kehidupan rakyatnya, hanya bersenang-senang dan memperkaya diri sesuai ajaran Tantra - Setelah kalah dalam peperangan melawan Banten yang dipimpin Syekh Maulana Yusuf, putera Hasanudin, dia meninggalkan istana Pakuan tanpa raja dan memerintah dari Majaya 6. Raga Mulya / Prabu Surya Kancana / Pucuk Umun Pulasari (1567 - 1579 M) - Putera Nilakendra - Memerintah dari Pulasari, Pandeglang, setelah Kraton Pakuan dan bentengnya jatuh ke tangan Banten - Kekuasaan Pajajaran berakhir saat Banten berhasil menghancurkan istana Pakuan dan membawa Palangka Sriman Sriwacana, tempat duduk kala seorang raja Pajajaran dinobatkan, dari Pakuan ke istana Surasowan di Banten. Dengan dibawanya batu penobatan tersebut ke Banten, Pajajaran tidak bisa lagi menobatkan raja baru - Sebelum menanggalkan tanda-tanda kebesarannya dan mengasingkan diri lebih jauh ke barat,  ke Ujung Kulon, dia menyerahkan mahkotanya kepada Prabu Geusan Ulun, penguasa Sumedang Larang, putera Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umum sebagai pertanda penerus kekuasaan raja-raja Sunda-Galuh. - Keturunan Surya Kancana/Pucuk Umun Pulasari dan pengikutnya inilah yang dianggap sebagai orang Badui Banten sebagai leluhur mereka IX. Kerajaan Cirebon Sejarah Cirebon dimulai ketika Ki Gedeng Alang-Alang/Ki Ageng Pangalang-alang, mendirikan kampung nelayan di Muara Jati di wilayah Singapura, pantai utara Jawa. Pada perkembangannya, kampung nelayan  ini menjadi salah satu pelabuhan ramai yang banyak didatangi saudagar dari berbagai negeri dan kerajaan. Atas jasanya ini, oleh penguasa Sunda-Galuh, Ki Gedeng Alang-alang ditunjuk menjadi pengurus/syahbandar pelabuhan tersebut. Di sekitar pelabuhan itu Ki Gedeng Tapa, putra Ki Ageng Kasmaya, penguasa negeri Singapura, membuka hutan, membangun daerah baru yang kemudian dinamai Cerbon Girang. Nama Cerbon asal muasalnya dari kata Caruban, yang berasal dari kata ’sarumban’, yang berarti campuran atau kumpulan. Caruban dalam pengucapan sehari-hari lalu menjadi Carbon, dan kemudian menjadi Cerbon, yang dilafalkan oleh orang Sunda sebagai Cirebon. Disebut Caruban karena daerah tersebut menjadi tempat tinggal orang dari berbagai negeri yang akhirnya bercampur menjadi satu bangsa. Ki Gedeng Tapa, yang merupakan seorang penguasa dan saudagar muslim mempunyai seorang putri cantik jelita, bernama Nyai Subang Larang. Karena persahabatan Ki Gedeng Tapa dengan Syekh Hasanudin pendiri pesantren Qura di Karawang, putrinya dididik di pesantren tersebut untuk menjadi seorang wanita mukmin. Saat akan dinikahkan, ayahnya mengadakan sayembara. Undangan sayembara lalu disebarkan ke wilayah-wilayah tetangga Singapura. Pada sayembara tersebut, munculah Raden Sunu (sebenarnya Raden Pamanah Rasa, putra mahkota kerajaan Sunda-Galuh yang sedang menyamar) yang mewakili wilayah Surantaka, sebagai pemenang mengalahkan Amuk Murugul, raja muda Galuh yang berkuasa di (Astana) Japura. Surantaka sendiri adalah wilayah kekuasaan Ki Gedeng Sindangkasih, paman sekaligus mertua Raden Pamanah Rasa. Raden Pamanah Rasa akhirnya naik tahta Sunda-Galuh/Pajajaran dan dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Dari perkawinan mereka lahirlah dua orang putra dan seorang putri, yaitu Rakeyan Santang / Kian Santang / Raden Walangsungsang, Nyai Rarasantang, dan Rajasangara. Setelah meninggalnya Subanglarang terjadi perselisihan politik dan keagamaan antara putra-putri Subanglarang yang beragama islam dengan putra-putri Kentring Manik Mayang Sunda yang beragama Hindu. Hal itu menyebabkan perginya Raden Walangsungsang dari kraton mengembara ke timur, ke tempat kakeknya, Ki Gedeng Tapa di Singapura. Kepergiannya disusul oleh Rarasantang, adiknya. Rajasangara karena masih terlalu kecil, tinggal bersama kakeknya. Setelah sampai di  Singapura, Rarasantang memutuskan untuk tinggal disana. Sedangkan Raden Walangsungsang tetap mengembara. Dalam perjalanan dia bertemu dengan banyak orang sakti dan berguru/bertanding dengan mereka. Dari salah seorang sakti yang bermukim di Gunung Cangak yang bernama Raja Bango yang berhasil dikalahkannya, dia mendapat gelar Raden Kuncung. Kemudian dia bertemu dengan Ki Sanghyang Danuwarsih, seorang pendeta Budha yang bermukim di gunung Dihyang/Dieng. Oleh Ki Danuwarsih, dia dinikahkan ke Nyi Mas Indhang Ayu/Endang Geulis, putrinya, yang kemudian diislamkannya. Kemudian dia bermukim disana. Pada saat itulah Rarasantang menyusul kepergiannya ke gunung Dieng. Setelah bertemu, keduanya lalu melanjutkan pengembaraan dan berguru kepada Syekh Datuk/Dzatul Kahfi/Syekh Nurjati, seorang ulama seangkatan Syekh Hasanudin yang tinggal di Amparan Jati, Gunung Sembung. Setelah selesai berguru, Raden Walangsungsang, diberi nama Ki Samadullah. Oleh gurunya itu, Raden Walangsungsang dianjurkan untuk membuka wilayah baru. Wilayah baru itu terletak di daerah Lemahwungkuk, Cirebon sekarang. Saat membuka wilayah baru, Raden Walangsungsang bertemu Ki Gedeng Alang-alang dan diangkat anak menantu setelah dinikahkan kepada putrinya Nyai Kencana Larang. Daerah baru ini kemudian dinamakan Tegal Alang-alang / Kebon Pesisir. Ki Gedeng Alang-alang menjadi kuwu pertamanya sedangkan Raden Walangsungsang menjadi Pangraksabumi. Karena makin lama makin ramai dan menjadi tempat berkumpul berbagai suku bangsa, akhirnya daerah ini dikenal dengan nama Cerbon Larang, untuk membedakan dengan Cerbon Girang, wilayah Ki Gedeng Tapa. Kemudian atas saran Syekh Nurjati lagi, Ki Samadullah dan adiknya Rarasantang menunaikan ibadah haji. Saat berhaji mereka bertemu Syarif Abdullah putra Nurul Amin dari Banu Hasyim, seorang raja muda Mesir yang bergelar Maulana Sultan Mahmud Al Misri. Rarasantang yang setelah berhaji berganti nama menjadi Syarifah Mudaim, kemudian diperistri oleh Syarif Abdullah. Dari perkawinan mereka lahirlah Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Dari segi keturunan, Syarif Hidayatullah yang kemudian lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati bisa dianggap sebagai keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad SAW. Ki Samadullah sendiri setelah berhaji mendapat nama Haji Abdullah Iman. Sesudah kembali ke negerinya, ia memaklumkan dirinya sebagai penguasa daerah Cerbon Larang, Cerbon Girang, Singapura dan Muara Jati, dan beberapa wilayah lain sekitarnya dengan mendirikan Masjid Jalagrahan yang berarti rumah/balai air dari kata bahasa Jawa Kawi, Jala/Jalai/Jale yang berarti air dan Graha yang berarti rumah/balai. Hal ini untuk menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang berkuasa di pantai. Berbeda dengan kebanyakan penguasa Sunda saat itu yang berkuasa di daerah pedalaman. Kemudian ia membangun bangunan besar yang lalu dinamakan istana Pakungwati, yang dinamakan sesuai nama putrinya. Dia sendiri mendapat gelar Pangeran Cakrabuana. Kemudian setelah menyatakan kesetiaan kepada Pajajaran, oleh ayahnya, Prabu Siliwangi, ia diakui sebagai penguasa Cirebon dan mendapat gelar Tumenggung Sri Mangana Naradipa Caruban. Wilayahnya sendiri dikenal sebagai Negara Gede Caruban Nagari, yang artinya negara besar, kumpulan dari negeri-negeri. Dalam perkembangannya disebut juga sebagai Garage/Grage. Menurut riwayat lain, nama Cirebon didapat karena Ki Gedeng Alang-alang sebagai nelayan, bekerja menangkap ikan dan rebon (udang kecil) yang banyak terdapat disana di malam hari. Dan di siang hari diolah menjadi petis dan terasi. Petis dan terasi ini menjadi upeti yang penting bagi Pajajaran dan salah satu komoditi unggulan Cirebon. Dari hasil air blandrang bekas pembuatan terasi dan petis dari rebon inilah muncul kata cai dan rebon, yang kemudian menjadi Cirebon. Dalam silsilah raja-raja Cirebon, selalu disebutkan Pangeran Cakrabuana sebagai raja pertama, tetapi sesungguhnya Syarif Hidayatullah lah, dengan dukungan Wali Songo dan Demak,  yang pertama kali memproklamirkan lepasnya Cirebon dari kekuasaan Pajajaran dengan cara menghentikan pengiriman upeti berupa terasi dan petis ke Pajajaran. 1. Pangeran Cakrabuana / Tumenggung Sri Mangana Naradipa Caruban / Raden Walangsungsang / Rakeyan Santang / Kian Santang - Putra Prabu Siliwangi dari Subang Larang - Menikahi Nyi Mas Indhang Ayu/Endang Geulis, putri Ki Sanghyang Danuwarsih seorang pendeta Budha. Dari Indhang Ayu lahirlah putrinya Pakungwati yang dijadikan nama keratonnya. - Menikahi Nyai Kencana Larang, putri Ki Gedeng Alang-alang. 2. Susuhunan Jati Purbawisesa/Sunan Gunung Jati/Syekh Maulana Jati/Syarif Hidayatullah (1479 - 1568 M) - Putra Nyai Rarasantang, yang merupakan putri Prabu Siliwangi dari Nyai Subanglarang. - Menggantikan Syekh Datuk Kahfi sebagai penyebar agama Islam saat berkedudukan di Pasambangan – Gunung Sembung. - Menikah dengan Nyai Babadan Puteri Ki Gedeng Babadan. Setelah istrinya meninggal, menikah lagi dengan Nyi Mas Pakungwati, sepupunya. - Menikah lagi dengan Nyai Lara/Rara Bagdad - Menjadi raja Cirebon setelah menggantikan pamannya dan menyerahkan kekuasaan di Mesir yang diwarisi dari ayahnya kepada adiknya. - Dikenal pula sebagai Sunan Gunung Jati, seorang raja-ulama, penyebar agama Islam di tatar Sunda, yang merupakan salah satu dari sembilan wali - Mengislamkan sepupunya, raja muda Kawunganten yang merupakan keturunan Surasowan saat berdakwah dan berekspedisi ke Banten Girang. Kemudian menikahi Nyai Kawunganten, adik sepupunya. Dari hasil pernikahan ini lahirlah Pangeran Saba Kingkin, yang kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin pendiri Kerajaan Banten. - Merupakan keponakan Sunan Ampel, karena kakeknya dari pihak ayah, Nurul Amin, adalah kakak dari Ibrahim Zainal Akbar, ayah Sunan Ampel - Memproklamirkan kemerdekaan Cirebon dengan cara menghentikan pemberian upeti terasi dan petis ke Pajajaran, sebagai tanda bahwa Cirebon adalah negara merdeka yang tidak berada di bawah kekuasaan Pajajaran. Kemerdekaan Cirebon ini didukung oleh Wali Songo dan Raden Patah/Fatah, sultan Demak yang bergelar Syah Alam Akbar. Hal ini karena Cirebon seperti juga Demak, hendak dijadikan negeri Islam. - Pajajaran mengirimkan Tumenggung Jagabaya untuk memadamkan pemberontakan Cirebon. Pasukan Pajajaran disambut pasukan Cirebon yang dibantu pasukan Demak di Palimanan dan berhasil dikalahkan. Karena kekalahan tersebut Tumenggung Jagabaya dan seluruh pasukannya akhirnya memeluk agama islam - Persekutuan Cirebon dengan Demak dikukuhkan dengan pernikahan putra-putri Sunan Gunung Jati dengan putra-putri Raden Patah yaitu: 1. Pangeran Hasanudin menikah dengan Ratu Ayu Kirana Purnamasidi 2. Ratu Ayu dengan Pangeran Sabrang Lor / Yunus Abdul Kadir / Pati Unus 3. Pangeran Jayakelana dengan Ratu Pembayun 4. Pangeran Bratakelana dengan Ratu Ayu Wulan / Ratu Nyawa - Setelah berdamai dengan Pajajaran yang dipimpin Prabu Siliwangi, kemudian berperang kembali selama 5 tahun dengan Pajajaran yang dipimpin Surawisesa. Pasukan gabungan Cirebon-Demak-Banten dipimpin oleh Fadillah Khan / Fatahillah dengan hasil kemenangan di pihak Cirebon. - Meluaskan daerah kekuasaan Cirebon hingga ke Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Sumedang - Mengangkat Pangeran Santri/Pangeran Aria Kusuma Dinata yang terhitung cucu-nya, sebagai penguasa Sumedang setelah merebutnya dari tangan Pajajaran. Pangeran Santri adalah cucu Pangeran Panjunan, kakak ipar Susuhunan Jati. Pangeran Panjunan sendiri adalah cucu Syekh Datuk Kahfi. Pangeran Santri kemudian menikah dengan Nyi Mas Ratu Inten Dewata / Ratu Pucuk Umum, penguasa Sumedang. Dari hasil perkawinan mereka, lahirlah Geusan Ulun, raja terbesar Sumedang Larang, yang kelak ditunjuk untuk meneruskan kekuasaan raja-raja Sunda-Galuh. - Mengangkat Pangeran Hasanudin sebagai penguasa Banten, setelah mengalahkan pasukan gabungan Pajajaran-Portugis di Banten - Mengangkat Fadillah Khan sebagai penguasa Sunda Kelapa setelah mengalahkan pasukan gabungan Pajajaran-Portugis di Sunda Kelapa 3. Fatahillah / Fadillah Khan (1568 - 1570 M) - Menantu Syarif Hidayatullah, dia juga masih terhitung sebagai keponakannya dari pihak ayah. Fadillah Khan adalah cicit Barkta Zainal Abidin yang merupakan adik dari Nurul Amin kakek Susuhunan Jati. Karena itu dia juga termasuk cucu Sunan Ampel, karena buyutnya adalah kakak ayah Sunan Ampel. Sunan Ampel sendiri merupakan mertua Raden Patah, sultan Demak. - Fadillah Khan menikahi Ratu Pembayun putri Sultan Trenggana, janda Pangeran Jayakelana dan Ratu Ayu, putri Sunan Gunung Jati, janda Pangeran Sabrang Lor - Menjadi pemegang jabatan/penjabat raja karena ketiga putra Syarif Hidayatullah yaitu Pangeran Pasarean, Pangeran Jayakelana dan Pangeran Bratakelana, meninggal sebelum sempat naik tahta. Sedangkan Pangeran Hasanudin telah naik tahta sebagai sultan Banten. Fadillah Khan sendiri sebelumnya telah ditunjuk menjadi wakil sultan, saat Sunan Gunung Jati sibuk berdakwah. Dan ia juga ditunjuk sebagai pelindung Pangeran Dipati Carbon, putra Pangeran Pasarean yang sebelumnya akan diangkat menjadi pengganti Sunan Gunung Jati. Namun Pangeran Dipati Carbon juga meninggal sebelum sempat naik tahta. - Fadillah Khan, setelah kematian Sunan Gunung Jati,  hanya memerintah selama 2 tahun atas nama Pangeran Dipati Carbon sebelum kemudian meninggal, oleh karena itu namanya tidak disebut sebagai raja Cirebon dalam silsilah resmi raja-raja Cirebon, justru Pangeran Dipati Carbon yang disebut. Apalagi Fatahillah hanya menantu dan sekedar penjabat raja. 3. Panembahan Ratu Pakungwati I / Pangeran Emas (1570 - 1649 M) - Putra tertua Pangeran Dipati Carbon - Pada masanya posisi Cirebon mulai melemah, hal ini diakibatkan karena kebijakan Panembahan Ratu yang lebih memilih menitik beratkan ke pengembangan agama daripada pengelolaan negara. - Hal lain yang melemahkan Cirebon yaitu keruntuhan Demak sebagai sekutu utama Cirebon, setelah tewasnya Sultan Trenggana dalam serbuan ke Pasuruan, dan terjadinya perebutan kekuasaan di Jawa yang melibatkan Demak, Pajang, dan Mataram yang turut menyeret Cirebon ke dalam persengketaan tersebut. - Pada saat Aria Pangiri, cucu Sultan Trenggana, sultan terakhir Demak menguasai tahta Pajang, dia berusaha menjaga kenetralan kerajaan-kerajaan lain di Jawa dalam perseteruannya dengan Panembahan Senapati dari Mataram yang tidak mengakui kekuasaannya. Salah satunya dengan menyerahkan Putri Harisbaya, putri Pangeran Sampang untuk dinikahi oleh Panembahan Ratu. Sebelumnya Panembahan Ratu telah menikah dengan Lampok Angroros, salah seorang putri Sultan Hadiwijaya, penguasa Pajang sebelumnya. Harisbaya yang lebih mencintai Pangeran Angkawijaya, putra Pangeran Santri, kemudian lari ke Sumedang. Sebelumnya memang Panembahan Ratu, Putri Harisbaya dan kakaknya Pangeran Surayaningrat, Aria Pangiri, dan Pangeran Angkawijaya telah mengenal satu sama lain, karena mereka adalah teman seperguruan pada saat bersama-sama berguru di kraton Pajang. - Larinya putri Harisbaya ke Sumedang, menyebabkan terjadinya pertempuran antara Cirebon  dan Sumedang, apalagi Sumedang dengan bantuan sisa-sisa pasukan Pajajaran berniat melepaskan diri dari kekuasaan Cirebon dan menjadi pengganti kekuasaan Pajajaran di Jawa Barat. Bala tentara Sumedang bersama sisa-sisa pasukan Pajajaran dipimpin oleh Jaya Prakosa seorang panglima perang Pajajaran. Cirebon sendiri dipimpin oleh Senapati Wiralodra yang ditunjuk Cirebon menjadi penguasa di Darma Ayu (Indramayu). Akhirnya kedua belah pihak berhasil didamaikan oleh Pangeran Wirasuta, adik bungsu Panembahan Ratu. Dalam perdamaian itu disepakati, putri Harisbaya akan dicerai oleh Panembahan Ratu agar bisa dinikahi oleh Pangeran Angkawijaya, sedangkan Cirebon memperoleh wilayah Sindang Kasih di Majalengka sekarang, yang sudah lama diinginkan oleh Cirebon. Selain itu Pangeran Angkawijaya yang kemudian bergelar Ratu Geusan Ulun, memaklumkan kemerdekaan Sumedang, lepas dari kekuasaan Cirebon. - Disamping perselisihan antara Cirebon dan Sumedang, terjadi pula persaingan kekuasaan antara Cirebon dan Banten yang batas-batas wilayahnya memang kurang jelas. - Ketika Sultan Agung (H)Anyakrakusuma naik tahta Mataram, dia berusaha melebarkan kekuasaan Mataram Islam dan menjadikannya sebagai pengganti kekuasaan Majapahit. Setelah berhasil menaklukan Jawa Timur, dia mulai menaruh perhatian ke barat ke arah Cirebon dan Banten. Melemahnya kekuasaan Cirebon saat itu hendak dimanfaatkan oleh Mataram. Hal ini melanggar ketentuan damai yang telah disepakati antara penguasa di Jawa (Demak, yang kekuasaannya dilanjutkan oleh Mataram) dengan penguasa di Jawa Barat (Cirebon dan Banten). Sebelumnya telah dibuat perjanjian untuk saling menghormati kekuasaan masing-masing dan bekerja sama sebagai sesama negeri islam. Dengan menjadikan perselisihannya dengan Belanda dan serbuannya ke Batavia sebagai alasan, Mataram menempatkan pasukannya di wilayah-wilayah strategis yang berada di bawah kekuasaan Cirebon. Pendudukan Cirebon oleh Mataram secara de facto ini menimbulkan ketegangan antara Mataram dengan Banten. Apalagi penguasa Banten menganggap penguasa Cirebon sebagai saudara dekat. - Perselisihan terbuka antara Banten dan Mataram dapat dicegah oleh Panembahan Ratu dan Pangeran Wirasuta yang sudah dikenal sebagai diplomat unggul. Namun demikian tak urung setelah meninggalnya kedua tokoh tersebut, Cirebon jatuh ke dalam kekuasaan Mataram. 4. Pangeran Adipati Cirebon I / Panembahan Ratu Pakungwati II/ Panembahan Girilaya / Pangeran Rasmi / Pangeran Karim / Pangeran Adiningkusuma (1649 - 1667 M) - Cucu Pangeran Emas - Untuk mengikat kesetiaan Cirebon, Amangkurat I/Sunan Tegalwangi menikahkan putrinya dengan Pangeran Rasmi, putra Panembahan Ratu I yang kemudian bergelar Panembahan Ratu II. Dari hasil pernikahan tersebut lahirlah ketiga putranya, yaitu Pangeran Martawijaya, Pangeran Kertawijaya, dan Pangeran Wangsakerta. - Amangkurat I yang dikenal sebagai raja Mataram yang kejam menjadikan Pangeran Rasmi sebagai raja muda (vassal) Mataram dengan gelar Pangeran Adipati Cirebon I. Martadipa, seorang tumenggung Mataram ditempatkan sebagai wakil raja (viceroy) Mataram untuk mengawasi kekuasaannya. Sementara Martawijaya, putra mahkota Cirebon harus berada di Mataram untuk mengabdi kepada Amangkurat I. - Penguasaan Cirebon oleh Mataram ini semakin membangkitkan ketidak senangan Banten, karena mereka tahu bahwa wilayahnya juga menjadi incaran Mataram berikutnya, yang ingin menguasai seluruh Jawa Barat. - Fakta bahwa Amangkurat I bekerja sama dengan Belanda, yang saat itu sedang berperang dengan Banten semakin memperuncing perseteruan ini. Amangkurat I sendiri, bekerja sama dengan Belanda karena mengalami kesulitan memadamkan pemberontakan Trunojoyo (Taruna Jaya) yang dibantu oleh Karaeng Galesong dari Kesultanan Bugis. Sementara Trunojoyo menghadapi angkatan perang Mataram di darat, Karaeng Galesong menghadapi angkatan laut Mataram. Peperangan antara Amangkurat I melawan Trunojoyo dan Karaeng Galesong dimanfaatkan oleh Banten untuk merebut pengaruh di Cirebon dengan cara bekerja sama dengan Trunojoyo. Saat Trunojoyo dan Karaeng Galesong menghadapai pasukan gabungan Mataram dan Belanda di timur, Banten berusaha semakin merepotkan pasukan Belanda di barat. - Pangeran Rasmi, dalam usaha diplomasinya untuk menghindari peperangan dengan Banten, dan tanda ikatan kekeluargaan, mengutus putra bungsunya, Wangsakerta ke Banten. - Oleh Mataram, hal ini dipandang sebagai pengkhianatan Cirebon kepada Mataram. Pangeran Rasmi dipanggil menghadap ke Mataram bersama putra lainnya, Kertawijaya. Sesampainya disana, Pangeran Rasmi ditempatkan di Giri sebagai tahanan sebelum kemudian dihukum mati. Dari peristiwa meninggalnya (perlaya) Pangeran Rasmi di Giri inilah dia mendapat julukan Panembahan Girilaya. Kedua putranya sendiri dijadikan tahanan politik. - Mendengar kabar kematian Pangeran Rasmi, Sultan Ageng Tirtayasa di Banten segera mengangkat Wangsakerta yang sedang berada disana sebagai penjabat raja Cirebon. - Saat terjadi huru-hara serbuan Trunojoyo ke pusat kerajaan Mataram yang menyebabkan larinya Amangkurat I, Martawijaya dan Kertawijaya berhasil melarikan diri dari tahanan, tetapi terpisah di tengah jalan. Martawijaya bertemu dengan Trunojoyo dan bergabung dengannya. Sedangkan Kertawijaya langsung pulang ke Cirebon. Sesampai di Cirebon, telah ada pasukan Banten disana, dan Wangsakerta adiknya telah dilantik menjadi penjabat raja. Karena mengira Martawijaya telah hilang/mati, Kertawijaya kemudian dimaklumkan menjadi Sultan Cirebon oleh Sultan Ageng Tirtayasa. Tak berapa lama kemudian Martawijaya, putra tertua dan pewaris sah tahta Cirebon datang diantar oleh Trunojoyo. Akhirnya diambil kesepakatan, dilakukan pembagian kekuasaan. - Pangeran Martawijaya menjadi Sultan Sepuh yang berkuasa di Keraton Kasepuhan dengan gelar Sultan Sepuh Abil Makarimi Muhammad Samsudin - Pangeran Kartawijaya sebagai Sultan Anom yang berkuasa di Keraton Kanoman dengan gelar Sultan Anom Abil Makarimi Muhammad Badrudin - Adapun Pangeran Wangsakerta diangkat menjadi Panembahan Cirebon dengan gelar Pangeran Abdul Kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Gusti / Tohpati. Dia tidak memiliki kraton dan wilayah serta kekuasaan secara formal. Namun tempat kediamannya dijadikan sebagai kaprabonan tempat (paguron/perguruan) belajar keluarga istana dalam hal ilmu kenegaraan dan keagamaan, dan pusat pengembangan Islam di Cirebon - Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Cirebon sebagai satu kesatuan kerajaan - Setelah kekalahan Amangkurat III dari VOC, penggantinya, Pakubuwono I, menyerahkan wilayah bawahan Mataram di Jawa Barat ke tangan VOC Belanda. Oleh VOC Belanda, kesultanan-kesultanan di Cirebon dibiarkan hidup, tetapi berada di bawah administrasi mereka, dan sultan menjadi pegawai Belanda yang digaji. - Pada masa pemerintahan Sultan Anom ke-IV, terjadi perpecahan dalam keraton Kanoman. Hasilnya Gubernur Jenderal Belanda mengangkat Pangeran Raja Kanoman sebagai Sultan Kacirebonan yang bertahta di istana Kacirebonan. Dengan syarat keturunannya tidak menyandang gelar Sultan, hanya menyandang gelar Pangeran. Sementara itu tahta Kanoman sendiri jatuh ke tangan putra Sultan Kanoman IV, yang lainnya. Setelah kekuasaan Belanda berakhir, Kesultanan-kesultanan Cirebon ditangani oleh administrasi RI dan tetap hidup hingga sekarang, walaupun tanpa kekuasaan politis. X. Kerajaan Banten 1. Maulana Hasanudin / Panembahan Surasowan / Pangeran Hasanudin / Pangeran Sabakingkin (1552 - 1570 M) - Putera Syarif Hidayatullah - Menjadikan Banten sebagai kerajaan merdeka, lepas dari kekuasaan Cirebon setelah memindahkan pusat pemerintahan ke istana Surasowan - Daerah kekuasaannya meliputi seluruh daerah Banten, Jayakarta, Kerawang, Lampung dan Bengkulu. - Menikah dengan Ratu Ayu Kirana Purnamasidi, putri Sultan Trenggana 2. Maulana Yusuf / Syekh Yusuf / Panembahan Pekalangan Gede (1570 - 1580 M) - Putera Hasanudin dari pernikahan dengan Ratu Ayu Kirana - Politik ekspansinya membuat ia merebut istana Pakuan dan dengan demikian menghancurkan kekuasaan kerajaan Pajajaran untuk selama-lamanya, kemudian penghuninya diislamkan - Membangun arsitektur kota dengan cara membuat perkampungan sesuai keahlian/asal daerahnya. Kampung Pakojan untuk para pedagang dari Timur Tengah, Pecinan untuk pedagang dari Cina.Kampung Panjunan (Untuk para Tukang Belanga, gerabah, periuk dsb), Kampung Kepandean (Untuk tukang Pandai besi), Kampung Pangukiran (Untuk Tukang Ukir), Kampung Pagongan (Untuk tukang gong), Kampung Sukadiri (Untuk para pembuat senjata). Demikian pula untuk golongan sosial tertentu, misalkan Kademangan (untuk para demang), Kefakihan (Untuk para ahli Fiqih), Kesatrian (Untuk para Satria, perwira, Senopatai dan prajurit istana). - Istrinya yang terkenal yaitu Ratu Hadijah - Setelah meninggalnya, Maulana Yusuf diberi gelar Pangeran Panembahan Pekalangan Gede atau Pangeran Pasarean. 3. Maulana Muhammad / Pangeran Ratu Ing Banten (1580 - 1596 M) - Diangkat menjadi raja di usia 9 tahun. Para kadhi menyerahkan perwaliannya ke Mangkubumi Jayanagara. Gelarnya adalah Kanjeng Ratu Banten Surosowan. - Melakukan penyerbuan ke Palembang karena terhasut oleh Pangeran Mas, putra Aria Pangiri. Aria Pangiri adalah putra Sunan Prawoto (putra Sultan Trenggana) dan menantu Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Dengan alasan membantu merebut kembali Palembang yang sebelumnya menjadi wilayah kekuasaan Demak di bawah Aria Pangiri dan mengembalikannya ke Pangeran Mas, serta hendak mengislamkan penduduknya Maulana Muhammad memimpin ekspedisi ke Palembang bersama Mangkubumi Jayanagara dan Pangeran Mas. Dalam salah satu pertempuran Maulana Muhammad tewas, dan Banten mengundurkan diri dari pertempuran. - Maulana Muhammad wafat dalam usia 25 tahun dan mendapat gelar Pangeran Seda Ing Palembang / Pangeran Seda Ing Rana setelah meninggal. 4. Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596 - 1640/1651 M) - Putra Maulana Muhammad dari perkawinannya dengan Ratu Wanagiri, putri Mangkubumi. Berusia 5 bulan saat ayahnya meninggal. Seperti pada masa ayahnya, kakeknya dari pihak ibu, Mangkubumi Jayanagara pun ditunjuk menjadi walinya bersama Nyai Embun Rangkun sebagai pengasuhnya. - Mangkubumi Jayanegara wafat pada saat Abdul Kadir berusia 6 tahun, adik Jayanagera ditunjuk menjadi penggantinya, tapi kemudian dipecat karena dianggap kurang baik kelakuannya. Setelah terjadi perselisihan diantara para pembesar istana, akhirnya diputuskan tidak diangkat Mangkubumi baru, dan hak perwalian diserahkan kepada Nyai Gede Wanagiri, ibundanya. - Setelah menikah lagi, Nyai Gede Wanagiri mendesak para pembesar istana untuk menunjuk suaminya sebagai Mangkubumi baru. Mangkubumi baru ini tidak mempunyai wibawa dan sering menerima suap. Pembesar istana pun terpecah-pecah antara yang membela kepentingan pedagang dari Belanda dan pedagang dari Portugis. - Pada suatu peristiwa, Pangeran Mandalika, salah satu putra Maulana Yusuf, menyita Jung dari Johor. Mangkubumi memintanya mengembalikan, tetapi dia menolak, bersama beberapa pembesar istana dan rakyat pendukungnya,  Pangeran Mandalika membangun perbentengan di luar kota. - Pada saat acara khitanan sultan muda, Pangeran Jayakarta datang membawa pasukan. Atas permintaan Mangkubumi, Pangeran Jayakarta dibantu tentara Inggris menyerang kubu Pangeran Mandalika. Para pemberontak berhasil dikalahkan dan diusir ke luar Banten. Namun kemudian terjadi pemberontakan lainnya yang mengakibatkan Syahbandar dan sekretarisnya dibunuh orang, bahkan Mangkubumi pun terbunuh, peristiwa ini dikenal dengan nama peristiwa Pailir. 5. Sultan Abdul Ma’ali Ahmad / Pangeran Pekik (1640 - 1651 M) - Putra Abdul Kadir - Pada masa pemerintahannya, Cirebon yang mendengar kerusuhan di Banten, berusaha mengambil alih kekuasaan, dengan mengirim bala tentara kesana dengan alasan memadamkan kerusuhan. Tetapi pasukan Cirebon ini berhasil dipukul mundur oleh pasukan Banten, peristiwa ini dikenal dengan nama peristiwa Pagrage, atau peristiwa Pacerbonan. Dalam peristiwa ini Sultan Abdul Ma’ali Ahmad tewas. - Menurut beberapa literatur, Sultan Abdul Ma’ali Ahmad, belum sempat bertahta, karena tewas saat menjabat putra mahkota. Oleh karena itu dari Sultan Abul Mafakir, pemerintahan langsung dilanjutkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa 6. Sultan Abul Fath Abdul Fattah / Sultan Ageng Tirtayasa / Pangeran Surya / Pangeran Ratu / Pangeran Adipati Anom / Pangeran Dipati (1651 - 1672 M) - Diangkat kakeknya menjadi sultan untuk menggantikan kedudukan ayahnya setelah peristiwa Pagrage dengan gelar Pangeran Ratu Ing Banten. - Mengangkat Syekh Yusuf, ulama asal Makassar yang membantu perlawanan Sultan Hasanudin kepada Belanda sebagai mufti dan penasihat sultan. Syekh Yusuf ini dibuang ke Srilanka setelah Belanda berhasil mengalahkan Sultan Ageng. Karena masih mengadakan perlawanan, oleh Belanda iapun dibuang ke Afrika Selatan. Disanalah Syekh Yusuf menjadi penyebar agama Islam hingga ia meninggal. - Menolak politik monopoli perdagangan yang dijalankan oleh VOC Belanda dengan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka bagi pedagang dari mana saja - Berusaha mengusir Belanda dari Banten dengan melakukan serbuan besar-besaran ke Batavia melalui Tangerang dan Angke. Untuk membantu perlawanannya, ia berusaha memperbaiki hubungan dengan Cirebon dan Mataram, dan meminta bantuan senjata ke Inggris, Prancis dan Denmark. Daerah kekuasaan Banten di Lampung, Bangka, Solebar, Indragiri, dll diminta mengirimkan pasukan. - Namun kemudian terjadi pertikaian antar putra-putranya yaitu Pangeran Gusti / Sultan Haji dengan Pangeran Purbaya. Hal ini terjadi karena Pangeran Purbaya selaku anak kedua diserahi tugas tanggung jawab pemerintahan sehari-hari saat Pangeran Gusti sedang pergi berhaji. Pangeran Gusti menganggap ayahnya akan menunjuk Pangeran Purbaya sebagai penggantinya. Guna menghindari pertikaian lebih lanjut, Sultan Ageng bersama Pangeran Purbaya berpindah ke Tirtayasa (Serang) dan membangun istana baru disana. Istana ini disamping menjadi tempat tinggal, juga berfungsi sebagai penghubung antara Surosowan dan bentengnya di Tangerang dan Angke. Oleh karena istana ini dia mendapat julukan Sultan Ageng Tirtayasa. Sultan Haji sendiri tetap berkedudukan di Surasowan sebagai raja muda. - Belanda yang mulai kewalahan menghadapi serangan Banten, berusaha menghasut Sultan Haji untuk melawan ayahnya. Sultan Ageng segera berinisiatif menyerang Surasowan untuk melucuti kekuasaan Sultan Haji. Karena terdesak, Sultan Haji minta bantuan Belanda. Ribuan tentara Belanda yang telah berhasil memadamkan pemberontakan Trunojoyo di Jawa Timur dikerahkan ke Surasowan di bawah pimpinan Kapiten Tack dan De Saint Martin. Karena kalah persenjataan dan kurangnya logistik, Sultan Ageng dan Pangeran Purbaya mundur ke Tirtayasa. Setelah mengalami pengepungan lama, akhirnya Belanda berhasil merebut Tirtayasa. Sebelum lari dari Tirtayasa, Sultan Ageng sempat membakar habis istananya. Sultan Ageng lalu melanjutkan perlawanan secara gerilya, sebelum akhirnya tertangkap karena muslihat Sultan Haji dan Belanda. Sultan Ageng meninggal dalam tahanan di Batavia tahun 1692. Jenasahnya dibawa ke Banten dan dimakamkan di sebelah utara Masjid Agung. - Setelah kekalahan Sultan Ageng, Banten praktis berada di bawah kekuasaan Belanda, dan sultan-sultan berikutnya yang memerintah hanya menjadi boneka dan lebih menjadi seorang pemimpin spiritual daripada pemimpin negara yang berdaulat. 7. Sultan Abu Nasr Abdul Qahhar / Sultan Haji (1672 - 1687 M) - Setelah kekalahan Ageng Tirtayasa, Belanda mengangkat Sultan Haji menjadi raja. Dengan alasan membayar ongkos perang, Sultan Haji dipaksa menandatangani perjanjian yang merugikan kekuasaan Banten. - Terjadi ketidakpuasan di kalangan rakyat, dan terjadi pemberontakan dan kerusuhan dimana-mana. Bahkan sebagian rakyat tidak mengakui kekuasaan Sultan Haji. Perlawanan terhadap kompeni Belanda juga meningkat. - Untuk keperluan keamanan dan pertahanannya, pihak kompeni membangun benteng disebelah utara dekat pasar Karangantu. Benteng tersebut diberinama Speelwijk pada tahun 1682 M dan kemudian disempurnakan pada tahun 1685 M. - Karena tekanan batin yang disebabkan oleh kematian ayahnya dan penentangan rakyat kepadanya, akhirnya Sultan Haji meninggal di tahun 1687 M. 8. Sultan Abulfadhl Muhammad Yahya / Pangeran Ratu (1687 - 1690 M) - Setelah Sultan Haji wafat, terjadi perebutan kekuasaan diantara putra-putranya. Belanda lalu mengangkat salah seorang putra Sultan Haji, yaitu Pangeran Ratu menjadi raja dengan gelar Sultan Abulfadhl Muhammad Yahya. Pangeran Ratu berusaha memulihkan keadaan dan menata kembali kehidupan kerajaan Banten, sambil secara diam-diam melawan Belanda. Tapi baru tiga tahun memerintah, dia meninggal dunia tanpa meninggalkan pengganti. Dia dimakamkan di Pasarean disamping makam Maulana Hasanudin. 9. Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin / Pangeran Adipati (1690 - 1733 M) - Adik Pangeran Ratu, naik tahta dengan gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin - Kang Sinuhun Ing Nagari Banten 10. Pangeran Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin(1733 - 1750 M) - Putra kedua Pangeran Adipati - Naik tahta karena putra pertama Pangeran Adipati dibunuh orang. - Rakyat kembali memberontak pada masa pemerintahannya, hal ini karena tekanan kompeni yang memberlakukan kerja rodi, tanam paksa, menarik pajak yang sangat tinggi, dan perlakuan menghina lainnya. - Di dalam keraton juga terjadi perselisihan, Ratu Syarifah Fatimah yang dekat dengan kompeni mempengaruhi sultan untuk mengangkat menantunya Pangeran Syarif Abdullah menjadi putra mahkota. Sedangkan putra mahkota sebenarnya, Pangeran Gusti, yang dikirim belajar ke Batavia, ditangkap Belanda dan dibuang ke Sailan. 11. Pangeran Syarifuddin Ratu Wakil (1750 - 1752 M) - Atas fitnah istrinya, Sultan Zainul Arifin, ditangkap Belanda karena dianggap gila. Kemudian Pangeran Syarif diangkat menjadi raja dengan gelar Pangeran Syarifudin Ratu Wakil. Tetapi sebenarnya yang berkuasa adalah Ratu Syarifah Fatimah. - Pemerintahan mereka ditentang rakyat sehingga terjadi perlawanan bersenjata yang dipimpin Ki Topo dan Ratu Buang. Istana Surasowan diserbu. 12. Sultan Abul Ma’ali Muhammad Wasi’ Zainul Arifin / Pangeran Arya Adi Santika (1752 - 1753 M) - Untuk mengambil hati rakyat, Gubernur Jenderal Mossel, menangkap Pangeran Syarif Abdullah dan Ratu Syarifah Fatimah, lalu mengangkat Pangeran Arya Adi Santika menjadi sultan. Pangeran Gusti yang telah dibuang dijadikan putra mahkota. 13. Sultan Abul Nasr Muhammad ‘Arif Zainul Asyiqin  / Pangeran Gusti (1753 - 1773 M) - Perlawanan rakyat tidak juga berhenti, sehingga memaksa Sultan Abul Ma’ali menyerahkan kekuasaan ke tangan Pangeran Gusti, setelah enam bulan dirinya bertahta. Pangeran Gusti naik tahta dengan gelar Sultan Abul Nasr Muhammad ‘Arif Zainul Asiqin. Pemerintahannya bertahan hinga 20 tahun lebih. 14. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin (1773 - 1799 M) - Putra Pangeran Gusti 15.  Sultan Abul Fath Muhammad Muhiddin Zainal Shalihin /  Pangeran Muhiddin (1799 - 1801 M) - Adik Sultan Aliyuddin - Naik tahta karena kakaknya tidak menunjuk seorang pengganti. - Dibunuh pada tahun 1801 oleh  Tubagus Ali seorang putra Sultan Aliyuddin, kemudian Tubagus Ali pun dibunuh pengawal istana. 16. Sultan Abulnasr Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin  (1801-1802) 17. Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802 -1803 M) 18. Sultan Agiluddin / Sultan Aliyuddin II (1803 - 1808 M) - Putra Sultan Aliyuddin I - Pada masanya, untuk mendukung kekuatan armadanya, Belanda dibawah Gubernur Jenderal Daendels, berniat membangun pelabuhan angkatan laut di Ujung Kulon, untuk itu Belanda menuntut kepada sultan untuk mengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya. Karena daerahnya berawa-rawa, banyak pekerja yang meninggal karena malaria, pekerja yang tersisa pun mulai kabur. Belanda menuduh sultan melalui Mangkubumi Wargadiraja, menghasut rakyat untuk melawan Belanda. - Belanda menuntut Banten untuk menyerahkan 1000 orang pekerja pengganti, menyerahkan Wargadiraja, dan memindahkan istana dari Surasowan, karena akan dibangun benteng disana. Tuntutan ini ditolak, dan utusan Belanda dibunuh oleh rakyat. Belanda mengerahkan kekuatan besar-besaran ke Surasowan, sultan tertangkap dan dibuang ke Ambon, sedangkan Mangkubumi dipancung kepalanya. 19. Sultan Wakil Pangeran Suramenggala (1808 - 1809 M) - Setelah menggulingkan Sultan Aliyuddin II, Belanda mengangkat Sultan Wakil Pangeran Suramenggala sebagai penggantinya. Namun ia tidak memiliki kekuasaan apa-apa dan hanya menjadi pegawai Belanda dengan gaji 15000 real setahun. - Tindakan keras dan menghina Daendels ini dibalas rakyat dengan merampoki kapal-kapal Belanda. Daendels menganggap Sultan membantu tindakan tersebut lalu menangkapnya dan memenjarakannya di Batavia. Istana dan benteng Surasowan sendiri dibakar habis oleh Belanda. - Setelah itu Belanda membagi Banten kedalam tiga daerah setingkat kabupaten yang diawasi oleh Landros yang berkedudukan di Serang. - Pada masa itu pula Daendels mulai membangun jalan raya dari Anyer sampai Panarukan yang mengorbankan ribuan rakyat. - Dengan dibakarnya istana Surasowan oleh Belanda, praktis berakhirlah kekuasaaan raja-raja Banten. Namun menurut sejarah masih ada dua raja Banten lagi yang memerintah dengan kekuasaan setingkat bupati di Serang, yaitu Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813) dan Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820), sebelum kekuasaan kesultanan Banten

benar-benar pupus.//Yohannes Lee.