Siapa sebenarnya negara asing yang menjadi dalang devide et impera partai partai dan kekuasaan

PECAH BELAH. Itulah kata-kata yang sejak kecil selalu kita dengarkan manakala kita membaca dan mendengarkan dongeng tentang kekejamana zaman penjajahan. Bukti politik kotor pemerintahan kolonial Belanda bisa kita rasakan sampai saat ini. Misalnya saja bagaimana kerajaan Mataram Islam harus terpecah menjadi empat kerajaan yakni Kasunanan Surakarta, Mangkunegaran Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Pakualaman Yogyakarta.

Namun ada hal yang menarik dari politik pecah belah alias devide et impera ini. Semuanya berujung pada satu titik bahwa ternyata perseteruan politik, paham, pandangan, dan orientasi membuat pihak-pihak yang berbeda mudah untuk ditungganggi dan dikompori oleh pihak ketiga. Ujung-ujungnya perbedaan yang sebelumnya hanya dalam tataran wacana berubah menjadi aksi nyata untuk saling sikut.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku Ketua Dewan Pertimbangan Partai Demokrat harus mengeluarkan pernyataan khusus terkait dengan kisruh di partai berlogo bintang mercy ini. SBY mengaku prihatin dengan situasi perpolitikan nasional yang justru mengarah ke politik pecah belah atau politik adu domba atau politik devide et impera ini. Jelas yang dia maksud adalah banyaknya pesan singkat (SMS) maupun pesan lewat Blackberry (BBM) yang berseliweran mengatasnamakan petinggi partai dan isinya "saling sikut." SBY yakin, ada pihak di luar partai yang ikut berperan soal kisruh ini.

Jika mencermati kondisi ini memang kemudian kita akan terbawa pada pandangan bahwa makin "mengerikan" situasi politik nasional. Orang awam akan makin terbengong-bengong kok antarelite partai saja saling jegal dan saling sikut sedemikian transparannya. Inilah yang sebenarnya harus dikhawatirkan. Politisi negeri ini makin mengedepankan low politic dibandingkan high politic.

Persoalan di tubuh Partai Demokrat bisa saja ulah dari orang dalam, namun bisa saja orang luar tengah memancing ikan di air keruh. Di dunia politik, tidak ada yang tidak mungkin. Semua rival Partai Demokrat pasti akan memanfaatkan momentum untuk ikut "menghabisi". Mereka semua berkeinginan menjadi pemenang pada Pemilu 2014.

Nah, dari sinilah ujian soliditas partai. Partai besutan SBY harus mampu menunjukkan sebagai partai berkelas dengan tidak mudah ditungganggi pihak-pihak lain yang  menginginkan Partai Demokrat terpuruk. Antarelite harus bisa menjaga sikap dan perilakuknya agar suara yang keluar tetap satu.

Situasi yang terjadi di Partai Demokrat sekarang sebenarnya mirip dengan apa yang dialami Partai Golkar saat skandal korupsi Gayus Tambunan mengemuka ke publik. Saat itu Ketum Partai Golkar Aburizal Bakrie pun santer diberitakan bertemu Gayus di Bali untuk melempangkan jalan agar kasus pajak perusahaannya tidak diungkap ke publik. Saat itu Aburizal Bakrie dan Golkar benar-benar "dihabisin".

Rupanya tensi politik menjelang Pemilu 2014 sudah mulai meninggi di tahun ini. Tentu ini wajar karena semua politisi tengah berjuang eksis di tahun 2014.

Satu hal yang harus tetap dijunjung oleh para politisi ini adalah janganlah jalan menuju kekuasaan di 2014 dilakukan dengan cara-cara liar yang bisa merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Demokratisasi jangan dicederai. Hak kehidupan yang layak untuk anak negeri ini jangan dikebiri. Hak untuk mengenyam pendidikan yang baik jangan dinistakan. Rakyat negeri ini mendambakan kesejahteraan. Jangan karena perebutan "tahta" di 2014, rakyat negeri ini dikorbankan. Dan jangan pula ajak rakyat negeri ini untuk menikmati politik devide et impera yang sudah pasti menyengsarakan banyak pihak.

(mbs)

Siapa sebenarnya negara asing yang menjadi dalang devide et impera partai partai dan kekuasaan

Politik adu domba yang biasa disebut Devide Et Impera adalah strategi politik ekonomi dan militer.

Pada mulanya dibawa oleh bangsa-bangsa kolonialis.

Tidak asing bagi bangsa kita yang sudah terjajah oleh Belanda sebagai salah satu bangsa kolonialis.

Ya,itu salah satu strategi Belanda untuk memecah belah bangsa kita sendiri.

Pada intinya untuk melemahkan kekuatan terhadap bangsa kita dengan merontokkan melalui dalam.

Tahun 2019 setahun lagi yang dimana pesta demokrasi akan berjalan di negara ini, akan tetapi setahun sebelum itu yaitu sekarang sudah mulai. Sering saya baca di media sosial mulai hashtag yang meminta pergantian presiden, berita-berita yang saling lempar yang tidak pernah tahu kebenarannya sampai survey lembaga yang berbeda. Membosankan!!!

Yang jadi pertanyaan saya “Apa Devide Et Impera masih tumbuh??”

Siapa yang diuntungkan kalau bangsa ini ribut sendiri???Entahlah…

Memang bangsa ini sangat mudah sekali di adu domba, apa-apa selalu otot yang berbicara tanpa berfikir terlebih dahulu.

Jika ingin membangun Bangsa ini, marilah kita bergandeng tangan menjadi bangsa yang kuat dan tidak bisa tergoyahkan. Begitu hebatnya bukan jika seperti itu. Pasti kita diperhitungkan didunia Internasional. Segala sesuatu yang tidak pada jalurnya, mari kita benahin bersama.

Kita bangsa yang kuat, bangsa dengan jumlah penduduk yang tergolong sangat besar.

Jangan mudah di adu domba.

Jangan mudah menelan berita mentah-mentah.

Mari kita bersama dan selalu bersama membangun bangsa ini.

Permasalahan bangsa ini adalah permasalahan bersama, bukan masalah golongan atau individu tertentu.

Yang benar jangan selalu merasa paling benar.

Yang salah jangan selalu menutupi kesalahannya.

TERBUKA!!!dan pecahkan bersama…..

Apapun yang terjadi nanti di 2019 mari kita terima bersama. Sekarang sudah tidak perlu lagi berita-berita yang bikin ketidaknyamanan terhadap rakyat.

Apalah artinya jika kita menyakiti sesama bangsa sendiri, apalah artinya semua ini jika kita selamanya seperti ini.

Apa kita selamanya seperti ini???

Sudah saatnya kita menghancurkan DEVIDE ET IMPERA!!!!

dan berkata TIDAK pada sistem politik adu domba ini….

SALAM SOLIDARITAS

Politik pecah belah, politik adu domba, atau divide et impera adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukkan. Dalam konteks lain, politik pecah belah juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.

Awalnya, politik pecah belah merupakan strategi perang yang diterapkan oleh bangsa-bangsa kolonialis mulai pada abad 15 (Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis). Bangsa-bangsa tersebut melakukan ekspansi dan penaklukan untuk mencari sumber-sumber kekayaan alam, terutama di wilayah tropis. Seiring dengan waktu, metode penaklukan mereka mengalami perkembangan, sehingga politik pecah belah tidak lagi sekadar sebagai strategi perang namun lebih menjadi strategi politik.[1]

Unsur-unsur yang dijadikan teknik dalam politik ini adalah:

  • Menciptakan atau mendorong perpecahan dalam masyarakat untuk mencegah aliansi yang bisa menentang kekuasaan berdaulat.
  • Membantu dan mempromosikan mereka yang bersedia untuk bekerja sama dengan kekuasaan yang berdaulat.
  • Mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antar masyarakat.
  • Mendorong konsumerisme yang berkemampuan untuk melemahkan biaya politik dan militer.

Politik pecah belah termasuk strategi yang digunakan oleh penjajah kolonial (Belanda) untuk menggagalkan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pasca kemerdekaan Indonesia 1945. Politik pecah belah juga menjadi alat memecah belah suatu bangsa agar bisa ditaklukkan dengan tujuan untuk mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah untuk dikuasai.[2] Pada 1947-1948 Belanda membentuk negara boneka dengan menjanjikan kemerdekaan terhadap beberapa negara boneka yang telah dibuatnya, diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.[3]

Sejarah Awal

Pada Perang Dunia II, Jepang mengakui  kalah dari tentara sekutu dengan pemboman kota Hirosima dan Nagasaki pada 6 dan 8 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945, sekutu kemudian memerintahkan Jepang untuk melaksanakan status quo, yaitu menjaga situasi dan kondisi sebagaimana adanya pada saat itu sampai kedatangan tentara sekutu ke Indonesia. Pada tanggal 16 September 1945 rombongan Belanda, perwakilan sekutu berlabuh di Tanjung Priok.  

Kehadiran tentara Sekutu ini, diboncengi NICA (Netherland Indies Civil Administration - pemerintahan sipil Hindia Belanda) yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook, ia dipersiapkan untuk membuka perundingan atas dasar pidato siaran radio Ratu Wilhelmina tahun 1942 (statkundige concepti atau konsepsi kenegaraan).

Terjadi kekosongan pemerintahan yang berkuasa Indonesia yang diakibatkan kekalahan Jepang. Oleh karena itu, para pemuda (Golongan Muda) melakukan penculikan terhadap Soekarno-Hatta yang kemudian membawa keduanya ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945.[4] Peristiwa Rengasdengklok terjadi pada 16 Agustus 1946, yakni penculikan kepada dua bapak proklamator Republik Indonesia, Soekarno dan Hatta, ke Karawang, Jawa Barat, dengan tujuan supaya cepat mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945[4]. Tetapi Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia 1945, karena ingin kembali berkuasa. Hal inilah yang mengawali agresi militer I tahun 1947 dan agresi militer II tahun 1948.

Agresi Belanda I dan II

Setelah Indonesia Merdeka pada 1945, Belanda masih mempunyai urusan dengan Indonesia, yakni pengembalian semua wilayah yang dulu bekas jajahan Belanda menjadi bagian dari Negara Kesatuan republik Indonesia (NKRI). Untuk menjadi negara berdaulat, beberapa tahapan melawan Belanda dilakukan untuk mempertahankan teritori yang sudah dideklarasikan dari Sabang- Merauke.

Perjanjian Linggarjati 1946

Perjanjian yang terjadi di Linggarjati, Jawa Barat, dihadiri oleh pihak dari Indonesia yang diwakili Sutan Syahrir dan dari pihak Belanda diwakili Wim Schermerhorn, dimana menghasilkan resolusi yang melemahkan Indonesia secara de Facto.[5] Pada perjanjian tersebut hanya akan mengakui Jawa, Sumatera dan Madura sebagai bagian dari negara Indonesia.

Agresi Militer Belanda I 1947

Pada 21 Juli 1947, Wakil Gubernur Jenderal Belanda Johannes van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati tidak berlaku lagi dan memulai operasi militer yang dikenal dengan nama Agresi Militer Belanda I yang berlangsung sampai 5 Agustus 1947.[6] Belanda menamakan operasi militer ini sebagai Aksi Polisionil dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak.

Perjanjian Renville 1948

Akibat agresi militer 1 yang dilakukan Belanda, Amerika Serikat turun tangan untuk menetralkan situasi dengan menjadi penengah antara Indonesia dan Belanda. Keduanya lalu menandatangani perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.[7] Hasil dari perjanjian ini, Indonesia berhasil memaksakan gencatan senjata, tapi kehilangan sebagian wilayahnya. Belanda hanya mengakui kedaulatan RI di Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera, serta meminta TNI menarik pasukannya dari wilayah pendudukan.

Agresi Militer Belanda II 1948

Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melanggar gencatan senjata dan isi Perjanjian Renville. Belanda mengerahkan 80.000 pasukannya[8] kemudian menyerang ibu kota Indonesia yang pada saat itu di Yogyakarta dan melakukan penangkapan kepada Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya.

Konferensi Meja Bundar 1949

Akibatnya, Amerika Serikat kembali  menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada 2 November 1949,[9] terkait pengembalian seluruh wilayah jajahan Belanda kepada Indonesia, termasuk Papua didalamnya. Perjanjian ini menyatakan Belanda setuju untuk mentransfer kedaulatan politik mereka atas seluruh wilayah bekas Hindia Belanda menjadi Indonesia. Khusus untuk Papua Barat menjadi satu-satunya bagian dari Hindia Belanda yang tidak dipindahkan ke Indonesia dan status Papua Barat akan dibahas setahun kemudian, yakni 1950.

Negara Bagian Indonesia Timur (Papua) di Indonesia

Selama 1947-1948, pihak Belanda sengaja ingin menguasai Indonesia dengan mudah, dan membagi-baginya menjadi kelompok kecil, dengan total 6 bagian, diantaranya diantaranya Negara Indonesia Timur (sekarang Papua), Negara Sumatera Timur, Negara Madura, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan, dan Negara Jawa Timur.[10] Sejak 1950 sampai 1961, Belanda masih belum mengembalikan Papua sampai 1961, dimana Belanda seharusnya mengembalikan Papua menjadi bagian dari Indonesia sesuai kesepakatan hasil konferensi Meja Bundar (KMB), di Den Haag, Belanda, yang akan dibahas satu tahun setelahnya, yakni pada 1950.[9]

Belanda masih menguasai Papua Barat sebagai wilayah jajahannya, Alasannya karena Belanda masih mau mempertahankan pengaruhnya di kawasan Asia Pasifik sekaligus bertekad memperkuat basis ekonominya di Papua.[11] Belanda diam-diam mendirikan negara boneka Papua. Belanda memulai dengan membentuk komite bernama New Guinea Council pada tanggal 19 Oktober 1961.[11] Adapun tugasnya merancang Manifesto untuk Kemerdekaan dan Pemerintahan Mandiri, bendera nasional (Bendera Bintang Kejora), cap negara, memilih "Hai Tanahku Papua" sebagai lagu kebangsaan, dan meminta masyarakat untuk dikenal sebagai orang Papua.  Belanda mengakui bendera dan lagu ini pada tanggal 18 November 1961, dan peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Desember 1961. Pada tahun yang sama, Belanda sekaligus mendirikan pasukan Papoea Vrijwilligers Korps atau Korps Relawan Papua (PVK), tentara buatan Belanda yang terdiri dari pribumi Papua.[11]

  1. ^ Saptamaji, Rolip (2013-11-22). "Memahami Operasi Strategi Devide et Impera". Berdikari Online. Diakses tanggal 2017-10-16. 
  2. ^ "Politik devide et Impera VOC – Donisaurus". Diakses tanggal 2020-02-18. 
  3. ^ Media, Kompas Cyber. "Terbentuknya Republik Indonesia Serikat Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  4. ^ a b Media, Kompas Cyber. "Saat Sutan Syahrir Mendengar Berita soal Kekalahan Jepang dari Sekutu pada 10 Agustus 1945... Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  5. ^ Media, Kompas Cyber. "Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  6. ^ "Agresi Militer Belanda I". Tribunnews.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  7. ^ "Perjanjian Renville, Perjanjian yang Disahkan pada 17 Januari 1948 di Atas Kapal Amerika Serikat ya". Tribun Video. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  8. ^ "Agresi Militer Belanda II, Penyerbuan Pasukan Belanda Terhadap Wilayah Republik Indonesia". Tribun Video. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  9. ^ a b Media, Kompas Cyber. "Konferensi Meja Bundar: Latar Belakang, Tujuan, Hasil, dan Dampaknya Halaman all". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2020-02-18. 
  10. ^ Fathoni, Rifai Shodiq (2016-10-01). "Republik Indonesia Serikat (1949-1950)". Wawasan Sejarah (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-21. 
  11. ^ a b c "Papua dan Ambisi Presiden Pertama". Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-02-21. 

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Politik_pecah_belah&oldid=18927133"