Tuliskan sikap yang harus ditunjukkan dalam kemampuan orientasi resolusi konflik

tirto.id - Konflik merupakan bagian dari bentuk hubungan sosial antara dua individu atau lebih yang tidak menunjukkan kesepahaman. Hubungan konflik terjadi karena ada upaya saling mengalahkan dan menghancurkan dari masing-masing pihak yang terlibat.

Sementara dalam kajian sosiologi, pengertian konflik adalah proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan norma dan keabsahan perilaku.

Konflik sekaligus merupakan salah satu dari tiga jenis bentuk interaksi sosial, demikian dikutip dari buku Sosiologi Konflik dan Rekonsiliasi: Sosiologi Masyarakat Aceh (2015: 17), terbitan Unimal.

Masih mengutip buku yang sama, konflik dapat didefinisikan sebagai masalah sosial yang timbul karena adanya perbedaan pandangan di dalam masyarakat maupun negara. Konflik merupakan sebuah ekspresi atas adanya heterogenitas kepentingan, nilai, dan keyakinan yang muncul akibat formasi baru yang ditimbulkan oleh perubahan sosial.

Konflik biasanya disebabkan kerena adanya perbedaan persepsi dan interpretasi terhadap identitas individu atau kelompok.

Tuliskan sikap yang harus ditunjukkan dalam kemampuan orientasi resolusi konflik

Di sepanjang sejarah bangsa Indonesia, kekerasan dan konflik memang kerap terjadi, bahkan di beberapa tempat membentuk lapisan-lapisan kekerasan yang bahkan tumpang tindih antara satu periode dengan periode yang lain.

Oleh karena itu, praktik resolusi konflik penting diterapkan di Indonesia. Apalagi, dimensi konflik di Indonesia sangat beragam. Dalam sejarah, Indonesia pernah mengalami konflik bernuansa agama, etnis, pertikaian antarkelompok, hingga negara vs masyarakat.

Lantas, apa itu resolusi konflik?

Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang fokus meneliti tentang konflik.

Baca juga: Macam-macam Konflik Sosial dan Contohnya di Masyarakat

Resolusi dalam Webster Dictionary didefinisikan: (1) tindakan mengurai suatu permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan.

Wisnu Suhardono, dalam "Konflik dan Resolusi" yang dimuat oleh Jurnal Sosial dan Budaya Syar-i: Salam terbitan UIN Syarif Hidayatullah (Vol 2, No 1, 2015), menjelaskan berdasarkan pemaparan sejumlah ahli, bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela.

Adapun mengutip penjelasan di Youtube Direktorat SMA Kemdikbud, resolusi konflik adalah upaya dalam mengelola konflik agar tidak berkembang menjadi kekerasan. Dengan kata lain, resolusi konfik merupakan upaya pengendalian konflik.

Pada hakikatnya resolusi konflik pun dipandang sebagai upaya penanganan sebab-sebab konflik dan penyelesaian konflik dengan menciptakan hubungan baru yang bisa bertahan lama dan positif di antara kelompok-kelompok atau pihak-pihak yang bermusuhan.

Baca juga: Mengenal Teori-teori Konflik Sosial Menurut para Ahli Sosiologi

Kembali merujuk artikel Wisnu Suhardono, dalam pelaksanaan resolusi konflik diperlukan sejumlah kemampuan tertentu. Kemampuan itu seperti membangun orientasi, menciptakan persepsi untuk menghargai perbedaan, kecerdasan emosi, kapasitas berkomunikasi, berpikir kreatif, dan berpikir kritis.

Selama ini, dalam studi konflik, terdapat sejumlah jenis teori resolusi konflik yang dirumuskan oleh sejumlah ahli. Berikut macam-macam resolusi konflik menurut para ahli.

1. Menurut Ralf Dahrendorf ada 3 bentuk resolusi konflik. Pertama, Konsiliasi, yakni pengendalian konflik dengan cara semua pihak yang terlibat berdiskusi guna mencapai kesepakatan tanpa ada pihak ketiga yang memaksa atau memonopoli pembicaraan.

Yang kedua, Mediasi, yakni upaya pengendalian konflik yang menggunakan pihak ketiga seperti ahli atau pakar, lembaga, tokoh sebagai mediator, yang memberi nasihat atau saran, tetapi bukan pemberi keputusan.

Yang ketiga, Arbitrasi, yakni resolusi konflik dengan kedua belah pihak sepakat untuk mendapat keputusan akhir yang bersifat legal dari arbiter sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan konflik.

2. Menurut William Ury, resolusi konflik bisa dilakukan dalam tiga bentuk langkah. Ketiganya ialah sebagai berikut:

  • Menyalurkan berbagai ketegangan yang bersifat laten (tidak begitu nampak) agar tidak terjadi akumulasi ketegangan yang bisa membuat konflik jadi makin besar dan sulit untuk diselesaikan.
  • Segera menyelesaikan bentuk-bentuk konflik di permukaan. Resolusi dilandasi asumsi proses penyelesaian konflik secara dini, akan menutup kemungkinan proses menguatnya konflik.
  • Mencegah potensi-potensi konflik melalui kebijakan yang responsif dan komprehensif.

3. Menurut Johan Galtung, terdapat beberapa bentuk resolusi konflik yang digunakan dalam proses penyelesaian konflik. Galtung menawarkan beberapa model resolusi konflik, yakni peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding.

Ketiga model resolusi konflik yang ditawarkan Galtung itu memiliki dimensi dan target yang tidak sama. Akan tetapi, rangkaian pelaksanaan ketiga model itu sama-sama memiliki tujuan akhir berupa mewujudkan perdamaian jangka panjang.

Peacemaking ialah sesegara mungkin menciptakan suatu perdamaian pada tahap awal, atau sebelum konflik semakin besar. Sementara peacekeeping adalah menerapkan perjanjian perdamaian untuk menjaga perdamaian.

Tahap selanjutnya, peacebuilding, yaitu membangun kembali landasan perdamaian dan menyediakan berbagai perangkat untuk membangun sesuatu yang lebih dari sekadar tidak adanya kekerasan. Peacebuilding merupakan proses yang berjalan jangka panjang memperkuat elemen pemersatu semua pihak dalam formasi baru dan bertahan lama.

Baca juga artikel terkait KONFLIK SOSIAL atau tulisan menarik lainnya Versatile Holiday Lado
(tirto.id - vrs/add)


Penulis: Versatile Holiday Lado
Editor: Addi M Idhom
Kontributor: Versatile Holiday Lado

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Tuliskan sikap yang harus ditunjukkan dalam kemampuan orientasi resolusi konflik


Pada pembahasan Konflik Sosial, Cara Melakukan Resolusi Konflik Sosial, dan Memberi Solusi atau Pemecahan Masalah terhadap Konflik Sosial dan Kekerasan. Kita akan mencoba mempelajari Pengertian Konflik Sosial, Bentuk-bentuk Konflik Sosial, Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik Sosial, Dampak dari Adanya Konflik terhadap Masyarakat, dan Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik dan Resolusi Konflik. Sehingga diharapkan peserta didik dapat menganalisis konflik sosial dan cara memberikan respons untuk melakukan resolusi konflik dan pemecahan masalah konflik dan kekerasan demi terciptanya kehidupan yang damai di masyarakat serta dapat memetakan konflik untuk dapat melakukan resolusi konflik dan memberikan solusi terhadap konflik dan kekerasan untuk menumbuhkembangkan perdamaian di masyarakat.

A. Pengertian Konflik Sosial

Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internasional. Dalam Kemus Besar Bahasa Indonesia, Konflik mengandung artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Menurut Antonius, dkk (2002: 175) konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi.

Lallu apa yang dimaksud konflik sosial ? Secara konflik sosial sering diartikan sebagaipertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan. Berikut ini beberapa pendapat ahli tentang pengertian Konfliks sosial

        Coser (dalam Irving M. Zeitlin:1998) mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.

        Menurut Soerjono Soekanto (1993) Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku.

        Menurut J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto (2005) konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompokkelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.

        Menurut lawang konflik (1994) diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya. konflik itu tidak hanya bertujuan untuk memperoleh keuntungan tetapi juga untk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relative terbatas.

Jadi, konflik sosial dapat disimpulkan sebagai percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau masyarakat dengan tujuan untuk mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling menantang dengan ancaman kekerasan. Konflik sosial adalah salah satu bentuk interaksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain didalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling menghancurkan. Konflik sosial sesungguhnya merupakan suatu proses bertemunya dua pihak atau lebih yang mempunnyai kepentingan yang relative sama terhadap hal yang sifatnya terbatas. Dalam bentuknya yang ekstrem, konflik itu dilangsungkan tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup dan eksistensi, akan tetapi juga bertujuan sampai ketaraf pembinasaan eksistensi orang atau kelompok lain yang dipandang sebagai lawan atau saingannya.

B. Bentuk-bentuk Konflik Sosial

Secara garis besar berbagai konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa bentuk konflik berikut ini :

a. Berdasarkan sifatnya

Berdasarkan sifatnya, konflik dapat dibedakan menjadi konflik destruktuif dan konflik konstruktif.

1. Konflik Destruktif

Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seseorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrokan-bentrokan fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas, dan lain sebagainya.

2. Konflik Konstruktif

Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi

b. Berdaasarkan pihak yang terlibat dalam konflik.

1. Konflik individu dengan individu; Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu yang satu dengan individu lainnya. Misalnya, antara individu karyawan dengan bos, karyawan dengan karyawan, ketua dengan sekretaris, dan masih banyak lagi lainnya.

2. Konflik individu dengan kelompok; Konflik semacam ini biasanya terjadi antara pimpinan dengan bawahanbawahannya, atau antara guru dengan para siswanya.

3. Konflik kelompok dengan kelompok; Konflik yang satu ini biasa terjadi dalam sebuah sepak bola, maupun antar kelompok motor. Bisanya suporter A akan berkonflik dengan suporter dari tim lain, jika timnya mengalami nasib yang kurang beruntung.

c. Berdasarkan hubungan antara tujuan dan tingkah laku.

a. Kondisi tanpa konflik (No Conflict). Menurut padangan orang pada umumnya, mungkin bahwa konfisi tanpa konflik merupakan kondisi yang diinginkan. Namun demikian, kelompok atau masyarakat yang damai, jika ingin bertahan lama, maka harus hidup dinamis, menyatukan konflik tingkah laku dan tujuan, serta menyelesaikannya secara kreatif.

b. Konflik laten (Latent conflict). Konflik laten adalah konflik yang berada di bawah permukaan. Konflik jenis ini perlu dibawa ke permukaan sebelum dapat diselesaikan secara efektif.

c. Konflik terbuka (Open Conflict). Konflik ini mengakar secara dalam serta sangat terlihat jelas, dan membutuhkan tindakan untuk mengatasi penyebab yang mengakar serta efek yang terlihat.

d. Konflik permukaan (Surface conflict). Konflik jenis ini memiliki akar yang tidak dalam atau tidak mengakar. Mungkin pula bahwa konflik permukaan ini muncul karena kesalahan pemahaaman mengenai sasaran dan dapat diatasi dengan perbaikan komunikasi.

d. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik

1. Konflik Vertikal

Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam satu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor.

2. Konflik Horizontal

Merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.

3. Konflik Diagonal

Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Contohnya konflik yang terjadi di Aceh.

e. Beradasrkan dampak yang timbul.

a. Konflik fungsional; Konflik fungsional adalah jenis konflik yang apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi kehidupan, baik individu, kelompok, bangsa, dan negara, serta dapat dikelola dan dikendalikan dengan baik.

b. Konflik infungsional; Konflik jenis ini adalah konflik yang apabila dampaknya justru merugikan, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.

Soerjono Soekanto (1992) membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:

1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

2. Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul          akibat perbedaan-perbedaan ras.

3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.

4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.

5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.

Sementara itu, Ralf Dahrendorf (dalam Dr. Robert H. Lauer,2001) mengatakan bahwa konflik dapat dibedakan atas empat macam, yaitu sebagai berikut :

1. Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapanharapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.

2. Konflik antara kelompok-kelompok sosial.

3. Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.

4. Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antar negara, atau organisasi internasional.

C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Konflik Sosial

Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial, ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.

Ketidakmerataan pembagian aset-aset sosial di dalam masyarakat tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang untuk mendapatkannya atau menambahinya bagi yang perolehan asset sosial relatif sedikit atau kecil. Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian asset sosial tersebut berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahinya.Pihak yang cenderung mempertahankan dan menambahinya disebut sebagai status quo dan pihak yang berusaha mendapatkannya disebut sebagai status need.

Pada dasarnya, secara sederhana penyebab konflik dibagi dua, yaitu:

1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.

2. Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar, sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial.

Namun beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan terjadinya konflik-konflik, diantaranya yaitu:

1. Perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antar individu. Dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrokan-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya.

Membinasakan disini tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan dalam bentuk pemusnahan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujui.

Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya konflik sosial.

2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dikalangan khalayak kelompok yang luas.

Selain itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah yang paling baik. Jika masingmasing kelompok yang ada di dalam kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut kebudayaan.

3. Perbedaan kepentingan. Mengejar tujuan kepentingan masingmasing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.

Perbedaan pendirian, budaya, kepentingan, dan sebagainya tersebut di atas sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dengan demikian perubahan-perubahan sosial itu secara tidak langsung dapat dilihat sebagai penyebab juga terjadinya (peningkatan) konflik-konflik sosial. Perubahan-perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat akan mengakibatkan berubahnya sistem nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Dan perubahan nilai-nilai di dalam masyarakat ini akan menyebabkan perbedaan-perbedaan pendirian dalam masyarakat.

Adapun berdasarkan jenisnya, faktor penyebab terjadinya konflik dibedakan dalam 4 jenis yaitu:

1. Triggers (Pemicu), peristiwa yang memicu sebuah konflik, namun tidak diperlukan dan tidak cukup memadai untuk menjelaskan konflik itu sendiri.

2. Pivotal factors or root causes (faktor inti atau penyebab dasar), terletak pada akar konflik yang perlu ditangani supaya pada akhirnya dapat mengatasi konflik.

3. Mobilizing factors (faktor yang memobilisasi), masalah-masalah yang memobilisasi kelompok untuk melakukan tindakan kekerasan.

4. Aggravating factors (faktor yang memperburuk), faktor yang memberikan tambahan pada mobilizing factors dan pivotal factors, namun tidak cukup untuk dapat menimbulkan konflik itu sendiri

D. Dampak dari Adanya Konflik terhadap Masyarakat

Tak perlu diragukan lagi, proses sosial yang namanya konflik itu adalah suatu proses yang bersifat disosiatif. Namun demikian, sekalipun sering berlangsung dengan keras dan tajam, proses-proses konflik itu sering pula mempunyai akibat-akibat yang positif bagi masyarakat. Konflik-konflik yang berlangsung dalam diskusi misalnya, jelas akan unggul, sedangkan pikiran-pikiran yang kurang terkaji secara benar akan tersisih. Positif atau tidaknya akibat konflik-konflik memang tergantung dari persoalan yang dipertentangkan, dan tergantung pula dari struktur sosial yang menjadi ajang berlangsungnya konflik. Oleh karena itu ada dua dampak dari adanya konflik terhadap masyarakat yaitu:

a. Dampak positif dari adanya konflik

1. Bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok. Apabila terjadi pertentangan antara kelompokkelompok, solidaritas antar anggota di dalam masing-masing kelompok itu akan meningkat sekali. Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak-pihak luar.

2. Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugah warga masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam masyarakat.

b. Dampak negatif dari adanya konflik

1. Hancurnya kesatuan kelompok. Jika konflik yang tidak berhasil diselesaikan menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah barang tentu kesatuan kelompok tersebut akan mengalami kehancuran.

2. Adanya perubahan kepribadian individu. Artinya, di dalam suatu kelompok yang mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif dan mudah marah, lebih-lebih jika konflik tersebut berujung pada kekerasan.

3. Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada. Antara nilainilai dan norma sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional, artinya bisa saja terjadi konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akibat ketidak patuhan anggota masyarakat akibat dari konflik.

Tuliskan sikap yang harus ditunjukkan dalam kemampuan orientasi resolusi konflik


 

E. Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik dan Resolusi Konflik

1) Upaya-upaya Untuk Mengatasi Konflik

Bagaimana Cara Melakukan Resolusi Konflik Sosial, dan Memberi Solusi atau Pemecahan Masalah terhadap Konflik Sosial dan Kekerasan? Secara sosiologi, proses sosial dapat berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang bersifat asosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial, cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negatif atau asosial, seperti kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan sebagainya. Jadi proses sosial asosiatif dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang dissosiatif disebut proses negatif. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik.

Berikut ini adalah beberapa jenis metode penyelesaian konflik dan kekerasan, yakni:

1. Pencegahan konflik (conflict prevention)

2. Penanganan konflik (conflict settlement), upaya mengakhiri tingkah laku kekerasan dengan mencapai kesepakatan perdamaian.

3. Manajemen konflik (conflict management), bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan yang mungkin terjadi di waktu yang akan datang dengan cara mendukung perubahan tingkah laku yang positif pada pihak-pihak yang terlibat.

4. Resolusi konflik (conflict resolution), yaitu membahas berbagai penyebab konflik dan mencoba untuk membangun hubungan baru dan abadi di antara kelompok-kelompok yang saling bertikai.

5. Transformasi konflik (conflict transformation), membahas sumber politik dan sosial yang lebih luas dari suau konflik dan mencoba untuk mentransformasikan energi negatif peperangan menjadi perubahan sosial dan politik yang bersifat positif.

Adapun bentuk Penanganan konflik (conflict settlement) dapat dilakukan dengan cara, antara lain:

1. Konsiliasi (conciliation)

Pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.

2. Mediasi (mediation)

Bentuk pengendalian ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untk memberikan nasihat-nasihatnya tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.

3. Arbitrasi berasal dari kata latin arbitrium, artinya melalui pengadilan, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsiliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi sampai instansi pengadilan nasional yang tertinggi.

4. Perwasitan

Di dalam hal ini kedua belah pihak yang bertentangan bersepakat untuk memberikan keputusan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di antara mereka.

2) Resolusi Konflik

Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict resolution. Pada umum resolusi konflik sering diartikan sebagai suatu cara individu atau kelompok untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain atau kelompok lain secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan kontruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh diri mereka sendiri atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral, dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik guna menyelesaikan masalahnya

Berikut beberapa pengertian resolusi konflik menurut para ahli:

          Webster Dictionary mendefinisikan resolusi adalah (1) tindakan mengurai suatu permasalahan, (2) pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan.

          Weitzman & Weitzman (dalam Morton & Coleman 2000: 197) mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan masalah bersama (solve a problem together).

          Fisher (2001: 7) yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang berseteru.

          Mindes (2006: 24) resolusi konflik merupakan kemampuan untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi, kompromi serta mengembangkan rasa keadilan.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan resolusi konflik adalah suatu cara individu untuk menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan individu lain secara sukarela. Resolusi konflik juga menyarankan penggunaan cara-cara yang lebih demokratis dan konstruktif untuk menyelesaikan konflik dengan memberikan kesempatan pada pihak-pihak yang berkonflik untuk memecahkan masalah mereka oleh mereka sendir atau dengan melibatkan pihak ketiga yang bijak, netral dan adil untuk membantu pihak-pihak yang berkonflik memecahkan masalahnya.

Kemampuan Resolusi Konflik. Bodine and Crawford (Jones dan Kmitta, 2001: 2) merumuskan beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya:

a. Kemampuan orientasi

Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi, harga diri.

b. Kemampuan persepsi

Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.

c. Kemampuan emosi

Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi, termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi negatif lainnya.

d. Kemampuan komunikasi

Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik meliputi kemampuan mendengarkan orang lain: memahami lawan bicara; berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami; dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang netral atau kurang emosional.

e. Kemampuan berfikir kreatif

Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.

f. Kemampuan berfikir kritis

Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik, yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis situasi konflik yang sedang dialami.

Tidak jauh berbeda, Scannell (2010: 18) juga menyebutkan aspek – aspek yang mempengaruhi individu untuk dapat memahami dan meresolusi sebuah konflik meliputi a) keterampilan berkomunikasi, b) kemampuan menghargai perbedaan, c) kepercayaan terhadap sesama, dan d) kecerdasan emosi.

Bagaimana Pelaksanaan Resolusi Konflik ? Dalam kehidupan, konflik adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihindarkan. Ketika seseorang menyatakan masalah mereka dan mencari solusinya, konflik menjadi sumberdaya yang berharga dibandingkan sebuah masalah yang harus diselesaikan. Dengan dengan demikian, resolusi konflik adalah suatu metode dan proses terkonsep yang digunakan untuk membantu menyelesaikan konflik dengan damai.

Menurut Forsyth (1983), ada beberapa metode untuk melakukan pelaksanaan resolusi konflik, sehingga dapat mengubah seseorang yang berkonflik menjadi sebuah perdamaian dan penyelesaian yang akur, yaitu:

a. Commitment=Negotiation; negosiasi adalah proses komunikasi timbal balik yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih untuk mencari tahu masalah-masalah secara lebih spesifik, menjelaskan posisi mereka dan saling bertukar gagasan.

b. Misperception=Understanding; konflik sering kali terjadi karena kesalahpahaman. Orang-orang sering menganggap bahwa orang lain ingin berkompetisi dengan mereka, namun pada kenyataannya orang lain tersebut hanya ingin bekerjasama dengan mereka. Mereka mengira ketika orang lain tersebut sedang mengkritik mereka secara personal. Mereka percaya bahwa motif orang lain tersebut adalah untuk menguntungkan pihak mereka. Seharusnya, setiap orang harus menghilangkan pola pikir seperti itu dengan cara berkomunikasi secara aktif terkait motif dan tujuan orang lain di dalam diskusi.

Komunikasi saja tidak cukup untuk menyelesaikan konflik, tetapi mereka juga membuat kesalahpahaman serta tipu muslihat dapat dinetralisir. Komunikasi dapat membuka peluang seseorang untuk saling percaya, namun itu juga dapat menjadi “boomerang” jika komunikasi itu buruk, oleh karena itu perlu melakukan pola komunikasi yang baik dan benar.

c. Strong Tactics=Cooperative Tactics; taktik yang jitu akan mampu membuka peluang untuk menyelesaikan sebuah konflik.

d. Upward=Downward Conflict Spiral; kerjasama yang konsisten di antara orang-orang untuk jangka waktu yang panjang dapat meningkatkan rasa saling percaya. Tetapi, ketika anggota kelompok terus bersaing satu sama lain, rasa saling percaya akan lebih sukar dipahami. Dalam hal ini, bisa dikatakan, bahwa orang akan bisa saling bersaing jika cara hidup mereka diperuntukkan untuk bersaing. Namun, mereka akan bisa bekerjasama, jika mereka memiliki keinginan yang sama untuk bekerjasama.

e. Many=One; individu yang tidak terlibat dalam konflik, tidak sepatutnya memihak kepada salah satu dari pihak-pihak yang bertikai. Melainkan ia harus menjadi seorang mediator dan menyelesaikan konflik tersebut. Ia juga harus bersikap netral, agar penyelesaian konflik bisa berjalan dengan lancar dan hasil perdamaian bisa didapat.

f. Anger=composure; ketika keadaan “memanas”, seseorang yang bertentangan harus mampu mengontrol emosinya. Metode yang efektif untuk mengontrol emosi adalah dengan berhitung 1 sampai 10 atau menyampaikan humor atau lelucon. Humor dapat memberikan emosi yang positif dan meredam emosi negatif seperti amarah

Jika upaya resolusi konflik tidak dapat menyelesaikan masalah, maka upaya penyelesaian konflik atau masalah terbaik yang selanjutnya dapat dilakukan adalah melalui keterlibatan pemerintah yang dapat dilakukan melalui jalur hukum.

Bahan Bacaan

Dr. Robert H. Lauer. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Donelson R. Forsyth. 1983. An Introduction To Group Dynamics. California: Brooks/Cole Publishing Company.

Irving M. Zeitlin. 1998. Memahami Kembali Sosiologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press,.

J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto. 2005. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Robert lawing. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka.

Soerjono Soekanto. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Soerjono Soekanto. 1992. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Demikian sumbangsih materi tentang Konflik Sosial, Cara Melakukan Resolusi Konflik Sosial, dan Memberi Solusi atau Pemecahan Masalah terhadap Konflik Sosial dan Kekerasan. Semoga dengan tambahan materi tersebut pserta didik dapat menganalisis konflik sosial dan cara memberikan respons untuk melakukan resolusi konflik dan pemecahan masalah konflik dan kekerasan demi terciptanya kehidupan yang damai di masyarakat. Lebih dari itu diharapkan para peserta didik dapat memetakan konflik untuk dapat melakukan resolusi konflik dan memberikan solusi terhadap konflik dan kekerasan untuk menumbuhkembangkan perdamaian di masyarakat. Terima kasih, semoga ada manfaatnya.