Kapan seorang suami boleh menceraikan seorang?

Kapan seorang suami boleh menceraikan seorang?

Pernikahan yang sakinah mawadah dan warahmah sampai akhir hayat tentunya menjadi semua impian bagi para pasangan muda ketika mereka selesai melangsungkan akad nikah. Bayangan pernikahan yang indah di setiap hari tentunya menjadi harapan pertama bagi mereka di awal pernikahan. Akan tetapi seiring perjalanan waktu, perselisihan demi perselisihan tidak dapat dihindari, dari perselisihan yang semula ringan sampai perselisihan yang dapat dikatakan cukup berat. Banyak penyebab timbulnya berbagai perselisihan tersebut. Ada perselisihan yang dapat diselesaikan secara damai, akan tetapi ada juga perselihan yang tidak dapat didamaikan lagi, yang mana berujung pada perceraian.

Seringkali terjadi dalam percekcokan suami-istri, suami dalam keadaan amarah dan emosi menggebu-gebu mengucapkan talak kepada istrinya. Lalu muncul pertanyaan dalam benak istri, apakah ucapan talak yang diucapkan suaminya tersebut adalah sah dan berlaku baginya, atau talak tersebut tidak sah sehingga tidak berlaku baginya?

Terdapat banyak rujukan yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menjawab pertanyaan tersebut. Dalam hal ini penulis sengaja hanya mengambil pendapat  Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, salah satu ulama pengikut madzhab Hanbali. Hal ini didasarkan pada klasifikasi yang menurut penulis mudah untuk dipahami.

     قُلْتُ : وَلِلْحَافِظِ ابْنِ الْقَيِّمِ الْحَنْبَلِيِّ رِسَالَةٌ فِي طَلَاقِ الْغَضْبَانِ قَالَ فِيهَا : إنَّهُ عَلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ : أَحَدُهَا أَنْ يَحْصُلَ لَهُ مَبَادِئُ الْغَضَبِ بِحَيْثُ لَا يَتَغَيَّرُ عَقْلُهُ وَيَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَيَقْصِدُهُ ، وَهَذَا لَا إشْكَالَ فِيهِ .وَالثَّانِي أَنْ يَبْلُغَ النِّهَايَةَ فَلَا يَعْلَمُ مَا يَقُولُ وَلَا يُرِيدُهُ ، فَهَذَا لَا رَيْبَ أَنَّهُ لَا يَنْفُذُ شَيْءٌ مِنْ أَقْوَالِهِ .الثَّالِثُ مَنْ تَوَسَّطَ بَيْنَ الْمَرْتَبَتَيْنِ بِحَيْثُ لَمْ يَصِرْ كَالْمَجْنُونِ فَهَذَا مَحَلُّ النَّظَرِ ، وَالْأَدِلَّةُ عَلَى عَدَمِ نُفُوذِ أَقْوَالِهِ

    “Saya berkata, bahwa al-hafizh Ibn al-Qayyim al-Hanbali memiliki risalah mengenai talak dalam kondisi marah. Dalam risalah tersebut ia mengatakan bahwa kemarahan itu ada tiga macam. Pertama, adanya dasar-dasar kemarahan bagi seseorang namun nalarnya tidak mengalami kegoncangan sehingga ia masih mengerti apa yang dikatakan dan dimaksudkan. Dan dalam konteks ini tidak ada persoalan sama sekali. Kedua, ia sampai pada puncak (kemarahannya) sampai tidak menyadari apa yang dikatakan dan dikehendaki. Dan dalam konteks ini tidak ada keraguan bahwa apa yang terucap tidak memeliki konsekwensi apa-apa. Ketiga, orang yang tingkat kemarahannya berada di tengah di antara level yang pertama dan kedua. Dan dalam konteks perlu ditinjau lebih lanjut lagi (mahall an-nazhar). Namun, dalil-dalil yang ada menunjukkan bahwa apa yang terucap tidak memiliki konsekwensi apa-apa. (Lihat Ibnu Abidin, Hasyiyatu Durr al-Mukhtar, Bairut-Dar al-Fikr, 1421 H/2000 M, juz, 10, h. 488)

Namun jika seseorang mengalami kemarahan pada level ketiga, yaitu di antara level pertama dan kedua kemudian terucap darinya kata talak, maka menurut mayoritas ulama talaknya sah. Artinya dalam pandangan mereka kemarahan yang tidak sampai berakibat pada hilangnya kesadaran dan rasionalitas seseorang, meskipun menyebakan ia keluar dari kebiasaanya tetaplah jatuh. Sebab, ia tidak seperti orang gila.

 اَلثَّالِثُ : أَنْ يَكُونَ الْغَضَبُ وَسَطًا بَيْنَ الْحَالَتَيْنِ بِأَنْ يَشَتَدَّ وَيُخْرِجُ عَنْ عَادَتِهِ وَلَكِنَّهُ لَا يَكُونُ كَالْمَجْنُونِ الَّذِي لَا يَقْصِدُ مَا يَقُولُ وَلَا يَعْلَمُهُ وَالْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ الْقِسْمَ الثَّالِثَ يَقَعُ بِهِ الطَّلَاقُ “

Ketiga, adanya kemarahan itu pada level sedang yaitu di antara level pertama dan kedua. Artinya, ada kemarahan yang sangat sehingga ia keluar dari kebiasannya, akan tetapi ia tidak seperti orang gila yang tidak menyadari kemana arah dan tujuan apa yang diucapkannya dan tidak mengetahuinya. Menurut mayoritas ulama talaknya seseorang yang mengalami kemarahan pada level ketiga ini jatuh” (Lihat Abdurraham al-Jujairi, al-Fiqh ‘ala Madzahab al-Arba’ah, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 4, h. 142 )

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Ibn al-Qayyim al-Hanbali membagi bentuk kemarahan dalam tiga klasifikasi atau level kemarahan, antara lain:

  1. Level pertama, kemarahan yang biasa, yang tidak mempengaruhi kesadarannya. Artinya, pihak yang marah masih menyadari dan mengetahui apa yang ia ucapkan atau maksudkan dalam kondisi tersebut. Dalam kasus kemarahan yang seperti ini jika sampai terucap kata talak maka talaknya sah atau jatuh.
  2. Level Kedua, kemarahan yang sangat luar biasa sehingga menyebabkan orang yang mengalami kemarahan ini tidak menyadari apa yang terucap dan apa yang dikehendaki. Apa yang terucap ketika dalam kemarahan yang seperti ini tidak memiliki konsekwensi apa-apa. Dengan demikian, jika seseorang mengucapkan kata talak dalam kondisi kemarahan yang sangat luar biasa maka talaknya tidak sah atau jatuh. Alasannya adalah ketika seseorang dalam kondisi marah yang sangat luar biasa itu seperti orang gila yang tidak menyadari apa yang diucapkan dan tidak mengerti maksud dari apa yang diucapkan tersebut.
  3. Level Ketiga, kemarahan yang berada di tengah yang berada antara kemarahan pada level pertama dan kedua. Kemarahan pada level ini tidak menjadikan seseorang seperti orang yang gila. Bagi Ibnu al-Qayyim, jika ada seseorang mengalami kemarahan pada level ini kemudian terucap kata talak maka talak tersebut tidak sah atau tidak jatuh.

Sehingga seorang suami dapat dikatakan telah menjatuhkan talak tergantung kadar kemarahan atau emosinya, apakah ia marah masih dalam keadaan sadar atau tidak sadar. Apabila suami mengatakan talak dalam keadaan emosi tapi masih sadar dengan apa yang diucapkannya maka telah jatuhlah talak terhadap istrinya. Akan tetapi apabila kemarahannya diluar batas kesadarannya maka talak yang ia ucapkan dianggap belum jatuh.

Lantas bagaimana kalau suami mengucapkan talak dalam keadaan emosi melalui pesan pendek ponsel atau media social seperti Whats Apps, Facebook, Instagram atau media social lainnya?

Talak yang diucapkan melalui pesan pendek ponsel atau sering disebut sms atau talak yang diucapkan melalui tulisan media social lainnya seperti pesan Whats Apps dihukumi sebagaimana layaknya surat. Sementara para ulama menegaskan bahwa tulisan semakna dengan ucapan. Mengingat satu kaidah baku,

الكتابة تنزل منزلة القول             

“Tulisan statusnya sama dengan ucapan.”

Karena itulah para ulama sepakat bahwa talak dengan tulisan hukumnya sah. Sebagaimana dinyatakan dalam Ensiklopedi Fikih:

اتفق الفقهاء على وقوع الطلاق بالكتابة , لأن الكتابة حروف يفهم منها الطلاق, فأشبهت النطق; ولأن الكتابة تقوم مقام قول الكاتب , بدليل أن النبي صلى الله عليه وسلم كان مأمورا بتبليغ الرسالة , فبلغ بالقول مرة , وبالكتابة أخرى

Ulama sepakat, talak dengan tulisan hukumnya sah. Karena tulisan terdiri dari banyak huruf yang bisa dipahami maknanya sebagai talak. Sehingga nilainya sama dengan ucapan. Disamping itu, tulisan mewakili ucapan orang yang menulis. Dengan dalil, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk menyebarkan risalah. Dan itu terkadang beliau sampaikan dengan ucapan dan terkadang dengan tulisan surat (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 12:216).

Meksipun demikian, talak yang jatuh tersebut barulah sah secara hukum agama, namun secara  hukum negara belum dapat dikatakan terjadi perceraian apabila belum didaftarkan dan disidangkan pada Pengadilan Agama. Karena Negara kita adalah negara hukum, maka belum dianggaplah sah terjadi perceraian antara suami istri apabila belum dipersidangkan di Pengadilan Agama dan mendapatkan putusan hakim yang dituangkan dalam akta cerai dan Salinan putusan. Hal ini diibaratkan seperti halnya nikah siri yang sah secara agama akan tetapi belum sah secara hukum negara.

Sehingga apabila terjadi seorang suami telah menjatuhkan talak satu maupun tiga terhadap seorang istri, untuk mendapatkan suatu kepastian status seorang istri dapat meminta suaminya untuk mengajukan permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama. Atau apabila suami enggan dan keberatan, seorang istri tersebut dapat mengajukan gugatan cerai terhadap suaminya tersebut ke Pengadilan Agama sesuai domisili istri tinggal.

Mengapa perihal talak dan perceraian harus diajukan dan dipersidangkan di Pengadilan Agama? Karena beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia mengatur hal tersebut, antara lain:

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan dalam pasal 38 perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Selain itu, Pasal 39 ayat (1) UUP mengatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan.
  • Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama mengatur perihal perceraian, antara lain disebutkan dalam pasal-pasal berikut :
  1. Pasal 65 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  2. Pasal 66 ayat (1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan istrinya mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar talak.
  • Kompilasi Hukum Islam juga mengatur perihal perceraian, antara lain disebutkan dalam pasal-pasal berikut :
  1. Pasal 114 Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
  2. Pasal 115 Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
  3. Pasal 117 Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131
  4. Pasal 129 Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
  5. Pasal 132 ayat 1 Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama,. Yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang tersebut bahwa perceraian antara suami dan istri dianggap putus dan sah secara hukum apabila telah diajukan ke Pengadilan Agama, baik cerai yang disebabkan karena pengajuan gugatan cerai oleh istri maupun permohonan cerai talak oleh suami. Sepanjang tidak ada pengajuan ke Pengadilan Agama, perkawinan antara suami istri masih dianggap berlangsung dan belum terjadi perceraian, sampai salah satu pihak mengajukan gugatan atau permohonan cerai talak ke Pengadilan Agama.

Uraian tersebut di atas sekiranya mampu memberikan jawaban atas kerisauan istri atas ketidakpahamannya tentang jatuh tidaknya talak yang diucapkan suami dalam keadaan emosi. Demikian, penjelasan tentang Jatuh tidaknya talak yang diucapkan oleh suami dalam keadaan emosi dan diucapkan melalui pesan singkat sms / pesan WA menurut fiqih dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, semoga bermanfaat dan menambah pemahaman para pembaca. (Niken Amboro)

Kapan seorang suami boleh menceraikan istrinya?

Perceraian tersebut sah apabila seorang suami berakal sehat, balig dan dengan kemauan sendiri. Maka, jika suami tersebut menceraikan istrinya karena ada paksaan dari pihak lain, seperti orang tua ataupun keluarganya, maka perceraian tersebut menjadi tidak sah.

Apa syarat suami menceraikan istri?

Dokumen atau berkas untuk bercerai Fotokopi surat nikah diberi materai dan dilegalisasi; Fotokopi KTP terbaru yang masih berlaku dari pihak penggugat; Fotokopi Kartu Keluarga terbaru yang masih berlaku; Fotokopi Akta Kelahiran anak bagi pasutri yang sudah memiliki keturunan.

Berapa Lama Pisah ranjang dianggap cerai?

Hukum Pisah Ranjang Lebih Dari 3 Hari Dalam Islam sendiri tidak ada pisah ranjang yang dilakukan lebih dari 3 hari tidak secara otomatis menyebabkan hubungan rumah tangga berpisah atau cerai. Perceraian secara agama hanya terjadi ketika ada kata “talak” atau “cerai” sesuai dengan aturan agama Islam.

Ucapan apa saja yang bisa menjatuhkan talak?

Misalnya, ucapan seorang suami kepada istrinya, “Engkau telah ditalak,” atau “Engkau telah tertalak.” Ungkapan seperti itu berakibat jatuhnya talak pada saat itu pula selama suami yang mengucapkan termasuk orang yang dianggap sah menjatuhkan talak, dan istri yang ditalak termasuk orang yang sah dijatuhi talak.