Lihat Foto KOMPAS.com - Agama atau sistem kepercayaan yang dianut manusia, ternyata sudah ada sejak zaman praaksara. Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum datangnya agama Hindu dan Buddha adalah animisme dan dinamisme. Berdasarkan bukti-bukti peninggalannya, manusia pada masa praaksara sudah mengenal sistem kepercayaan sejak zaman Neolithikum (Batu Baru). Kita dapat menelusuri konsep dan karakteristik sistem kepercayaan manusia purba dari artefak zaman Neolithikum. Pada zaman Neolithikum berkembang kebudayaan Megalithikum yang erat kaitannya dengan eksistensi sistem kepercayaan manusia purba. Kebudayaan Megalithikum merupakan suatu tradisi dan kebudayaan manusia purba yang menghasilkan batu-batu besar untuk keperluan religius. Hasil Kebudayaan Megalithikum seperti menhir, dolmen, arca, waruga, sarkofagus dan punden berundak dapat memberikan penjelasan kepada kita tentang sistem kepercayaan manusia purba. Baca juga: Sangiran, Tempat Penemuan Banyak Fosil Manusia Purba Indonesia Sistem Kepercayaan manusia purba pada masa pra-aksara bisa dikategorikan menjadi tiga jenis, yaitu: AnimismeKata animisme berasal dari bahasa Latin anima yang memiliki arti roh. Menurut buku Sejarah Asia Tenggara: Dari Masa Prasejarah sampai Kontemporer (2013) karya M.C Ricklefs, animisme adalah sistem kepercayaan yang memuja makhluk halus dan roh nenek moyang. Karakteristik manusia purba yang menganut paham ini adalah mereka mereka yang selalu memohon perlindungan dan permintaan sesuatu kepada roh nenek moyang seperti kesehatan, kesuburan, keselamatan, dan lainnya.
Secara harfiah, Dinamisme berasal dari bahasa Inggris dynamic yang berarti daya, kekuatan, dinamis. Dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda tertentu yang dianggap memiliki kekuatan supranatural seperti pohon besar dan batu besar. Dalam buku Primitive Culture : Research into Development of Mythology, Philosophy, Religion, Language, Art, and Custom (1871) karya Edward B Tylor, dijelaskan unsur dinamisme manusia purba lahir dari ketergantungan manusia terhadap kekuatan lain yang berada di luar dirinya. Manusia purba pada masa pra-aksara memiliki banyak keterbatasan sehingga mereka membutuhkan pertolongan dari benda-benda yang dianggap mampu memberi keselamatan. Baca juga: Ciri-Ciri Masyarakat Praaksara TotemismeTotemisme merupakan sistem kepercayaan yang menganggap bahwa hewan atau tumbuhan tertentu memiliki kekuatan supranatural untuk memberikan keselamatan atau malapetaka kepada penganutnya. Manusia purba yang menganut kepercayaan Totemisme cenderung mengeramatkan hewan atau tumbuhan tertentu, sehingga mereka tidak diperbolehkan untuk mengonsumsi hewan dan tumbuhan tersebut. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Agama asli Nusantara atau kepercayaan adat adalah agama-agama suku (agama bersahaja atau etnis) pribumi yang telah ada sebelum agama-agama asing masuk ke Nusantara.[catatan 1] Kerohanian asli pada umumnya juga meliputi sejumlah aliran/organisasi kepercayaan baru yang didirikan di Nusantara.
Agama-agama asli Nusantara adalah agama/kepercayaan nenek moyang suku bangsa Austronesia serta bangsa Papua yang telah ada di Nusantara sebelum masuk agama-agama asing dari subbenua India (Hindu dan Buddha), Arab (Islam), Portugis (Kristen Katolik), Belanda (Kristen Protestan), dan Tiongkok (Konghucu).[1] Sebelum Nusantara didiami bangsa berkulit cokelat (Austronesia), bangsa proto Melanesia (berkulit hitam) menganut kepercayaan monoteistik yang sekarang dikenal dengan nama kapitayan. Seiring dengan datangnya orang-orang Austronesia, kepercayaan itu turut dianut oleh mereka.[2] Aksara lontara Sureq Galigo, wiracarita suci Bugis Tolotang. Kepercayaan masyarakat purba telah mempunyai mitologi kaya serta wiracarita, memuliakan dewa-dewi, roh leluhur dan roh kekuatan alam yang menghuni air, gunung, hutan. Hakikat tak terlihat yang memiliki kekuatan supernatural ini disebut oleh orang Jawa, Sunda, Melayu, Bali sebagai Hyang dan oleh suku-suku Dayak sebagai Sangiang. Beberapa dari agama asli masih hidup baik yang murni maupun telah gabungan (sinkretis) dengan agama asing, umpamanya agama Hindu Bali, Kejawen serta Masade (Islam Tua). Akan tetapi kepercayaan asli yang telah hilang bisa hidup sebagai agama rakyat di antara umat Islam atau Kristen di dalam praktik adat di luar agama resmi, misalnya syamanisme Melayu dan kepercayaan kaum Abangan Jawa.[3] Keagamaan asli juga meliputi sejumlah aliran/organisasi kepercayaan baru (gerakan spiritual) yang didirikan di Nusantara pada abad ke-19–21-an dan terkait dengan agama-agama asli, yakni Saminisme, Subud, Sumarah, dll.[4] Namun, gagasan universal aliran kepercayaan di Indonesia sebagai sumber dari Tuhan YME dan hubungan pribadi dengan Dia[5] tidak menyiratkan mengikuti wajib kepada adat agamawi etnis. Hingga kini, tak satu pun agama-agama asli Nusantara yang diakui di Indonesia selaku agama, hanya sebagai aliran kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sekaligus sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia tertanggal 7 November 2017 dengan No. 97/PUU-XIV/2016, para penghayat kepercayaan dapat mencantumkan nama “penghayat kepercayaan” dalam dokumen kependudukan mereka dan memiliki hak yang sama-sama seperti para penganut enam agama.[6] Untuk melegalkan status mereka, beberapa agama asli (Aluk Todolo, Kaharingan, Pemena, dan Tolotang) pada tahun 1970-an dan 80-an berada di bawah naungan agama resmi Hindu sebagai aliran-alirannya (lihat tentang agama Hindu di Sulawesi). Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) adalah wadah tunggal sebagai payung bagi kumpulan-kumpulan kepercayaan.[7] Berikut ialah daftar agama kuno asli Nusantara yang masih hidup:[catatan 2]
Panaturan, kitab suci Kaharingan. Agama asli Dayak di Kalimantan, teristimewa di Kalimantan Tengah, terhadap Tuhan Ranying Hatalla Langit. Kitab sucinya ialah Panaturan.[19] Pada tahun 1980 umat agama ini berintegrasi dengan agama Hindu sebagai bagiannya (Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan, MBAHK). Akan tetapi, sebagian kecil mereka menentang integrasi dan berpaham Kaharingan sebagai agama mandiri, yaitu Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) di Kalimantan Tengah [32][33] serta Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan Indonesia (MUKK Indonesia) di Kalimantan Selatan.[34] Disebut juga Kebatinan, merupakan agama Jawa yang merupakan sinkretisme dari kepercayaan asli, agama Hindu Jawa, ajaran Siwa-Buddha, dan Sufisme.[20][21] Agama adat suku bangsa Sunda, teristimewa subsuku urang Kanekes di Lebak, Banten, serta masyarakat Sunda Wiwitan Madrais (Djawa Sunda) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.[28] Agama Hindu Bali (agama Tirtha) serta agama Hindu Jawa, secara resmi sebagai agama Hindu Dharma berasal dari India, namun mengandung banyak kepercayaan dan upacara nenek moyang pribumi.[35]
dalam bahasa Indonesia
|