Segala sesuatu yang menyangkut diri Rasulullah saw., baik sebelum maupun sesudah kenabiannya disebut

PENGERTIAN DAN STRUKTUR HADIS

A. PENGERTIAN HADIS, SUNNAH, KHABAR, DAN ATSAR

1. Pengertian Hadits

Hadits secara etimologi berarti “baru dari segala sesuatu”. Kata Hadits mengandung pengertian sedikit dan banyak. Firman Allah SWT :

ﻔﻠﻌﻠﻚ ﺒﺎﺨﻊ ﻨﻔﺴﻚ ﻋﻠﻰ ﺁﺛﺎﺮﻫﻢ ﺇﻦ ﻠﻢ ﻴﺆﻤﻨﻮﺍ ﺒﻬﺫﺍ ﺍﻠﺤﺪﻴﺙ ﺃﺴﻔ

 “Maka (Apakah) barangkali kamu akan membunuh dirimu karena bersedih hati

   sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada

  keterangan  ini (al-hadits)”. (Q.S. Al-Kahfi : 6).

Maksud kata Hadits dalam ayat tersebut adalah Al-Qur’an. Demikian pula firman Allah SWT :

ﻔﺄﻤﺎ ﺒﻨﻌﻤﺔ ﺮﺒﻚ ﻔﺤﺪﺙ

“Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya

(dengan bersyukur)”. (Q.S. Adh-Dhuha : 11)

Maksudnya, sampaikanlah risalah. Dengan demikian, secara etimologis kata Hadits sinonim dengan kata Khabar. (Al-Khatib, 1998 : 7-8)

Hadits secara terminologis sinonim dengan Sunnah. Keduanya diartikan sebagai segala sesuatu yang diambil dari Rasul SAW sebelum dan sesudah diangkat menjadi Rasul. Akan tetapi, bila disebut kata Hadits, umumnya dipakai sebagai segala sesuatu yang diriwayatkan dari Rasul SAW setelah kenabian, baik berupa sabda, perbuatan, maupun taqrir. Dengan demikian, Sunnah lebih luas pengertiannya daripada Hadits. (Al-Khatib, 1998: 8)

2. Pengertian Sunnah

Secara etimologis, Sunnah berarti perjalanan, yang baik maupun buruk. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW disebutkan :

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. وَ مَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. (رواه البخارى و مسلم)

“Barangsiapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala sunnah dan pahala orang lain yang mengerjakannya hingga akhir kiamat. Dan barangsiapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga akhir kiamat.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Dalam pengertian syara’, kata Sunnah dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Rasul SAW, baik berbentuk sabda maupun perbuatan. 

Akan tetapi pengertian Sunnah menjadi beragam di kalangan para pengkaji syari’at, sesuai dengan spesialisasi dan tujuan masing-masing: 

a.   Ulama’ Hadits membahas segala sesuatu dari Rasul SAW dalam kapasitas beliau sebagai Imam yang memberi petunjuk dan penuntun yang memberikan nasihat, yang diberitakan oleh Allah SWT, sebagai teladan dan figur bagi kita sehingga mereka mengambil segala sesuatu yang berkenaan dengan Nabi SAW, baik berupa tingkah laku, postur tubuh, pembawaan, informasi, sabda dan perbuatan beliau, baik membawa konsekwensi hukum syara’ ataupun tidak.

b.  Ulama’ Ushul membahas segala sesuatu dari Rasul SAW dalam kapasitas beliau sebagai pembentuk syari’at yang menjelaskan kepada manusia undang-undang kehidupan dan meletakkan kaidah-kaidah bagi mujtahid sepeninggal beliau. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian serius mereka adalah sabda , perbuatan dan taqrir beliau yang membawa konsekwensi hukum dan menetapkannya.

c.   Ulama’ Fiqih membahas segala sesuatu dari Nabi SAW yang perbuatan-perbuatan beliau menunjukkan ketentuan Syara’. Mereka mengkaji hukum syara’ berkenaan dengan perbuatan manusia, baik dari segi wajib, haram, mubah, dan lain-lain (Al-Khatib, 1998: 1-2).

Uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwa Sunnah dalam terminologi Ulama’ Hadits adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasul SAW, baik berupa sabda, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik dan non-fisik ataupun sepak terjang beliau sebagai diutus menjadi Rasul, seperti tahannus di gua Hira, atau sesudah menjadi Rasul. 

Sunnah dalam pengertian seperti ini identik dengan pengertian hadits Nabi SAW. Sunnah dalam Terminologi Ulama’ Ushul Fiqih adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain Al-Qur’an, baik berupa sabda, perbuatan ataupun taqrir, yang layak menjadi dalil hukum Syara’. Sedangkan Sunnah dalam Terminologi Ulama’ Fiqih adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW, yang tidak termasuk bab fardhu dan wajib.

 Dengan demikian, cakupan pengertian yang paling luas adalah yang dimaksud oleh Ulama’ Hadits, yakni segala sesuatu yang diambil dari Rasul SAW baik berupa sabda, perbuatan, taqrir atau sepak terjang beliau, sebelum maupun sesudah diangkat menjadi Rasul, baik berupa konsekwensi hukum Syara’ ataupun tidak. 

Adapun yang dimaksud dengan Sabda adalah Hadits-hadits yang beliau sabdakan dengan berbagai tujuan dan dalam kesempatan, misalnya  :

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِىءٍ مَانَوَى ...(رواه البخاري و مسلم و ابن حبّان(

 “Sesungguhnya keberadaan amal-amal itu tergantung niatnya. Dan seseorang hanyalah akan mendapatkan sesuatu sesuai niatnya …” (H.R. Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hibban).

Yang dimaksud dengan perbuatan adalah seluruh perbuatan Nabi SAW yang ditransfer kepada kita oleh para sahabat, seperti wudhu’, praktek shalat lima waktu, praktek manasik haji, dan lain-lain.

Sedangkan yang dimaksud dengan taqrir adalah segala sesuatu yang muncul dari sementara sahabat yang diakui keberadaannya oleh Nabi SAW, baik berupa ucapan maupun perbuatan dengan cara diam tanpa pengingkaran atau persetujuan dan keterusterangan beliau menganggapnya baik bahkan menguatkannya. Yang bersumber dari sahabat yang mendapat pengakuan dan persetujuan dari Nabi SAW itu bersumber dari beliau. Misalnya riwayat yang ditakhrij oleh Abu Dawud dan Nasa’i dari Abu Sa’id Al-Khudriy bahwasanya ada dua orang yang keluar untuk bepergian tanpa memiliki persediaan air. Lalu tibalah waktu shalat. Kemudian keduanya bertayamum dengan debu yang baik, lalu melakukan shalat. Beberapa saat kemudian, keduanya mendapatkan air, masih dalam waktu shalat tersebut. Yang satu mengulangi wudhu’ dan shalatnya, sedang yang lain tidak. Kemudian keduanya datang menghadap Nabi SAW melaporkan perihal keduanya. Lalu, kepada yang tidak mengulang, beliau bersabda : “Engkau telah mengerjakan Sunnah(ku)”. Dan kepada yang mengulang, beliau bersabda : “Engkau mendapatkan pahala dua kali lipat”. (H.R. Abu Dawud dan An-Nasa’i) (Al-Khatib, 1998 : 3-4). 

3. Pengertian Khabar

Secara Etimoligis, Khabar ialah berita yang disampaikan dari seseorang kepada seseorang. Menurut Terminologi ahli hadits, Khabar ialah berita dari Nabi SAW, sahabat maupun dari Tabi’in ( Ash-Shiddiqi, 1997 :14).  

Khabar menurut Ulama’ hadits merupakan sinonim dari Hadits. Keduanya digunakan untuk menyebut yang Marfu’, Mauquf, dan Maqthu’. Sehingga ia mencakup segala sesuatu Yang datang dari Rasul SAW, sahabat dan tabi’in. 

Sebagian Ulama’ mengatakan: Hadits adalah adalah apa yang datang dari Nabi SAW, sedang Khabar adalah apa yang datang dari selain Nabi SAW. Oleh karena itu, orang yang sibuk dengan Sunnah disebut “Muhaddits”, sedang yang sibuk dengan sejarah dan sejenisnya disebut “Akhbariy”.

Dikatakan, bahwa antara Hadits dan Khabar terdapat makna umum dan khusus yang mutlak. Jadi setiap Hadits adalah Khabar, tetapi tidak sebaliknya. Kadang-kadang ahli hadits menyebut yang Marfu’ dan yang Mauquf  termasuk Khabar (Atsar). Hanya saja tokoh-tokoh Fiqih Khurasan menyebut Mauquf dengan Atsar, dan Marfu’  dengan Khabar (Al-Khatib, 1998 : 8-9). 

4. Pengertian Atsar

Secara Etimologi, Atsar ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu. Juga berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi SAW disebut: Do’a ma’tsur. Menurut Terminologi jumhur Ulama’, Atsar sama artinya dengan Khabar dan Hadits. 

Imam Nawawi menerangkan bahwa Fuqaha Khurasan menyebut perkataan-perkataan sahabat (Hadits Mauquf) dengan Atsar, dan menyebut hadits Nabi dengan Khabar. Akan tetapi para Muhadditsiin umumnya menyebut hadits Nabi SAW dan perkataan sahabat dengan Atsar juga. Dan sebagian Ulama’ memakai pula kata Atsar untuk perkataan-perkataan tabi’in saja (Ash-Shiddiqi, 1997 : 15). 

Kata Khabar dan Atsar disebut secara mutlak, dan dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in. Hanya saja, fuqaha Khurasan menyabut Mauquf dengan sebutan Atsar dan Marfu’ dengan sebutan Khabar.

B. STRUKTUR HADIS

Struktur hadits meliputi Sanad, Matan, dan Mukharij (Rawi). Sebelum mendefinisikan istilah-istilah tersebut, kita perhatikan sebuah hadits yang mengandung ketiga istilah tersebut. Imam Bukhari meriwayatkan :

قَالَ الْبُخَارِيُّ : حَدَّثَنَا آدَ مَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِيْ ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيْدُ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ : لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ اَ مِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ. (رواه البخاري)

Berkata Imam Bukhari : Telah menceritakan kepada kami Adam (ia berkata) : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Dzi’b (ia berkata) : Telah menceritakan kepada kami Sa’id Al-Maqburiy dari Abu Hurairah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda ; “Sesungguhnya akan datang kepada manusia satu zaman dimana seseorang tidak akan mempedulikan lagi tentang harta yang ia peroleh, apakah dari (hasil) yang halal atau dari (hasil) yang haram” (H.R. Bukhari).

Rangkaian kata “Berkata Imam Bukhari ….” disebut Sanad, redaksi hadits “Sesungguhnya akan datang ….” disebut Matan, dan sebagai penutup hadits “Imam Bukhari” disebut Mukhaarij (Rawi).

1. Pengertian Sanad

Sanad secara etimologis berarti  (سَنَدٌ) (bagian bumi yang menonjol), dan “Sesuatu yang berada di hadapan anda dan yang jauh dari kaki bukit ketika anda memandangnya”. Bentuk jamaknya adalah Isnad (إِسْنَادٌ) . Segala sesuatu yang anda sandarkan kepada yang lain disebut Musnad (مُسْنَدٌ) .

Sanad secara terminologis adalah jalur matan, yakni rangkaian para perawi yang memindahkan matan dari sumber utamanya. Jalur itu disebut Sanad adakalanya karena periwayat bersandar kepadanya dalam menisbatkan matan kepada sumbernya, dan adakalanya karena para Haafizh (penghapal hadis) bertumpu kepada “yang menyebutkan Sanad” dalam mengetahui Shahih atau Dha’if suatu hadits.

Menurut ‘Ajaj Al-Khatib (1998 : 13), penyebutan jalur matan dengan sebutan Sanad adalah karena kedua makna tersebut. Dalam contoh, yang disebut Sanad adalah : “Imam Bukhari dari Muhammad bin Al-Mutsaniy dari Abdul Wahab Al-Tsaqafiy. Dari Ayyub dati Abi Qilabah dari Anas”. Sedangkan terma Isnad berarti menyandarkan atau mengangkat hadits kepada pengucapannya, yakni menjelaskan jalur matan dengan periwayatan secara berantai. Kadang-kadang kata Isnad diartikan sama dengan Sanad, suatu proses penggunaan bentuk mashdar dengan arti bentuk maf’ul, seperti kata Khalq (خَلْقٌ) diartikan dengan    Makhluq (مَخْلُوْقٌ ). Karena itu, kita sering mendapatkan pada muhaddits (ahli hadis) menggunakan kata Sanad dan Isnad dengan satu makna. Jarang mengatakan : ﻫﺫﺍﺍﻠﺤﺪﻴﺙﺃﺻﺢﺍﻷﺴﻨﺎﺪ Hadits ini diriwayatkan dengan Asnad (jamak dari Sanad )yang shahih. Yang sering mereka kemukakan : ﺃﺻﺢﺍﻷﺴﺎﻨﺪ (dengan Asanid bentuk jamak dari kata Isnad).

2. Pengertian Matan

Matan secara etimologis berarti segala sesuatu yang keras bagian atasnya. Bentuk jamaknya adalah Mutun ( اَلْمُتُنُ ) dan Mitan ( اَلْمِتَانُ ). Matan dari segala sesuatu adalah bagian permukaan yang tampak darinya, juga bagian yang tampak menonjol dan keras.

Matan secara terminologis adalah redaksi hadits yang menjadi unsur pendukung pengertiannya. Penamaan seperti itu barangkali didasarkan pada alasan bahwa bagian itulah yang tampak dan yang menjadi sasaran utama hadits. Jadi penamaan itu diambil dari pengertian etimologisnya.

3. Pengertian Makhaarij

Mukharij sama dengan Rawi ( الرَّاوِيْ) , secara etimologis berarti : orang yang mengeluarkan atau yang meriwayatkan. Jadi, pengertian terminologisnya adalah orang yang mengeluarkan atau yang meriwayatkan sebuah hadits atau orang yang menukilkan sebuah hadits Nabi SAW. dalam bahasa Arabnya  :ﻤﺨﺎﺮﺝ

DAFTAR PUSTAKA

Al-Asqalani, Ibnu Hajar.1379.Fath Al-Bariy.Beirut : Dar Al-Fikr

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj.1998.Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu.Beirut : Dar Al-Fikr

Al-Nawawi.TT. Shahih Muslim bi Syarh Al Nawawi.Beirut : Dar Al-Fikr

Al-Suyuthi.1954.Al-Jami’ Al Shagir. Kairo : Dar Al-Ihya’ Al-Kutub Al-‘Arabiyah

Ash-Shiddiqi, Hasbi. 1997. Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits. PT Pustaka Rizki.  Semarang

HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN ISLAM

A. DALIL KEHUJJAHAN HADIS

Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa hadits merupakan sumber ajaran Islam banyak kita jumpai, diantaranya seperti dikemukakan oleh ‘Ajaj Al-Khatib (1998 : 23-31) sebagai berikut :

  1. Iman. Salah satu konsekuensi beriman kepada risalah, adalah menerima segala sesuatu yang datang dari Rasul SAW dalam urusan agama. Misalnya Allah SWT berfirman :

ﻴﺎ ﺍﻠﺫﻴﻦ ﺁﻤﻨﻮﺍ ﺁﻤﻨﻮﺍ ﺒﺎﷲ ﻮﺮﺴﻮﻠﻪ ﻮﺍﻠﻛﺘﺎﺐ ﺍﻠﺫﻯ ﻨﺰﻞﻋﻠﻰ ﺮﺴﻮﻠﻪ ﻮﺍﻠﻛﺘﺎﺐ ﺍﻠﺫﻯ ﺃﻨﺰﻞ ﻣﻦ ﻘﺒﻞ

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada Kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang diturunkan sebelumnya” (Q.S. An-Nisa’ : 136).

Demikian pula firman Allah SWT :

ﻔﺄﻣﻨﻮﺍ ﺒﺎﷲ ﻮﺮﺴﻮﻠﻪ ﺍﻠﻨﺒﻲ ﺍﻷﻣﻲ ﺍﻠﺫﻱ ﻴﺆﻣﻦ ﺒﺎﷲ ﻮﻛﻠﻣﺘﻪ ﻮﺍﺘﺒﻌﻮﻩ ﻠﻌﻟﻛﻢ ﺘﻬﺘﺪﻮﻦ

      “Maka berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi yang Ummi yang beriman                              kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitan-kitab-Nya) dan ikutilah dia supaya kamu mendapat petunjuk” (Al-A’raf : 158).

                Jadi, iman adalah faktor utama. Bila kita beriman kepada Allah dengan kitab-Nya, maka kita juga harus beriman kepada Rasul-Nya dengan hadisnya.

  1. Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menjelaskan kewajiban taat kepada Rasul SAW antara lain firman Allah SWT :

ﻴﺎﺃﻴﻬﺎ ﺍﻠﺫﻴﻦ ﺁﻤﻨﻮﺍ ﺃﻄﻴﻌﻮﺍ ﺍﷲ ﻮﺃﻄﻴﻌﻮﺍ ﺍﻠﺮﺴﻮﻞ ﻮﺃﻮﻠﻲ ﺍﻷﻤﺮ ﻤﻨﻛﻢ ﻔﺈﻦ ﺘﻨﺎﺰﻋﺘﻢ ﻔﻰ ﺸﺊ  ﻔﺮﺪﻮﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﷲ ﻮﺍﻟﺮﺴﻮﻞ ﺇﻦ ﻛﻨﺘﻢ ﺘﺆﻤﻨﻮﻦ ﺒﺎﷲ ﻮﺍﻠﻴﻮﻢ ﺍﻵﺨﺮ ﺫﻠﻚ ﺨﻴﺮ ﻮﺃﺤﺳﻦ ﺘﺄﻮﻴﻼ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri

diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka

kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar

benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian lebih utama (bagimu)

dan lebih baik akibatnya” (Q.S. An-Nisa’ : 59).

     Yang dimaksud mengembalikan kepada Allah adalah mengembalikan kepada Al-Qur’an dan kembali kepada Rasul maksudnya kembali kepada sunnahnya.

ﺃﻄﻴﻌﻮﺍ ﺍﷲ ﻮﺃﻄﻴﻌﻮﺍ ﺍﻠﺮﺴﻮﻞﻮﺍﺤﺫﺮﻮﺍ

“Dan taatlah kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul(Nya) dan berhati-hatilah”. (Q.S. Al-Maidah : 92)

                Allah SWT juga menjelaskan bahwa taat kepada Rasul SAW berarti taat kepada-Nya, melalui firman-Nya :

ﻣﻦ ﻴﻄﻊ ﺍﻠﺮﺴﻮﻞ ﻔﻘﺪ ﺃﻄﺎﻉ ﺍﷲ

“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”

(Q.S. An-Nisa’ : 80).

Dia juga berfirman :

ﻮﻤﺎ ﺁﺘﻛﻢ ﺍﻠﺮﺴﻮﻞ ﻔﺨﺫﻮﻩ ﻮﻤﺎ ﻨﻬﻛﻢ ﻋﻨﻪ ﻔﺎ ﻨﺘﻬﻮﺍ

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (Q.S. Al-Hasyr : 7)

              Ayat-ayat ini menunjukkan kewajiban taat kepada Rasul SAW dan ketaatan kepada beliau tidak lain mematuhi beliau sewaktu beliau masih hidup, dan mengamalkan sunnahnya serta mengikuti petunjuknya setelah beliau wafat.

Dia juga berfirman :

ﻮﺃﻨﺰﻞ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻚ ﺍﻠﻛﺘﺎﺐ ﻮﺍﻠﺤﻛﻤﺔ ﻮﻋﻠﻤﻚ ﻤﺎ ﺘﻛﻦ ﺘﻌﻠﻡ ﻮﻛﺎﻦ ﻔﻀﻞ ﺍﷲ ﻋﻠﻴﻚ ﻋﻅﻴﻤﺎ

“Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan karunia Allah adalah sangat besar atasmu (Q.S. An-Nisa’ : 113).

              Imam Syafi’i mengatakan : Allah SWT menurunkan Al-Kitab, yakni Al-Qur’an dan menurunkan pula Al-Hikmah. Di negeri tempat tinggalku, Aku mendengar seorang ahli Al-Qur’an mengatakan : Yang dimaksud dengan Al-Hikmah adalah Sunnah Rasulullah. Mayoritas Ulama’ cenderung berpendapat bahwa yang dimaksud Al-Hikmah dalam ayat itu adalah Sunnah Rasul SAW.

  1. Dalil-dalil kehujjahan hadits dari hadits Nabi SAW :

لَقَدْ تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا، كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ. (وراه مالك)

“Aku telah tinggalkan kepada kamu dua hal yang sekali-kali kamu tidak akan tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya” (HR Imam Malik).

               Dan diriwayatkan dari Al-‘Irbash bin Sariyah dari Rasul SAW, beliau

bersabda :

ﻋﻠﻴﻛﻡ ﺒﺴﻨﺘﻲ ﻮﺴﻨﺔ ﺍﻠﺨﻠﻔﺂﺀ ﺍﻠﺮﺍﺷﺪ ﻴﻦ ﺒﻌﺪﻯ

“Berpeganglah kamu erat-erat dengan sunnahku dan sunnah khalifah yang rasyidin sesudahku” (HR Abu Daud dan Turmudzi dari Al-Irbash bin Sariyah).

            Hadits-hadits itu menunjukkan bahwa Rasul SAW diberi Al-Kitab dan Sunnah dan mewajibkan kita berpegang teguh pada keduanya serta mengambil apa yang ada pada Sunnah seperti mengambil apa yang ada pada Al-Kitab.

  1. Ijma’. Umat Islam telah mengambil kesempatan bersama untuk mengamalkan

Sunnah. Bahkan hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah dan Rasul-Nya yang terpercaya, kaum muslimin menerima Sunnah seperti mereka menerima Al-Qur’an, karana berdasarkan kesaksian dari Allah Sunnah merupakan salah satu dari sumber syari’at sebagaimana disebutkan dalam berbagai ayat Al-Qur’an.

Khabar tentang berpegang teguhnya umat Islam kepada Sunnah tidak

terhitung banyaknya. Beberapa khabar dapat kami sebutkan :

a.       Ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq masih menjadi Khalifah, Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah SAW datang kepadanya meminta bagian Rasul SAW, tetapi kemudian Abu Bakar menjawab : Sesungguhnya saya mendengar Rasul SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT bila memberi sesuap makanan kepada seorang nabi, kemudian nabi itu Allah wafatkan maka dia akan menjadikannya untuk orang yang menggantikan posisinya sesudahnya”. 

Karena itu saya (Abu Bakar) berpendapat akan mengembalikannya kepada kaum muslimin. Mendengar jawaban itu, Fatimah berkata : Terhadap engkau dan apa yang engkau dengar dari Rasul itu saya mengerti. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Abu Bakar berkata : “Aku tidaklah meninggalkan sesuatupun yang Rasulullah mengamalkannya, kecuali akan pasti mengamalkannya. Dan sesungguhnya aku khawatir akan menyimpang, bila aku meninggalkan sedikit saja dari perintah beliau.

b.      Suatu ketika Umar bin Khattab berdiri di sudut Ka’bah di hadapan Hajar Aswad, kemudian berkata : “Sesungguhnya aku benar-benar tahu bahwa kamu adalah batu. Seandainya aku tidak melihat kekasihku (Rasul SAW) menciummu atau mengusapmu, maka aku tidak akan mengusapmu dan tidak pula menciummu. Sunnguh ada teladan Yang baik bagi kalian dalam diri Rasulullah”.

c.       Said bin Al-Musyayyab berkata : Saya melihat Utsman duduk di suatu tempat duduk. Lalu ia meminta makanan yang tersentuh api (yang dimasak dengan api), lalu memakannya. Kemudian ia berdiri untuk melakukan shalat.Kemudian Utsman berkata : “Saya duduk di tempat duduk Rasulullah SAW. Dan saya shalat seperti shalat Rasulullah SAW”.

B. FUNGSI HADIS TERHADAP AL-QUR’AN

Al-Qur’an menekankan bahwa Rasul SAW berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (Q.S. 16 : 44). Penjelasan matan bayan tersebut dalam pandangan para ulama’ beragam bentuk, sifat dan fungsinya. 

 Abdul Halim Mahmud dalam kitab “As-Sunnah fii Makanatiha wa fii Tarikhiha” mengatakan bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’.

Dengan merujuk pada pendapat Imam Syafi’i dalam “Ar-Risalah”. Abdul Halim menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu Bayan Ta’kid dan Bayan Tafsir.

Persoalan yang diperselisihkan adalah apakah hadits atau sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Qur’an ? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syari’at) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, “Innal-hukm illa lillah”, sehingga Rasulpun harus merujuk kepada Allah SWT (Al-Qur’an), ketika hendak menetapkan hokum (Shihab, 1995 :122-123). 

Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an yang akan kami kemukakan di sini yaitu Bayan Ta’kid dan Bayan Tafsir : 

1. Bayan Ta’kid

Fungsi hadits sebagai Bayan Ta’kid, maksudnya ialah menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat dalam isi kandungan Al-Qur’an. Beberapa hadits dapat dikemukakan sebagai berikut : 

(1)   Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim  dari Ibnu Umar :

      ﺇﺫﺍ ﺮﺃﻴﺘﻢ ﺍﻠﻬﻼ ﻝ ﻔﺼﻭﻤﻭﺍ ﻭﺇﺫﺍ ﺮﺃﻴﺘﻤﻭﻩ ﻔﺄﻔﻄﺮﻭﺍ

 “Apabila kalian melihat bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihatnya

maka berbukalah”. 

Hadits ini menta’kid ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 185 :

ﻔﻤﻥ ﺸﻬﺪ ﻤﻨﻛﻢ ﺍﻠﺸﻬﺮ ﻔﺎ ﻠﻴﺼﻤﻪ

“… Maka barangsiapa diantara kamu menyaksikan bulan, maka hendaklah

ia berpuasa di bulan itu ….”

(2)   Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda :

      ﻻ ﺘﻘﺒﻞ ﺼﻼ ﺓ ﻤﻦ ﺃﺤﺪﺚ ﻗﺒﻞ ﺃﻦ ﻴﺘﻮﺿﺄ

                “ Tidak diterima shalat seseorang yang berhadats sebelum ia berwudhu”.

Hadits ini menta’kid ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah : 6

ﻴﺎﺃﻴﻬﺎ ﺍﻠﺫﻴﻦ ﺁﻤﻨﻮﺍ ﺇﺫﺍ ﻘﻤﺘﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺻﻼﺓ ﻔﺎﻏﺴﻟﻮﺍ ﻮﺠﻮﻫﻛﻢ ﻮﺃﻴﺪﻴﻛﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺮﺍﻔﻖ ﻮﺍﻤﺴﺤﻮﺍ ﺒﺮﺆﺴﻛﻢ ﻮﺃﺮﺠﻟﻛﻢ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻛﻌﺒﻴﻦ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai mata kaki ….

(3)   Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Umar Rasulullah bersabda :

      “Islam dibangun atas lima dasar yaitu engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji, dan berpuasa di bulan Ramadhan”   

        Hadits ini menta’kid ayat-ayat Al-Qur’an tentang syahadat (Al-Hujurat : 15), shalat dan zakat (An-Nur : 56), Puasa (Al-Baqarah : 183 dan 185), dan tentang Haji (Ali Imran : 97). 

2. Bayan Tafsir

Fungsi hadits sebagai Bayan Tafsir yaitu memperjelas, merinci, bahkan membatasi pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an. Beberapa contoh dapat kita simak sebagai berikut :

(1)   Hadits riwayat Imam Bukhari :

ﺼﻠﻮﺍ ﻛﻤﺎ ﺮﺃﻴﺘﻤﻮﻧﻲ ﺃﺼﻠﻲ

“Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”.

Hadits menjelaskan tatacara mengerjakan shalat sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah :43 :

                     ﻮﺃﻗﻴﻤﻮﺍ ﺍﻠﺼﻼﺓ ﻮﺁﺘﻮﺍ ﺍﻠﺰﻛﻮﺓ ﻮﺍﺮﻛﻌﻮﺍ ﻤﻊ ﺍﻠﺮﺍﻛﻌﻴﻦ

“Dan kerjakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’ ” (Q.S. Al-Baqarah :43).

(2)   Hadits Rasulullah SAW :

“Rasulullah SAW didatangi seorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”.

                    Hadits ini menafsirkan (mentaqyid) ayat Al-Qur’an surat Al-Maidah : 38 :

ﺍﻠﺴﺎﺮﻖ ﻮﺍﻠﺴﺎﺮﻗﺔ ﻓﺎﻗﻄﻌﻮﺍ ﺃﻴﺪﻴﻬﻤﺎ ﺠﺰﺁﺀ ﺒﻤﺎ ﻛﺴﺒﺎ ﻧﻛﺎﻻ ﻤﻦﺍﷲ

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan

keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan

sebagai siksaan Allah”.

(3)   Hadits Rasulullah SAW sebagaimana dikemukakan oleh Al-Suyuti :

“Dihalalkan bagi kamu, dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua bangkai adalah bangkai ikan dan belalang, sedang dua darah adalah hati dan limpa”.

Hadits ini menafsirkan (mentaqyidkan) ayat Al-Qur’an yang mengharamkan semua bangkai dan darah, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Maidah : 3 :

ﺤﺮﻤﺖ ﻋﻟﻴﻛﻡ ﺍﻟﻤﻴﺘﺔ ﻮﺍﻟﺪﻡ ﻮﻟﺤﻡ ﺍﻟﺨﻨﺰﻴﺮ

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi ….” 

(4)   Hadits Rasulullah yang menafsirkan (mentakhshishkan) keumuman ayat Al-Qur’an, sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani :

“Pembunuh tidak berhak menerima harta warisan”.

Kedua hadits tersebut di atas mentakhshishkan keumuman ayat Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 11 :

ﻴﻮﺻﻛﻡ ﺍﷲ ﻔﻲ ﺃﻮﻻﺪﻛﻡ ﻠﻠﺫﻛﺮﻤﺛﻞ ﺤﻅ ﺍﻷﻨﺛﻴﻴﻥ

“Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan”.

DAFTAR PUSTAKA 

Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjaj.1998.Ushul Al-Hadits, ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu. Dar Al-Fikr. Beirut

Shihab, Quraisy. 1995. Membumikan Al-Qur’an. Mizan. Bandung