Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku

Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku

Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Lihat Foto

Shutterstock

Ilustrasi anak-anak bermain gadget

KOMPAS.com – Film atau tayangan video dari berbagai sumber dapat mempresentasikan kepada anak-anak maupun orang dewasa suatu gambar dunia yang penuh harapan.

Begitu juga sebaliknya, film dan tayangan video bisa juga mengemukakan suatu gambar dunia yang penuh dengan kekhawatiran, ketakutan, hingga impian tanpa batas.

Film atau tayangan yang menunjukkan tindakan kekerasan yang ditonton anak-anak bahkan dapat meninggalkan suatu impresi gambaran dunia dan masyarakat yang membahayakan serta penuh kecurigaan.

Baca juga: Ini 11 Efek Buruk dari Suka Marah Selain Bikin Darah Tinggi

Oleh mereka, orang lain akhirnya selalu dianggap sebagai seseorang yang harus diwaspadai.

Anak-anak kemudian memulai hidup dengan keyakinan bahwa orang lain tak pantas dipercaya.

Munculkan perilaku agresif

Dalam buku Bungai Rampai Psikologi Perkembangan Dari Anak Sampai Usia Lanjut (2004) yang disunting oleh Prof. Dr. Singgih D. Gunarsa, dijelaskan bahwa dampak tayangan kekerasan terhadap anak-anak masih banyak diperdebatkan.

Ada banyak orang yang tidak yakin bahwa film atau tayangan kekerasan dapat menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak yang menyaksikannya.

Mereka mungkin akan mengatakan belum ada cukup bukti yang mendukung pendapat itu.

Tetapi para ahli yang telah meneliti hal tersebut, menegaskan bahwa ada pengaruh tayangan kekerasan pada perilaku agresif anak-anak.

Dampak negatif itu sudah dipertegas oleh American Psychological Association (APA) dalam laporan mereka berjudul Big World, Small Screen: The Role of Television in American Society  pada tahun 1992.

Televisi bisa menjadi media edukasi dan hiburan bagi anak. Namun, beberapa tayangan televisi di Indonesia tidak mendidik dan memiliki dampak yang buruk bagi perkembangan anak. Misalnya tayangan televisi yang mengandung kekerasan, atau sinetron yang memiliki jalan cerita tidak realistis.

Sebagai orangtua, kamu harus memikirkan dampak buruk dari tayangan televisi terhadap perkembangan anakmu. Jangan sampai anak-anak meniru hal yang tidak sepatutnya dan perkembangannya terganggu. Untuk mengetahui dampak buruk tayangan televisi terhadap perkembangan anak, simak artikel berikut ini!

1. Tayangan televisi akan memengaruhi sikap anak

Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Ilustrasi menonton televisi. (unsplash.com/Juan Ordonez)

Dalam Psychology Today, Romeo Vitelli menjelaskan bahwa anak-anak yang menonton adegan kekerasan atau seksual di televisi, memungkinkan untuk mengikuti tindakan tersebut di kemudian hari. Sebab, anak cenderung mudah meniru apa yang dia lihat. 

Meskipun tak semua anak yang menonton konten kekerasan atau seksual akan meniru tindakan tersebut, namun hal ini sebaiknya dapat menjadi kewaspadaan untuk orangtua mengatur konten hiburan terhadap anak. Jangan biarkan anak menonton konten kekerasan atau seksual tanpa pengawasan. 

2. Paparan iklan juga memengaruhi perilaku anak

Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Ilustrasi anak menonton televisi. (pexels.com/Vidal Balielo Jr.)

Iklan merupakan tayangan yang bertujuan memengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Tak jarang, iklan menampilkan adegan kekerasan atau adegan yang kurang pantas. Tak hanya tayangan yang kurang edukatif, paparan iklan terhadap anak juga memengaruhi perilaku anak.

Orangtua sebaiknya bisa lebih berhati-hati apabila membiarkan anak menonton televisi. Romeo Vitelli sebagai seorang psikologi di Toronto, Canada, menyarankan agar orangtua tetap melakukan pengawasan terhadap paparan iklan kepada anak-anaknya. Menonton televisi tanpa pengawasan dapat lebih merusak anak-anak lebih daripada yang mereka sadari.

3. Tayangan televisi berpengaruh pada komunikasi orangtua dan anak

Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Ilustrasi anak menonton televisi. (pexles.com/Ketut Subiyanto)

Menurut profesor Komunikasi di Ohaio University, Amy Nathanson Ph.D., dilansir  Psychology Today, televisi mengurangi jumlah interaksi dan komunikasi anak dengan  orangtua. Orangtua dan anak jadi lebih sedikit berbicara, berhubungan dan berinteraksi. 

Hal ini tentu saja akan menjadi hal buruk untuk anak di masa depan, misalnya anak jadi tidak produktif atau merasa kurang dukungan dari orangtua. Sebaiknya orangtua meningkatkan kuantitas dan kualitas komunikasi dengan anak sejak kecil. 

Baca Juga: Sarat Makna, Ini 5 Drama Korea yang Mengangkat Isu Parenting

4. Tontonan tidak edukatif akan menurunkan IQ

Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Ilustrasi anak menonton televisi. (pexels.com/Victoria Borodinova)

Dalam The New York Times,  Ekonom Italia, Ruben Durante menemukan bahwa terjadi penurunan IQ pada anak-anak yang lebih sering terpapar tayangan dengan hiburan dan iklan daripada mereka yang menayangkan materi edukasi atau berita. Orangtua harus mewaspadai paparan hiburan kepada anak.

Carilah tayangan televisi yang dapat menghibur sekaligus memberikan edukasi kepada anak. Berhubungan dengan hal tersebut, terlalu banyak menonton televisi dengan konten hiburan membuat anak-anak lebih sedikit membaca sehingga minat baca turun. 

5. Berpengaruh pada prestasi anak

Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Tayangan televisi yang menayangkan kekerasan akan menyebabkan perilaku
Ilustrasi prestasi anak. (unsplash.com/Jerry Wang)

Menonton televisi yang tidak sesuai dengan rate umur anak juga berpengaruh terhadap kemampuan kognitifnya. Jonathan Rothwell dalam The New York Times, menjelaskan bahwa anak yang terpapar lebih banyak tayangan edukasi memiliki peringkat lebih tinggi di kelas daripada mereka yang lebih suka menonton tayangan hiburan. 

Tentu saja tayangan edukatif membantu perkembangan anak. Oleh karenanya, lebih bijaklah sebagai orangtua memilih tayangan televisi yang memiliki manfaat untuk anak. 

Nah, itu tadi 5 dampak buruk dari tayangan yang kurang edukatif terhadap anak. Sebagai orangtua, kamu harus lebih teliti memilih tayangan di televisi, serta melakukan pengawasan.

Baca Juga: 10 Akun Instagram Ibu Muda yang Wajib Follow untuk Parenting

Bernas Jogja, Selasa, 14 Mei 2013

Oleh Amelberga Vita Astuti

Sinetron “Si Biang Kerok Cilik” di SCTV ramai diperbincangkan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta stasiun televisi menghentikan tayangan yang mengajarkan kekerasan pada anak (AntaraNews, 26/4).

Di negeri ini televisi masih merupakan media hiburan utama yang digunakan anak-anak selain game, komputer dan internet (Hendriyani dkk, 2012). Maka,  tayangan kekerasan dalam acara televisi sungguh mengkhawatirkan. Apalagi bila tayangan tersebut muncul dalam program untuk anak. Biasanya program ini dalam bentuk sinetron tentang anak atau program lain, seperti berita dan reality show, yang ditayangkan pada jam tertentu ketika anak-anak masih memungkinkan menonton. Lalu, bagaimana pengaruh tayangan kekerasan ini pada anak-anak? Bagaimana negara lain menanggapi hal ini?

Program hiburan dan berita

Kekerasan bisa dibagi dalam dua kategori besar,  kekerasan fisik dan verbal. Dalam tayangan televisi, kita bisa menemukan kekerasan fisik yang terlihat dalam bentuk pukulan, tendangan dan tindakan fisik yang menyakitkan bahkan melukai orang lain. Kekerasan verbal muncul ketika seseorang marah-marah atau mengucapkan kata-kata kasar dan bentuk dialog lain yang menimbulkan perasaan negatif.

Tayangan program hiburan anak yang menunjukkan kekerasan hadir dalam bentuk sinetron atau kartun. Yang marak dibicarakan  pemerhati televisi saat ini adalah tayangan sinetron “Si Biang Kerok Cilik” di SCTV. Nurvina Alifa dari Remotivi melaporkan pantauan pada tujuh episode di bulan Desember 2012. Sinetron ini menayangkan murid-murid yang menertawakan gurunya, bahkan gurunya sendiri juga melakukan tindakan kekerasan dalam memberi hukuman (Remotivi, 24/4 dan Tabloid Bintang, 25/4).

Program kartun Crayon Sinchan dan Spongebob sebagai tontonan anak-anak cukup banyak memperlihatkan tayangan kekerasan (Atin Yakutin, 2011). Dalam Crayon Sinchan, kekerasan verbal muncul dalam bentuk ejekan yang dilakukan  teman Sinchan. Lebih parah lagi, pernah ada adegan ibu Sinchan  memukul kepala Sinchan. Figur ibu yang seharusnya menjadi contoh perilaku baik orang dewasa telah dirusak dengan tayangan ini. Spongebob sebenarnya tontonan yang kurang cocok untuk anak-anak karena kepolosannya.Terlebih lagi posisinya yang selalu menjadi korban bullying melibatkan adegan kekerasan yang dilakukan oleh karakter lain. Misalnya, ketika Spongebob dicapit oleh Mister Crab, juga ketika diejek dan ditendang teman baiknya, Patrick. Hubungan pekerjaan  dan persahabatan yang diwujudkan dalam tindak kekerasan sungguh bukan inspirasi yang bagus buat anak-anak.

Selain program hiburan, acara berita juga menarik perhatian anak-anak sebagai tontonan televisi. Program berita dan reality show adalah program yang seharusnya mendapat perhatian serius dalam tayangannya karena bobot fakta yang dipercaya kejadiannya oleh publik (anak-anak)  yang masih terbatas pemahamannya. Tayangan kekerasan yang kerap muncul adalah berita kriminal yang sering diulas dengan lebih mendalam dan rinci. Breaking Newspun sering menampilkan gambar-gambar yang berhubungan dengan kekerasan. Tambahan lagi, banyaknya stasiun televisi membuat persaingan untuk menyajikan tayangan yang istimewa dan ekslusif yang akhirnya melupakan pentingnya menghindari tayangan kekerasan.

Reality show, yang artinya menyajikan kejadian nyata, sering dalam episodenya menghadirkan  tayangan kekerasan. Entah akhirnya menjadi adegan rekayasa atau tidak, kekerasan fisik dan verbal selalu hadir sehingga menuai protes publik dan menjadi perhatian KPI. Salah satu protes ditujukan pada reality show “Tukar Nasib” di Indosiar.  Episode  Minggu (21/4) menampilkan adegan marah-marah karena pesanan yang salah dan orang tersebut membanting barang di depan anak kecil di bawah umur (Epriliana, 2013).

Pengaruh pada anak

Masa anak-anak adalah usia yang labil dan dalam proses pencarian identitas diri sehingga sikap meniru menempati porsi tertinggi dalam kehidupan mereka (Marwan, 2008). Dengan melihat tayangan kekerasan di program hiburan dan berita, anak-anak cenderung menganggap tindakan itu patut ditiru bila tidak ada pendampingan dari orang tua dan orang dewasa lainnya. Namun karena kesibukan orang tua, kadang anak-anak dibiarkan menonton sendirian dengan kekuasan penuh atas remote yang membebaskan mereka memilih saluran.  Berdasarkan teori pembelajaran sosial, anak belajar melalui pengamatan dan permodelan, yang ditawarkan  gratis oleh televisi.

Penelitian di Inggris (Hough dan Erwin, 1997) menunjukkan,  menonton kekerasan di televisi meningkatkan sifat agresif pada anak. Selain tindakan meniru, penelitian ini juga menemukan, anak-anak yang menonton kekerasan akan kehilangan rasa nyaman dan aman, selalu curiga dan tidak percaya diri. Selain itu tayangan kekerasan bisa membentuk perilaku stereotip anak pada kelompok masyarakat tertentu.

Beberapa kasus pengaruh tayangan kekerasan di televisi pada anak sudah ditemukan di Indonesia. Seorang anak berumur delapan tahun melempar gelas dan piring karena mencontoh ulah Joshua dalam sinetron “Anak Ajaib” (Intisari, 2005). Di tahun 2006, seorang anak tewas di Bandung karena mempraktekkan program televisi Smackdown. Anak usia 12 tahun meninggal diduga karena mempraktekkan trik sulap yang ada di televisi (Kompas, 2009). Kasus-kasus ini sebatas gunung es, hanya sedikit yang terpublikasi. Kejadian dalam masyarakat sehari-hari pasti banyak yang belum terungkap.

Program televisi di negara lain

Di Indonesia stasiun televisi khusus untuk anak hanya ditemukan di saluran TV kabel berbayar. Para keluarga di Australia beruntung karena ada stasiun televisi nasional untuk anak yang bisa ditonton gratis. Pada tahun 2009, The Australian Broadcasting Coorporation(ABC), mendirikan stasiun televisi khusus untuk anak bernama ABC3 untuk usia 6-15 tahun dan ABC4Kids untuk usia pra-sekolah. Jenis acaranya beragam, dari komedi sampai sejarah. Anak-anak bisa menonton saluran ini dengan aman karena aturan program televisi di Australia sangat ketat, hanya mengijinkan tayangan untuk anak berdasarkan klasifikasi Bimbingan Orang tua (Parental Guidance) dan Semua Umur (General)  saja.

Aturan penayangan dengan kategori BO dan SU juga berlaku pada jam keluarga bagi saluran televisi umum yang lain di Australia, termasuk di Inggris, Amerika dan Eropa. Negara-negara ini juga menyediakan fasilitas parental lock atau parental censorship dalam mesin khusus yang dihubungkan dengan televisi. Namun fasilitas ini bukan solusi terbaik karena anak-anak bisa pergi menonton televisi di rumah teman atau berusaha mengubah mesin ketika orang tua tidak di rumah.

Ketika orang tua tidak berdaya dengan bombardir  tayangan kekerasan di televisi, terutama dalam program anak, dan fasilitas sensor tidak cukup membantu, peran masyarakat yang menanggapi tayangan ini dan mengangkatnya menjadi bahan diskusi sangat penting. Adanya LSM, seperti Remotivi, dan website yang menerima pengaduan masyarakat untuk diteruskan ke KPI diharapkan bisa mengurangi tayangan yang tidak mendidik. Selain itu, pihak orang tua bisa memberi pemahaman langsung pada anak-anak tentang kekerasan yang tidak sengaja ditonton. Metode ini bisa menjadi ajang pembelajaran anak-anak untuk berpikir kritis terhadap tayangan yang mendidik bagi mereka sendiri. Pihak sekolah juga bisa memberi ruang diskusi di kelas tentang program televisi yang bisa mendukung perkembangan kognitif. Anak-anakpun lebih percaya diri dalam memilih tayangan yang baik bagi mereka sendiri.

Amelberga Vita Astuti, dosen Prodi  Ilmu Komunikasi FISIP UAJY, sedang belajar di School of English, Communications and Performance Studies Faculty of Arts Monash University.