Tembang macapat menika nggambarake oncating nyawa saking raga manungsa. . .

1 Daftar isi Kata Pengantar SASTRA DAN BUDAYA JAWA SUWARNA~3 SEKAR MACAPAT SUWARNA~77 UNGGAH UNGGUH BASA ENDANG NURHAYAT~109 MODEL MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF BAHASA, SASTRA DAN BUDAYA JAWA SITI MULYANI~135 PENGEMBANGAN ASESMEN PROSES DAN HASIL BELAJAR MULYANA~149 MEDIA PEMBELAJARAN DAN SASTRA JAWA SRI HARTATI WIDYASTUTI~163 PENGEMBANGAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN(RPP) SUHARTI~183 PENELITIAN TINDAKAN KELAS Tim Pudi Dikdasmen Lemlit UNY~201 PENULISAN KARYA ILMIAH Tim Pudi Dikdasmen Lemlit UNY~233 PENGEMBANGAN EVALUASI PEMBELAJARAN BAHASA JAWA Tim Pudi Dikdasmen Lemlit UNY~249 1

2 2

3 MODUL PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU SASTRA DAN BUDAYA JAWA Oleh SUWARDI RAYON 111 UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN

4 4

5 BAB I MEMAHAMI SASTRA JAWA A. Pengertian Sastra Sastra berkembang dan memiliki sifat keumuman sekaligus kekhususan. Seperti setiap manusia yang memiliki kekhasan dan kesamaan dengan manusia lainnya, setiap karya sastra demikian halnya. Wellek & Warren (1993: 9), secara agak optimis, menuliskan bahwa setiap karya sastra, di samping memiliki ciri khas, juga memiliki sifat-sifat yang sama dengan karya seni yang lain, sehingga orang dapat membuat generalisasi terhadap karya sastra dan drama periode tertentu, atau drama, kesusasteraan, atau kesenian pada umumnya. Pernyataan Wellek & Warren di atas, tentu saja belum memadai, maka perlu dilengkapi dengan pernyataan Luxemburg, dkk., (1989: 9), bahwa menurut mereka tidak mungkin memberikan sebuah definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang dijumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. Arti sastra yang sangat kompleks itu telah mengaburkan batasan sastra sebagai obyek kajian keilmuan. Itulah sebabnya Teeuw (1984: 21) menuliskan bahwa meskipun sudah cukup banyak usaha yang dilakukan sepanjang masa untuk memberi batasan yang tegas atas pertanyaan: apakah sastra itu?, namun batasan manapun juga yang diberikan oleh para ilmuwan tidak kesampaian. Hal itu dikarenakan batasan sastra itu hanya menekankan satu atau beberapa aspek saja, atau hanya berlaku untuk sastra tertentu saja, atau sebaliknya, terlalu luas dan longgar sehingga melingkupi banyak hal yang jelas bukan sastra lagi. Meredefinisi sastra, termasuk apa sastra Jawa itu menjadi PR berat kita. Definisi yang mewakili seluruh gagasan, tampaknya tidak mudah dirangkum. Mendefinisikan sastra sama halnya hendak menjawab pertanyaan apa hidup itu? Jadi, kalau kita memberikan definisi tidak perlu harus dipertahankan mati-matian. Makna sastra amat kontekstual, subjektif, dan tergantung dari sisi mana kita lihat. Itulah sebabnya tugas utama ilmuwan sastra, yang belajar sastra Jawa, layak melakukan penjelajahan berbagai definisi untuk memperoleh makna yang lebih jelas. Makna tersebut juga bukan barang mati, melainkan bersifat lentur, cair dan terbuka. Yang terpenting, mari kita diskusikan, kita beri pemahaman yang bijak terhadap sastra. Sebab, belajar sastra sama halnya kita belajar tentang diri kita. Yang begitu kompleks. B. Genre Sastra Pembicaraan tentang genre sastra, seperti halnya pembicaraan tentang fungsi sastra dan teori sastra pada umumnya, telah berlangsung lama. Dalam sejarahnya, batasan mengenai genre sastra juga bersifat sangat dinamis dan berbeda-beda. Jenis sastra terjadi oleh karena konvensi sastra yang berlaku pada suatu karya yang membentuk ciri karya tersebut. Menurut N.H. Pearson jenis sastra dapat dianggap sebagai suatu perintah kelembagaan yang memaksa pengarangnya sendiri. Menurut Harry Levin, jenis sastra adalah suatu lembaga, seperti halnya gereja, universitas, atau negara. Jenis sastra itu dinamis seperti halnya sebuah institusi yang boleh diikuti atau tidak, atau boleh dirubah. Sedang menurut A. Thibaudet teori genre adalah suatu prinsip keteraturan: sastra dan sejarah sastra diklasifikasikan tidak berdasarkan waktu atau tempat (periode atau pembagian sastra nasional), tetapi berdasarkan tipe struktur atau susunan sastra tertentu (Wellek & Warren, 1993: ). Jenis sastra juga senantiasa berkembang sesuai dengan perputaran jaman. Hampir setiap bulan dan tahun, para sastrawan ingin melakukan trik-trik untuk eksperimentasi karyanya yang tergolong genre baru. Teeuw (1984: ) juga mencatat pendapat beberapa pakar yang mempermasalahkan dinamika jenis sastra, sebagai berikut. Menurut Culler, pada asasnya fungsi konvensi jenis sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis dan pembaca, agar terpenuhi harapan tertentu yang relevan, dan dengan demikian dimungkinkan sekaligus 5

6 penyesuaian dengan dan penyimpangan dari ragam keterpahaman yang telah diterima. Menurut Todorov, batasan jenis sastra, oleh karena itu merupakan suatu kian kemari yang terus menerus antara deskripsi fakta-fakta dan abstraksi teori. Menurut Claudio Guillen, jenis sastra adalah undangan atau tantangan untuk melahirkan wujud. Konsep jenis memandang ke depan dan ke belakang sekaligus. Ke belakang ke karya sastra yang sudah ada dan ke depan ke calon penulis. Menurut Todorov, setiap karya agung, per definisi, menciptakan jenis sastranya sendiri. Setiap karya agung menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dan norma, norma jenis yang dilampauinya yang menguasai sastra sebelumnya, dan norma jenis yang diciptakannya. Demikian juga menurut Hans Robert Jausz, bahwa jenis sastra per definisi tidak bisa hidup untuk selamanya, karya agung justru melampaui batas konvensi yang berlaku dan membuka kemungkinan baru untuk perkembangan jenis sastra. Jenis sastra bukanlah sistem yang beku, kaku, tetapi berubah terus, luwes dan lincah. Peneliti sastra harus mengikuti perkembangan itu dalam penelitiannya. Teeuw menambahkan bahwa dalam penelitian sistem jenis sastra, tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan diakronik dan sinkronik: karya sastra selalu berada dalam ketegangan dengan karya-karya yang diciptakan sebelumnya. Sehubungan dengan pernyataan tersebut Luxemburg dkk. (1989: 107) menuliskan bahwa penjenisan sering kali tidak hanya deskriptif tetapi juga preskriptif, yakni membuat peraturan-peraturan, sehingga pengarang akan bangga bila dapat memenuhinya. Hal inilah yang disebut dengan estetika identitas. Sedang sikap pertentangan yang mendobrak peraturan-peraturan (konvensi) jenis sastra tertentu disebut estetika oposisi. Dalam sejarah sastra di Indonesia juga banyak sastrawan yang terkenal dengan penentangan konvensi dan pembaruan-pembaruannya yang kemudian diikuti oleh sastrawan-sastrawan di belakangnya yang kemudian menyuarakan jenis sastra baru, misalnya Chairil Anwar. Dalam sastra Jawa pun demikian, kelahiran sastrawan baru seperti Krishna MIharja, Keliek Eswe, Suwardi Endraswara, Jayus Pete, dan lain-lain telah emmberi warna cerpen-cerpen Jawa. Dari sini mungkin akan muncul cerpen-cerpen absurd dan eksperimen. Dalam sastra Jawa dikenal nama Intojo yang mengenalkan jenis soneta pada sastra Jawa sehingga ia disebut sebagai bapak soneta sastra Jawa Modern. Juga dikenal nama Iesmaniasita yang memberontak aturan-aturan tradisi sastra Jawa sebelumnya. Iesmaniasita, yang nama lengkapnya Sulistyautami Iesmaniasita menuliskan pemberontakannya dalam puisinya yang berjudul Kowe Wis Lega? dan cerpen Jawanya Tiyupan Pedhut Anjasmara. Puisi Kowe Wis Lega, mempertanyakan eksistensi para sastrawan dengan sastra lama, yakni antara lain dalam tiga larik terakhirnya: O, sumitra / apa sliramu wis lega / sesindhenan lagu warisan? / Adapun tokoh utama dalam cerkak Tiyupan Pedhut Anjasmara menolak penilaian baik terhadap karya sastra lama Wicara Keras, Darmasunya, dsb.. Penilaian baik itu dianggap sebagai tiyupan pedhut atau hembusan kabut yang berkonotasi negatif (Hutomo, 1993: ). Pembaharuan puisi Jawa, telah meniupkan angin segar pada genre geguritan. Iesmaniasita telah mendorong penyair-penyair Jawa berkarya. Dewasa ini dalam pengajaran sastra di sekolah-sekolah tampak bahwa penjenisan sastra diterapkan secara sederhana dengan menekankan bentuk material atau lahiriahnya saja. Secara lahiriah Luxemburg, dkk. (1989) menuliskan bahwa sebuah cerita (fiksi) mengisi seluruh permukaan halaman. Sedang dalam teks drama dijumpai banyak bidang putih, khususnya bila pembicaranya ganti. Nama-nama pelakunya dicetak secara khusus sehingga meyakinkan sebagai drama. Dalam hal puisi pun biasanya halaman tidak terisi penuh (lariklariknya tidak panjang) dan bait-baitnya dipisahkan oleh bidang-bidang putih atau larik-larik kosong. Perbedaan antara roman dan novel ditentukan panjangnya teks atau jumlah kata. Luxemburg, dkk. (1989) juga membagi bab-bab dalam bukunya menjadi teks-teks naratif, teks-teks drama dan teks-teks puisi. Teks naratif sering disebut juga jenis fiksi yang biasanya berbentuk prosa atau disebut prosa fiksi. Luxemburg membatasi teks naratif ialah semua teks yang tidak bersifat dialog dan yang isinya merupakan suatu kisah sejarah, sebuah deretan peristiwa. Teks-teks drama ialah semua teks yang bersifat dialog-dialog dan yang 6

7 isinya membentangkan sebuah alur. Sedang teks-teks puisi ialah semua teks monolog yang isinya tidak pertama-tama merupakan sebuah alur. Bila ditinjau secara pragmatis, ada keunggulan masing-masing jenis tersebut. Jenis prosa atau gancaran, memiliki keunggulan-keunggulan komunikatif, antara lain: lugas dan jelas. Lugas, maksudnya secara umum lebih banyak menggunakan kosa kata sehari-hari sehingga lebih mudah untuk dicerna pembaca. Sedang jelas, maksudnya secara umum lebih banyak menggunakan stuktur gramatikal sesuai dengan standar bahasa formal yang berlaku. Kedua sifat gancaran tersebut berimplikasi lebih lanjut pada sifat yang lebih komunikatif. Artinya, sangat memungkinkan bagi pembaca untuk memahami isinya dalam waktu yang relatif singkat. Pembaca mengerti dan memahami hanya dengan sekali baca. Jenis puisi memiliki keunggulan-keunggulan estetis, yakni antara lain menekankan pemilihan diksi yang padat, bebas dan indah. Padat, artinya bahwa dalam satu kata puisi dapat menampung keluasan makna imajinatif sehingga menawarkan pemaknaan yang relatif lebih atau sangat dalam. Bebas, maksudnya tidak sangat terikat oleh kaidah-kaidah linguistis, seperti halnya kaidah fonemik, morfemik atau kaidah gramatikal. Larik-larik puisi tidak harus berstruktur seperti kalimat formal, ada subyeknya ada predikatnya dan seterusnya. Indah, maksudnya menekankan pentingnya segala unsur yang bernilai keagungan seni, termasuk persajakan dan permainan bunyi, permainan tipografi, serta unsur-unsur estetika lainnya. Diksi, atau pemilihan kata dalam puisi, misalnya, sebagian menekankan keindahan bunyi dalam persajakannya. Persajakan ini akan sangat terasa ketika puisi yang bersangkutan dibacakan atau dilagukan. Sebagian besar lagu atau nyanyian, sangat menekankan persajakan, karena dalam persajakan terkandung keindahan bunyi. Ketiga sifat puisi tersebut secara estetis membuatnya tidak kaku tidak membosankan dan kaya akan makna. Jenis drama menekankan dialog dan lakuan yang mengarah pada konflik para pelakunya. Jenis ini tentu saja memiliki keunggulan aksi dramatik. Artinya, jenis drama lebih banyak menawarkan gerak laku dan pembicaraan efektif yang berisi alur cerita. Dengan demikian pengekspresiannya diaktualisasikan dalam pertunjukan. Drama akan menjadi sempurna manakala telah dipentaskan. Berbeda antara drama dengan dua jenis lainnya, terutama karena drama menawarkan proses pemaknaan secara kolektif, tidak hanya oleh perorangan. Dari segi cara sarana penuangan idenya atau cara penyebarannya, karya sastra dapat dibedakan menjadi sastra tulis, yakni menggunakan sarana tulisan, dan sastra lisan, yakni yang disebarkan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Kedua jenis sastra ini juga memiliki kekhasan karakteristiknya masing-masing. Sastra lisan lebih bersifat luwes, gampang menyesuaikan fungsi di masyarakatnya, sehingga mudah berubah dan sering muncul banyak versi. Sastra tulis lebih kaku pada bentuknya sehingga lebih tetap, namun mampu melewati batas-batas tempat dan waktu penyebarannya. Karya Negarakertagama dapat dibaca dan dimaknai di mana pun dan kapan pun. Tidak sedikit karya sastra lisan Jawa yang pantas mendapat tempat dalam diskusi sastra. Penggalan tembang pocung yang memuat bapak pocung pasar mlathi kidul Denggung adalah potret sastra lisan Jawa yang unik. Sastra Jawa niti yang memuat penggalan tembang kinanthi kang aran bebuden luhur, dudu pangkat dudu ngelmi, uga dudu kapinteran, lan dudu para winasis, apa maneh kasugihan, nanging mung sucining ati. Beberapa tembang yang berbunyi jago kluruk rame kapyarsi, lalwa kalong luru pandhelikan, jrih kawanan ing semune, wetan bang sulakipun, mretandhani yen bangun enjing, rembulan wus gumlewang, sakulone gunung, ing pradesan wiwit obah, lanang wadon smya anambut kardi, netepi kuwajiban. Tembang tersebut sungguh problematis sebagai sastra lisan, siapa dan kapan dicipta tidak jelas. Jadi baik sastra tulis maupun lisan memiliki peran penting dalam pembelajaran. Sebagian sastra lisan menurut hemat saya amat menarik diperbincangkan, dari aspek nilai pendidikan karakter. Genre sastra lisan pun amat banyak ragamnya. Dalam buku Tradisi Lisan Jawa, 2003, banyak dipaparkan sastra lisan yang memiliki nilai budi luhur. Karya-karya tersebut amat menarik dijadikan bahan ajar di sekolah. 7

8 C. Sastra dan Bahasa Jawa Pembicaraan mengenai sastra Jawa, pada dasarnya membicarakan karya sastra yang berbahasa Jawa, baik bahasa Jawa Kuna, Jawa Pertengahan, maupun bahasa Jawa baru, dengan latar belakang pengaruh kebudayaan tertentu dan dalam jenis sastra dan bentuk sastra tertentu. Menurut Poerbatjaraka (1964: 68), penggunaan bahasa Jawa Kuna dalam kehidupan sehari-hari hanya sampai pada waktu sebelum berdirinya kerajaan Singasari. Setelah itu, orang sudah menggunakan bahasa Jawa Pertengahan. Pada jaman Majapahit, bahasa Jawa Pertengahan sudah menjadi bahasa sehari-hari dan bahasa umum. Namun demikian dalam bahasa sastra, para pujangga Majapahit masih menggunakan bahasa Jawa Kuna, seperti dalam Nagarakretagama, Arjunawijaya, dan sebagainya, bahkan tradisi penulisan sastra dengan bahasa Jawa Kuna masih dapat ditemukan di Bali pada jaman modern ini. Adapun menurut Zoetmulder (1983: 29-37), istilah bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan bukanlah semata-mata pembagian secara kronologis, bahwa Jawa Pertengahan berawal dari bahasa Jawa Kuna. Bahasa Jawa Pertengahan tidak menjembatani bahasa Jawa Kuna dengan bahasa Jawa Modern. Pembagian kronologis berdasarkan bahasa sering merupakan landasan yang rapuh, yang harus dipertimbangkan lebih jauh berdasarkan bukti-bukti lain. Zoetmulder mengetengahkan fakta kerapuhan bukti linguistis atau evidensi intern itu dengan menarik simpulan bahwa pada abad ke-16 sebenarnya sudah terdapat tiga jenis bahasa sekaligus, yakni Jawa Kuna, Jawa Pertengahan dan Jawa Modern. Namun demikian hingga kini belum jelas pemetaannya, di daerah bagian mana atau situasi seperti apa berlaku bahasa Jawa Kuna, berlaku bahasa Jawa Pertengahan atau bahasa Jawa Baru. Masing-masing dari ketiga jenis bahasa Jawa di atas, juga memiliki karakteristik yang khas, yang berhubungan dengan karakteristik sosial tertentu dan estetikanya masingmasing. Sebagai misal, bahasa Jawa Kuna, dalam banyak kasus menekankan aspek keindahan (kalangwan) dalam hubungannya antara penyair dan karya sastranya dengan raja, dewa dan lingkungan alam, baik alam dalam pola pikir di India maupun di Jawa. Bahasa Jawa Pertengahan, pada beberapa hasil sastra kidung tampak menekankan aspek historis dan penokohan pahlawan-pahlawan tertentu, serta kondisi lingkungan sosial di Jawa terutama dari Kerajaan Majapahit. Sedang pada bahasa Jawa Baru, sebagiannya merupakan penulisan kembali karya-karya sastra lama, sebagiannya lagi merupakan karya baru yang bernuansa Islami atau lingkungan sosial pada jaman Pesisiran, atau karya-karya jaman Mataram. Sebagian lagi merupakan karya modern yang telah mendapat pengaruh Barat dengan menekankan kehidupan keseharian. Yang perlu juga dicatat adalah bahwa dalam bahasa Jawa Baru ditekankan adanya undha-usuk, yakni tataran kebahasaan dalam hubungannya dengan status pembicara terhadap orang yang diajak berbicara. Dalam undha-usuk, setidaknya terdapat basa ngoko, ngoko alus dan krama, yang sesungguhnya dapat lebih diperinci lagi. Undha-usuk berhubungan dengan status usia (lebih tua, seusia atau lebih muda), tingkat kekerabatan (lebih tua atau lebih muda status kekerabatannya), status sosial (lebih tinggi sehingga dihormati, sederajad atau lebih rendah), dan tingkat kebiasaannya (orang asing lebih dihormati dari orang yang terbiasa bertemu). Dalam konteks sosial, penggunaan undha-usuk dalam bahasa Jawa Baru telah membantu pengkajian sastra untuk merekonstruksi struktur sosial yang ada dalam karya sastra dan atau dalam hubungannya dengan struktur sosial yang sesungguhnya dalam realitas kehidupan orang Jawa. Di samping hal-hal di atas, dalam hubungannya dengan jenis karya sastra Jawa, sering kali dijumpai jenis-jenis sastra Jawa tertentu yang banyak menekankan penggunaan bahasa Jawa tertentu pula. Dalam sastra wayang, misalnya, meskipun muncul dengan bahasa Jawa Baru pada dekade belakangan, namun penggunaan bahasa Jawa Kuna dan bahasa Jawa Pertengahan masih relatif dominan. Bahasa-bahasa klise pada tokoh-tokoh wayang tertentu menjadi ciri khas sekaligus menawarkan kemungkinan maknanya masingmasing. Narada dengan bahasa klise Prekencong waru dhoyong, Drona dengan Blegudhug monyor-monyorbuntute selikur dina, Semar dengan Blegeguweg Ugeg-ugeg sadulita hemelhemel, dsb 8

9 Dalam sastra suluk atau wirid dan sastra Islami lainnya, termasuk sastra Pesisiran, tentu saja penggunaan bahasa dengan pengaruh bahasa Arab akan tampak dominan. Sedang dalam sastra Jawa yang berjenis novel, novelet cerpen (cerkak), geguritan, dan sandiwara modern, penggunaan bahasa Jawa Baru sehari-hari tampak paling dominan. Dalam hubungannya dengan bentuk puisi tembang, khususnya tembang macapat, disesuaikan dengan kepentingan kaidah tembang yang bersangkutan, sehingga pada umumnya banyak menggunakan kosa kata bahasa yang khas untuk tembang. Sebagai contoh kata Mataram sering diganti dengan kata Mentawis atau Matarum atau Ngeksiganda demi mendapatkan bunyi vokal akhir baris (guru lagu) atau jumlah suku kata pada baris tertentu (guru wilangan) yang sesuai. Demikian pula baris Anoman sampun malumpat dapat saja dibalik menjadi Anoman malumpat sampun, juga demi ketentuan guru lagu. Kata sawiji dapat diganti dengan kata sajuga, bahkan sawiyos, dsb. D. Genre Sastra Jawa Berdasarkan bentuknya, terdapat jenis prosa (gancaran), Puisi (kakawin, Kidung, tembang, geguritan), dan drama. Jenis drama tidak banyak ditulis atau dikupas oleh pakarpakar sastra Jawa Kuna bahkan juga Sastra Jawa Modern. Agaknya jenis drama yakni teks tertulis atau teks lakon, yang dimaksudkan sebagai pedoman pentas seni drama di panggung, penulisannya belum ditekankan dalam bahasa Jawa Kuna dan tidak sangat produktif pada sastra Jawa modern. Dalam sastra Jawa masih terdapat bentuk-bentuk lain yang mesti perlu lebih dicermati, dalam rangka klasifikasi jenisnya, yakni antara lain jenis-jenis sastra yang menggunakan basa rinengga (bahasa indah), seperti halnya bahasa protokoler, panyandra, sastra dalam pedalangan, dsb., yang dari sisi tertentu bersifat prosais sekaligus puitis (puisi liris), bahkan juga dalam bentuk dialog-dialog drama tertentu yang bersifat klise stereotip. Dalam bahasa Jawa Baru, khususnya drama tradisional seperti wayang, dikenal bentuk pakem (pedoman untuk pementasan), baik pakem jangkep (pedoman pertunjukan lengkap) maupun pakem balungan (petunjuk pembabakan atau pengadegannya saja). Bila ditinjau dari segi isi pembicaraan atau tema-temanya, karya sastra Jawa Modern, dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, yakni sebagai berikut. 1. Babad. Sastra babad pada umumnya berisi tentang sejarah lokal yang ditulis dengan cara pandang tradisional, sehingga dibumbui dengan berbagai cerita yang bersifat pralogis atau bahkan bersifat fiktif dan simbolik. Di dalamnya sering kali berisi genealogi, mitologi, legenda, cerita orang suci, kesaktian dan kekebalan tubuh terhadap senjata tajam, ramalan, mimpi, wahyu, dsb. yang dari segi logika sering kali tidak masuk akal. Babad sering ditulis dalam bentuk puisi (tembang), namun membentangkan bentuk kisahan atau naratif. Juduljudul sastra babad biasanya berhubungan dengan nama tempat, daerah, kerajaan, nama suatu kejadian atau peristiwa yang monumental, dsb. atau berhubungan dengan tokoh besar terentu. 2. Niti atau Wulang atau Pitutur Kata niti berasal dari bahasa Sansekerta yakni akar kata ni yang berati menuntun. Niti berarti tuntunan. Jenis sastra niti berisi tentang ajaran atau wulang atau pitutur ke arah kebaikan, antara lain tentang etika atau moral, tatacara atau upacara tradisi tertentu, sikap dan sifat-sifat seseorang dalam menghadap atau mengabdi pada raja atau penguasa, orang tua, dsb. 3. Suluk dan Wirid Istilah suluk dalam khasanah sastra Jawa ada dua macam, yakni suluk pedalangan dan suluk yang berisi ajaran tasawuf. Suluk pedalangan ialah jenis puisi tembang, yang sering dilantunkan oleh seorang dalang dalam seni pewayangan. Suluk jenis ini berfungsi sebagai pendukung latar suasana pada bagian-bagian cerita tertentu, misalnya untuk suasana sedih akan dilantunkan jenis suluk yang disebut tlutur. 9

10 Jenis sastra suluk tasawuf berisi tentang ajaran kesempurnaan hidup dalam hubungannya dengan ajaran tasawuf Islam atau Islam-kejawen. Dalam ajaran ini pada umumnya dibicarakan tentang sangkan paraning dumadi yakni asal dan tujuan hidup manusia. Di dalamnya, sering kali dijumpai idiom-idiom yang berhubungan dengan falsafah hidup dan masalah kemanusiaan dalam hubungannya dengan ketuhanan, atau bentuk isbat seperti nggoleki susuhing angin, nggoleki galihing kangkung, atau nggoleki tapaking kuntul nglayang, warangka manjing curiga, kodhok ngemuli lenge, dan sebagainya. Sebagian sastra suluk ditulis dalam bentuk dialog, baik antara guru dengan murid, antara sahabat, antara orang tua dengan anak atau cucu, atau antara suami dengan isteri. 4. Wiracarita Khasanah sastra Jawa diwarnai dengan kitab-kitab dan cerita-cerita lisan yang berbentuk roman berisi wiracarita, yang sebagiannya diimpor dari luar negeri, antara lain dari India (wayang purwa), dari Persi (Menak), dari Cina (wayang potehi), dsb. a) Sastra Wayang Purwa Kata wayang pada mulanya merujuk pada jenis pertunjukannya, yakni pertunjukan bayang-bayang. Kata wayang memang berarti bayang-bayang. Kata wayang, pada mulanya disinyalir dalam hubungannya dengan prosesi sebagai pemujaan kepada Hyang, atau dewa penguasa alam semesta. Bila mengacu pada pengertian pertunjukan ini, sastra wayang setidak-tidaknya terdiri atas cerita kepahlawanannya (wiracarita), suluk pedalangannya, tembang-tembang yang dilagukan oleh para pesindennya (vokalis putri) dan senggakan atau gerongan yang dilagukan oleh para wiraswaranya (vokalis pria), dsb. Drama wayang ini sering disebut dengan istilah wayang purwa. Pada dasarnya cerita dalam wayang purwa dapat dikelompokkan dalam cerita siklus Arjunasasrabahu (dari Serat Lokapala), Siklus Rama (dari Ramayana) dan siklus Pandawa (dari Mahabharata). Selain pada wayang purwa, sebagian cerita wayang bersumber pada cerita Menak, cerita Panji, cerita binatang, atau beberapa di antaranya berasal dari cerita yang lain, yakni cerita keagamaan (wayang sadat, wayang wahyu), atau cerita perjuangan kemerdekaan Indonesia (wayang perjuangan, wayang Pancasila). b) Menak Sastra Menak bersumber pada Serat Menak. Serat Menak merupakan wiracarita ke-islaman yang berkembang populer di Jawa, yang menceritakan tokoh utama Wong Agung Menak atau Bagindha Ambyah. Wiracarita ke-islaman yang lain, misalnya Serat Iskandar dan Serat Yusuf, pada umumnya diimpor sebagai babon cerita kesenian kethoprak dan sejenis wayang. Sebelum berkembang di Jawa, Sastra Menak berkembang di Melayu dengan judul Hikayat Amir Hamzah. Cerita ini terbukti berasal dari Persi. Di Jawa, tokoh Amir Hamzah dianggap sebagai tokoh Jawa dengan sebutan Menak. c) Panji Sastra Panji berisi petualangan atau pengembaraan dengan motif percintaan dan penyamaran. Tokoh utamanya bernama Panji Inu Kertapati yang menjalin cinta dengan kekasihnya Galuh Candrakirana, dan ceritanya berhubungan dengan kerajaan Kediri, Jenggala, Gegelang dan Singasari di Jawa Timur. Cerita Panji disinyalir sebagai cerita asli Indonesia, yang berkembang hingga ke dataran Cina. 5. Dongeng dan Jagading Lelembut Antara dongeng, jagading lelembut, dan cerkak penekanan isinya berbeda. Cerkak biasanya berisi cerita kehidupan manusia sehari-hari. Dongeng berisi cerita ngaya wara, khayal (fantastis) dengan tokoh manusia, binatang, atau benda-benda tertentu. Sedang jagading lelembut, berisi cerita tentang manusia dalam hubungannya dengan dunia hantu. Namun demikian juga terdapat jenis cerkak yang menekankan cerita surealisme, misalnya dengan tokoh-tokoh yakni bagian-bagian tubuh manusia yang dapat berbicara sendiri- 10

11 sendiri. Dengan demikian, terutama perbedaan cerkak dengan dongeng, dalam beberapa segi, sering kali menjadi sulit ditentukan. 6. Cerita Rakyat Dalam khasanah budaya Jawa juga hidup subur jenis cerita rakyat. Dari sisi isinya cerita rakyat dapat dikategorikan sebagai dongeng yang di dalamnya sering berisi mithe, legenda, atau dibumbui fabel. Jenis cerita rakyat, sebagaimana namanya pada mulanya berkembang melalui tradisi lisan, diceritakan dari mulut ke mulut. Namun setelah munculnya media massa cetak, khususnya majalah berbahasa Jawa, cerita rakyat mendapat perhatian khusus dan hampir selalu ada rubriknya. Cerita rakyat pada umumnya berkembang terpusat pada daerah di sekitar cerita rakyat tersebut muncul dengan setting tempat yang ada di sekitar lokasi penyebarannya. Cerita rakyat dapat berupa legenda cikal bakal atau terjadinya tempat tertentu seperti daerah atau kota atau gunung tertentu. Contoh terjadinya kota Banyuwangi. Cerita rakyat juga dapat berupa mitos tertentu, dapat juga dihubungkan dengan mitologi dari wayang purwa, misalnya terjadinya sungai serayu, terjadinya goa Kiskendha, dan sebagainya. Secara umum, yang menjadi ciri cerita rakyat adalah adanya kepercayaan masyarakat pendukungnya bahwa cerita tersebut pernah terjadi di daerah yang bersangkutan, sehingga sering kali berhubungan dengan upacara adat tertentu atau gugon tuhon tertentu. 7. Kisah Perjalanan dan Biografi Kisah Perjalanan dan Biografi merupakan karya sastra prosa atau puisi yang bentuknya seperti novel, novelet atau cerpen, namun isinya semacam laporan perjalanan, biografi atau otobiografi. Karya-karya ini pada umumnya lebih menyerupai bentuk jurnalistik, sehingga estetika fiksinya tidak begitu menonjol. 8. Primbon Primbon yakni jenis karangan yang berisi catatan kumpulan berbagai keilmuan Jawa, baik yang bersifat logis maupun pralogis, yang juga merupakan kumpulan dari folklor, yakni sejumlah sastra atau budaya lisan, setengah lisan atau bukan lisan. Secara garis besar (Subalidinata, tt.: 7) primbon berisi empat masalah pokok, yakni kelahiran, perkawinan, kematian dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Kata primbon berasal dari pariimbu-an. Kata imbu berarti simpan. Jadi primbon dapat berarti simpanan kumpulan catatan, yakni catatan berbagai keilmuan atau pengetahuan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa. Pada umumnya primbon ditulis dalam bentuk prosa, namun dalam sejumlah permasalahan kadang kala juga berupa puisi, seperti halnya puisi mantera. Yang termasuk pembicaraan dalam primbon antara lain, perbintangan, pengobatan tradisional, perhitungan waktu baik dan buruk, perhitungan struktur dan letak bangunan rumah, katuranggan ( ciri-ciri fisik dan karakteristiknya) untuk binatang piaraan tertentu (kuda, ayam jago, burung perkutut) dan wanita dan sebagainya. 9. Novel, Cerbung dan cerkak Jenis novel, cerbung dan cerkak, sebenarnya bukan hasil klasifikasi dari segi tematik isinya seperti halnya jenis-jenis di atas, tapi dari segi struktur atau bentuk sastranya. Namun demikiaan pada umumnya jenis ini memiliki kesamaan tema yang khas, yakni bercerita tentang kehidupan sehari-hari tokoh-tokoh dari masyarakat awam, dan tidak bersifat istanasentris. Jenis ini merupakan hasil karya sastra Jawa modern yang pada umumnya berbentuk prosa. Jenis novel, cerbung dan cerkak merupakan jenis karya sastra Jawa modern yang merupakan hasil pengaruh sastra dan teori sastra Barat. Jenis ini pada mulanya muncul di Jawa sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, dalam bentuk yang menekankan dedaktik moral. Novel yang pertama kali dianggap sebagai susastra dan tidak dirusakkan oleh kecenderungan pengajaran secara fulgar pada dedaktik moral adalah Serat Riyanta karya R.B. Sulardi, diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1920 (Ras, 1985: 13). Adapun jenis cerkak baru muncul pada 1935 berjudul Sandhal Jinjit ing Sekaten Sala oleh 11

12 Sri Susinah (Sedyawati, dkk, ed, 2001: 369) kemudian Netepi Kwajiban karya Sambo (Ras, 1985: 19), keduanya dimuat dalam majalah Panjebar Semangat 2 dan 9 Nopember E. Puisi Jawa Modern Ditinjau dari bentuknya, puisi Jawa modern dapat dibagi menjadi dua golongan, yakni: (1) puisi Jawa tradisional dengan bentuk yang mematuhi berbagai aturan konvensional yang telah ada secara turun temurun, dan (2) puisi Jawa modern atau geguritan modern dengan bentuk yang kurang atau tidak harus mematuhi berbagai aturan konvensional. Pada puisi Jawa tradisional, masih dapat dibagi lagi menjadi sebagai berikut. a) Tembang Yasan atau Tembang Miji Tembang yasan mempunyai ciri-ciri yang mapan, yakni (1) diciptakan oleh para wali, bangsawan atau raja, (2) patokan bentuknya sangat kuat, dan (3) dapat mencapai pupuh. Dalam jenis tembang yasan, terdapat pola metris yang ditentukan oleh beberapa hal, baik yang menyangkut patokan lampah atau tiga patokan pokok, yakni guru lagu, guru wilangan dan guru gatra. Karena patokan tiap baitnya sangat kuat, tembang yasan dapat mencapai pupuh. b) Tembang Para Berbeda dengan tembang yasan, tembang para pada umumnya tidak mengenal pupuh. Artinya kesatuan bait-baitnya tidak dapat disebut pupuh karena patokan bait-baitnya tidak konsisten. Jadi pada umumnya, antara bait yang satu dengan bait selanjutnya berbedabeda pola metrisnya, baik yang menyangkut jumlah barisnya, jumlah suku katanya, maupun persajakannya. Jenis tembang para, antara lain berupa wangsalan, parikan, guritan, dsb. c) Wangsalan Wangsalan adalah bentuk ungkapan yang dinyatakan secara tidak langsung, hanya dinyatakan melalui bentuk sejenis teka-teki yang memiliki tebusan atau jawaban, dan dalam jawaban itu menyiratkan atau berhubungan dengan maksud ungkapan tertentu. Agaknya kata wangsalan berhubungan dengan kata wangsulan yang berarti jawaban. Jadi dalam wangsalan terdapat jawaban teka-teki dan maksud ungkapan. Hubungan antara jawaban teka-teki dengan maksud ungkapan, dapat berupa persajakan, kesamaan suku kata, atau kesamaan kata tertentu. Namun, persajakannya tidak dalam wujud eksplisit, karena jawaban teka-tekinya diketahui tetapi tidak disebutkan. Tampaknya, wangsalan merupakan bentuk sastra Jawa yang istimewa, karena menyuguhkan teka-teki sekaligus persajakan secara implisit. Contoh: Nahu goreng mbok aja macem-macem. d) Parikan Menurut Padmosoekotjo (tt, jld. II: 16) parikan mempunyai aturan tiga macam, yakni sebagai berikut. a. Terdiri atas dua kalimat yang dalam ikatannya menggunakan purwakanthi guruswara (asonansi). b. Tiap kalimat terdiri atas dua gatra. c. Kalimat pertama sebagai sampiran dan isinya terdapat dalam kalimat kedua. Pada tradisi pernikahan Jawa, parikan sering dilontarkan pada saat acara yang disebut kacar-kucur oleh seorang dukun manten, misalnya: Kacar-kucur ngndhuh kencur/ kacar kucur nadhahi kekucur/ mantene anyar mung saba kasur/ rampung mangan njur dha saba sumur. e) Guritan dan Geguritan Kata guritan dapat berasal dari kata gurit mendapat akhiran -an. Gurit berarti tulisan atau pahatan atau senandung. Kata nggegurit dapat berarti menggubah puisi atau bersenandung. Kata guritan juga dapat terbentuk dari kata gurita dan akhiran -an. Kata gurita berarti tempat tulisan dari kayu. Jadi guritan merupakan pahatan tulisan pada kayu. 12

13 Kiranya dua pendapat tersebut tidak terlalu jauh berbeda, mengingat hasilnya adalah sebuah puisi. Jenis guritan semula dimulai dengan baris sun gurit, dakgurit, guritanku, dsb, Pada perkembangan terakhir, muncul istilah geguritan. Pada mulanya geguritan tidak jauh berbeda dengan guritan, namun semakin lama semakin meninggalkan aturan-aturan yang berlaku, hingga menjadi bentuk puisi bebas. Artinya, jumlah barisnya bebas, jumlah suku katanya bebas, persajakannya bebas. Aturan-aturan yang ada dianggap sebagai bentuk yang menjenuhkan, sehingga kalau pun terdapat sisa-sisa aturan yang dirujuk, sifatnya hanya pada bagian-bagian tertentu saja. Misalnya, persajakan yang ada hanya pada baris-baris tertentu, kesamaan jumlah suku katanya hanya pada baris-baris tertentu, dsb. F. Drama Jawa Modern Harymawan (1993: 1) mencatat bahwa istilah drama berasal dari bahasa Yunani, yakni dari kata draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, berekreasi dsb. Sedang menurut Henry Guntur Tarigan (1984: 69), mengacu pada Morris (1964), istilah drama berasal dari bahasa Greek, yakni dari kata dran yang berarti berbuat. Dengan demikian, walau sedikit berbeda, pada dasarnya dalam istilah drama terkandung makna berbuat sesuatu. Istilah lain bagi drama, yakni teater, lakon, tnil dan sandiwara. Mbijo Saleh (1967: 26-27), menyatakan bahwa istilah sandiwara diciptakan oleh KGPAA. Mangkunegara VII, berasal dari bahasa Jawa sandhi yang berarti rahasia dan warah yang berarti ajaran. Sandiwara berarti pengajaran yang dilakukan dengan perlambang. Menurut Adhy Asmara (1986: 9), istilah sandiwara mulai populer di Indonesia pada Jaman Jepang ( ). Dalam hal ini sandiwara dapat berarti teks drama atau pertunjukan drama. Di bawah ini ada contoh drama Jawamodern yang bersetting sastra Jawa klasik. Mari kita praktikan, untuk memperkaya pembelajaran. Drona Gugat dening Suwardi Endraswara SIJI PANGGUNG DIWENEHI KELIR CILIK. KELIR WARNA KUNING GADHING. DIENTHA PERSIS PAGELARAN WAYANG KULIT SEWENGI NATAS. PENGENDHANGE, NYLOMOT DUPA KUMELUN SEKA MBURINE KI DHALANG. NJUR SINDHEN NYEBAR-NYEBAR KEMBANG ING NGAREPE PENONTON. SEBARAN KEMBANG NGIRAS KANGGO MATESI WILAYAHE PENONTON. ORA KENA MAJU, NYEDHAK PANGGUNG. PENGGENDER MIWITI GENDHING PATALON: "HANACARAKA, DATASAWALA, PADHAJAYANYA, MAGABATHANGA" (PING TELU, NYENGKOK LAGON SUWE ORA JAMU). PENONTONE MUNG NDONGONG, KEBAK PITAKON DAWA. KI CERMO SABDA: Sebet byar wauta mangkana. Ing tlatah awang-uwung wus kumelun dupa. Keluke nungsang gunung. Ngebaki pasewakan agung. Ing kono para pangasta pusaraning adil katon manganggo kacamata ireng-ireng. Nganti blereng nyawang setumpuk cathetan kadurjanan kang dhuwure ngungkuli kursi tuwa. Pawongan kang kapidana mung katon kethapkethip bakal nampa tibaning palu gendam sing wus kebak sandiwara langu. KI DHALANG NGOBAT-ABITAKE GUNUNGAN PAPAT BARENG. PAKELIRAN SAYA PUYENG. GAMELAN TING KETHONGKLENG, BLERO. ORA RUNTUT NJUR PANGGUNG MALIK PETENG NDHEDHET, LAMPU DIPATENI. 13

14 LORO MBAHJUMPRIT: (NYECEKUDUTE,AMBEGANLANDHUNG) Dhalang gendheng! YU GIYOK: (NGGUYER SUSURE, DIBUtYIANG ING PETENGAN) Ra sah komentar Mbah. Kari nonton, kakehan nyacad. MBAH JUMPRIT: Dhalang ora melek pakem, gombal. YU GIYOK : Saiki apa ta mbah sing nganggo pakem. Kaya janturane ki dhalang mau, nyatane ukum adil wae ya wis mlenceng seka pakem, apameneh dhalange, lha seni kok mbah. MBAH JUMPRIT: Uhhhhh! MEH RONG MENITAN PAKELIRAN PANGGUNG PETENG. KABEH MENENG. LAGI WIWIT PAGELARAN MENEH NALIKA SINDHENE NGIDUNG DHANDHANGGULA LIKSULING PELOG PATET NEM. SINDHEN: Ana kidung sun angidung wengi Bebaratan duk amrem winaca Sanghyang guru pangadege Lumaku sanghyang Bayu Alambeyan asmara ening Ngadeg pangawak teja Kang angidung iku Yen kinarya angawula Myang lelungan Gusti gething dadi asih Syaitan sato sumimpang PAK BOTHAK: (NYEDHAKI KI DIIAIANG, NGLOROT LEMBARAN SEKA SAK KATHOK) Empun dhong ta njenengan? Empun kleru le nglakokak wayang. Wayang sak niki, angel dijogedke 1ho. Beda wayang ) aman riyin, gampang diluk. KI CERMO SABDA: (MESEM, KAMBI NGINGSET KERISE, NJUR MBESELAKE AMPLOP SING LEBAR DITAMPANI) Beres. Kula pun kulina mayang lampahan niki. Kulina dolanan pakem, nyebal saking kelir, pun biasa. Lha saniki sing payu nggih sing ngeten niki. PAK BOTHAK: Ha ha ha ha haaaaa...! So Pak! 14

15 TELU KI DHALANG NOTHOK KOTHAK, JEJERAN. GENDHING ALON. SEKA KOTHAK, KI DHALANG NGLOROT WAYANG PENDHITA DRONA SEKA NJERO MORI PUTIH. NJUR DIUNGKULAKE ING SIRAHE KI DHALANG, DIDONGANI UMAK-UMIK. GENDHING SIREP KI CERMO SABDA: O, lole-lole irung gajah jare dale. Wong-wong sing ndewakake gajah saya gumedhe. Alelogo-alelogo wong-wong bodho kudu ngundhuh bodhone. Wong-wong wasis ngukel tembung, saya isis. O, dhasar semarang kaline banjir, emoh wirang seneng mukir. Okeoke, eh oleole, mblegudhug monyor-monyor telung puluh loro taun, nggonku dadi guruning Kurawa Ian Pandhawa. Guru sejati. Nanging piwalese ora ana. Malah dha nyucuh, o, tobil-tobil anak kadhal. Bareng ora ana dhwvit sebribil, karepe dha arep njranthal, golek slamete dhewe. Kurang ajar. O, ndadak priyayi tuwek bangkrek ngene kok arep dilarak-larak meneh. rlrep dijeblosake neng pakunjaran? Ora bisa! No way. Aku iki tilas Kumbayana, prajurit peng-pengan, kok anggep baen-baen. 0..., krokkrok-krok...(drona watuk-watuk, njur srot, idu njijiki). MBAH JUMPRIT: Kurang asem tenan dhalang siji iki. Sontoloyo. Uh, semprul. Awas tenan, anggere Drona kae ora dicoklek-coklek, kuwi memala. Dhalang goblog. Drona kuwi sumbering angkara murka, kok ora diremuk sisan. Lha mbok gek ngetokake Setiyaki kon mbithi, apa Werkudara sisan, ben diudhet-udhet, ben mbrodhol. Wong tuwek ngempit ngindhit dosa wae, dieman, uh! YU GIYOK: Sabar, sabar Mbah. Penjenengan ki isih ngugemi penemu lawas. Dumeh kakehan luput ki mesthi dikunjara? Ora Mbah, jaman saiki ki kuning bisa dipoles abang. Ngowahi rupa ngene gampang banget, waton slamet Mbah. MBAH JUMPRIT: Semprul! YU GIYOK: Sing semprul ki sing nonton apa dhalange Mbah? MBAH JUMPRIT: Mbuh! YU GIYOK: Kae, sing kleru dudu dhalange, lung PAK BOTHAK, sing ngundang. Lakon pesenan ki cen ngana kae Mbah. Ora sah nggedumel. MBAH JUMPRIT: Yo didhemo wae, yen ndadra. Yen Drona tetep mege-meger, dikrutugi watu wae. Ben sisan le rame. YU GIYOK: 15

16 Wah, mengko malah sing keseret neng walike tralis wesi njenengan Mbah. Pakeliran niki dijaga aparat lho Mbah. Mangka, meh kabeh aparat teluk kaliyan PAK BOTHAK, pripun? Tur, kronine nggih kathah. Lha meh penggedhe, penyidik, jaksa, Ian hakim gedibale sedaya je, ajeng pripun nek empun ngoten niku? PAK BOTHAK: (MESAM-MESEM, KEPLOK, NJUR NGGRENENG DHEWE) Oke, oke, apik. Ben penonton dha kapok. Dikira aku ora bisa pesen lakon, oooo! Apa jare, BOTHAK kok dha disepelekake. MBAH JUMPRIT: Penyakit, wong sugih siji iki. Pesen lakon wayang wae sing ora kemedol. Ora nggenah. Sajake dhalange ya mambu nepotisme. Kurang ajar. YU GIYOK: Wong sugih kuwi wenang, Mbah. Dhuwit kuwi rosa. Rekayasa modhel apa wae bisa. Ing donya ngeten iki angka tetep luwih kuwasa. KI CERMA SABDA: Kocap kacarita sang pandhita sedhakep saluku tunggal nutupi babahan hawa sanga. Pandhita wegig Sokalima, luhe ndlewer. Nangis marang panguwasane pengadilan, dewaning adil. Uga nangisi marang nasibe sing ldjenan. Nangisi marang tumindake iialika isih ngadeg jejeg. Tau tumuidak nggendhong melik, kanggo kamulyaning Kurawa. Krana alus-alusan, Pandhawa bisa kerimuk, diremet kaya rempeyek. Ora nyana, pandhita Drona mateg aji Sapu Angin, nedya gugat menyang Kahyangan Junggring Salaka. Swasana malik panas, geter pater pepuyengan. PAPAT GENDHING GANDAMASTUTI, SEDHIH. PAKELIRAN RIYEPRIYEP. PANGGUNG LAMPUNE MBLERET. PENDHITA DRONt1 SEDHAKEP KEKET, SUSAH NENG CEDHAK GUNUNGAN. ETHOK-ETHOK LARA, SAJAKE. PENONTON KONTAN MUNI: HUUUUUUU! GENDHING RANGU-RANGU. PENDHITA DRONA NENDHANGI GUNUNGAN. NGOBRAK-ABRIK MAFCAPADA. MERGA MAUNE MUNG ETHOK-ETHOK LARA, KANTHI MATEG AJI SAPU ANGIN, KEKUAWATANE SAYA NGEDABEDABI. NGANTI KAHYANGAN OYAG. TERUS MUNGGAH MENYANG KAHYANGAN. GUGAT! KI CERMO SABDA: (SULUKJUGAG) Sangsaya dalu araras abyor lintang kumedhap Titi sonya madya ratri lumran gandaning puspita Ooooooooo... Karengwang pudyanira, oooooo... Sang dwijawara mbrengengeng Lir swaraning madubranta Oooooooo... PAK BOTHAK: (NGADEG, 1VYEDHAKI KI DHAL<4NG, ULUIVG -ULUNG AMPLOP MENEH, S AYA KANDEL) Nyah, tak tambahi. Teruske, kaya welingku lho. MBAH JUMPRIT: Siap! Ben kapok, diteror nganggo watu wae. 16

17 YU GIYOK: Gombal mukiya. Iki mesthi ana skenario raksasa. Teler ki. Nek marahi mendhokol, lha mbok ngangge bom rakitan sisan Mbah. Ben dhalange Ian pak BOTHAK mawas dhiri. PENONTON LIYANE: Iki jalukane! PENONTON NGUNCALAKE SANDHAL JEPIT, NYAWAT KI DHALANG ANDHAL JEPIT LAN SEPATU TING BLEBER. ANA SING NYAWAT PAK BOTHAK. EWASEMONO, PAKELIRAN TERUS LUMAKU. GENDHING RANGU-RANGU NYURUNG DRONA TEKAN Kr1HYANGAN. K.AHYANGAN GEGER. LIMA KI CERMO SABDA: Hong adualadi, kakang Kanekaputra, Kurawa sing dadi bandan nika, kudu diparingi pangentheng-entheng. Yen boten, Drona niki saged ngrisak Kahyangan. Pendhawa sing atone boten duwe dosa, nggih kudu diadili Kakang. PENONTON SAYA NGANGSEG MAJU. YUN-YUNAN, ORA KARUWAN NALIKt1 KRUNGU KOJAHE KI DHALANG, KATON MBELANI DRONA. MALAH SAYA SUWE, ANA SARUNG LAN KLAMBI SING DIUWEL-UWEL, KANGGO MBANDHEM KELIR. KI CERMO SABDA: O, merkencong warudhoyong lhodholo, ciahaha, adhi Guru ulun mboya sarujuk. Kurawa kudu tetep ditahan. Yen bandane diculake, wah, kirang wicaksana. Kurawa saged kesah dhateng tanah sabrang. Dewa badhe kecalan lacak. Sing kedah dirangket, nggih Drona niku. Madeg pandhita boten resik batine. Piyambake malah empun cetha ngerigaken kronikronine, ngrabasa teng Kahyangan. Mosok Drona dhewe ajeng diuculi bandane tangan kiwa nika, nika tangan elek, heee elek -elekelek... KONTAN T'ENONTON NGACUNGI JEMPOL. EWASEMONO, BATHARA GURU ISIH MENENG, DURUNG DHAWUH APAAPA. MULA PENONTON ANA SING NEKAD MENEH, NGUNCALI KOTANG- LAN CELDHAM TEKAN KELIR. SAJAKE KI DHALANG DHEWE JUDHEG AREP NERUSAKE LAKON. AREP MANUT PAK BOTHAK APA NGGUGU PENONTON SING SAYA NDHESEG. SAYA NEKAT MALAH ANA SING MELU NABUHI GAMELAN, NJUR NYOPOTI SIMPINGAN WAYANG BUTA-BUTA, MEH WAE DIIDAK-IDAK NGENGGON. NING APARAT KEAMANAN TERUS SIYAGA. YU GIYOK: Mbah, kae Dronane kok nggantung. MBAH JUMPRIT: Emmmm! (LEGA), ben modar sisan. Wong tuwek ekrak-ekrek, huuu, ora matekmatek. Asu tenani 17

18 PAK BOTHAK: Adhuhhhhhhh! KI DHALANG DHEWE SAJAKE JUDHEG, GAGE NYAUT PULANGGENI, SENJATAIiTE DROIVA, ENGGAL DILEPASAKE, KAREBEN TALI GANTLINGANE DRONA UCUL. TEMENAN SATTTTTT. EMANE, SENJATA KUWI NROBOS KELIR, NGANTI TUMANCEP ING WETENGE PAK BOTHAK, NJUR SAMBAT-SAMBAT BARENG GUMEBRUGE DRONA SEKA GANTUNGAN. KI DHALANG RIKAT NYANDHAK GUNUNGAN KANGGO NABLEG DRONA. PAK BOTHAK: Hoekkkk, hukkk..hukkk. Huajihhh. Huajihhh. Hoekkkk, hokkkkki (WETENG MUNGKtIG-MUNGKUG, WAHING, NJUR SROT NGECOHKE RIYAK TERUS MUTAH. SING DIWIITAHKE DHUIYIIT UWIEL-LIIVFLAN, CAMPUR RIAK IAN GE TIH. PAKELIRAN MALIK MAMB U BATHAlVG, NJIJIKI. MEH KABEH PENONTON LAN PENABUH, KATIIT MBITHENG IRUNG). TANCEP KAYON. GENDHING AYAK PAMUNGKAS KEPRUNGU SINDHENE NGADEG, MACA GURITAN PAMUNGKAS: ora wurung Drona sing nggugat jagat keparat kudu ngendhat talimurda dhadhung setan sing ngramte Drona, bakal ketatas :Yen wis ana tengara nigas wektu Kecrek kang ngembangi tangane Kurawa, bakal ucul :yen wis tekan tibane sengkala Gong o, mitraku Sucitra, iki Kumbayana biyen sing tau kepilut endahe bengawan Silugangga geneya kowe tegel ninggal kanca sapeguron jaman lara lapa ngoyak laron-laron kabur o, Gandamana sing wus nyangkrahi lakuku bakal dak tagih janjiku o, putu-putuku Pandawa tatasen tali gantungan iki kareben aku ngerti dununge Baratayuda besuk PENONTON LIYANE: Good! (NJUR NYALAMI DHALANGE). PAK BOTHAK: Kancil! (NJUR DADI DHAYANGAN, DIUSUNG NYANG KAMAR MBURI). G. Fungsi Sastra Jawa 1. Fungsi Dulce dan Utile Horace (Horatius) pernah mengemukakan pendapatnya bahwa sastra (puisi) harus memenuhi fungsi dulce dan utile: puisi itu indah dan berguna. Konsep indah dan berguna itu, harus berlaku sekaligus, karena bila indah saja berarti puisi itu menghibur saja dan cenderung bermain-main sehingga mengesampingkan ketekunan, keahlian, dan perencanaan sungguh-sungguh dari penyairnya. Sebaliknya, bila berguna saja, berarti melupakan kesenangan yang ditimbulkan oleh puisi. Dalam arti luas, konsep berguna tidak hanya dalam rangka berisi ajaran-ajaran moral, tetapi berarti tidak membuang-buang waktu, dan indah berarti tidak membosankan, bukan kewajiban atau memberikan kesenangan, maka fungsi itu telah terbukti, misalnya, Hegel mendapatkan fungsi itu dalam drama kesenangannya Antigone. Konsep indah dan berguna tersebut harus saling mengisi. Dalam sastra, kesenangan tidak hanya dalam arti fisik, tetapi lebih dari itu, yakni kontemplasi yang tidak mencari 18

19 keuntungan. Sedang manfaatnya keseriusan yang bersifat didaktis, adalah keseriusan yang menyenangkan, keseriusan estetis, keseriusan persepsi. 2. Fungsi Khusus Sastra Apakah sastra memiliki manfaat yang berbeda dengan sejarah, filsafat, musik atau bidang-bidang lainnya? Aristoteles pernah mengemukakan diktumnya yang terkenal, bahwa puisi lebih filosofis dari sejarah, karena sejarah berkaitan dengan hal-hal yang telah terjadi, sedang puisi berkaitan dengan hal-hal yang bisa terjadi, yakni hal-hal yang umum dan yang mungkin. Pada jaman neoklasik, Samuel Johnson masih menganggap puisi menyampaikan hal-hal yang umum (grandeur of generality), sedang para teoritikus abad ke-20 telah menekankan sifat khusus puisi. Teori sastra dan apologetics (pembelaan terhadap sastra) juga menekankan sifat tipikal sastra. Sastra dapat dianggap lebih umum dari sejarah dan biografi, tetapi lebih khusus dari psikologi dan sosiologi. Namun tingkat keumuman dan kekususannya berbeda-beda tiap sastra dan tiap periode. 3. Sastra dan Psikologi Salah satu nilai (fungsi) kognitif drama dan novel adalah segi psikologisnya. Menurut Wellek & Warren pernyataan yang sering terdengar adalah bahwa novelis dapat mengajarkan lebih banyak tentang sifat-sifat manusia daripada psikolog. Karen Horney menunjuk pada Dostoyevsky, Shakespeare, Ibsen, dan Balzac sebagai sumber studi psikologi. E.M. Forster menyatakan bahwa novel sangat berjasa mengungkapkan kehidupan batin tokoh-tokohnya. 4. Sastra dan Kebenaran Dalam hubungannya dengan kebenaran, Max Eastman menyangkal bahwa pada abad ilmu pengetahuan, pikiran sastra dapat mengungkapkan kebenaran. Bagi Eastman, pikiran sastra adalah pikiran amatir tanpa keahlian tertentu (khusus) dan warisan jaman pra-ilmu pengetahuan yang memanfaatkan sarana verbal untuk menciptakan kebenaran. Menurut pendapatnya, kebenaran dalam karya sastra sama dengan kebenaran di luar karya sastra, yakni pengetahuan sistematik yang dapat dibuktikan. Menurut Eastman, tugas penyair bukan menemukan dan menyampaikan pengetahuan. Fungsi utamanya adalah membuat orang melihat apa yang sehari-hari sudah ada di depannya, dan membayangkan apa yang secara konseptual dan nyata sebenarnya sudah diketahuinya. Menurut Wellek & Warren kontroversi antara ada dan tidaknya kebenaran dalam sastra bersifat semantik antara pengetahuan, kebenaran, kognisi, dan kebijaksanaan. Kalau kebenaran diartikan sebagai konsep dan proposisi, maka seni, termasuk seni sastra, bukan bentuk kebenaran. Apalagi jika batasan positif reduktif diterapkan, yakni bahwa kebenaran dibatasi pada apa yang dapat dibuktikan secara metodis oleh siapa saja. Namun secara umum, ahli-ahli estetika tidak menolak bahwa kebenaran merupakan kriteria atau ciri khas seni. Hal ini dikarenakan: 1) kebenaran adalah kehormatan sehingga memberi penghormatan pada seni; 2) bila seni itu tidak benar berarti seni itu bohong seperti tuduhan Plato. Menurut Wellek & Warren sastra rekaan adalah fiksi sebuah tiruan kehidupan yang artistik dan verbal. Lawan kata fiksi bukanlah kebenaran melainkan fakta atau keberadaan waktu dan ruang. Dalam sastra hal-hal yang mungkin terjadi lebih berterima daripada fakta. Ada dua tipe dasar pengetahuan yang menggunakan sistem bahasa yang terdiri atas tanda-tanda: 1) ilmu pengetahuan yang memakai cara diskursif, yakni membuat uraian panjang 2) seni yang memakai cara presentasional, yakni langsung memberi wujud atau contoh. Sistem pertama dipakai oleh para pemikir dan filsuf. Yang kedua meliputi mitos keagamaan dan puisi (sastra). Susanne K. Langer melihat sastra dalam beberapa hal, merupakan campuran arti bentuk diskursif dan presentasional. Dalam hal ini Archibald MacLeish dalam bukunya Ars Poetica menjabarkan sifat indah sastra dan filsafat, bahwa puisi sama seriusnya dan sama pentingnya dengan filsafat (ilmu pengetahuan, kebijaksanaan) dan memiliki persamaan dengan kebenaran; jadi mirip kebenaran. 19

20 5. Sastra dan Propaganda Dalam hubungannya dengan pandangan bahwa seni adalah propaganda, perlu dijelaskan batasan propaganda itu. Dalam bahasa populer, propaganda dikaitkan dengan doktrin yang berbahaya, yang disebarkan oleh orang yang tidak dapat dipercaya. Dalam propaganda tersirat unsur-unsur perhitungan, maksud tertentu, dan biasanya diterapkan dalam doktrin atau program tertentu pula. Dengan demikian sejumlah seni dapat digolongkan sebagai propaganda. Sedang seni yang baik, seni yang hebat bukanlah propaganda. Bila istilah propaganda diperluas hingga mencakup segala macam usaha yang dilakukan dengan sadar atau tidak untuk mempengaruhi pembaca agar menerima sikap hidup tertentu, maka semua seniman melakukan propaganda. Bahkan, seniman yang bertanggung jawab wajib secara moral melakukan propaganda. Menurut Montgomery Belgion seorang sastrawan adalah pelaku propaganda yang tak bertanggung jawab (irresponsible propagandist). Menurut Eliot, kadar tanggung jawab dinilai dari maksud pengarang dan dampak sejarah. Menurut Wellek & Warren pandangan hidup yang diartikulasikan pengarang (yang) bertanggung jawab tidak sesederhana karya propaganda populer. Pandangan hidup yang kompleks dalam karya sastra tidak bisa mendorong orang melakukan tindakan yang naif dan sembrono dengan sugesti hipnotis. 6. Sastra dan Fungsi Katarsis Chatarsis (katarsis) merupakan istilah bahasa Yunani yang dipakai oleh Aristoteles dalam bukunya The Poetics dengan makna yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Namun yang jelas masalah yang timbul dari penggunaan istilah itu ialah adanya fungsi sastra yang menurut sejumlah teoritikus, untuk membebaskan pembaca dan penulisnya dari tekanan emosi. Bagi penulis, mengekspresikan emosi berarti melepaskan diri dari emosi itu. Bagi pembaca, emosi mereka sudah diberi fokus dalam karya sastra, dan lepas (terbebas) pada akhir pengalaman estetis mereka sehingga mereka mendapatkan ketenangan pikiran. Berbeda dengan hal tersebut, menurut Plato, drama tragedi dan drama komedi justru memupuk dan menyuburkan emosi yang seharusnya di matikan. 7. Fungsi Sastra di Indonesia Dari uraian yang bersifat umum di atas, kiranya perlu juga dicantumkan di sini fungsi sastra menurut pengamat sastra di Indonesia. Menurut Atar Semi (1988) ada tiga tugas dan fungsi sastra, yakni sebagai berikut. Pertama, sebagai alat penting pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca kepada kenyataan dan menolongnya mengambil suatu keputusan bila ia mendapat masalah. Pengarang bertugas mengikuti dan memikirkan tentang budaya dan nilai-nilai bangsanya pada masa ia hidup untuk kemudian dicurahkan ke dalam karya sastra yang baik. Salah satu ukuran sastra yang baik ialah sastra yang dapat menggambarkan kebudayaan masyarakat pemiliknya pada jamannya. Karya sastra memberikan kearifan alternatif untuk menolong mengatasi masalah kehidupan. Pada jaman globalisasi ini interaksi kebudayaan antar bangsa terjadi secara intensif sehingga budaya yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa pun akan mempengaruhi, menggeser, bahkan menggantikan kebudayaan bangsa yang ada sebelumnya. Di sinilah diharapkan peran sastra dapat menangkal pengaruhpengaruh negatif tersebut. Kedua, sastra berfungsi sebagai alat untuk meneruskan tradisi suatu bangsa, baik kepada masyarakat sejaman maupun generasi mendatang. Dengan kata lain sebagai alat penerus tradisi dari generasi ke generasi berikutnya, baik berupa cara berpikir, kepercayaan, kebiasaan, pengalaman sejarah, rasa keindahan, bahasa, serta bentuk-bentuk kebudayaannya. Ketiga, menjadikan dirinya sebagai suatu tempat dimana nilai kemanusiaan diberi perhatian (dihargai) sewajarnya, dipertahankan dan disebarluaskan, terutama ditengahtengah kehidupan modern yang ditandai dengan majunya sains dan teknologi dengan pesat. Dengan demikian fungsi sastra, dalam hal ini seperti pembicaraan-pembicaraan di atasnya, tidak dapat digeneralisasikan begitu saja dan memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih berterima dengan mempertimbangkan kondisi kontekstualnya. Dalam hal ini, sebagai 20

21 perenungan lebih lanjut dapat dibaca lebih jauh tentang perdebatan sastra kontekstual (Heryanto, 1985). H. Sastra Ketoprak dan Ssatra Wayang Banyak istilah untuk menyebut penyerapan sastra ke bidang lain. Sastra itu lentur hingga dapat merasuk ke mana-mana. Ssatra yang masuk ke dunia ketoprak, disebut sastra ketoprak. Sastra ketoprak adalah karya yang dapat digunakan untuk bermain ketoprak. Sastra semacam ini dapat disebut ketoprakisasi sastra. Di bawah ini ada kisah sastra ketoprak yang dirangkai dalam bentuk geguritan. Sastra ketoprak di sini juga memuat unsur sastra karawitan. Ykani karya sastra yang dapat diiringi dengan karawitan. Sebagai guru profesional, pemahaman sastra ketoprak saya kira penting dilakukan. Fragmen Minak Jinggo Dayun: Suwardi Endraswara Kembang menur kembang jagung Nong Ning Nong Ning Prawan kencur, kanggo tamba wuyung Nong Ning Nong Gung Ha ha ha..yun, iyung-iyung-iyung Endi dyah Suba Siti Ratu cethut Kencana Wungu seka Majapuit Yunn??? Weee, ratu iku panutan, empun gampil keyungyun mangke mindhak dados Yuyu Rumpung, eh Yuyun Kangkang, napa omah yuyun... keyungyun kuwi duweke sapa wae, Yun ratu batur si wuta sing urip keyungyun kuwi ototing urip ratu kuwi wenang bebas, wis ana rumuse, Yun bebas iku wenang enang iku ngganyang E e e, pong-pong bolong ndhog merang ndhog sapi pecah-pecah ndhoge siji O, sambel diuleg-uleg, huuu, ujare raja simpenane riyel (lho, senes randha riyel, lho) (jaman maju paling enak dadi ratu turon tangi neng kursi nyandhing wong ayu ala bapak balung randhu wis tuwek kok pethenthengan) Minakjingga keplayu Ngoyak ayang-ayang sak sada Perang tandhing ngundha kamurkan Damarwulan aja sira ngucireng ayuda 21

22 Tangia ingsun enteni Tandhing lawan ingwang Padha mangsa podhaa Tadhahana pedhang mami Mangsa kuwata Kena mesthi ngemamsi Minakjingga, nglumpruk kaku lumbu Mripate kethap-kethap, nrawang adoh Sumurup Damarwulan iku obor sejati Dayun iku kendhaline greget Wahita-Puyengan mripat kiwa tengen Pribadine iku nepsu ngobong ati Kencanawungu iku pucuking kanikmatan (Festival Penyair Sastra Jawa Modern di Blitar, 1995) Selain sastra ketoprak dan sastra karawitan, kita mengenal sastra wayang. Kasusnya siring di antara ketiga istilah itu. Sastra wayang merupakan bentuk pelesapan sastra ke bidang seni yang lain. Hal ini menandai bahwa karya sastra dengan seni itu memang sulit dipisahkan, Karya sastra yang bagus tentu tidak sekedar konsumsi bacaan, melainkan patut dikembangkan ke bentuk-bentuk seni lain. Sastra wayang adalah karya sastra yang diresepsi, untuk mengungkapkan gagasan lewat wayang. Wayang dijadikan latar kuat untuk menungkan ide ayng spektakuler. Oleh karena wayang itu merupakan gambaran hidup manusia, saya kira apa yang terungkap dalam sastra wayang pun tetap merupakan refleksi kehidupan. Sastra wayang di bawah ini sekedar contoh. Banyak sastra wayang ayng diuntai oleh para cerpenis dan penggurit. Wengi Ing Pinggir Bengawan: Moch. Nursyahid P -dhuh kowe sapa wanodya netramu sumorot bening ngluluhake atiku (banyu bengawan kang semu abang malerah terus mili nggawa rereged lan sangkrah) +aku kunthi ibumu, dhuh ngger anakku kang nglairake kowe tohing nyawaku (rembulan njedhul seka waliking mendhung bali lelayaran ing langit tumlalwung) -kowe apa kunthi ibune Arjuna mungsuhku geneya ing wengi sepi iki keraya-raya teka mrepegi aku kanthi tanpa cecala nganti gawe kagetku (angin wengi sumiyut nampegi rai nggawa ngambar aruming kembang melathi) -bener kandhamu ngger anakku aku pancen uga ibune Arjuna apa atimu isih rumangsa tidha-tidha (Kunthi atine geter karo tumenga banjur dipandeng suwe putrane kang wis jejer adipati Ngawangga -apa ngimpi ta aku iki nampa nugraha kang tanpa pepindhan ketemu ibuku kang wis murca tetaunan sing bakal ngentas wong sudra padha papa dadi mulya tanpa wewangenan +awit seka keparenge dewa, aku lan kowe ketemu meneh, anakku kanggo nyuntak rasa kangen lan kapang 22

23 sawise tetanunan mung kandheg ana rasa lan lelamunan (wengi terus nggremet tumuju pusere anak lan biyung padha ngumbar pangrasane dhewe-dhewe) -dhuh, ibuku, kekasihku, ya pepundhenku selehen astamu kang adhem pindha salju ana bathukku kareben aku bisa nglalekake critane bayi abang sing ditinggal biyunge ing pinggir bengawan -butheke kanggo nutupi isin lan wirang tanpa ngelingi menawa katresnan kuwi regane larang +oh, aja ndedawa lara anakku ayo enggal ndherekake ibu bali kumpul karo kadang-kadang pendhawa ninggalake korawa angkaramurka kanggo memayu hayuning bawana (Karno mandheg mangu karo sedhakep ora keconggah ngampet katrenyuhan kang saya ngruket) -kasinggihan, aku bakal mundhi dhawuhmu ibu nanging sawise aku penjenengan tuntun tekan tepis wiringe bengawan kana apa bakal ketemu biyungku kang wis murca sesidheman yen mengkono rak kaya impen tengah wengi kang kecunthel tekane raina kang mrusa lakune takdireing dewa bathara sawise aku lan Arjuna wis kadhung dadi mungsuh bebuyutan +aja nambahi dosaku dhuh anakku sanajan aku wis jejer ibune Pandhawa, nanging durung rumangsa mulya yen anakku mbarep isih ngulandara aku pancen biyung duraka kang wis nyelaki lairmu ing donya mula gelema kowe angluberna sih pangaksama lan tekaku mrene ora mung arep ngrangkul kowe nanging uga kepengin nglungguhake marang jejer kang samesthine (eluh trenyuhan ora bisa dibendung muwuhi wengine saya tumlawung) -oh, ora bisa dhuh Kunthi ibuku kasunyatan aku mung anak kusir Adirata kang sudra papa kang ora kepengin ngranggeh kaluhuran sing ngliwati ukuran taline katresnan kang wis dipunthes kanthi peksa langka bisa bali mulih karana manising janji lan pangiming-iming apa maneh mung dipameri runtuhing eluh kang wis kadaluwarsa asor banget budiku ngaku-aku anake raja-raja sinatriya kang ambeg utama mula lilakna aku bakal ayun-ayunan ing alaga karo Arjuna +dhuh anakku kang tuhu berbedu geneya kowe nduwa penjaluke ibu kaya wis pesthine dewa, aku kudu nyangga dosa tumekane pati bibit kaluputan sing mung sawiji sawi jebul ngrembaka dadi gedhe sundhul wiyati bayi kang lair seka guwa garbaku ditakdirake dadi mungsuh bebuyutan kadang-kadang dhewe dhuh dewa dhuh bathara banjuten jiwa raga kawula (Kunthi nangis ngguguk ing antarane gebyaring lintang 23

24 pengarep-arep sakala ilang ing sungapaning bengawan) -dhuh ibuku kang daktresnani aja kebangeten nelangsa penggalihmu mung aku nyuwun puji pangestumu muga-muga aku tansah manggih yuwana senajan pesthine kudu ngakoni kaunggulane Arjuna dadi bantening perang Baratayuda dhuh ibu, apa garising urip kudu dakprusa klawan degsiya kaya nalika lairku duk semana ditinggal ana pinggir bengawan ijen wuda saengga kudu mecaki papa cintraka lawan wareg pangina mula tinggalen ijen maneh aku anak kene tanpa tidha-tidha kareben bisa ngantepi darmaning satriya tama (Kunthi meh wae ambruk kapidara klawan rereyongan banjur ninggalake bengawan kadiparan nglari sesotya kang wis musna saka embanan) (Antologi puisi , editor Suripan Sadi Hutomo) I. Latihan dan Tagihan 1. Mengapa batasan sastra sulit dilakukan dan bagaimana kenyataannya? 2. Apakah inti masalah penjenisan karya sastra dan bagaimana pendapat anda? 3. Apa kekhasan dan keunggulan jenis gancaran, jenis puisi dan jenis drama? 4. Mengapa bahasa Jawa tertentu perlu diperhatikan secara khusus pada pemaknaan sastra Jawa? 5. Menurut isi atau temanya, apa sajakah hasil karya sastra Jawa? Jelaskan masing-masing! 6. Mengapa babad disebut historiografi tradisional? 7. Dalam jenis wiracarita, jenis apakah yang asli Jawa? 8. Mengapa cerita wayang purwa berkembang merata di Jawa? 9. Apakah bentuk pakem jangkep dan pakem balungan itu? 10. Apa yang anda ketahui tentang sanggit? Berikan contohnya! 11. Sebutkan sumber-sumber cerita wayang purwa! 12. Apa motif cerita pada jenis wiracerita Panji? Berikan contoh cerita yang populer hingga saat ini! 13. Apa motif cerita jenis sastra Menak? Jelaskan! 14. Mengapa Kethoprak dianggap drama Jawa yang sangat luwes? BAB II LIFE SKILL SASTRA DAN BUDAYA JAWA A. Materi Sastra dan Budaya Jawa yang Menggoda Sudah selayaknya, materi budaya dan sastra Jawa dipoles agar tetap menggoda. Yang dimaksud menggoda, adalah menggairahkan siswa, hingga tidak jenuh lagi belajar bahasa Jawa. PengembanganPengembangan materi bahasa Jawa, yang seharusnya sekarang dikembangkan adalah berbasis budaya dan sastra jawa. Budaya dan sastra merupakan media yang amat bagus untuk pengmebangan materi bahasa Jawa. Selain itu, pembelajaran bahasa Jawa yang berkiblat pada sastra dan budaya juga semakin menciptakan suasana yang hidup. Pembelajaran termaksud juga sekaligus menanamkan nilai-nilai humanis yang luar biasa. Orang Jawa pendendam, pembunuh berdarah dingin, sehingga diperlukan humanism Jawa. Oleh karena itu pembelajaran bahasa Jawa yang tanpa menengok budaya dan sastra akan tercerabut dari akarnya. Orang Jawa yang belajar bahasa Jawa akan terpengaruh jiwa feudal. Unggah-ungguh Jawa itu jika diresapi memang berbau feudal, hingga membuat orang tidak mau rendah hati, anoraga, dan prasaja, melainkan merasa 24

25 super terus. Dengan berbasis budaya dan sastra, orang Jawa yang tergolong merasa senior terus, tidak mau terkalahkan, lama-kelamaan akan cair. Mereka akan tahu bahwa humanism akan menjauhkan diri dari nafsu kehewanan. Budaya dan sastra Jawa adalah karya orang Jawa yang memiliki nilai-nilai adiluhung. Karya sastra dan budaya Jawa dipandang penting untuk mendidik karakter bangsa. Sastra dan budaya Jawa jelas sebuah kearifan local yang luar biasa. Orang Jawa memiliki kearifan local yang ditelorkan lewat jalur estetika dan budaya. Budaya akan membentuk perilaku seseorang lebih humanis. Sastra akan membentuk orang berjiwa estetis. Estetika dan etika ini semestinya digabung, dipadukan, hingga membentuk medium belajar bahasa Jawa yang bijaksana. Melalui modul ini, kepaduan budaya, sastra, dan bahasa hendak diraih sedemikian rupa. Modul ini memuat dua bidang, yaitu (a) sastra dan seni dan (b) budaya. Sastra berkaitan dengan hasil-hasil karya sastra Jawa yang memiliki keunikan sehingga layak dibicarakan dalam PLPG. Yang dimaksud unik, yaitu karya-karya sastra yang absurd, eksperimen, dan inovatif. Sastra yang dipilih sebagai bahan adalah karya yang benar-benar memiliki andil bagi pembentukan budi luhur bangsa. Itulah sebabnya, guru professional perlu memahami karya-karya sastra yang memiliki estetika khas. Bidang seni, terkait dengan berbagai permainan tradisional Jawa. Permainan tradisional Jawa biasanya tidak akan lepas dari aspek lagu atau tembang. Lagu-lagu dolanan sering dijadikan bahan untuk memperkaya budi luhur bangsa. Yang dimaksud tradisi, adalah karya-karya yang memiliki tradisi tertentu, sudah menjadi kebiasaan. Permainan akan mencerdaskan seseorang. Dengan permainan kenikmatan akan diraih. Dalam buku 30 Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa, 2010, dipaparkan berbagai metode yang penuh dengan permainan menarik. Permainan tersebut sebagai medium belajar bahasa Jawa. Budaya adalah proses dan hasil karya manusia. Budaya Jawa adalah karya orang Jawa yang mencerminkan kehidupan lahir dan batin. Budaya sering identik dengan tradisi. Aspek-aspek tradisi sering menjadi ruh dari budaya. Banyak budaya Jawa yang bernuansa tradisi dan pantas dijadikan bahan pembelajaran. Banyak cara dan ragam ketika harus menampilkan tradisi. Ada tradisi yang diwujudkan dengan ritual, seni, dan wisata. Berbagai tradisi itu layak diperbincangkan, apakah masih relevan dengan dunia sekarang atau tidak. Banyak materi sastra dan budaya Jawa yang mampu menggoda siswa apabila diperjuangkan. Yang penting guru mampu atau tidak membuat terobosan baru. Materi seperti geguritan, cerkak, cerita rakyat, dongeng,dan sebagainya jelas celah yang layak digarap demi tercapainya pembelajaran yang menggairahkan. Hal ini sekaligus untuk mengambil alih pembelajaran sastra yang selama ini hanya berisi teori-teori. B. Sepuluh Langkah Menulis Cerita Pendek Jawa 1. Membangun Kepercayaan Cerpenis Mbak Menur tergolong low profil. Dia seorang tukang parkir, taat. Pukul sudah standby memandangi berpuluh-puluh roda. Ia mengaku, berkali-kali gagal mendaftar CPNS. Tapi, yang mengagetkan saya, dia sudah punyai lebih dari tiga judul cerita cekak. Dengan nada sedikit oke dia berkata: Cerkak saya lumayan. Saya bisa nulis kalau hanya seperti SH. Minatarja Api di Bukit Menoreh. Bisa seperti mas Wardi. Cuma memang belum saatnya saya keluarkan cerita cekak itu. Waktu saya desak, mbok coba diketik bagus lalu dikirim ke media massa, jawabnya: Jangan dulu, saya masih ingin memperbaiki terus. Malu, kalau tulisan saya itu jelek. Kasihan pembacanya. Saya banyak buku referensi, mulai buku agama, filsafat, seni, sastra, saya baca, amat membantu menulis cerkak saya. Kisah Mbak Menur itu mungkin dapat terjadi pada siapa saja. Simpulan saya: (1) dia sudah berkarya, apa pun hasilnya, sayangnya karya itu dipendam, ditimbun, direnungi, dan sedikit kurang percaya diri, (2) dia agak sedikit pamer, kalau telah membaca sekian koleksi buku, (3) dia memiliki spirit untuk menyamai cerpenis lain yang sudah punya nama, (4) dia ada sedikit kompensasi atas kekecewaan tidak masuk sebagai CPNS. Yang aneh, rasa introspeksi hampir tidak ada. 25

26 Kepercayaan diri (PD) itu penting dalam berkarya. Super penting. Orang gagal menulis surat cinta, karena tidak PD. Orang ragu menulis catatan harian (diary), karena tidak PD. Ketika berlembar-lembar kertas sudah diuwet-uwet, masuk keranjang sampah, dikiranya sebagai solusi, ternyata tidak. Hal itu orang merasa kalah sebelum bertanding. Orang demikian tidak ada ke-pd-an. Hingga cerpen bergonta-ganti kertas, bergonta-ganti judul, dirombak, ditambahi, dan seterusnya. Nah, mari membangun diri anda menjadi orang yang PD untuk menulis cerkak. Anda pernah menggiring kambing? Pengalaman mbak Menur sudah. Ia tidak ingin seperti kambing-kambingnya. Biarpun cewek, ia bisa keras terhadap kambingnya sendiri. Suatu saat juga memberi kebebasan pada kambing itu. Meskipun akhirnya dia sering menjadi kambing hitam atas kambing-kambingnya. Anda pernah menangkap (ngencup) kupu? Mbak Menur pun bagian dari kupu-kupu itu. Ketika menggembala kambing, ditemani kupu-kupu yang beterbangan. Ia ingin menangkap dan memiliki kupu-kuku itu. Itulah imajinasi kita. Kupu-kupu itu imajinasi kita, tidak pernah diam, ke sana ke mari. Ketika seseorang hampir kehilangan kepercayaan diri menangkap kupu-kupu, sumbang saran orang lain, teman, orang tua, guru, dan seterusnya menjadi suber pemberdayakan otak. Masak orang sampai takhluk dengan kupu-kupu, aneh kan? Otak kita ternyata terbelah dua. Belahan otak kanan, itu tempat spirit, spontanitas, emosi, gairah, imajinasi, kegembiraan, kebaruan-kebaruan. Otak kiri, itu tempat bermain logika, membuat rancangan cerkak, berpikir judul, berpikir tokoh. Keduanya harus balans. Otak kita, ternyata juga terhiasi kupu-kupu, terbias oleh imajinasi. Agar anda lebi PD, imajinasi itu perlu dikendalikan, perlu dimanfaatkan. Saya yakin, imajinasi itu liar, perlu dijinakkan. Orang menjadi kurang percaya diri untuk menulis cerkak, karena dirinya belum mampu mengendalikan otak kanan dan kiri, berarti masih kalah atau belum mampu mengelola imajinasi. Yang lebih aneh, sering ada orang yang tidak tahu kalau dirinya mampu menuangkan cerita cekak. Ada orang yang sebenarnya bisa memiliki knas menangkap kupukupu dalam keadaan hidup, sayangnya orang tidak pernah sadar hal itu. Artinya, anda yang kaya imajinasi, tinggal mengolah saja kan. Atau akan anda biarkan kupu-kupu anda beterbangan tidak pernah hinggap. Hinggaplah pada sekuntum bunga yang harum. Percaya dirilah, bahwa anda orangnya, yang mampu menyedot sari bunga itu. Kalau masih belum PD, anda persis seseorang yang sebenarnya mengidap penyakit, tidak tahu kalau dirinya sakit. Setelah dirinya terbaring lemah, harus masuk rumah sakit baru paham. Setelah dirinya mampu bermain badminton 5 game sekaligus, baru tahu kalau sehat. Begitu pula, ketika seseorang iseng mengirimkan cerita cekak kok dimuat, baru dia yakin sebenarnya tersimpan energi positif berolah cerita cekak. 2. Bekal seorang Cerkakis Anda pernah menjadi anak kecil semua kan. Seperti mbak Menur pun begitu. Berarti, anda juga pernah seperti mbak Menur. Dia pernah hidup di dunia fantasi. Jika diijinkan, sebenarnya pengin sekali jadi anak Eyang To, Bung Karno, Mega, Gusdur, SBY, dan bahkan Obama. Seorang cerpenis semestinya pencerita atau pengisah ulung. Waspada terhadap datangnya ilham, tiap jam, menit, dan bahkan detik. Catatlah. Jika kau lihat, ada semut mengerumuni gula, itu belum ilham jitu. Itu masih ilham kelas sepatu. Berbeda ketika anda melihat seekor semut mengeroyok pakaian, apalagi dasi, aneh kan. Belum. Itu belum aneh, akan lebih aneh jika kau lihat seekor semut menolak gula. Jika ada semut justru mengerumuni kursi, ini patut dipikirkan. Jadi, jika boleh saya simpulkan, bekal seorang cerpenis adalah satu kata saja: JIKA! Jika itu andaikata. Jadi bekal cerpenis Cuma memperkaya pengandaian. Begitulah dunia mungkin yang harus dibangun terus-menerus, sampai tak ada batas. Jika itu yang memperkaya imajinasi. Dunia yang tak pernah ada menjadi ada melalui jika. Dunia yang tidak terpikirkan orang lain, anda pikirkan, lahir dari jika. Berarti, cerpenis akan membangun dunia, ya. Cerpenis adalah arsitektur dunia yang humanis dan bertanggung jawab. 26

27 3. Munculnya Ilham Ilham itu apa? Ilham itu embrio karya. Embrio itu ada yang perlu dicari, tetapi ada yang datang tiba-tiba, dan ada pula yang dengan laku. Terserah. Mana yang cocok, satu orang dengan yang lain tak mungkin sama ketika menangkap ilham. Bagi yang kurang cerdas, ilham yang jelas di depan mata, hidung, dan hatinya, bisa saja dilepeh. Ada juga seorang teman yang menunggu ilham berminggu-minggu, tak kunjung datang. Ada lagi yang sudah punya ilham berbulan-bulan dan bertahun-yahun, tidak pernah diolah. Ketika diolah, ada yang merasa kurang bumbu, kurang kecap. Kasus ini mengakibatkan karyanya mentah (mogol). Maaf, ada yang mencoba bergaul dengan pencuri dna pelacur untuk menggali ilham. Kalau ditanya, jawabnya sedang mencari ilham. Ada kalanya ilham lahir dari kamar kecil, ketika seseorang duduk bermenit-menit, dan bahkan berjam-jam, terutama yang sedang gemar makan salak. Katanya ilham dari kamar mandi jauh lebih orisinal. Gunung, ya itu sekedar sebutan. Sebab, kalau anda ke gunung saya yakin nonsense. Anda rasakan itu. Justru itu yang bisa anda tangkap sebagai ilham. Kalau masih belum yakin, duduklah di kuburan, sendirian. Anda mungkin akan menemukan yang belum pernah kau temui. Memang, ilham sering muncul dari dunia sepi. Namun bukan mustahil, di keramaian juga sering datang ilham. Saya hanya ingin menegaskan, ternyata ilham itu (1) seperti cocacola kan, ada dimana-mana, (2) ilham itu amat licin, halus, misterius, meloncat-loncat, tidak pernah diam, betul kan, karena ia akan lari aklau kau kejar, secepat larinya jiwa kita, (3) ilham agaknya tidak harus dicari dengan susah payah, tidak perlu ditunggu seperti menanti durian jatuh, mungkin akan datang dengan sendirinya bagi yang peka terhadap situasi, (4) bisa jadi ilham justru lahir dari bacaan anda, bayangkan kalau anda membaca kisah atau cerita tentang keindahan patung, bayangkan saja, (5) ilham dapat pula hadir dari cerita orang lain, orang tua, anak kecil, dan seterusnya. Ss atau bahkan mutiara hidup. Tanpa ilham, kita sulit menulis cerita pendek. Biarpun ilham itu tidak sedang anda sadari, itu ilham. Ketidaksadaran diri anda itu sebenarnya ilham yang jitu. Orang yang sedang (1) kecewa, murung, sakit hati, biasanya kaya ilham, (2) orang yang sedang marah, tensinya naik, ada ketidakcocokan, lahirlah ilham, (3) orang yang sedang mesra, di bawah pohon talok, di dekat kolam pemancingan, di permandian, di kolam renang, di kamar tidur, dan sebagainya akan menangkap ilham yang benar-benar handal. 4. Seni Mengolah Ilham jadi Cerita Cekak Yang paling penting, ternyata anda sadar atau tidak jika telah kaya ilham. Ilham itu masih bahan mentah. Seperti anda yang membeli sayuran, ilham itu seperti bayem, tomat, loncang, sledri, dan seterusnya, belum entak ketika belum dimasak. Ilham itu perlu diolah, perlu resep pengolahan, perlu tatacara penyajian, biar enak kalau disantap. Ilham yang biasa, kalau diolah secara istimewa, hasilnya hebat. Sebaliknya, ilham yang hebat, kalau seni mengolahnya asal-asalan, tak akan menjadi sebuah sajian yang mantap. Kalau begitu mengolah ilham itu sama halnya orang memasak bakmi, soto, atau bakwan. Ya, memang tidak jauh berbeda. Mengolah ilham sama halnya orang yang sedang lapar dan haus, kalau mau bagus. Rasa itu akan mendorong spirit untuk terus-menerus menemukan trik-trik yang memukau. Semangat seseorang berolah ilham, akan dipengaruhi pula oleh beberapa hal: (1) keadaan tubuh, lelah, greges-greges, dan atau sedang fit, hasilnya akan berlainan, (2) pikiran upayakan yang fresh, tidak ada beban psikologis di luar karya yang sedang dihadapi, (3) suasana kejiwaan yang mendukung ilham, sedang mencari ratu adil, presiden, anggota lesgislatif, pacar, dan sebagainya, (4) cara memilih waktu yang tepat, pagi hari suasana sepi, hanya ditemani kodhok ngorek, bajang kerek, jangkrik ngengkrik, (5) ruang bekerja, berantakan, berserakan, tertata, penuh musik, dan lain-lain. Ada tiga hal yang patut direnungkan dalma mengolah ilham, yaitu: (1) fakta/realitas, adalah kejadinya nyata yang secara natural dapat diketahui, terukur, ada obyektivitas, kesamaan antar personal, misalkan ada kerbau lewat di jalan tanah, ada tepak kaki, dia buang tlethong mungkin, (2) imajinasi, adalah pengembangan dari realitas, yang melahirkan dunia mungkin, yang memunculkan subjektif, perbedaan antar personal. Misalkan, kerbau 27

28 diasosiasikan dengan kebodohan, tepak kebo diimajinasikan dengan kedalaman ngelmu, tlethong digambarkan sebagai jagad yang sedang kita lalui. Fakta/realitas dapat menjadi bahan imajinasi. Tidak jarang cerpenis handal karena pandai membaca realitas. Realitas orang kerokan, mungkin akan diimajinasikan lain, ketika yang dikerok pada bagian leher. Sebaliknya, dunia imajinatif mungkin seklai akan menjadi realitas. Dunia imajinatif Semar, misalnya, yang dikenal tidak jelas laki-laki atau perempuan, sepertinya telah melahirkan realitas di depan mata kita. Imajinatif Dasamuka, Anoman, Wisanggeni,dan sebagainya kini telah menjadi realitas. Ada tiga gaya mengolah ilham yang dapat ditempuh seorang cerpenis, yaitu: (1) naturalis, yaitu mengolah ilham dengan apa adanya. Apa yang dirasakan, dilihat, disaksikan, ditangkap, diungkapkan begitu saja sebagaimana adanya. Gaya naturalis biasanya lebih mudah dicerna. Cerita cerkak ini tidak begitu berbelit-belit, tetapi tetap mirasa, bahkan adakalanya banyak digemari. Cerpenis pemula biasanya sering mengikuti gaya ini. Katakan saja, cerpenis yang tengah pergi berkemah, lalu cerita tentang kemah, ketika tahun ajaran baru, dia berkisah tentang pekernalan, begitu seterusnya. Alam biasanya menjadi teman yang baik bagi seorang naturalis. Teman saya yang sudah senior pun ada yang sering bergaya naturalis dalam cerkaknya, sebut saja Ay Suharyono, MG. Widhi Pratiwi, Tiwiek SA, Suparto Brata, dan Ariesta Widya. Bahkan sampai akhir hayatnya, mas Tamsir AS tetap bergelut di gaya naturalis. Gaya naturalis sering memunculkan tradisi romantik. Kisah-kisah cinta di pedesaan, perkotaan, sering menjadi makanan sehari-harinya; (2) simbolis, adalah gaya pengungkapan cerkak yang tidak realis. Biasanya berupa penggambaran absurd (aneh), yang kadang-kadang sulit dinalar. Cerpenis biasanya kaya asosiatif, mampu menghubungkan realitas dengan dunia maya. Yang diandalkan dalam cerkak simbolis adalah gejolak jiwa manusia. Jiwa itu cebol nggayuh lintang, bahkan wong wuta ngideri jagad, bisa menembus apa saja. Cerkak semacam ini, seyogyanya digarap oleh cerpenis yang pernah hidup di jagad realis. Imajinasi akan mblasak-mblasak, tidak karuan, tetapi tetap tertata. Seringkali cerkak simbolis membuat pembaca bingung, tidak ngeh, dan kehilangan lacak. Cerkak-cerkak serius, biasanya lahir melalui gaya ini, biarpun dapat juga digarap parodis. Teman-teman saya seperti Jayus Pete, Turiyo Ragilputro, Bonari Nabonenar, Krishna Miharja Keliek Eswa, Andi Casiyem Sudin, Nyitna Munajat, sering bergerak ke gaya ini. Kalau pengendapan ilham kurang matang, biasanya cerpenis akan kejeglong. 5. Menuangkan Gagasan Cerkak Cerkak setahu saya ada beberapa rumusan praktis, yang perlu dipegang oleh calon cerpenis: (1) cerkak bukan cerita yang pendek, bukan dongeng, bukan pula cerita yang diurutkan dari A-Z, (2) kisahnya tidak melingkupi kehidupan total seseorang, misalnya dari lahir oek-oek sampai dikucir uik-uik; (3) yang diceritakan adalah part of life, yang special, extraordinary, particular, bukan yang embreh-embreh; (4) kisah cukup some one, somewhere, dan something bukan banyak orang dengan tempat yang bermacam-macam. Jadi ada fokus dalam cerkak itu, (5) menggarap wilayah sophisticated, extreme, extravaganza, excellence, dan exclusive. Dalam menuangkan ilham atau gagasan, perlu memperhatikan TALENSI: kental, enjoy, dan berisi. Kental, mengindikasikan cerita kenyal, kempel, singkat, utuh, tetapi tetap cair. Enjoy, artinya penuh dengan bumbu-bumbu, bunga-bunga, sehingga pembaca terpukau, terbius, terkoplokan, dan akhirnya ketagihan. Aspek entertainment tetap sebuah suguhan yang penting. Berisi, artinya aspek meaning menjadi hal dominan. Cerkak sebaiknya menjadi masakan yang memuat katarsis, yaitu pencuci otak kotor, hingga seseorang bangkit menikmatinya. Cipta cerkak paling tidak ada tiga macam, silahkan mau ikut jalur mana: (1) cerkak klangenan, yaitu cerpen memiliki daya tarik, untuk menghibur pembaca, memberi sugesti, dan sifatnya memberi orama gembira, tidak menegangkan. Biar pun karya itu berisi kesedihan, tetap aspek hiburan yang ditekankan. Panglipur yang dikedepankan, tetapi bukan berarti harus lucu atau humor; (2) cerkak waton payu, adalah cerkak yang sekedar untuk memenuhi selera, bersifat komersial, dan lebih menuruti move pasar. Cerkak yang 28

29 momental, misalkan tentang Riyaya, Agustusan, Kartinian, dan seterusnya sering terjebak kalenderik asal laku jual; (3) cerkak mantes-mentes, adalah cerpen yang indah dan bermutu (quality story). Yang dibangun cerkak ini tidak semata-mata hiburan dan asal dimuat, melainkan keunggulan karya. Cerkak semacam ini tergolong monumental, sulit dilupakan orang, entah sampai kapan saja. 6. Tahap Menulis Cerkak (1) Stare of image yaitu mentap tajam sebelum ilham dituangkan. Ilham itu direnungkan dalam-dalam, diinkubasi. Pengeraman ilham sering lama, agar mendapatkan benih yang unggul. Dalam bahasa Jawa langkah ini disebut nggelar-nggulung, mulur-mungkret, untuk menemukan kejernihan ide. (2) Plan of story, yaitu langkah membuat outline atau sinopsis. Seperti orang membuat bangunan rumah, buat dahulu miniaturnya. Biarpun cerkak itu simpel, rencanakan kisahnya, agar tidak menemui jalan buntu. Plan of art ini memberikan arah penungan gagasan. Meskipun di tengah jalan boleh berubah, silakan. Oleh karena ringkasan ini hanya untuk personal, tidak perlu panjang-panjang, tetapi jelas sebagai sebuah sketsa cerita. Tema pokok, tentukan dahulu agar cerita tetap fokus, tidak melenceng. Tema ini akan menjadi pancadan, mengawali dan manegakiri cerita. Tema adalah spirit yang menuntun cerpenis melewati jagad apa saja. Kegagalan meletakkan tema, sama halnya dengan rumah yang tidak jelas lantainya. (3) Expression, adalah penuangan gagasan. Penuangan tidak boros kalimat atau kata. Sedapat mungkin kata-kata dipilih yang indah, penuh sensasi, metafor, dan basah. Kekayaan kata-kata yang penuh nuansa estetis amat dipentingkan. Ekspresi akan mencerminkan kecerdasan seorang cerpenis. Pada tahap ini, cerpenis boleh melakukan eksagerasi, yaitu gambaran berlebihan yang indah. Boleh juga cerpenis melalukan sentakan-sentakan, sentuhan moral, surprise, foreshadowing, dan jebakan-jebakan misterius. Ada baiknya menghindari deskripsi yang menggurui atau propagandis yang kurang estetis. (4) Verification, yaitu tahap pemeriksaan cerkak yang telah jadi, dengan prinsip gunting lipat. Sebelum dikirim ke mana saja, anda adalah pembaca pertama. Yang perlu direnungkan ulang, apakah konflik tokoh telah menarik, kisah unik atau tidak, ada kulminasi, peleraian terasa njegleg atau tidak, dan apakah cara mengakhiri cerita cukup menarik? C. Menulis dan Membaca Geguritan 1. Resep dari Bermain-main sampai Ada Main Satu: Hanya Bermain-main Untuk menyamakan persepsi, anda saya ajak bermain-bain dengan sejumlah pertanyaan. Puisi itu apa? Siapa bisa, ada hadiahnya! Mungkin, ini terlalu taktis. Apa mencipta puisi harus tahu dulu tentang puisi? Bukankah anda pernah mendengar, bahkan diajar puisi di sekolah masing-masing. Apa coba puisi itu? Mungkin pula, puisi memang sulit diartikan. Yang penting, dugaan saya puisi itu sebuah obat. Obat yang bisa membuat orang riang, mabuk, tertawa sendiri, ger-geran, ratap tangis, mesra, dan lain-lain. Nah, adik-adik yang kucinta. Tak perlu grogi dulu. Apa betul, puisi itu (sekedar) tumpukan kata? Kata yang menyentuh rasa. Kata yang menggetarkan, begitu? Atau, sekedar orang main-main kata, otak-atik kata, hingga kata itu seakan memiliki ruh. Atau, puisi itu sebuah lukisan pikiran. Sebuah fantasi angan-angan. Atau, mungkin abstraksi rasa, pikir, dan angan-angan, yang melambung-lambung, meliuk-liuk, padat, tetapi cair. Yah, tak perlu dipikir sulit. Puisi tak akan mengajak bersukar-sukar. Jelas. Tapi, hendak mengisi kekosongan batin dengan suka ria. Nah, kini tiba saatnya saya harus bertanya hal masa lalu dulu. Coba, ketika anda lahir, menangis kan? Itu puisi bukan? Saat anda telah bisa: Papa-mama-ibu-simbok, minta nasi, eh thiwul, merengek atau juga menangis puisi bukan? Pada waktu anda memipisi ibu, lalu diciwel, dibiarkan, anda menangis itu puisi? Kalau begitu puisi sama dengan atau tidak sama dengan tangisan? 29

30 Lalu ketika anda masuk TK, SD, SLTP ada lagu kesayangan. Lagu hafalan apa coba. Yang sering disingsotkan di kamar mandi. Yang di-nano-nano-kan, saat anda pikirannya lega. Itu puisi bukan? Lalu apa beda dan persamaannya dengan tangisan anda tadi? Wah, semua pernah menangis dan menyanyi kan? Jadi, pernah berpuisi atau belum? Oke. Saya akan membuat coretan, seperti guru matematika dan pelukis. Lihat, ini puisi atau bukan? Gambar itu, coba bahasakan. Puisi bukan, kalau ditulis ke kanan terus? Coba, saya minta ada teman wanita berjalan di depan ini, disusul pria. Gantian lagi, wanita bersama pria puisi bukan? Dua: Mempermainkan Pengamatan (1) Mari, bersama-sama diam. Heneng, hening, henung sejenak. Pejamkan matamu. Tarik nafas dalam, tiga kali. Lepaskan dengan desis ular. Buka mata. Tatap ke atas, kira-kira sepuluh hitungan normal, ke bawah sepuluh hitungan, kana kiri, ke belakang. Sampai anda menemukan sesuatu. Perhatikan, pada titik (benda apa saja boleh). Buka hatimu. (2) Dari amatan tadi, segera berandai-andailah. Sepuas-puasmu. Andaikata benda tadi dirimu, andaikata anda makan benda tadi, andaikata benda tadi tak ada, andaikata anda jadi benda itu, andaikata Tuhan ada di benda itu, dan sebagainya. (3) Kini, coba lihat temanmu, dari atas ke bawah. Lihat benda di sekeliling ini, rasakan sejenak. Lalu lihat dirimu. Apa yang anda amati itu, yang paling anda kagumi/jengkeli, sayangi, coba tulisankan ke dalam kertas. Terserah, mau berapa baris, akan diberi judul atau tidak silakan. Itu hakmu. (4) Coba lagi, saya tanya: siapa orang/tokoh yang paling anda kagumi. Apanya yang hebat, apa yang patut dipuja, yang pantas disayang. Tulisan ke selembar kertas. Kalau tadi baru dua baris, dua bait, sekarang dilipatkan lagi menjadi tiga, lima, atau lebih. (5) Ingat baik-baik, apa peristiwa sebelum anda ke tempat ini. Pasti ada yang unik. Kejadian itu, mungkin anda sadari atau tak disadari. Mungkin lucu sekali, bisa saja. Dongengkan, lewat kata apa saja. Susun larik-larik kata itu. Permainkan sesuka hatimu, kata itu. Hidupkan kata itu, sekehendakmu. Bunuhlah kata itu, sejengkelmu. Rangkai sebosanmu, tapi tetap selaras, nyaring, enak, dan diberi pemanis. Tiga: Permainan Kata dan Emosi (1) alam sekitar adalah gudang puisi. Anda adalah pembawa kunci gudang. Obrak-abriklah, cucilah gudang itu. Mari, kita kembali ke alam. Alam adalah dirimu. Alam adalah puisi. Alam adalah kamu. Semua itu, percikan Sang Maha Alam. Ayo, kita keluar, mencoba menikmati alam. Perhatikan, yang kecil-kecil, sampai yang sulit teramati. Lalu ceritakan ke dalam puisimu. Jangan lupa, alam seisinya, kadang kejam, kadang bersahabat. (2) kalau sudah, bentangkan apa yang anda anggap menarik dan belum banyak dibicarakan orang dari alam. Apa yang khas. Membentangkan, berarti perlu permainan; permainan kata, bahasa, imaji, dan simbol. Puisi yang wantah, akan mentah, dan terasa hambar. Bahasa puisi, harus beda dengan sehari-hari. Harus padat dan berisi. Harus menggetarkan, menggairahkan, penuh tanda tanya. Itu baru permainan kata dan bahasa yang sukses. (3) masuklah ke dunia penulisan puisi, berbekal emosi. Ada emosi senang, anyel, gembira, dan duka, ini semua modal. Seperti anda menulis surat itu lho, kan ada emosi. Ada kejujuran. Ada pula hiasan bahasa. Ada lagi aroma bahasa yang nges, penuh lentik-lentik hati. Kalau begitu, suasana psikologis harus terlibat: ya! Empat: Main-main (Mencipta) Puisi (1) ayo, sekarang bermain membuat puisi cinta. Anda tahu kan cinta? Pacar? Nah, silahkan cepat-cepatan membuat puisi-surat kepada temanmu di ruang ini saja. Upayakan, anda fall in love. Tak apa-apa. Supaya nges, boleh juga diselingi parikan (pantun) atau sajak. (2) yuk kita meningkat lagi, ke hal lain. Kalau tadi sudah berani mencipta, mengolah kata, kini akan saya ajak bermain. Mencipta puisi itu, tak lebih sebagaimana anda bermain; apa saja. Kunci bermain, suka ria, tak tegang. Bermain, untuk kenikmatan, pengendoran otot, 30

31 dan hiburan. Maka, lihat ke sini, silahkan maju. Teruskan permainan ini, sesuka hatimu. Wanita dan pria, cepat mana nanti. Ayo? Lima: Ada Main, di balik Puisi (1) yang bagus, menulis puisi harus ada main. Ada strategi. Tapi, terlalu banyak teknik atau teori, juga bukan jaminan. Yang penting, puisi tadi bisa ditulis seacara impresif. Penuh penghayatan batin, bukan vulgar. Monolog, boleh-boleh saja. Anda akan ngundhat-undhat, boleh. Akan sedikit humor, ada dialog, tak dilarang. Itu kan seni berpuisi. (2) ada sedikit fatwa menulis puisi, yang perlu dicamkan. Yakni, pertama, persoalan sepele kalau diungkap dengan kata berat, atau sebaliknya akan bombastis. Kedua, penulis puisi seharusnya tak boros kata. Semakin padat, sintal, berisi, penuh daging, ini yang dicari orang. Ketiga, penyimpangan dalam puisi, akan sangat merugikan. Habis bicara masalah gaplek, tiba-tiba meloncat ke politik. Ya, kalau masih ada lem perekat tak apa-apa, misalnya, anda ungkap tentang politik gaplek. Keempat, kenapa kita harus memburu-buru sajak. Tidak harus. Sajak memang penting, tapi kalau dipaksakan akan merusak puisi. Kelima, meniru boleh saja, asal tak menyontek mentah-mentah. Yang penting,a da kreasi. Keenam, menuangkan sajak yang terlalu prosa, akan mencoreng puisi. (3) membaca keinginan pembaca/redaksi, penting buat anda. Biasanya, mereka gemar yang aneh-aneh, yang njlimet, yang spektakuler, aktual. Tapi, kalau yang aktual Pemilu 2004, tentu kita tak harus mencipta puisi berjudul Pemilu, ini tabu. Temukan sisi-sisi gelap, sisi-sisi terang, yang amat berguna bagi pembaca, kan gitu. **** D.Mencipta Puisi: Memperkaya dan Merangkai Kata Satu. Bukan Bercerita, Mendongeng, dan Mendeskripsikan Dalam mencipta, anda ada yang masih bercerita. Ini masih seperti dongeng masa lalu. Ada juga yang menggambarkan sebuah benda, orang kesayangan, dan kejadian. Ini semua boleh, tapi jangan lugu. Artinya, perlu melukis, bukan deskripsi semata. Melukis, perlu imajinasi, perlu abstraksi, dan bahkan sublimasi. Kalau deskripsi, kurang dari itu. Deskripsi, asal menguasai bahasa sehari-hari, jadi. Tapi, puisi bukan bahasa sehari-hari. Coba kita dengarkan puisi karya temanmu ini, berjudul: Wong Urip (Rusmiyati), Buku (Heny Ristiawanti), Konang (Hary Ardiyansyah), Wayah Wengi (Prasta Dewangga), Lungkrah (Dwi Rahayu), Langit (Lilis Rahayu A), Wayang (Rusmiyati), Simbok (Yenny Prihastiwi). Bagaimana karya temanmu tersebut, indah? Atau, masih dalam kategori bercerita/mendongeng/deskripsi semata? Padahal, dari judul-judul ini banyak hal yang menarik diungkap. Tapi, karena kita belum terbiasa berolah imajinasi, yang tertangkap masih yang kasat mata saja. Ini terjadi pada penulis-penulis pemula. Mamri, dibandingkan dengan tulisan temanmu berjudul: Tawon (Nuniek Sumisih), Lintang (Pariyani), Buku (Sarmiyati), Pot Kembang (Mayangsari), Wuta (Erma Adi Puspitarini), Banyu (Tri Sutrisna), Gunung (Bagu Alalan Saputra), dst. Bayangkan, kini lebih estetis yang mana dibanding geguritan sebelumnya tadi? Apa yang membuat geguritan ini lebih estetis, berbobot? Tak lain persoalan permainan bahasa, yang dikaitkan dengan dunia kehidupan. Ini penting, karena puisi itu kan ekspresi kehidupan, bukan dongeng kehidupan. Dua. Berlatih Mengalirkan Gagasan dan Merangkai Kata Agar gagasan kita tak tumpul, harus diasah. Agar imajinasi mengalir, tak beku, harus dicairkan. Mudah saja caranya: (1) coba kini kita bagi menjadi 3 kelompok saja. Per individu, menuliskan apa saja, lalu teruskan dengan yang lain. Lalu, untuk memikirkan judul dirembug bersama-sama. Ini, sajak ramai-ramai. Tentu, fokusnya hanya untuk berlatih berimajinasi, berlatih menerjemahkan perasaan orang lain, dan mengikuti alur pikiran orang lain; (2) saya akan melemparkan kata, coba ikuti yang lain. Begitu seterusnya sampai menjadi sebuah geguritan utuh. 31

32 Tiga. Membidik Bagian Kecil dan Menggemukkan Kata Adik-adik, saya sadar kalau pertemuan yang lalu masih fenomena real yang anda cermati. Anda memandang konang, lintang, buku, kaca, gunung, dll bukan bagian-bagian dari obyek ini. Padahal, kalau akan bagus berkarya, tajamkan perhatian pada: (1) bagian kecil dari fenomena tadi, (2) apa yang paling unik dari fenomena tadi, (3) apa yang tak pernah dilihat atau diperhatikan orang, itu yang anda tangkap, (4) tangkap yang ada di balik bagian-bagian kecil tadi, (5) jangan lupa, hubungan dengan kehidupan. Untuk itu, coba kita keluar sebentar. Sepuluh menit saja, baru ekmbali ke sini. Temukan ide, imajinasikan, dan selanjutnya tuliskan. Tapi, sebelum itu mari kata-kata yang terkait dengan ide anda, digemukkan dulu. Gemuk, artinya ditambah semakin banyak yang berhubungan dengan kata itu. Andaikata, anda tadi menangkap oyod ringin. Gemukkan menjadi: oyod garing, oyod gumantung, oyod njebol tembok, oyod nyandhung sikil, ringin kurung, ringin putih, ringin kuning, ringin rungkat, ngeyub ing ringin, gandhulan oyod-oyod ringin, nyecep tetesing banyu seka oyod, dst. Susun kata-kata itu, semua anda coba. Dari situ, anda akan muncul ide baru, untuk mencipta geguritan yang lebih kaya kata. Tapi, kata-kata yang tak masuk di ide anda, buang saja. Tambah kata-kata penghubung (pengelem), antara kata satu dengan yang lain. Dari sini, munculkan estetika. Maka, gunting dan lipat kata-kata tersedia itu. Jejerkan kata-kata tadi, seperti tukang batu, jangan seperti orang menurunkan batu dari truk. Ingat, efesiensi kata, akan bermanfaat bagi bangunan puisi. Kepadatan kata, yang mampu mewadahi sejumlah ide, adalah puisi bagus. E. Membaca Puisi Individual Satu: Psikologi Membaca Puisi Membaca puisi secara individual, berbeda dengan kelompok (kolektif). Pembaca harus menguasai puisi secara keseluruhan. Puisi yang akan dibaca, boleh milik sendiri atau milik orang lain. Biasanya, membaca karya sendiri lebih bagus, meskipun relatif. Karena, pembaca telah paham, bagian-bagian mana yang perlu dibaca berat, ringat, panjang, pendek, perlu tempo dan sebagainya. Untuk mengurangi demam panggung, percayalah bahwa diri anda mampu dibanding pemirsa. Anda harus merasa lebih hebat, dibanding orang lain. Kurangi rasa gugup, badan bergetar, keringat dingin, dengan cara tidak memandang pendengar satu persatu. Ini bisa dilatih berkali-kali dengan jalan ke sana kemari di depan orang banyak. Yang perlu disiapkan, sebelum membaca puisi antara lain: (1) memilih sejumlah puisi, jika kita bebas membaca. Panjang pendek puisi, suasana puisi, perlu dipertimbangan, akan dibaca dalam suasana apa. Namun, dalam lomba sering telah ditentukan, sehingga langkah ini bisa dibuat santai saja; (2) pelajari kata-kata yang sulit, jika tak tahu, ditanyakan atau dicaridalam kamus. Bahkan, ada baiknya menghubungi orang lain (termasuk pengarangnya); (3) beri tanda khusus pada kata-kata yang dibaca berat, ringat, lambat, cepat, sedih, gembira, dan seterusnya; (4) pertimbangkan, apakah anda akan membaca puisi humor, sedih, memberi advice, atau yang lain. Dua: Berlatih Membaca Latihan dasar yang harus disiapkan, yakni: (1) berlatihlah membaca, sekurang-kurangnya tiga sampai empat kali per judul. Bacalah di tempat yang terbuka, bebas. (2) berlatih pernafasan. Membaca puisi, dapat menggunakan suara dada dan perut. Keduanya boleh digunakan bersamaan dalam sebuah puisi. Tapi, yang harus diingat, karakter suara dada biasanya: keras (untuk marah, menjerit, dll). Adapun suara perut, biasanya untuk hal-hal yang menggetarkan, dalam, sedih, dan seterusnya; (3) belajar mengucapkan vokal. Vokal dilatih dengan berbagai model yang disebut senam mulut/bibir/gigi. Latihlah, mana vokal yang bersilabi: satu (dhorrrr, dherrr, tharrr, hee, hemmm,ah, dll), dua (geger, teter, mbeler, teler, beser, emper, dll), tiga (laramu, atimu, tapamu, kancamu, tanggane, godhaning, dll), empat (sesanggeman, gembiraning, tumlawunging); 32

33 (4) berlatih gerak mimik. Permainan mata, amat menentukan keberhasilan. Mana yang perlu memejamkan, memelototkan, memandang tajam, memandang kosong, semua digabung dengan bibir, kerut dahi, dan lain-lain. (5) gerakan tangan, sebaiknya tidak berlebihan. Tidak semua digambarkan menggunakan tangan, seperlunya saja. (6) berlatih akting: berjalan di depan teman-teman, duduk sendirian, pandangmemandang dengan teman, tertawa sepuas-puasnya, bersedih, dan seterusnya (Purwaraharja, 2003:45). Tiga: Catatan Ketika Membaca Puisi (1) meembaca judul dan nama pcnyair. Keduanya boleh dibalik, mana yang didahulukan. Ini wajib dibaca. Nama majalah atau koran yang memuat, bolch dibaca boleh tidak. Begitu pula tanggal pembuatan puisi. Yang terakhir ini sudah bukan puisi lagi. (2) lboleh dari duduk ke berdiri atau sebaliknya. Jika harus berjalan, rapatkan dengan irama puisi. Kapan harus berhenti berjalan, harus dalam suasana aktif, (3) membelakangi pemirsa/pendengar sebaiknya jangan dalam hitungan 5-10 detik, jika sudah siap, tentu boleh saja. (4) pada awal dan akhir membaca, tidak harus honllat, kendati dalam lomha. Tidak harus mengucapkan salam, dan apalagi introduksi diri. (5) kalau ada kata yang terlewatkan, tak perlu diulang (maaf) seperti membaca berita di radio dalr televisi. BAB III PERMAINAN TRADISIONAL JAWA A. Permainan Berbasis Budaya Jawa Pembelajaran bahasa Jawa berbasis permainan jelas lebih menarik. Asumsinya, manusia itu adalah makhluk yang gemar bermain. Oleh sebab itu, sampai masa remaja dan dewasa sekalipun, manusia memang gemar bermain. Maka pembelajaran yang dikemas sambil bermain justru akan menggembirakan. Pembelajaran semakin segar. Permainan tradisional dalam budaya Jawa disebut juga dolanan. Dolanan akan menciptakan suasana senang, nikmat, dan penuh daya tarik. Hal ini mengingat bahwa manusia adalah makhluk bermain. Budaya bermain ini sering muncul dari masa kanakkanak. Bahkan pada masa remaja dan dewasa pun dolanan masih sering menjadi idola dan perlombaan. Banyak sekali permainan dalam budaya Jawa yang masih dapat dimanfaatkan. Sebagian besar dolanan Jawa itu selalu menggunakan gendhing atau lagu-lagu. Banyak pula gendhing-gendhing yang sering digunakan untuk menghiasi dolanan. Dalam kaitan ini, menandai bahwa dolanan akan membuat orang lebih segar, sehat, dan awet muda. Oleh sebab itu pemanfaatan permainan tradisional dalam pembelajaran akan menciptakan suasana yang gembira. Gembira adalah nuansa permainan yang akan menggiring subjek didik lebih suka ria. Konteks ini akan menandai semakin semangat dalam belajar sastra, budaya, dan seni Jawa. Yang dipentingkan dalam belajar bahasa Jawa, tidak lain adalah dolanan terus-menerus, sampai menemukan keindahan dalam hidup. Dolanan menjadi ciri orang Jawa yang gemar dalam hal: (a) kerukunan, kebersamaan, gotong royong karena setiap dolanan dapat melahirkan rasa nikmat, (b) kecerdasan, akal sehat, dan (c) memupuk jiwa yang berbudi luhur. Itulah sebabnya pengembangan permainan dan seni selalu terkait dengan budi luhur manusia. Budi berarti akal dalam arti untuk menimbang baik dan buruk. Budi luhur adalah kekuatan yang memuat tabiat, watak, akhlak, perangai, daya upaya, ikhtiyar, kecerdikan untuk memecahkan masalah secara bijak (wicaksana). Permainan tradisional yang akan dikembangkan senantiasa dalam kerangka budaya Jawa. Budaya akan menyangkut seluruh cara, proses, dan karya hidup manusia yang dianut 33

34 individu dan bersama dalam suatu masyarakat guna mencapai taraf hidup yang lebih baik. Permainan tradisional yang dapat mengembang taraf hidup seseorang cukup banyak. Permainan yang dimaksud akan membentuk karakter seseorang sehingga dalam hidupnya senantiasa berbuat yang lebih baik dan memperindah dunia (memayu hayuning bawana). Dalam permainan tradisional Jawa, selalu akan menyertakan tiga hal: (a) budaya sebagai gagasan atau batin, pamikir, rasa pangrasa, (b) budaya sebagai tindakan, yaitu aktivitas hidup sehari-hari, ada gerakan tubuh, dan keterampilan tertentu, (c) memanfaatkan benda-benda artefak, yang digunakan untuk mendukung permainan, misalnya kreweng, bola, bunga, kerikil, dan sebagainya. Ketiga hal itu akan selalu digunakan bersama-sama dalam konteks permainan (dolanan), misalnya dalam permainan Jaranan, akan memanfaatkan gagasan bagaimana gerak yang ritmis dengan lagu, aktivitas tarian yang indah, dan kuda buatan dari apa pun. Kuda pun dapat dikamuflasekan dengan organ tubuh. B. Permainan sebagai Pendidikan Karakter Permainan dan seni bukan sekedar dolanan biasa. Di dalamnya tetap memiliki konteks pendidikan karakter. Dolanan Jawa bagi siswa pendidikan dasar (SD-SMP) kiranya masih sangat cocok. Bahkan bagi remaja pun (SMA dan SMK), juga penting untuk membentuk karakter. Paling tidak, permainan dapat difungsikan sebagai wahana untuk dalam pembelajaran bahasa Jawa. Permainan tradisi banyak yang mengungkapkan masalah unggah-ungnguh, tata hormat, dan sejumlah nilai kehidupan social. Permainan tradisional juga menyemaikan system nilai. Sistem nilai adalah konsep mengenai hidup. Konsep yang ada dalam nalar atau pikiran warga masyarakat, dijadikan pedoman, tuntunan, yang dapat mensejahterakan, mendamaikan, menyeimbangkan, dan menenteramkan batin manusia. Permainan yang mereka gunakan, tentu yang memiliki harga, nilai, dan kegunaan untuk membentuk akhlak manusia. Dengan bermain, watak seseorang akan semakin terbentuk secara natural. Dari figure dan contoh orang lain, setiap peserta yang bermain dan melagukan permainan akan menyerap, mengadopsi, dan akhirnya dapat memiliki. Permainan tradisional Jawa cukup banyak yang menawarkan aspek-aspek pendidikan karakter bangsa. Berbagai nilai keadilan, tanggung jajwab, kerjasama, sportivitas banyak muncul dalam permainan. Harus disadari, permainan memang selalu menyisakan proses kalah dan menang. Dalam prose itu biasanya disipkan pendidikan karakter. Bahkan permainan yang memakai lagu-lagu dolanan juga jelas menawarkan pendidikan karakter, Maka belajar permainan tradisional dan lagu dolanan akan membantu proses pendidikan karakter. C. Macam-macam Permainan Jawa 1. Bethet Thing-thong Menurut Dharmamulya (2005) permainan tradisional pada umumnya maka nama permainan sering mengambil kata-kata yang termuat dalam nyanyian pengiring permainan tersebut. Namun dapat juga mengambil atau menyesuaikan dengan gerakgerik yang dilakukan para pemainnya dalam pelaksanaan permainan. Demikian juga dengan permainan Bethet Thing-thong ini, disebut demikian karena dalam permainan ini terdapat iringan lagu dengan awal kalimat Bethet Thing-thong. Bethet adalah nama sejenis burung berparuh merah clan berbulu hijau mengkilat, sedang kata thing-thong adalah istilah untuk tiruan bunyi. Permainan Bethet Thing-thong adalah termasuk permainan tradisional yang cukup dikenal oleh anak-anak. Anak-anak dapat bermain Bethet Thing-thong setiap saat, bisa siang, sore, atau malam hari. Sudah barang tentu apabila anak-anak tidak mempunyai pekerjaan atau belajar. Permainan ini dilakukan oleh anak-anak dari segala macam lapi. ;an masyarakat, di mana saja clan kapan saja. Permainan ini sangat mudah, anak kecil berumur 6-8 tahun pun dapat melakukannya dengan mudah. Permainan ini sangat baik untuk alat sosialisasi anak berumur di bawah 10 tahun untuk ikut bermain bersama-sama dengan kakak-kakak 34

35 mereka. Mereka bisa bermain, bernyanyi, dan berlari-lari, sungguh suatu gerak langkah yang menyenangkan bagi setiap anak. Apalagi lagu iringannya lucu dan menarik. Diduga permainan Bethet Thing-thong ini telah ada sejak 80 tahun yang lampau. Sedang perkembangannya pun sampai saat ini masih hidup di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Di wilayah Kota Yogyakarta pun permainan anak ini masih hidup dengan baik clan cukup dikenal oleh anak-anak. Permainan ini sekurang-kurangnya dilakukan oleh tiga orang anak. Jumlah peserta yang baik ialah antara 3-7 anak. Lebih dari tujuh pun dapat tetapi akan mengakibatkan permainan berjalan terlalu lama. Sehingga bila jumlah pemain lebih dari 7 orang anak sebaiknya dijadikan lebih dari 1 kelompok. Permainan ini merupakan permainan yang cocok untuk anak perempuan. Tetapi anak laki-laki pun dapat ikut dalam permainan ini bila menghendakinya. Dapat juga laki-laki clan perempuan bermain bersama, karena merel masih anakanak semua. Permainan ini biasa dilaksanakan ole anak berumur sekitar 6-12 tahun, namun di atas umur itu pu baik juga apabila menginginkannya. Ketika anak-anak pulang si kolah maka untuk hiburan mereka sering mencari kegiatan pengi waktu. Permainan ini bersifat menimbulkan kegembiraan, dan d, ngan permainan ini mereka akan dapat mengenal lebih baik temai teman sepermainannya. Mereka dapat berlatih dengan teman si bayanya clan dapat menghilangkan sifat malu. Permainan Bethet Thing-thong tidak membutuhkan alat permainan apa-apa. Sebab permainan tersebut hanya memerlukan gi rak tangan serta tenaga untuk berlari. Sedang tempat yang d perlukan untuk bermain adalah sebidang tanah yang cukup lua dan sedapat mungkin tidak mengganggu orang yang sedang beker ataupun tidur. Maklumlah, apabila anak-anak perempuan bermain selalu penuh dengan keriuhan bahkan sering pating jlerit (saling menjerit dan memekik). Sewaktu permainan mulai dilaksanaka maka mereka pun menyanyikan lagu iringan permainan yang disebut lagu Bethet Thing-thong. Adapun syair lagu Bethet Thing-thong sebagai berikut: Bethet thing-thong legendhut gong Gonge ilang Camcao gula kacang Wung-kedawung Rang Permainan Bethet Thing-thong dimulai dengan mencari tempi yang luas. Kemudian mereka memilih salah seorang pemain mei jadi pemimpin permainan atau lazim disebut Embok (ibu). Misa kan yang bermain enam orang anak (A, B, C, D, E, dan F), mal dipilihlah A menjadi Embok. Mereka kemudian berkerumun men bentuk lingkaran. Permainan Bethet Thing-thong ini mempunyai seperangkat pe aturan yang harus dipatuhi oleh para pemain-pemainnya. Peratura itu adalah: 1. Embok (pemimpin permainan) dipilih di antara para pemai atas kesepakatan para pemain. 2. Pemain harus jujur. 3. Bersamaan dengan dinyanyikannya lagu Bethet Thing-thong, maka pada setiap suku kata dalam lagu tersebut si Embok menunjuk jari setiap pemain berturut-turut berputar arah ke kanan (berlawanan dengan arah jarum jam). 4. Bila lagu itu berakhir pada suku kata 'lang' dari kata terakhir 'ilang', maka jari yang ditunjuk oleh Embok harus ditekuk ke dalam. 5. Lagu dinyanyikan berulang kali sehingga jari semua peserta habis ditekuk ke dalam semua. 6. Bagi pemain yang jarinya ditekuk habis paling akhir maka dialah yang kalah atau yang 'dadi'. 7. Pemain yang kalah bertugas mengejar yang menang. Bila dia berhasil menangkap pemain lain, maka pemain yang tertangkap ganti menjadi yang dadi. 8. Apabila semua peserta telah pernah tertangkap maka berakhirlah permainan bethet thingthong. 35

36 Jalannya Permainan Permainan ini diawali dengan dibentuknya sebuah lingkaran para pemain. Setelah para pemain membentuk lingkaran, kemudian tangan kiri mereka diangkat ke atas setinggi pinggang dengan telapak tangan tengkurap, sedang jari-jari dalam keadaan terbuka Setelah semua jari tangan kiri para pemain dibuka, maka Embok berkewajiban untuk memimpin jalannya permainan. Embok tersebut ikut berdiri dalam lingkaran dan segera melakukan tugasnya. Ia menjamah jari para pemain satu per-satu menuruti setiap suku kata syair lagu dengan arah memutar ke kanan. Sambil m nyanyikan lagu Bethet Thing-thong semua pemain mengikuti jala nya permainan. Apabila nyanyian itu telah sampai pada suku kata 'lang' maka jari yang terjamah pada kata lang tadi harus hilang. Caranya jari tersebut ditekuk ke dalam pinggang. Kemudian nyanyian dilanjutkan, Embok kembali menjam, semua jari tangan seperti sebelumnya, sampai semua jari pa pemain habis ditekuk ke dalam. Pemain yang paling akhir diteln jarinya dianggap sebagai yang kalah dan harus dadi (jadi), pema lainnya sebagai pemain mentas. Sesudah diketahui siapa ya dadi, misalnya A, maka pemain lainnya segera bubar dan lari vegenap penjuru. Sedangkan A sebagai pemain yang dadi wa; mengejar pemain mentas. Sebagaimana lazimnya anak-an perempuan, apabila berlari-lari selalu disertai dengan jerit~ sehingga suasananya menjadi hiruk pikuk. Apabila telah ada yang tertangkap, misalnya B, maka B ini menggantikan kedudukan A sebagai peserta yang dadi dan wajib mengejar pemain lainnya. Sedangkan A menjadi pemain mentas dan termasuk pemain yang dikejar B. Andaikata B kemudian dapat menangkap pemain lainnya, C misalnya, maka C sekarang berkedudukan sebagai pemain dadi. C wajib mengejar pemain lainnya termasuk B yang sekarang sudah bebas. Demikian seterusnya, dan apabila semua pemain sudah pernah tertangkap semua maka berakhirlah permainan tersebut. jadi di sini terlihat bagaimana konsekuensi bagi yang menang maupun yang kalah. Konsekuensi bagi yang menang adalah dikejar oleh pemain yang berkedudukan kalah (dadi), dan berusaha agar jangan sampai tertangkap. Sedangkan konsekuensi bagi yang kalah atau dadi adalah mengejar hingga dapat menangkap pemain lainnya. Kemampuan berlari cepat dan berkelok-kelok menghindari upaya penangkapan pemain yang sedang dadi itulah yang menjadi kepuasan para pemain Bethet Thing-thong. Permainan ini menggambarkan beberapa orang anak sedang mendapat tugas membeli mentimun pada seorang wanita muda (bibi). Tumbas berarti beli. Sengaja di sini dipergunakan kata tumbas (bahasa halus), bukan tuku (bahasa kasar) adalah karena permainan ini berisikan latihan berbahasa Jawa yang halus. Permainan Bi-Bibi Tumbas Timun biasa dilakukan pada malam hari, terutama pada saat bulan purnama. Namun begitu permainan ini biasanya sudah berakhir sekitar pukul Karena pada masa dulu anak-anak sudah harus beristirahat dan tidur pada pukul 20.00, yang dalam bahasa Jawa dinamakan 'wayah sirep lare' (saat anak tidur). Permainan ini selain berisi lagu yang digerakiramakan, juga berisi wawancara yang berlatar belakang pelajaran bahasa Jawa. Jadi permainan ini bersifat mendidik. Telah menjadi kebiasaan di kalangan masyarakat Jawa, bahwa yang muda harus berbahasa halus (bahasa krama) kepada yang lebih tua. Dalam permainan Bi-Bibi Tumbas Timun anak-anak berhadapan dengan orang tua (diperankan oleh anak yang lebih besar) dan membiasakan ber bahasa krama. Dalam keluarga Jawa, anak-anak yang sudah berusia 3-4 tahun telah dituntun oleh orangtuanya untuk berbahasa Jawa Krama. Dalam permainan ini anak-anak belajar sendiri, salin~ belajar, dan saling mengajar. Anak yang lebih besar akan mengajar memberi contoh dan menuntun anak yang lebih kecil. Di sampin~ itu dalam permainan ini terkandung kalimat-kalimat purwakanthi (bersajak), misalnya: godhong siji dipangan sapi godhong loro dipangan kebo artinya: satu daun dimakan sapi dua daun dimakan kerbau 36

37 Jadi dalam permainan ini anak-anak juga belajar sastra dar kt:indahan bahasa. Selain belajar sastra anak-anak juga belajar nem. bang (bernyanyi Jawa) dan menari. Sebab dalam permainan in: ketika bernyanyi harus diikuti gerakan menari. 2. Dhoktri Kata Dhoktri diduga berasal dari kata dhatri yang merupakan singkatan dari legandha dan utri, keduanya nama jenis makanan tradisional Jawa yang terbuat dari tepung beras. Dugaan ini berdasar pada alasan begitu seringnya nama-nama makanan tersebut disebut dalam lagu-lagu yang mengiringi permainan ini. Namun begitu, kata Dhoktri dapat juga berasal dari singkatan kodhok dan utri. Kodhok berarti katak. Alasan kedua ini mendasarkan diri pada adanya kata kodhok disebut juga dalam lagu iringannya. Pendapat ketiga mengatakan bahwa sebenarnya kata dhoktri berasal dari kata botri, yaitu besi bundar yang berguna sebagai peluru. Permainan Dhoktri dapat dilakukan kapan saja diinginkan; dapat pagi, siang, maupun sore hari. Dhoktri merupakan permainan yang dapat digunakan sebagai sarana bermasyarakat bagi anak umiu sekitar 7-8 tahun, bersifat sederhana, dan tidak mengandung banyak peraturan. Dhoktri dapat dilakukan oleh 3-8 orang anak. Namun sesungguhnya oleh dua orang anak pun dapat pula, namun kurang meriah. Sedangkan apabila lebih dari 8 orang anak akan terlampau banyak. Apabila calon pemain berjumlah lebih dari 8 orang anak, maka sebaiknya dipecah menjadi dua kelompok. Pemain Dhoktri dapat laki-laki saja, perempuan saja, atau laki-laki dan perempuan secara bersama-sama. Tetapi pada umumnya anak-anak lebih suka apabila dilakukan oleh jenis kelamin yang sama. Permainan Dhoktri ini dilakukan oleh anak berumur 8-14 tahun. Tetapi agar permainan berjalan seimbang maka biasanya terbagi menjadi dua kelompok umur yaitu kelompok umur 8-10 tahun dan kelompok tahun. Permainan ini bukanlah permainan khas golongan tertentu maupun wilayah tertentu. Permainan ini membutuhkan peralatan yang sangat sederhana. Peralatan yang diperlukan adalah kreweng atau wingka (pecahan tembikar) atau batu kecil sebanyak jumlah pemain dikurangi satu dan sebuah batu yang lebih besar yang berfungsi sebagai kodhok (katak). Tempat bermain berupa segi empat atau bulatan bergaris tengah kurang lebih sentimeter. Tempat ini kemudian terbagi sejumlah peserta. Selain itu diperlukan pula sebidang halaman rumah untuk bersembunyi. Permainan Dhoktri disertai lagu pengiring yang dinyanyikan bersama tanpa iringan instrumen. Lagu Dhoktri dinyanyikan saat perrnainan berlangsung. Adapun syair lagu adalah sebagai berikut: Dhoktri lengendha nagasari, ri, Riwul owal-awul jenang katul, tul, Tolen alen-alen jadah manten, ten, Titenana besuk gedhe dadi apa, pa, Podheng mbako enak mbako sedheng, dheng, Dhengkok eyak-eyok kaya kodhok. Jalannya permainan Setelah anak-anak yang ingin bermain berkumpul, mereka lalu mempersiapkan tempat bermain berupa bulatan atau segi empat bergaris tengah cm. Kemudian bulatan atau segi empat tadi dibagi-bagi dalam petak-petak sesuai dengan jumlah peserta permainan. Kemudian mereka mencari pecahan tembikar atau batu kecil sebanyak jumlah peserta dikurangi satu, dan sebuah batu yang lebih besar. Batu yang besar ini berfungsi sebagai kodhok (katak) dalam permainan. Sebelum permainan dilanjutkan maka harus diketahui peraturan permainan yang sudah lazim yaitu: 1. Barang siapa yang ketempatan kodhok maka dianggap kalah. Z. Pemain yang kalah wajib menyusun pecahan tembikar/batu kecil milik peserta yang menang dengan batu kodhok di atasnya, sementara itu pemain yang menang bersembunyi. 37

38 3. Begitu selesai menyusun batu tadi maka yang kalah tadi secepatnya mencari pemain yang bersembunyi. 4. Bila yang bersembunyi telah dapat ditemukan semua, maka permainan dimulai kembali. Pertama-tama semua pemain (misal A, B, C, D, E, dan F) duduk mengitari bulatan/segi empat yang telah terbagi menjadi enam bidang sesuai jumlah pemain. Satu di antaranya memegang batu besar (kodhok). Para pemain menyanyikan lagu Dhoktri sambil menggerai:kan batu kecil/pecahan tembikar clan batu kodhok ke pemain di sebelah kanannya. Apabila nyanyian berakhir pada kata kodhok maka berhenti pula sirkulasi pecahan tembikar/batu kecil beserta batu kodhoknya. Di ruang siapa tempat berhentinya batu kodhok itu maka pemain itulah yang dadi (kalah). Misalnya batu berhenti pada C, maka A, B, D, E, dan F segera berlari bersembunyi di halaman rumah tersebut (tidak boleh keluar dari halaman rumah). C sebagai pemain yang kalah wajib mengumpulkan/menumpuk batu kecil/pecahan tembikar beserta batu kodhoknya ter letak paling atas. Setelah selesai menyusun, C segera mencar pemain yang bersembunyi. Apabila semua peserta yang bersem bunyi telah dapat ditemukan, maka berakhirlah permainan ini Selanjutnya apabila masih diinginkan permainan dapat dimula lagi dari permulaan, dan batu kodhok berada pada pemain yanl baru saja kalah. Kewajiban bagi pemain yang kalah adalah menyusun batu pecahan tembikar dan batu kodhok serta mencari lawannya yanj bersembunyi sampai ketemu. Di samping itu dapat pula ditambal dengan kewajiban menyanyi. Sedangkan bagi yang menang ia haru; menyembunyikan diri dan berusaha agar tidak dapat ditemukai oleh pemain yang kalah. Bila ada hukuman menyanyi maka pihal yang menang berhak menentukan judul lagu yang harus dinyanyi kan oleh pihak yang kalah. 3. Genukan Kata Genukan berasal dari kata genuk yang berarti genthong, yaitu tempayan untuk menyimpan air di dapur. Ini sesuai dengan peran juri dalam permainan ini. Juri yang berperan sebagai seorang Bapak atau Ibu duduk bagaikan genuk di antara kedua kelompok pemain. Di lain tempat permainan ini dinamakan Sarsur, atau Sar-sur Kulonan dan ada juga yang menamakan Kauman. Genukan dilakukan baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan pada waktu sore, atau bahkan pada malam hari bila kebetulan bulan purnama. Tempat bermain biasanya di suatu halaman yang luas. Permainan Genukan menuntut kedisiplinan dan sportivitas yang tinggi dari para pemain dan jurinya. Kedua kelompok harus tunduk pada juri sebagai pengatur permainan. Juri ini sering juga disebut Embok atau Bapak. Kapan lahirnya permainan Genukan tidak banyak diketahui. Hanya saja setelah permainan tersebut di-kenal dengan nama Sar-sur Kulonan ciptaan Hadisukatno, Pamong Perguruan Taman Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta, penggemarnya rnakin bauyak. Apabila Genukan yang ash tidak ada lagu pengiring maka Sar-sur Kulonan diiringi lagu pengiring. Bahkan sekarang -a-;naran lagu Sar-sur Kulonan melehihi permainannya sendiri. Sekarang ini lagu Sar-sur Kulonan sering sekali dinyanyikan anakanak diiringi tari, tetapi bukan permainannya. Permainan Genukan ini dilakukan berkelompok. Setiap kelompok beranggotakan antara 4-7 orang anak. Jadi untuk dua kelompok adalah 2 x 7 anak = 14 orang anak ditambah seorang juri, sehingga seluruhnya berjumlah 15 orang anak. Umur pemain berkisar sekitar 7 atau 8 tahun ke atas. Jadi apabila nanti terjadi gendhongan (menggendong) mereka sudah mampu melakukannya. Pemain maupun juri boleh laki-laki maupun perempuan. Permainan Genukan tidak diiringi lagu pengiring. Sedangkan permainan Sar-sur Kulonan yang sangat mirip dengan Genukan memiliki lagu pengiring. Jalannya permainan Misalnya telah berkumpul 15 orang anak (masing-masing kelompok tujuh orang dan ditambah dengan satu orang juri), maka Genukan dapat dimulai. Masing-masing kelompok berdiri berjajar saling berhadapan. Setiap orang anggota kelompok memiliki pasangan yang sebaya besar dan tingginya. Kesebayaan ini perlu dilakukan mengingat nanti akan ada 38

39 pelaksanaan pemberian hukuman berupa kewajiban menggendhong bagi kelompok yang kalah, sehingga setiap anak akan mendapat beban yang sesuai dengan kemampuannya. Juri (embok atau bapak) duduk di antara ujung barisan kedua kelompok. Jadi masing-masing anggota kelompok berdiri tepat berhadaphadapan. Misalkan Kelompok I di sebelah barat, dan Kelompok II di sebelah timur. Jarak antara kedua kelompok sekitar 12 meter. permainan dimulai oleh juri dengan cara memanggil salah seorang pemain dari salah satu kelompok. Misalkan memanggil anggota Kelompok I yang berada di sebelah barat. Juri memanggil dengan mengucapkan kata-kata Sar-sur Kulonan atau Sur Kulon. Salah seorang anggota Kelompok I (misalnya C) maju ke tempat juri lalu berjongkok. C membisikkan kepada juri, menyebut nama pemain Kelompok II (misalnya J). C mundur kembali ke tempat semula. Juri kemudian memanggil agar salah seorang pemain dari Kelompok II dengan kata-kata Sar-sur Wetanan atau Sur Wetan. Salah seorang pemain Kelompok II (misalnya H) maju dengan rasa waswas. Dia khawatir jangan-jangan dia yang dibisikkan oleh C tadi. Ternyata yang dibisikkan oleh C adalah J, jadi H selamat. Dalam hal seperti ini maka juri mengatakan 'Slamet sega liwet'. Tibalah giiiran H untuk ganti membisikkan salah satu nama pemain Kelompok I, setelah itu dia mundur kembali ke tempat semula. Demikianlah berlangsung berulang-ulang, hingga akhirnya ada anak yang maju yang tepat dengan narna yang dibisikkan oleh kelompok lawan. Apabila juri mendapatkan bahwa yang maju adalah pemain yang dibisikkan oleh lawannya, maka ketika pemain yang dipanggil sudah mendekatinya maka juri berteriak 'dhor' seolah-olah menembak anak tersebut. Ini berarti anak tersebut beserta kelompoknya kalah. Sebagai hukumannya maka kelompok yang kalah tadi harus menggendong kelompok yang menang dengan jarak sebagaimana telah disepakati sebelumnya. Setelah gendongan tadi bila masih diinginkan maka permainan dapat dimulai kembali, bila tidak maka bubar. Di kota-kota ada yang menamakan permainan Genukan dengan nama Butul. Adapun syair lagu Sar-sur Kulonan ciptaan S. Hadisukatno adalah sebagai berikut: Sar-sur kulonan, Mak mak-emake re te te, Tak undange, re te te, Yen kecandhak kanggo gawe, Dadi mesti mati, Dadi mesti mati, Takbedhile mimis wesi, Trong trong trong trong bleng, 4. Jamuran Jamuran adalah permainan yang sangat populer di kalangan /uanak-anak di Jawa, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jamur artinya cendawan, dan mendapat akhiran 'an'. Jamur berbentuk bulat, maka permainan Jamuran pun memvisuahsasikan bentuk jamur yang bulat tersebut, yaitu membentuk lingkaran. permainan ini biasanya dilakukan pada sore dan malam hari (waktu bulan purnama). Jamuran dapat dilaksanakan di halaman rumah atau halaman sekolah. Jumlah pemain Jamuran tidak dibatasi, biasanya berkisar antara 4-12 anak. Sedangkan batasan umur pemain Jamuran juga tidak mengikat. Anak kecil pun dapat ikut serta walau hanya sebagai pemain pupuk bawang atau bawang kothong. Namun idealnya berumur sekitar 6-13 tahun. Permainan Jamuran ini dapat dilakukan oleh anak laki-laki saja, anak perempuan saja, atau campuran anak laki-laki dan anak perempuan. Jamuran tidak memerlukan perlengkapan apa pun kecuali sebidang tanah secukupnya (menurut banyaknya pemain). Kecuali itu Jamuran juga memiliki lagu pengiring yang dinyanyikan oleh semua pemain Jamuran. Lagu Jamuran dinyanyikan satu kali setiap ronde. Jadi apabila bermain 10 ronde maka lagunya pun dinyanyikan sebanyak 10 kali. 39

40 Kejar-mengejar seru sekali. I berusaha untuk masuk ke dalam sanngkar, dan berhasil. Sekarang I berada dalam sangkar, maka pemain sangkar bernyanyi sebagai berikut: "Jago teka, wul ung 1 unga ". Demikianlah lagu tersebut dinyanyikan berulang kali. Syair lagu tersebut kadang diganti dengan melihat 'situasi yang sedang terjadi. Perrnainan Gowokan akan berhenti apabila I telah dapat ditangkap oleh J. Selanjutnya terserah kepada mereka semua apakah akan bermain lagi ataukah bubar. Jalannya permainan Setelah sekelompok anak-anak (misalnya 10 orang anak) yang berkeinginan bermain Jamuran berkumpul, maka dilakukanlah undian untuk meneiitukan siapa dadi siapa mentas. Barangsiapa yang paling kalah itulah yang dadi. Misalnya yang main adalah A, B, C, D, E, F, G, H, I, dan J. Pemain yang paling kalah berdasarkan undian adalah J, maka J menjadi pemain dadi. Kemudian A, B, C, D, E, F, G, H, dan I berdiri membentuk lingkaran, sedangkan J berada di tengahnya. Bentuk ini menyerupai bentuk jamtir dengan titik pusatnya. Kemudian pemain yang membentuk lingkaran bergerak berputar sambil menyanyi lagu Jamuran dengan syair sebagai berikut: Jamuran ya ge ge thok, Jamur apa, ya ge ge thok, Jamur gajih mbejijih sakara-ara, Semprat-semprit jamur apa? Sampai pada bait terakhir (Semprat-semprit jamur apa?) maka berhentilah gerak berputar tadi. Kemudian J harus menjawab pertanyaan tadi. Misalnya J memilih menjawab 'Jamur Let Uwong', maka pemain yang membentuk lingkaran tadi saling mencari pasangan dan saling berangkulan (tidak harus dua orang, tiga orang pun boleh). J kemudian mendatangi salah satu pasangan yang sedang berangkulan, misalnya pasangan A, B, dan C, dan berusaha memisahkan salah satu dari mereka. Misalkan A dapat dilepaskan dari rangkulannya, maka A berganti menjadi pemain dadi. A kemudian berada di tengah lingkaran sedangkan J ikut kelompok pemain yang membentuk lingkaran. Namun misalkan J tidak dapat melepaskan salah satu pun dari pasanganpasangan tersebut maka J tetap menjadi pemain dadi. J akan berubah statusnya menjadi pemain mentas apabila dapat melepas salah satu pemain yang berangkul-rangkulan. Misalkan A menjadi pemain dadi maka permainan diawali dari depan dengan menyanyikan lagu dari awal sambil berputar. Sampai pada bait terakhir A harus menjawab pertanyaan. Misalnya A menjawab 'Jamur Lot Kayu', maka semua pemain yang membentuk lingkaran cepat-cepat mencari segala benda yang berasal dari kayu (tiang, pohon, dan lain-lainnya) untuk dipeluknya. Bila ada yang belum mendapatkan pelukan kayu tetapi sudah tertangkap oleh A maka pemain tersebut menjadi pemain dadi. Demikianlah permainan Jamuran diulang terus sampai mereka semua merasa lelah dan bosan, dan permainan pun dihentikan. Ada kalanya karena kekurangcekatannya maka seorang pemain menjadi pemain dadi terus menerus. Pemain demikian disebut dikungkung. Mengenai pertanyaan 'Jamur apa?', jawabannya banyak sekali. Dan ini pun tergantung kepandaian si penjawab. Ia dapat menjawab sest.atu jamur yang sangat sulit mempraktekkan dalam tingkah laku, sehingga kemungkinan untuk menangkap pemain menjadi lebih hesar. Contoh jawaban misalnya: Jamur parut: para pemain supaya menyiapkan salah satu telapak kakinya untuk digaruk-aaruk oleh pem.ain dadi. Apabila yang digaruk merasa geli dan tertawa maka pemain tersebut kalah, dan berubah status menjadi pemain dadi. Jamur kendhil: Anak-anak yang membuat lingkaran lari dan b e rjongkok berdekatan satu sama lain. Jarak antarpemain kurang satu depa. Apabila ada yang berjarak lebih dari satu depa, maka anak yang berada di sebelah kiri menjadi pemain dadi. Apabila anak-anak yang berjongkok tadi sangat rapat, maka pemain yang dadi tadi boleh 40

41 mengangkat salah seorang di antara mereka. Apabila ada yang terangkat maka dia berganti menjadi pemain dadi. Jamur kethek menek: para pemain supaya menirukan kera sedang memanjat. Jadi mereka memanjat pohon, bangku, kursi, atau lainnya; yang penting tidak menginjak tanah. Jamur gagak: para pemain menirukan gaya burung gagak yang sedang terbang. Mereka merenggangkan tangan kanan dan kiri kemudian berlari-lari kesana-kemari seolah-olah seperti burung gagak sedang terbang. Masih banyak lagi jenis jamur-jamur, tergantung kreasi anak-anak yang bermain. BAB IV BELAJAR TEMBANG JAWA A. Pemekaran Tembang Jawa Dalam buku Seni Tembang Jawa, Endraswara (2010) secara mendalam memberkan rahasia belajar tembang. Lebih dari itu, juga perlu ada upaya memekarkan tembang. Pemekaran dapat dilakukan melalui (a) penguasaan ragam tembang, (b) penguasaan berbagai cengkok, (c) pembahasan tembang-tembang yang menjadi tradisi lisan, (d) kontekstualisasi tembang Jawa, (e) mengolah tembang ke dalam musik gamelan. Seni tembang Jawa, menurut Darmoatmodjo (1974), sudah mulai berkembang luas. Tidak hanya mlalui seni baca, seperti macapatan di bangsal Wiyatapraja (Kepatihan), tetapi juga di berbagai pendapa pedesaan. Boleh dikatakan tembang sekarang telah mengalami pemekaran tampilan, fungsi, dan greget. Jika masa lalu tradisi jagong bayen dengan membaca Serat Jusuf atau Serat Ambiya, kini telah meluas dari itu. Tradisi tembang semakin lentur dan bergerak di bidang apa saja. Tradisi tembang macapatan yang digelar di bangsal Kepatihan, kini telah dimekarkan lagi, merambah jagad sekolah dan kampus. Kampus UNY, ISI, UGM, telah peduli menggelar pemekaran tembang. Di kampus tersebut tidak lagi sekedar macapat biasa, tetapi telah dipoles dengan seni pertunjukan secara kolaboratif. Seni macapat yang dirangkai dengan tari, wayang, gamelan, menjadi semakin populer. Instansi pemerintah seperti Balai Bahasa Yogyakarta, Jarahnitra, Sonobudoyo, dan Dinas Kebudayaan DIY, secara nyata telah ikut andil dalam pemekaran macapat. Macapatan Malem Jumat Legi mereka prakarsai dengan dana dari APBD. Kegiatan semacam ini jelas membanggakan para pemerhati tembang Jawa. Pembinaan tidak hanya menggelar macapat, melainkan juga menyelenggarakan lomba atau gelar prestasi. Ada lomba mamcapat antar anak SMP, SD, SMK, dan umum. Ada pula Lomba Tembang Gembira Loka, oleh Dinas Kebudayaan, yang hampir pesertanya orang-orang mapan, yaitu pesinden dan pengrawit. Ki Rejomulyo biasanya yang menjadi motor kegiatan pemekaran tembang bernuansa wisata ini. Berbagai Gerakan pemekaran tembang akhir-akhir ini sudah sulit dielakkan. Tidak saja seni untuk seni, tembang juga dapat meluas ke jagad politik. Amin Rais misalnya, pernah menggelar macapatan di rumahnya. Meskipun tidak terus terang berpolitik, tetapi aromanya tetap ke sana. Buktinya, dia sampai mampu menduduki posisi tertingngi di negeri ini. Bahkan tahun belakangan dia juga mempunyai acara khusus bertajuk Pangkur Jenggleng di TVRI Yogyakarta. Tradisi semacam ini, sebenarnya amat memungkinkan wacana lain masuk. Pagelaran macapatan di Rumah Dinas Walikota Yogyakarta dan rumah Dinas Bupati Sleman yang dimotori Ki Sarbini, cukup menggairahkan tembang Jawa. Pemekaran tembang yang dirangkai dengan sarasehan, penuh muatan politik yang sensitif. Hal ini berarti bahwa pemekaran tembang memang tidak selalu berdiri sendiri. Konstruksi pemekaran yang bernuansa politik boleh-boleh saja. Begitu pula pagelaran macapat di Dalem Rumah Dinas Bupati Bantul, sebagai representasi keunikan pejabat. Bahkan dengan nada hendak meraih peringkat Muri, dengan tembang non-stop sampai sekian jam, silahkan saja. Dalih apa pun sah-sah saja untuk memekarkan tembang Jawa. 41

42 Yang menarik lagi, dewasa ini juga banyak para politisi dan caleg yang menggunakan tembang sebagai media praktis. Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, ketika sesorah di Konferensi Internasional Budaya Jawa di pendopa Bupati Banyumas juga melagukan tembang macapat. Bupati Banyumas pun tidak kalah dalam melagukan tembang. Bahkan Mendagri Mardiyanto juga banyak terlibat dalam seni campursari. Terbukti ketika KBJ IV di Semarang, muncul album kenangan campursari bergambar dia dan isterinya. Dalam berbagai arena apa saja, tampaknya tembang memang bisa masuk. Para pendakwah, pengkotbah, dan pemberi wejangan manten selalu menghadirkan tembang. Di mesjid-mesjid, sering terdengar lantunan mamcapat, yang dirangkai dengan ayat-ayat. Bahkan KH. AR. Fachrudin juga pernah memberi pengantar Kidung Sari Rahayu, yaitu lantunan macapat dari Al Quran. Dengan demikian, tembang Jawa dapat dimekarkan melalui apa saja, asalkan tidak merusak citra tembang itu sendiri. B. Mencipta Tembang Mencipta tembang macapat, tidak perlu memperhatikan cengkok terlalu jauh. Cengkok memang akan membatasi suasana lagu. Namun demikian, bagi pemula, yang penting berkarya dahulu, tepat kata-kata dengan idenya. Bagi pemula, mungkin akan menghitung guruwilangan menggunakan jajri. Hal ini pun tidak ada larangan. Pemekaran mencipta macapat atau tembang lain perlu ditumbuhkembangkan, agar ekspresi estetik tembang tidak putus. Seorang pencipta tembang yang baik, belum tentu sebagai penembang yang bagus. Orang yang bagus kedua-duanya memang amat jarang. Namun, bagi yang gemar menembang, biasanya dapat mencipta meskipun tidak terlalu bagus. Dari pemikiran saya, ada beberapa rumus yang perlu dipegang oleh pencipta tembang. (1) Titi warna, jika hendak mencipta tembang harus paham pada titiwarna (jenis) apa yang hendak diekspresikan. Tembang macam apa yang akan diciptakan, perlu dikuasai. Tembang untuk wejangan manten, supitan, dakwah, dan pentas perlu diketahui. (2) Titi prakara, artinya paham masalah apa saja yang akan ditulis, bisa masalah yang sedang hangat, yang penting "monumental" bukan sekedar "momental". Monumental akan mengantarkan nama pencipta tembang lebih tersohot. Karyanya, mungkin tahan jaman dan banyak dicari orang. (3) Titi nama, artinya nama samaran atau disebut sandinaa (sandiasasma), yang disamar ke dalam tembang. Nama pencipta ini akan menjadi dokumen historis jika dicantumkan. (4) Titi mangsa, adalah keterangan waktu yang juga disamarkan atau diselipkan secara estetis dalam tembang. Keterangan waktu ini bagi yang studi naskah sering penting maknanya. (5) Titi rengga, artinya keindahan tembang berupa permainan bahasa kuna dan keindahan gaya bahasa. Kemampuan seorang pujangga mencipta tembang hampir sulit tertandingi. Pengetahuan seni, bahasa, dan sastra amat lengkap dalam diri pujangga. Namun tidak berarti orang biasa tidak mungkin menciptakan tembang yang bagus. Dalam berbagai lomba, seringkali terdapapat pemenang yang kekuatan karyanya seperti pujangga. Oleh sebab itu, jika para pengarang tembang berupaya keras, kiranya tidak ada yang sulit dalam tembang Jawa. Untuk memudahkan berkarya, di bawah ini disajikan aturan guruwilangan tembang macapat. 42

43 C. Latihan-latihan Tembang Jawa MIJIL Wedharingtyas Pl P Nem Kinanthi Sekargadhung Laras Sléndro Pathet Manyura pan da - dya ta- pa ni- rè ku nyu- da dha - har la- wan gu - ling a- ja pi- jer- su - ka - su ka a- ngang- go- wa sa wa ta wis a- la wa tek é wong su- ka su- da ka- pra- yit- nan ba- tin 43

44 PÉLLOG NEM A. POCUNG DHENGKLUNG NGUNGUN Ngèlmu i- ku ka- la- kon- é kan-thi la ku, le- kas- é la- wan kas, té- ges- é kas nyan- to- sa- ni, se- tya bu- dya pa- nge- kes- é dur- ang- ka- ra. Bawa Sekar Ageng Mintajiwa Lampah 16(8-8) Slendro Pathet Dhuh Gus - ti Kang Ma ha A gung se sem bah an wong sa bu mi ku la a sung pu dyas ta wa kon juk pa du ka dhuh Gus ti dipunseseli Jineman / ingkang murba a mi sé sa sangkan pa ran ing du ma di 44

45 kalajengaken Bawa malih Pa du ka Sang Ma ha Tung gal si nu ba kas ta wèng gen dhing Umpak-Umpak 1: mul - wa reng-ka wi - la - ngan si- ji ka-wi-nya mbu-di - da - ya sa yeg sa - é - ka pra- ya ka -wi -li - ma wa rung - geng te - ngah na ga ra Pan -ca si - la da - di dha-sar suh-ing bang-sa 45

46 Gérongan si nu ba kas ta wèng ki dung ka de reng tyas a mè nget i se wi dak war sa yus wa nya ka mar di kan ki ta i ki kéntas ja man penja jah an les ta ri tu mus ba su ki GAMBUH GAGATAN PÉLOG PATHET BARANG A- ja ngan- ti ke- ban- jur, Sa- ba- rang po- lah kang no- ra ju- jur, yèn ke- ban- jur sa- yek- ti ko- jur tan be- cik, be- cik ngu- pa- ya- a i- ku, pi- tu- tur ing- kang sa- yek- tos 46

47 MIJIL KULANTHE PL BR Lamun si ra da dya sis wa sis wi Dohna saking la kon Ingkang nis tha tur bi la hi ka beh Miwah madya u ta ma ja la Mrih lu hur pri ba di De da lan e pun jul li Sekar Megatruh Wuluh Gadhing Sl. Pt. Manyura seng- ka- la- né mak- sih nung- gil ja- man i- pun nèng sa- jro- ning ma- dya a- kir wi- ku sap- ta ngès- thi ra- tu a- dil pa- ri mar- mèng da sih ing ko- no kar- sa- ning Ma- non 47

48 CAPING GUNUNG Bawa (Pangkur) Caping Gunung) sl. Pt sa ben be ngi nya wang ko nang (É, timbang ngrungokaké wong padudon) yèn me ma jang mung ka ro (É dak kudangé adhiku) tembang waé we ton gu nung pa cit an sar wi je nang ja nur ku ning (cendhèk lemu dhuwur lemu wong saomah lemu kabèh) pa nas u dan a ling a ling ca ping gu nung (misowa caping gunung) na jan wa don sarwi la i numa né nang 5 ba nyu be ning Lagu Dhèk jaman berjuang njur kèlingan anak lanang Biyèn takopèni ning saiki ana ngendi Jaréné wis menang keturutan sing digadhang Biyèn naté janji ning saiki apa lali Nèng gunung takcadhongi sega jagung Yèn mendhung tak silihi caping gunung Sokur bisa nyawang gunung désa dadi reja Déné ora ilang nggoné padha lara lapa (Kapethik seka Kompetènsi Macapat, Bahan Bèngkèl Sastra Jawa Guru Bahasa Jawa Kulon Progo, Juni 2004) 48

49 BAB V KEBUDAYAAN JAWA A. Cakramanggilingan Ancasipun: Saged nerangkaken runtut menggah cakramanggilinganing gesang manungsa wonten ing ngalam donnya. siji kabegjan yekti, Loro jodho kaping telu, Pasthi tibaning kodrat, Manungsa datan ngawruhi, Kabeh iku kapurba kang Mahakwasa. Gesanging manungsa ing menika mawi tataran ingkang ewah gingsir. Tataraning gesang manungsa kawiwitan saking lair, lare, rumaja, diwasa, mangun balewisma, saha seda. Wonten ingkang mastani 3 M inggih menika metu, mantu, mati. Metu tegesipun lair, mantu tegesipung malakramaken putra, mati tegesipun wangsul wonten pangayunaning Pangeran inggih Gusti ingkang akarya jagad. Gusti Allah ingkang murba jagad saisinipun inggih menika murba lair, jodho urip kalawan pati. Manungsa kawastanan sampurna lamun wus rumambah jagad papat cacahe nun inggih jagad lokabrata, lokapana, lokamadya, saha lokabaka. Tataraning gesang manungsa mekaten kawastanan cakra manggilinganing gesang manungsa. 1. Metu Metu tegesipun lair, inggih menika lairipun ponang jabang bayi sasampunipun tapa brata wonten ing alam kandhutan sangang wulan sedasa dinten (limrahipun). Lairipun ponang jabang dipunwastani lumebet ing jagad lokapana. Loka tegesipun papan/sasana, pana tegesipun sumerep. Ponang jabang bayi kepengin sumerep endahing jagad padhanging donya, mila lair ponang jabang bayi. Lairipun ponang bayi dipunsarengi dulur papat, pramila tiyang Jawi pitados saben manungsa gadhah dulur papat lima pancer, inggih menika kakang kawah, adhi ari-ari, rah-sungsum, tali puser, saha bayi minangka pancer. 1. Brokohan Upacara ingkang katindakaken ing kelairan inggih menika brokohan. Ancasipun mugi tansah pikantuk barokah. Brokohan minangka raos syukur dhumateng Gusti Allah awit pinaringan momongan putra. Limrahipun brokohan menika ngepung sekul ing dipunjangkepi gudhang, gereh pethek, rempeyek, thontho, tempe, tahu, saha tigan ingkang dipunwadhahi tampah. Brokohan lajeng dipunkepung lare-lare, dipundongani, saha dipuntedha sesarengan. 2. Sepasaran/Sepekenan Menawi wonten warga ingkang nglairaken, lajeng para tangga tepalih sami jagong utawi pawungon. Pawungon dipungkasi menawi sampun sepeken kanthi nindakakane sepekenan. Ing sepekenan menika toyang sepuh ugi maringi nama larenipun. Sepasaran utawi sepekenan menika upacara tradhisi kangge mengerti lairipun ponang jabang bayi ingkang sampun nyandhak gangsal dinten utawi sepeken. Limrahipun katindakaken kathi sedekahan (sodaqoh) utawi syukuran kanthi ngundang tangga tepalih ngepung ambegan ingkang wujudipun meh sami kaliyan brokohan nanging langkung kathah cacahipun gumantung warga ingkang dipunundang. Ing wekdal samenika sedhekahan sampun dados wonten dos utawi besek. 3. Selapanan Selapanan menika upacara ingkang katindakaken tiyang Jawi nalika gadhah lare sampun 35 dinten. Ubarampe meh sami kaliyan sedhekanan. Selapanan dipuntindakaken awit dinten menila dinten ambal pekenan ingkang sepisan lairipun 49

50 ponang jabang bayi. Upamipun lairipun Minggu Kliwon selapananipun inggih dinten Minggu Kliwon candhakipun (selapan + 35 dinten). Selapanan dipungeti awit manut kapatadosanipun tiyang Jawi dinten kelairan menika dinten kemimpanganipun lare. Pramila kathah ingkang nindakaken siyam ing dinten kelairan minangka syukur. 4. Supitan saha Tetesan Supitan inggih menika ngicali rereged wonten pucuking planangan (lare jaler) kanthi kulit ing pucuking planangan (scortum). Ing jaman rumiyin supitan mekaten katindakaken menawi lare sampun umur 1-1,5 windu (8 12 tahun). Lare ingkang dipunsupiti, tiyang Jawi mastani ngislamake. Tegesipun lare ingkang dipunsupiti sampun saged dados imam menawi sholat (tumraping tiyang Islam). Tetesan menika ngicali sukreta wonten ing pawadonan (tumrap lare setri). Mbah dukun ngginakaken kunir lajeng dipunsenggolaken (dulitaken) wonten ing pawadonan. Umuripun kirang langkung 1 windu (8 tahun). 5. Tarapan Tarapan inggih menika upacara ingkang katindakaken menawi lare nggarap sari (mestruasi) ingkang sepisan. Sasampunipun nggarap sari, lare dipunsirami. Sasampunipun siraman lajeng pinaringan busana sae saha jampi supados enggal pulih sarta tuwuh hormon-hormon kawanitan kanthi limrah (nomal). 2. Mantu Pasang blekete nalika mantu (Dok. SEMINAR HARPI YK) Lare terus ginulawentah dening tiyang sepuh lumebet jagad lokamadya. Loka ateges sasanan/papan, madya ateges tengah, inggih menika jagading alam bebrayan utawi dhaup palakrama. 1. Lamaran Jejaka ingkang kapranan kaliyan satunggaling warara lajeng nindakaken lamaran (panglamar). Utusan utawi tiyang sepuhipun jejaka rawuh wonten griya tiyang sepuhipun warara ngaturaken panglamar. Isipun nyuwun menapa kepareng menawi putrinipun (warara) badhe kajodhokaken kaliyan putranipun (jejaka). 2. Asok Tukon saha Paningset saha Srah-srahan Menawi panglamaripun sampun katampi, lajeng katindakaken paningsetan. Kulawarga kakung rawuh kanthi mbekta ubarape asok tukon saha paningset. Wujud/sranaipun maneka warni -(kula aturi maos Pengantin Gaya Yogyakarta, Tata Upacara dan Wicara, 2006 babaran Kanisius Yogyakarta)- ingkang baku pisang sanggan saha srana tukon (limrahipun redana arta). Dene kalpika (ali-ali) ugi saged minangka bukti. Kalika dipunagem jejaka kaliyan warara ing nyari manis asta kiwa. 50

51 (Lamaran, dok. Seminar HARPI YK) 3. Pawiwahan Ing wekdal ingkang katemtokaken jejaka kaliyan warara palakrama (Islam: ijab qobul, nasrani: sakramen utawi pemberkatan nikah). Sasampunipun palakrama, pengantin nindakaken upacara panggih. Adicaranipun kawiwitan panebusing sri pengantin putri kanthi ngaturaken pisang sanggan, mbucal sukreta kanthi kepyok kembar mayang ing bahu pengantin kakung, balangan gantal, ranupada (mbasuh samparan), miji dadi (mecah antiga), kirab jumenengan, tampa kaya, dhahar walimahan, ngunjuk toya wening, mapag besan, saha sungkeman. Salajengipun penganten nampi donga pangestu saha kembul bujana. Sedaya upacara kasebat winastan pawiwahan penganten. 4. Pahargyan Upacara pahargyan langkung kawentar sinebat (resepsi penganten). Pahargyan menika minangka wahyaning syukur. Pahargyan saged katindakaken setunggal rerangken kaliyan pawiwahan (sasampunipun panggih kalajengaken pahargyan), utawi kaot 1 dinten, 2 dinten, 1 minggu, 1 wulan, malah wonten ingkang gantos tahun. Pahargyan wonten kalih inggih menika pahargyan sasampinipun pawiwahan (kantindakaken kulawarga penganten putrid) saha pahargyan boyong temanten ingkang katindakaken kulawarga penganten kakung. Tata upacara pengantin Jawi saking awal ngantos akhiripun saha manekawarni ubarampenipun kanthi jangkep saged dipunwaos ing buku Pengantin Gaya Yogyakarta, Tata Upacara dan Wicara, 2006 babaran Kanisius, Yogyakarta. Penganten tempo dulu: peraga: Geovani dan Yora (Dok. SEMINAR HARPI YK) 5. Mitoni 51

52 3. Mati Mitoni dumados ing jagad lokabrata. Loka ateges papan/sasana, brata atages tapa ing alam kandhutan. Mitoni ugi sibenat tingkeban. Sinebat mitoni awit calon ibu mbobot (nggarbini) ingkang sepisan sampun pitung wulan. Sinebat tingkeban awit upacara menika kawiwitan dening Nyai Setingkep (ing Jaman Kedhiri ingkang jumeneng nata Prabu Jayabaya) nalika mbobot. Upacaranipun (1) sungkeman, (2) siraman calon ibu, (3) ngagem nyamping kaping ambal kaping pitu, (4) luwaran, (5) brojolan/lairan, (5) kudangan, (6) bubukan, (7) dulangan, (8) rencakan, (9) rujakan saha dhawetan. Jangkepipun saged kawaos ing buku Tingkeban (2008, Adicita Yogyakarta). Tembang kudangan: LAGU KUDANGAN TAKLELA-LELA LEDHUNG CEP MENENGA AJA PIJER NANGIS PUTUKU SING AYU.BAGUS RUPANE YEN NANGIS DHAK ILANG AYUNE/BAGUSE TAK GADHANG BISA URIP MULYA DADIYA PENDHEKARING BANGSA NGLUHURKE ASMANE WONG TUWA KAE BULANE NDADARI ANA BUTA NGGEGIRISI LAGI NGGOLEKI CAH NANGIS TAK LELA-LELA LELA LEDHUNG CEP MENENG AJA PIJER NANGIS TAK EMBAN NGANGGO JARIK KAWUNG YEN NANGIS MUNDHAK EYANG BINGUNG. Uwong urip aneng donya iki, Lakonana parentahing Allah, Ngibadah tumemen kuwe, Aja kongsi kaliru, Tatepana ati kang suci, Wujud pangibadahan, Rina wengi iku, Taberi ywa kongsi lena, Kanggo sangu lamun sira tekeng pati, besuk mlebu suwarga Kridhaning dhiri datan bias hambedhah garising pasthi. Menawi manungsa katimbalan ing pangayunaning Pangeran boten saged suwala naming sandika ing karsa. Tiyang sampun tiwas menika lumbet ing jagad lokabaka. Loka ateges papan/sasana, baka ateges langgeng. Jagad lokabaka ateges alam kelanggengan. Mati utawi pejah menika oncating nyawa saking raga. Dados ingkang pejah/tiwas naming raganipun, dene ruh utawi nyawa wangsul ing pangayunaning Pangeran ing alam kalanggengan. Upacara ingkang katindakaken ing kematian inggih menika (1) bedhah bumi, (2) upacara pangrukti saha pametak laya, (3) pengetan-pengetan. Bedhah bumi inggih menika nalika juru kubur miwiti ndhudhuk (mbedah bumi) bumi kangge ngubur jenazah. Upacara pangrukti laya kawiwitan saking nyuceni mayit, mbuntel mayit, nyembahyangaken, saha 52

53 nglebetaken ing kendhaga laya. Upacara pametaking laya kawiwitan nalika tata upacara ngantos metak laya ing sasana laya. Upacara pametak laya ingkang jangkep (1) pambuka, (2) waosan kitab suci, (3) atur panuwun kulawarga dhuhkita, (4) waosan riwayat almarhum/ almarhumah (5) atur bela sungkawa para pelayat utawi) atur bela sungkawa saking mitra makarya (instansi), (6) atur panglipur, (7) susupan, (8) donga, (9) pambidhaling laya, (10) pametaking laya. Upacara pengetan kematian tiyang Jawi antawisipun 3 dinten, 7 dinten, 40 diten, 100 dinten, 1 taun (mendhak sepisan), 2 taun (mendhak pindho), saha 1000 dinten. Ing dintendinten kasebat katindakaken puji pandonga sakulawarga, malah ugi sinengkuyung para warga tangga tepalih. Ingkang kedah dipunpahami supados boten nuwuhaken predondi, bilih tiyang donga menika boten kedah ing dinten-dinten kasebat, sewanci-wanci, sadhengah papah para ahli waris saged ndongakaken leluhuripun. RINGKESAN Cakramanggilingan gesangsing manungsa nun inggih metu, mantu, mati kanthu rumambah catur jagad lokajanma, inggih menika lokabrata, lokapana, lokamadya, saha lokabaka. Inggih menika alam kelahiran ngantos kadewasan satemah nindakaken gesang bebrayan, dene akhiripun tumekeng lena utawi mati. 4. Pamiji (Evaluasi) 1. Pitaken a. Gusti wenang hamurba jagad saisinipun. Menepa kemawon pepesthipun Gusti Allah tumrap manungsa? b. Kaandharna kanthi runtut tataraning gesang manungsa ing ngalam donya ingkang sinebat cakramanggilingan! c. Wonten ing andharan Mati dipunserat sekar. Sekar menapa menika? Cobi kaandharna ngangge basa panjenengan piyambak! d. Menapa tegesipun kridhaning dhiri datan bisa hambedhah garising pasthi? e. Menapa ingkang panjenengan mangertosi dulur papat lima pancer! Kaandharna! 2. Tugas a. Tumrap tiyang Jawi, menapa sebabipun saben-saben tataraning gesang manungsa tansah katindakaken tata upacara? b. Kaandharna upacara panggih penganten gagrak Ngayogyakarta Hadiningrat sarta makanipun! c. Ing upacara tingkeban wonten adicara gantos nyamping wonten pitu. Menapa kemawon nyampingipun saha kados pundi maknanipun? d. Manut panjenengan kados pundi menggah wontenipun pengetan kematian: 3, 7, 40, 100 dinten, 1, 2 taun, saha nyewu? e. Manut panjenengan kados pundi caranipun mulangaken dhateng siswa bab cakramanggilinganing gesang manungsa? B. Ruwatan Ruwatan menika saking tembung lingga ruwat, rucat, utawi lukat ingkang tegesipun ngresiki utawi ngicali sukerta inggih menika tiyang utawi lare ingkang nandhang papacintraka amargi dados tedhanipun bathara Kala. Upacara ruwatan sampun wonten wiwit jaman Majapahit, bab menika saged dipun tingali wonten ing relief Candi Sukuh ing tlatah Surakarta, Jawi Tengah utawi relief ing candi Tegal Wangi, tlatah Kediri, Jawi Wetan Wonten ing buku-buku Jawi Kina, wonten tetembungan ingkang magepokan kaliyan tembung lukat, tuladhanipun Kunang iki papa ni nghulun agong ring apa n lukata (Adapun ini kesalahan hamba besar, bagaimana akan menghapusnya (Subalidinata, 1985:12). Ngantos wekdal menika, upacara 53

54 ruwatan taksih dipun tindakaken dening masarakat Jawi, jalaran taksih kathah ingkang gadhah pamanggih bilih tiyang-tiyang utawi lare ingkang nandhang sukerta menika suker (kotor) pramila kedah dipun resiki utawi dipun icali sesukeriopun. 1. Kedadosan-kedadosan / tumindak ingkang dipun wastani papacintraka: 1. Tiyang ingkang ndhawahaken dandang (piranti kangge bethak uwos) 2. Nugelaken sela gilesan (Jawi: pipisan) 3. Nyukakaken uwos wonten ing lesung (piranti kangge nutu pantun) 4. Gadhah pakulinan ngobong rikma lan balung 5. Damel pager saderengipun griyanipun dados 2. Sesaji Ruwatan 1. Tuwuhan, arupi pisang raja, cengkir gadhing, tebu wulung, utawi tebu arjuna cacahipun 2 pasang, kapapanaken in g sisih kiwa tuwin sisih tengening kelir 2. Pantun sagedheng dumados saking sekawan iket kaperang dados kalih. 3. Klapa satunggal ingkang sampun ketingal kethosipun bade thukul 4. Ayam babon tuwin jago ingkang dipun cancang ing tuwuhan 5. Kajeng sekawan lonjor panjangipun 40 cm 6. Benang satunggal gulung 7. Klasa ingkang enggal selembar 8. Kupat luar ujar sekawan iji 9. Kajang sirah ingkang enggal setunggal 10. Sisir rikma utawi pethat 11. Serit setunggal 12. Pengilon setunggal 13. Payung setunggal 14. Lisah wangi setunggal botol 15. Ron lontar setunggal gegem 16. Nyamping bathik pitung motif 17. Peso utawi lading 18. Tigan ayam kampung kalih iji 19. Pisang ayu, suruh ayu kapapanaken sesarengan kaliyan krambil grondhil, gendhis setangkep, uwos sapitrah, tuwin ayam panggang setunggal 20. Toya saking pitung sumber dipun campur kaliyan sekar setaman ingkang kapapanaken ing bokor dipun sukani arta receh 21. Benang lawe setunggal iket 22. Lisah klentik kangge lampu blencong 23. Sekul gurih tuwin daging ayam ingkang dipungoreng 24. Badheg utawi legen setunggal gelas 25. Toya sulingan tebu setunggal gelas 26. Tumpeng 7 warni inggih menika tumpeng megana, tumpeng rajeg, tumpeng pucukipun tigan, tumpeng pucukipun lombok abrit, tumpeng tutul, tumpeng sembur, tuwin tumpeng robyong. 27. Jenang warni 7, inggih menika jenang dodol, jenang ketan, wajik, jadah, jenang lahan, jenang sungsum, jenang dlima. 28. Jajan pasar, arupi woh-wohan tuwin tetedhan maneka warni ingkang dipuntumbas ing peken 29. Kupat lepet 30. Jenang abrit, jenang pethak, jenang palang abrit, jenang palang pethak, tuwin jenang baro-baro 31. Rujak legi, rujak crobo 32. Pirantos kangge olah-olah (alat-alat dapur) 33. Kendhi isi toya ngantos kebak 34. Diyan enggal ingkang murub 54

55 Upara Ruwatan menika dipun pandhegani dening (Dhalang Ringgit Purwa) ingkang sampun pengalaman, kanthi mendhet lakon utawi lampahan ( Murwakala. ), katindakaken wiwit siang kirang langkung jam 9 ngantos sonten. Kuwajiban tumrapipun ingkang karuwat, boten kenging nilar papan ingkang sampun katetepaken kangge pagelaran ringgit purwa menika ngantos paripurna. Sonten utawi dalunipun saged mendhet lampahan sanesipun ingkang temanipun kajumbuhaken kaliyan ingkang gadhah hajad. 3. Urut-urutaning Upacara Ruwatan (1) Upacara siraman, katindakaken wanci enjing, kirang langkung jam 8.00 WIB, dening ibunipun lare ingkang karuwat. mawi toya suci dipun lebeti sekar setaman utawi sekar pancawarna. Salajengipun lare ingkang karuwat dipunbusanani mawi busana adat Jawi ingkang sampun kasamaptakaken. Lare ingkang badhe karuwat lajeng kakanthi dening Ki Dhalang kadhawuhan sujud dhateng bapa tuwin ibunipun, dipun ampingi dening para pinisepuh saking kulawarganipun. Acara salajengipun inggih menika wilujengan mirunggan, kanthi maos donga mligi ingkang dipun rapalaken dening Ki Dhalang, ing sangajengipun para pinisepuh. Kirang langkung jam WIB (Jam 4 sonten), ropmbongan ingkang mbekta asesaji dhateng, lajeng kapapanaken ing papan ingkang sapun katemtokaken. Salajengipun rombongan lare ingkang badhe dipunruwat nyusul sawetawis wekdal. Lare ingkang dipun ruwat, bapak tuwin ibunipun sarta sesepuh dipunaturi lenggah wonten papan sanes, pisah. Semanten ugi sesaji ingkang dipun bekta urut-urutan wau dipun tata wonten papan upacara dening Ki Dhalang. Saderengipun gangsa katabuh mawi Ladrang Wilujeng Laras Pelog Pathet 6, Ki Dhalang maringaken 5 potong tebu wulungpanjangipun 40 cm, 21 sekar melati tuwin setunggal tunas klapa. Salajengipun Ki Dhalang ngersakaken rasukan nglebet gadhahanipun lare ingkang dipun ruwat wau. (2) Pagelaran ringgit purwa mawi lampahan Murwakala: Kirang langkung 3 jam wekdalipun Ki Dhalang mbeberaken ringgit purwa kanthi carios Murwakala. Nalika carios meh rampung, Ki Dhalang lerem sekedhap lan kalajengaken kanthi srah-srahan lare ingkang dipunruwat saking bapa tuwin ibunipun dhateng Ki Dhalang. Salajengipun lare ingkang dipunruwat dipunpangkas rikmanipun kanthi simbolis dening bapa tuwin ibunipun. (3) Upacara Srah-srahan tuwin Pangkas Rikma: Kanthi mbekta gunting alit, kacu (saputangan) 2 lembar, bapa tuwin ibunipun lare ingkang dipunruwat ngadhep Ki Dhalang ngaturaken menapa niyatipun. Lare menika lajeng kapangku dening Ki Dhalang, bapa tuwin ibunipun nyaketi. Lare ingkang dipunruwat sujud wonten ngarsanipun bapa ibunipun. Salajengipun bapa tuwin ibunipun nggunting rikmanipun lare wau sekedhik lajeng kaparingaken wonten saputangan, lajeng dipun caosaken dhateng Ki Dhalang. Salajengipun Ki Dhalang nerasaken pagelaran ringgit purwa lampahan Murwakala menika ngantos rampung ingkang namung kantun sakedhik cariosipun. Sasampunipun pagelaran ringgit rampung, lare ingkang dipunruwat tuwin bapa ibunipun nyelaki Ki Dhalang ngaturaken panuwun lan salajengipun Ki Dhalang maringaken pangkasan rikma tuwin rasukan nglebet gadhahipun lare ingkang dipunruwat dhateng ibunipun minangka panulaking papacintraka (tolakbala) ing tembe wingking tuwin salajengipun. (4) Upacara Tirakatan: Sasampunipun upacara ing wanci enjing tuwin siang purna, dalunipun dipuwontenaken acara tirakatan kanthi pagelaran ringgit purwa. Adatipun mawi lampahan ingkang mentes isinipun, ingkang wonten gegayutanipun kaliyan nilai-nilai filsafat, kadosta Bima Gugah, Sentanu Banjut, tuwin sapanunggilanipun. Wonten tiyang Jawi ingkang gadhah kapitadosan bilih ing babagan tartamtu wonten kemawon sengakalanipun (sambekalanipun, pepapalangipun, utawi sukretanipun) pramila lajeng wonten tradhisi ruwatan. Ruwatan tegesipun ngruwat kangge ngicali sukreta (sesuker utawi sial) utawi mbucal sial satemah gesangipun ayem, tentrem, kalis saking nasib sial utawi awon. 55

56 Saleresipun inti ruwatan inggih menika ndedonga utawi nyenyuwun dhumateng Gusti Allah amrih paring rahmat saha berkah satemah kahanan sae, ayem tentrem, kalis saking bancana/rubeda, murah sandhang pangan, kahanan adhem ayem, gesang adil makmur, kalis saking sambekala. Ruwatan massal wonten ing Kulon Progo Ruwatan katindakaken kanthi pribadi utawi kanthi sesarengan (missal). Tumrap tiyang kuwawai beyanipun ruwatan katindakaken pribadi. Dene amrih entheng ing beya ruwatan ugi saged katindakaken missal. Malah samenika wonten instansi-instansi ingkang nindakaken ruwatan missal kadosta Javanologi, Jarahnitra, saha Yasayan Tamansiswa. 5. Sukerta Ingkang dipunruwat inggih menika, lare, bumi, kahanan, ingkang nandhang sukerta. Pramila lajeng wonten ruwatan putra, ruwat bumi, ruwat kahanan, malah samenika wonten ruwatan jabatan/kalenggahan, ruwatan politik, lan sapanunggilanipun supados ayem tentrem, adil makmur, tansah manggih rahayu basuki (ingkang pitados). Kosok wangsulipun, menawi boten dipunruwat, lare, bumi, kahanan, kalenggahan, politik, negari tansah manggih sial, kirang prayogi, nandang sakit, boten tentrem, lsp. 1. Ruwat Manungsa Ing ngandhap menika para putra ingkang dipunruwat. (1) ontang-anting : putra jaler namung setunggal tunggal boten gadhah sedherak (2) Unting-unting : putra setri setunggal boten gadhah sedherek (3) gedhana-gedhini : putra kalih kakung saha putri (4) gedhini-gedhana : putra kalih putri saha kakung (5) uger-uger lawang : putra kalih kakung sedaya (6) kembang sepasang : putra kalih setri sedaya (7) pendhawa/pancala putra: putra gangsal kakung sedaya (8) pancala putri : putra gangsal setri sedaya (9) Pandhawa madhangake : putra 4 jelar, 1 setri (10) Pandhawa apil-apil / pipilan : putra 1 jaler, 4 setri (11) ngayomi : putra gangsal putrid sedaya (12) julungcaplok/pujud : anak alir nalika angslup srengege (13) julungkembang : anak lair nalika pletheking srengenge (14) julungsungsang/pangayam-ayam: anak lair nalika pas bedhug (15) kembar : putra lahir langkung saking setunggal kakung utawi putri (16) dhampit : putra kakung putri/putri kakung lair meh sesarengan (1 dinten) (17) sendhang kapit pancuran: putra jaler-putri-jaler (18) pancuran kapit sendhang: putra setri jaler- setri (19) saramba : putra sekawan jaler sedaya (20) sarimpi : putra sekawan setri sedaya (21) tiba sampir : anak lair kalung usus (22) jempina : anak lair dereng wanci (prematur) (23) margana : anak lair wonten margi/tindakan (24) wahana : anak lair nalika wonten pergelaran wayang 56

57 kulit ing dhusun kasebat (limrahipun lajeng dipunangkat anak dhalang, sarta dipunsukani nama) (25) bungkus / wungkus : anak lair bungkus (26) wangle : anak lair bule (27) kresna : anak lair ireng mulus (28) wungkul : anak wungkuk wiwit lair (29) wujul : anak cebol (30) rambut gimbal : lare gadhah rambut gimbal (31) tiyang adang ngrubuhaken dandang (32) tiyang mipis jamu nyoclekaken gandhik (33) tiyang mangun griya kesupen masang tutup keyong (34) tiyang ngethok pring tanpa ros (bolong) boten dipunpecah (35) tiyang sisik-sisik, siladanipun boten dipuntangsuli dados setunggal (36) tiyang nylumbat klama, linggis/slulmbatipun boten dipuntumbuhaken. 6. Ruwat Bumi utawi negari Ruwat bumi dipuntindakaken menawi wonten kahanan (1) kathah dahuru utawi bancara (nyegah) dan (2) kepengin kalis saking bancana (uwal saking bancana). Kahanan ingkang sepisan bumi dereng dumados dahuru. Supados kalis saking dahuru katindakaken ruwat bumi kanthi pangajab warga kalis saking dahulu, kasil panen kanthi sae, wulu wetu bumi kathah malimpah. Dene ingkang kaping kalih, bumi sampun kenging dahuru upaminipun banjir, ama wereng, pagebluk, gunung jebluk, segara umub, lsp. Salajengipun katindakaken ruwat bumi amrih bancana ical, satemah kalis saking bancana, panen saged kasil kanthi sae, kalis saking pagebluk, lsp. Ruwat bumi limrahipun katindakaken kadang tani supados panen saged kasil kanthi sae, kalis saking ama taneman, murah sandhang boga, gemah ripah loh jinawi, samya subur kang samya tinandur, murah kang samya tinuku. 7. Ruwat Politik Wonten-wonten kemawon tiyang ada-ada damel ruwatan politik. Sedaya kalawau kadayan kahanan politik boten sae, kathah pengangguran, kathah korupsi, KKN : koruspsi, kolusi, nepotisme, kathah dhemonstrasi, ekonomi mandheg, invenstasi anjlog, larang sandhang pangan, angel pedamelan, rebutan kalenggahan politis, lsp. Kahanan menika lajeng wonten ingkang nindakakaken ruwatan negari. Ancasing ruwatan negari supados kahanan ing nginggil ical gantos kahanan ingkang ngremenaken negara ingkang ayem, tentrem, adil makmur, ekonomi negari tuwuh kanthi sae, investasi kathah satemah gampil damel saha pados pedamelan, rakyat boten kekirangan sandhang pangan, tiyang miskin saged langkung sekece gesangipun awit gampil pados sandhang pangan, politik adhem ayem, tembayatan kaliyan manca negari tuwuh kanthi sae, devisi negari saya mindhak, income perkapita pendhudhuk saya mindhak. 8. Murwakala Limrahipun tiyang Jawi nindakaken ruwatan kanthi nanggap wayang utawi pagelaran wayang purwa kanthi lampahan Murwakal dening dhalang Kandha Buwana. Kacariyos ing wanci sonten ingkang endah nengsemakan Bathara Guru saha Dewi Uma (garwanipun) mider bawana (mabur) kanthi nitih Lembu Andini. Ing wanci sonten sumamburating srengenge sang Dewi katingal sakalangung sulistya, endahing warni. Kasulistyaning sang Dewi Uma nggugah rasa satemah tuwuh kanepsoning kama, nanging sang Dewi nduwa awit dede wanci saha papanipun. Bathara Guru tetep meksa, nalika kama hamiji, sang Dewi nduwa satemah kama dhawah ing samodra. Anehipun kama manjalma dados raseksa 57

58 ageng lajeng dipunsukani nama Bathara Kala. Kala ateges wohing kama ingkang salah mangsa (wekdal). Kala tuwuh dados raseksa ageng ingkang remen mangsa manungsa. Awit mangsanipun kathah, Bathara Guru lajeng nyerat mantram wonten ing dhadhanipun Bathara Kala. Sinten ingkang saged maos mantram kalawau kedah dipunanggep ramanipun Kala. Ingkang saged maos mantram boten kenging dipunmangsa sanadyan taksih lare. Nanging ingkang kamangsa tansaya kathah. Bathara guru lajeng utusan dhateng Bathara Wisnu, Bathara Narada, saha Bathara Brahma mandhap ing bumi kangge nduwa patraping kala. Bathara Wisnu sesinglon dados dhalang Kandha Buwana. Bathara Narada dados panjak, Bathara Brahma dados penabuh gender. Kacariyos wonten randha nama Sumawit saking dhusun Medhang Kawit. Mbok Randha Sumawit gadhah putra rumaja nama Jaka Jatusmati. Amargi Jaka Jatusmati menika putra tunggal, lajeng dipunutus adus wonten Talaga Madirda. Awit tansah mituhu dhateng tiyang sepuh, Jaka lajeng bidhal dhateng Talaga Madirda. Ing talaga Jaka Jatusmati pinanggh Bathara Kala. Bathara Kala kasdu mangsa sebab Jaka Jatusmati putra ontanganting (sukerta). Jaka Jatusmati mlajar, Kala ugi tansah ngoyak plajaripun Jaka. Jaka ndhelik wonten griya ingkang nembe kadamel. Awit kangge udreg-udregan, griya lajeng ambruk. Jaka mlajar wonten griya tiyang ingkang nembe damel jampi. Jaka mlajar malah nyandhung pipisan lajeng tugel. Jaka ndhelik ing dhapur, wonten tiyang nembe adang, dandang ketunjang ngglimpang. Jaka mlajar medal nanging sukunipun kagubet wit waluh satemah dhawah. Jaka terus mbudidaya uwal lajeng mlajar terus-terusan. Ing papan sanes, Dususn Mdhang Kamulan Ki Buyut Wangkeng gadhah putra putrid tunggal (unting-unting) nama Rara Pripih. Rara Pripih dipunikahaken nanging boten saged rukun. Lajeng nyuwun dipunruwat. Ki Buyut madosi dhalang Kandha Buwana. Rara Pripih dipunruwat, Jaka Jatusmati ugi nonton wayang lajeng dipunruwat sekaliyan. Pak Dalang memainkan wayang Batara Kala Bathara Wisnu maos mantram ing jajanipun Kala. Satemah Kala nglumpruk tanpa daya otot bebayunipun kados dipunlolosi. Bathara Kala kawon dening ki Dhalang Kandha Buwana. Bathara Kala kaparentah dening Ki Dhalang Kandha Buwana supados mapan wonten alas Krendhawahana. Kala sarujuk saha sendika sedaya dhawuhipun dhalang Kandha Buwana. Dhalang Kandha Buwana dhawuh bilih (1) ingkang saged dipunmangsa dening Kala inggih namung lare utawi tiyang sukerta saha (2) tiyang sukerta ingkang sampun dados anak angkat KI Dalang Kandha Buwana boten kenging dipunmangsa. Pangangkating putra kanthi nindakaken ruwatan Murwakala dening Ki Dalang Kandha Buwana. Tegesipun lare utawi tiyang ingkang sampun dipunruwat kalis saking mangsane Bathara Kala. Pangruwatipun kanthikawaosaken mantram ruwat Aji Santi Puja Mantra, saha nigas rikamnipun lare utawi tiyang sukerta kalajengaken siraman sekar sematan sarta dipunpungkasi nglarung busananipun tiyang sukerta. Limrahipun ingkang dipunruwat ngagem busana sarwa seta. 58

59 Kala ugi nyuwun Aji Santi Puja Mantra. KI Dalang Kandha Buwana ngabulaken malah dipunsuceni kanthi siraman kembang sri taman. Saderengipun dhateng wana Kala nyuwun srana alat-alat tetanen, asil bumi, alat masak/dhapur, raja kaya kados lembu, kebo, menda, ayam, bebek, banyak, peksi, dara, nyamping/jarik, panganan, bantal klasa, kembul. 9. Piwulang Ruwatan Murwakala Ruwatan temtu maknani tumrap tiyang Jawi. 1. Adhedhasar cariyos lairing Bathara Kala, bilih saresmi menika sampun ngantos lelandhesan hardening kanepson amrih tuwuh putra ingkang gadhah bebuden luhur 2. Srana ingkang kasuwun Bathara Kala nalika badhe mapan wonten wana awujud sarana gesanging manungsa, tetaten, utawi kabetahaning gesang manungsa. Menika ngemu makna bilih tiyang gesang mbetahaken sarana amrih gesanging saged manggih kamulyan, bekti dhateng ibu pretiwi amrih ibu pretiwi paring wulu wetu ingkang migunani. 3. Dhalang Kandha Buwana saged ngawonaken Bathara Kala utawi ngruwat kanthi kawicaksanan, kawaskithan, kawegigan, kekendelan. Manungsa ingkang mekaten ingkang badhe mimpang (mulya) ing gesang bebrayan. 4. Busana sarwa seta ingkang kaagem lare/tiyang sukerta minangka pratandha bilih tiyang gesang amrih kalis saking bebaya kedah linambaran kanthi sucining manah. 5. Upacara ruwatan katindakaken kanthi taliti, bener, saha pener, satemah saged ngicali sukerta mratandhani bilih amrih saged nggayuh gegayuhan, widagadaning ancas, sedaya pakaryan kedah katindakaken kanthi tewajuh, taliti, bener saha pener. 6. Linambaran mistis, tiyang ingkang kangge siraman saking 7 sumber. Pitu ateges pitulungan, tiyang sukerta mugi tansah pikantuk pitulangan saking Gusti Allah menapa dene saking sasamnining titah. 7. Kanthi siniram saking 7 sumber, lare/tiyang sukerta kaajab rahayu widada awit sampun dipunsirami saking toya saking 7 sumber. Sedaya bebaya dados tawar awit sampun siniram saking toya 7 sumber. 8. Angka 7 ugi pralambanging kiblat manut budaya Jawi. Pranyata leluhur rumiyin satuhu wegig. Sanajan kala semanten dereng wonten montor mabur, kapal selam. Namung samenika dados kasunyatan bilih tiyang kekesahan boten namung dhateng keblat kilen-wetan, elor-kidul, nanging ugi minggah-mandhap (nggegana-samodra), sarta tengah (pancer). 10. Ringkesan Ruwatan katindakaken awit wonten paham lare utawi tiyang sukerta badhe mangsanipun Bathara Kala. Ruwatan katindakan kanthi nanggap wayang Dhalang Kandhabuwana. Tiyang utawi lare ingkang sampun karuwat kanthi pangajab ical sukertanipun, satemah saged manggaih kabegjan saha kamulyan. Ingkang kedah kagatosaken sedaya tansah linambaran niat ati suci sumendhe dhateng Gusti satemah kalis saking tumindak ingkang nalisir saking paugeraning Agami. 59

60 11. Pirembagan 1. Menapa sebabipun ingkang ngruwat tiyang utawi lare kedah Dhalang Kandha Buwana? 2. Tiyang ingkang damel griya kesupen pasang tutup keyong kalebet tiyang sukerta. Nalaripun menawi griya boten dipunsukani tutup keyong kathah sambekala antawisipun angin mlebet santen saged ndadosaken sakit ingkang gadhah griya, maling gampil mlebet, kucing, tikus ugi gampil mlebet. Kapadosna 10 tiyang/lare sukerta miwah andharan nalaripun? 3. Manut pamanggih panjenengan kados pundi panganggep sukerta saha ruwatan ing jaman modern menika? C. Jamasan Pusaka Jamas utawi kramas menika ngresiki utawi nyirami mustaka. Kanthi dhasar ngelmu titen, tiyang Jawi taksih kathah ingkang pitados bilih keris, tumbak, pedhang, tuwin cundrik, menika kalebet tosan aji, lnggih menika kalebet barang tetilaran ingkang ageng pengaosipun, pramila kedah karimat kanhi nastiti, ngati-ati, tuwin premati, amrih tetilaran menika saged lestari. Kanthi dhasar nastiti, tiyang Jawi wonten ingkang gadhah pamanggih bilih njamasi pusaka menika prayoginipun katindakaken ing wulan Sura, jalaran wulan Sura menika wulan sepisan tumrap warsa Jawi, pramila sadaya kedah resik, kangge murwakani warsa enggal kanthi alelandhesan kasaenan. Kanthi makaten, menapa kemawon ingkang katindakaken ing taun ngajeng badhe lumampah kanthi sae, jalaran sadaya ingkang awon ing taun kapengker sampumn dipun icali.. Wonten ugi ingkang gadhah pamanggih bilih wulanm ingkang sae kangge njamasi pusaka menika wulan Ruwah, jalaran ngajengaken badhe siam, pramila sadaya kedah dipun resiki. Wonten ugi ingkang gadhah pamanggih bili sadaya dinten menika sae, namung gumantung niyatipun kemawon, jalaran tosan aji menika menawi mboten dipun rimat, gampil nimbrah, pamoripn lajeng mboten katingal. Malah wonten ugi ingkang gadhah pamangghih, bilih tosan aji kanthi dhapur tartamtu gadhah watak ingkang tartamtu ugi. Tuladhanipun keris dhapur Sabuk Inten menika anggenipun njamasi Ahad Kliwon. Wondene keris ingkang dhapur Nagasasra, dinten ingkang prayogi kangge njamasi inggih menika dinten Kemis Kliwon. Dinten Jumuwah Kliwon menika prayogi sanget kangge njanmasi keris dhapur Tilam Sari, Tilam Upih, tuwin dhapur Pandhawa. Dhapur Jalak dinten Setu Paing. Dhapur Sengkelat dinten Setu Wage, Dhapur Jangkung dinten Senin Pon, Dhapur Sabuk Tampar dinten Selasa Paing, Dhapur Kebo Lajer dinten Selasa Legi, dhapur Semar Mesem dinten Rebo Paing, menawi Cundrik dinten Kemis Pon. Tuladha dhapur Pusaka Sawatawis 1. Dhapur Nagasasra 2. Dhapur Singabarong 3. Dhapur Tilam Upih 4. Dhapur Pandhawa ubarampe Jamasan Pusaka a. toya sekar setaman b. warangan, arsenikum c. meja alit, sikat alit ingkang alus d. mori pethak e. jeruk nipis f. lisah cendhana g. dupa Lampahing Upacatra a. pusaka kawedalaken saking papan panyimpenan, kabekta medakl mawi baki kanthi tatacara tartamtu tumuju dhateng papan pasiraman b. juru jamas lenggah sawingkinging meja alit, lajeng mbesem dupa,kanthi maos mantra, utawi donga tertamtu. 60

61 c. pusaka-pusaka ingkang badhe dipun sirami dipun dalaken saking warangka, kanhi subasita ingkang trep kaliyan masarakat d. pusaka kalebetakan ing toya, dipun gosok mawi jeram nipis, dipun sikati ngantos resik saestu, lajeng kabilas mawi toya sekar, ljemg dipun warangi. e. Pungkasan menawi sampun atus, lajeng dipun olesi mawi lisah cendhana, lajeng kalebetaen ing warangka kasimpen malih ing papan panyimpenan. D. Bersih Desa Miturut dedongenganipun upacara barsih desa menika wonten gegayutanipun kaliyan cariyos utawi lelampahanipun Dewi Sri inggih menika dewining pangayoman, dewinipun pantun ingkang dados tedha baken tumraping tiyang Jawi. Mila nboten aneh menawi cariyosipun Dewi Sri menika sumebar kanthi wiyar tebanipun. wonten ing cariyos pewayangan tuwin ing cariyos masarakat ingkang ngrembaka kanthi lesan. Wonten ing cariyos jaman kina, Dewi Sri asring pikantuk sesebatan Dewi Laksmi, Dewi Padma, Dewi Kumala tuwin Dewi Indhira. Dewi Sri dipun wastani dewi nasib, kasarasan tuwin kasulistyan. Dewi Sri manjalmi dados Dewi Sinta garwanipun Rama. Wonten cariyos ingkang langkung enem dados garwanipun Kresna sesilih Rukmini putrining nata negari Kundhina. Ing cariyos serat Tantu Panggelaran ingkang dipun panggihaken rikala jaman Majapahit, dipuncariyosaken bab peksi klangenanipun Dewi Sri tuwin tuwuhipun pantun. Dewi Sri kagungan peksi ingkang kawastanan perkutut, puter, derkuku, tuwin dara wungu. Rikala peksi menika mencok wonten satunggaling pang, dumadakan dipungepyok dening Werti Kandhayan putranipun Werti Kandhihawan.Telihipun peksi menika bedhat, isinipun medal awujud gabah. Telihipun peksi perkutut isi gabah wosipun pethak, telihipun peksi puter isi gabah wosipun jene, dene telihipun peksi derkuku isi gabah wosipun abrit, tuwin telihipun peksi dara wungu isi gabah wosipun cemeng. Prabu Makukuhan, narendra ing nagari Purwacarita, mundhut gabah ingkang isi wos pethak, abrit, tuwin cemeng. Gabah warni tiga menika lajeng kadadosaken wiji, katanem, tangkar-tumangkar ngrembaka ngantos wekdal samenika. Mila ngatos sapriki ing tanah Jawi wontenipun inggih wos pethak, wos abrit, tuwin wos cemeng.gabah ingkang isi wos jene katanem, thukul dados wit kunir. Ing upacaraupacara adat, kadhang kala mbetahaken uwos jene, umpaminipun menawi betah sekul punar. Uwos jene sok kangge sawur rikala ngusung kunarpa dhateng kramatan, ngluwari punagi, tuwin sapanunggalanipun. Salah satunggaling carios rakyat nyariosaken menawi pantun menika asalipun tuwuh saking kunarpanipun Dewi Sri. Rikala Sri tuwin Sadana ngancik diwasa, kalih-kalihipun kesengsem, kepingin jejodhoan. Bathara Guru mboten marengaken, nanging Sadana adreng anggenipun badhe ndadosaken Dewi Sri jatukramanipun. Bathara Guru duka, kalih-kalihipun dipun sepatani, wasana pejah. Kunarpanipun Sadana kabucal dhateng seganten, nuwuhaken ulam tuwin kewan seganten. Kunarpanipun Dewi Sri kapetak ing siti dening Bathara Narada, wasana tuwuh tetuwuhan ingkang dipunwastani pantun. Tetuwuhan wau dipunopeni dening para tani ing Mendhang Kamulan.Tiyang ingkang pitados dhateng carios menika mestani menawi pantun menika jasatipun Dewi Sri. Kacarios Dewi Sri muksa minggah dhateng kawidadaren ing Kahyangan, dipunanggep dados pangayoman tuwin dewining pantun. Wonten upacara wiwit ingkang kalampah ing dinten ngajengaken methik pantun ingkang sepisan, dipunsaranani kanthi methik pantun sawatawis ingkang cacahipun ronggen ( wulen} miturut gunggung neptuning dinten. Ronggen pantun menika dipunenam utawi dipunklabang lamenipun,lan dipun tangsuli mawi lawe wenang. Anggenipun damel satunggal pasang, dipungandheng, dipunwastani Sri Sadana. Saumpami upacara wiwit dhawah dinten Rebo Pon, pantun ingkang dipunpethik kawanwelas rongge kaping kalih.pantun ingkang dipunwastani Sri Sadana menika dipunemban mawi slendhang sutra utawi bathik, kaboyong 61

62 wangsul.salajengipun pantun menika dipunpepe, dipunsimpen ing lumbung ing salebeting upacara minggah lumbung, tuwin dipunpething dados wiji pinilih. Para maos, kaparenga ngambali perkawis sajen ing upacara Bersih Desa. Menawi naliti wujudipun samukawis ingkang kacawisaken kagem sajen kenging dipundudud, ingkang baken wujud sekul (sekul pethak, sekul punar, utawi sekul jene, sekul gurih utawi sekul wuduk), lelawuhan ingkang dipunolah saking wohing tetanen, mekaten ugi unjukan, dhedhaharan tuwin ubarampe sanesipun. Wujudipun sekul pethak ingkang dipunpetha piring mengkurep, dipunwastani sekul ambeng. Menika nggadahi suraos menawi wonten sambetipun kaliyan alangan utawi reribed. Tembung ambengan tegesipun alangan. Dene menawi wujud tumpeng, menika lambang ingkang gadhah suraos kapitadosan babakan sesambetanipun kawula tuwin Gusti. Dene menawi wujud golong utawi bal bunder, menawi ngemu suraos tuwin sedya ingkang sesambetan kaliyan golong giliking rembag ing paguyuban, pasederekan, lan sapanunggalipun Ubarampe sanesipun menika minangka kurban ingkang dipunwakili dhateng menapa ingkang kaangkat dados sajen.ujubing sajen kacaosaken dhateng arwahipun para leluhur, arwahipun ingkang cikal bakal ing dusun menika, dhanyang ingkang mbaureksa desa lan sapanunggalipun. Bersih Desa ingkang rowa tuwin pagelaran ringgit purwa kanthi lampah Sri Sadana kaprah dipun remeni dening para petani lan kerep katindakaken wonten ing padusunan. Tiyang-tiyang pitados menawi Dewi Sri dewining pantun, dewining sandhang tedha, dewi pangayomaning para tani ingkang garap sabin tuwin tegal. Kajawi Bersih Desa wonten malih upacara Ruwat Bumi tuwin Sesaji Gramawedha (Gramameda), ingkang ancas tujuannipun sami kaliyan acara Bersih Desa.Wonten sawatawis tiyang ingkang nganggep sami, nanging leresipun benten. Upacara menika limrahipun dipuntindakaken menawi ing dusun riku katrajang paceklik, awis sandhang tedha. Tiyang-tiyang mestani bilih perkawis menika satunggaling sapudhendha, amargi kathah tiyang ingkang lampah dursila, nggangu damel ingkang mbaureksa dhusun, lan sapanunggilanipun. Mila lajeng sami ngawontenaken sesaji kanthi pagelaran ringgip purwa. Wonten dhusun limrahipun mendhet carios Sri Bibit. Wonten malih upacara ingkang satunggaltleraman kados Bersih Desa. Ing basa Jawi kino tembung dusun saget tegesipun laladan (dhaerah,wilayah). Wilayah ingkang jembar kenging dipunwastani negari.upacara sesaji ingkang ancasipun kangge ngresiki negari, wonten carios kina wonren ingkang kasebat Aswameda, tegesipun kurban jaran. Dipunwastani kurban jaran amargi upacaranipun mawi nyembelih jaran, dagingipun dipuniris-iris kacemplungaken ing prapen minangka kurban. Saderengipun dipunpragad jaran dipunarak mubeng negari utawi mubeng kitha. Kurban aswameda katindakaken dening kulawarga Pandhawa sasampunipun perang Bratayuda. Kurban utawi sesaji menika ngemu kersa kangge nglebur dosa tuwin ngresiki negari ingkang risak amargi perang. Wonren ugi carios kina ingkang ngandharaken upacara agung ingkang dipunwastani Rajasuya. Upacara menika dipun tindakaken dening warga Pandhawa nalika Yudistira bade dados ratu. Sakmenika ugi taksih wonten upacara ingkang kasebat Sesaji Rajasuya. Upacara katindakaken menawi nagari nandhang duhkita. Kedahipun upacara menika katindakaken ing upacara jumenengan ratu, tuwin saben dinten tanggap warsa tanggal lan dinten jumenengan ratu. Ing jaman samenika taksih kathah upacara bersih desa, ingkang temtu kemawon kajumbuhaken kaliyan empan papanipun Tuladhanipun Upacara Bersih Desa ing dhusun Ngino, Seyegan, Godheyan Sleman, Ngayogyakarta. Latihan 1. Mengapa masyarakat Jawa masih melaksanakan Jamasan Pusaka hingga saat ini, dan apa manfaatnya? 2. Bagaimanakah langkah-langkah membersihkan pusaka yang baik? 3. Mengapa orang Jawa masih menganggap pusaka sebagai benda keramat? 4. Jelaskan perbedaan fungsi pusaka pada jaman dulu dengan jaman sekarang? 5. Berikan beberapa nama dhapur pusaka yang saudara ketahui! dan hari yang baik untuk membersihkannya! 62

63 6. Jelaskan keterkaitan antara bersih desa dengan tanaman padi di Jawa! 7. Mengapa Dewi Sri dianggap sebagai Dewi perlindungan? 8. Bagaimana pendapat saudara, apakah upacara bersih desa masih perlu dilestarikan? 9. Berikan contoh upacara bersih desa yang saudara ketahui dan apa fungsinya/? 10. Berikan argumentasi saudara tentang upacara bersih desa bagi generasi muda sekarang! BAB VI MENGENAL GAMELAN JAWA A. Etika Karawitan l. Menata dan meyiapkan pukul, di atas gamelan, pegangan di sebelah kanan. Pukul tidak diletakkan di bawah, diselipkan dalam gamelan. Kecuali tabuh gong, bisa diletakkan di depan penabuh, tidak dalam lubang (di balik) gong. Tabuh gender juga diletakkan ke kanan kiri, agar memudahkan memegang jika hendak mulai. 2. Tidak etis jika melangkahi perangkat gamelan, untuk pindah ke tempat lain. 3. Menabuh sambil bicara,senda gurau, makan,merokok juga kurang bagus. 4. Seperlunya saja geleng-geleng kepala, sesuai irama, jika perlu,agar tidak terkesan kaku. 5. Boleh memejamkan mata, apabila telah mampu menabuh dengan tepat. 6. Tidakmembuang puntung rokok, botol aqua, bungkus makanan,dll. 7. Tak bagus bersin dan batuk yang tak terkendali 8. Tidak berjalan, glojag-glajig ke sana kemari dalam forum gamelan. 9. Cara duduk wanita timpuh, jika pakai celana pajang, bersila yang rapat, tidak ngowoh (lebar). Laki-laki tidak jengkeng. Posisi berada di tengah gamelan. 10. Tidak tidur di atas gamelan, sambil menanti tabuhan, antawecana dalang misalnya. 11. Pada waktu jeda, tidak saling berbicara ngalor-ngidul dengan penabuh lain, kecuali dalam konteks gendhing. 12. Menabuh sebaiknya tidak sambil menyangklong tas atau memangku buku/catatan, akan mengganggu kebebasan gerak. 13. Minuman sebaiknya ditempatkan tidak di dekat kaki (sila), akan tersenggol, tumpah. Gambar contoh sikap menabuh bonang penerus B. Cara Menabuh Gamelan 1. Posisi badan tegak menghadap ke depan. 2. Pria, bersila (sila tumpang) posisi kaki kiri di bawah kaki kanan, untuk putra. 3. Timpuh, posisi kedua kaki di bawah paha untuk putri. 63

64 4. Menabuh dengan semangat dan irama yang laras,memperhatikan proses gending 5. Jika mengantuk, tahan dahulu. 6. Jika suwuk, tidakmenabuh seiidiri-sendiri (ting kethongkleng). 7. lkuti aba-aba pangrengga suwara/irama (gender, rebab, sindhen), pamurba suwara (kendhang), pangarsa suwara (bonang, demung), serta permintaan yang diiringi. 8. Pakaian yang digunakan dalam menyajikan karawita adalah disebut pakaian Kejawen. Terdiri dari blangkon, jas bukak, keris, sabuk, timang da nyamping (kain jarik). 9. Lagu-lagu soran (tanpa iringan vokal) ditabuh keras, terlebih wilahan, namun juga tetap memperhatikan kenyamanan. 10. Cara memegang pukul wilahan, harus miring (condong ke kanan), kira-kira 60 derajat. 11. Jika sudah hafal titilaras, sebaiknya tidak diucapkan dengan vokal, agar tidak gumrenggeng. 12. Apabila menabuh tertinggal atau terlalu cepat, berhenti sejenak, kemudian melirik demung atau slenthem, lalu mengikuti lagi. 13. Dalam karawitan tidak dibenarkan asal menabuh sendiri, meskipun urutan titilaras betul. 14. Penabuh gong harus sigap, akan ditagih oleh seluruh penabuh, jika suwuk tidak menabuh, karawitan terasa gagal. Gambar cara menabuh kendhang kalih C. Tabuhan Pinjalan dan Imbal Pinjalan adalah tabuhan saron demung dan slenthem yang tempatnya pada bentuk inggah, dalam irama ngampat untuk menuju seseg sampai pada waktu suwuk. Tabuhan slenthem mengikuti di belakang saron. Pinjalan ini untuk memunculkan suasana tabuhan yang enak dan manis. Imbal adalah ragam tabuhan dalam bentuk kerjasama yang dilakukan oleh dua orang pemain dengan menggunakan dua buah ricikan sehingga menimbulkan jalinan bunyi nada yang erat, rampak, indah, dinamis, dan tidak dapat dipisah-pisahkan; nada yang dipukul pada kedua ricikan tersebut tidaksama dan biasanya terdiri atas nada yang berdekatan. Imbal akan membuat pemanis dalam seni karawitan. Meskipun tabuhan ricikan berbeda, tetapi jatuhnya titilaras enak dirasakan. Perangkat yang biasanya menggunakan tabuhan imbal, antara lain: (1) imbal bonang: tabuhan imhal yang dilakukan dengan menggunakan bonang barungdan bonaog penerus; (2) imbal demung: tabuhan imbal yang dilakukan dengan menggunakan demung pertama bekerjasama dengan demung kedua. Masing demung dipukul empat kali tiap gatra; (3) imbal demung lugu: tabuhan imbal demung sederhana, menggunakan puku1an biasa, dan tidak banyak variasi; (4) imbal demung nglagu: tabuhan imbal demung yang bervariasi, pukulan demung pertama dan demung kedua diolah menjadi jalinan pukulan yang indah; (5) imbal demung dados: tabuhan imbal demung dengan empat pukulan tiap 64

65 satu sabetan sehingga dalam satu gatra gendhing berisi : 6 pukulan atau tiap satu gatra masing-masing demung dipukul delapan kali; (7) imbal demung lamba: tabuhan imbal demung yang berisi dua pukulan dalam satu sabetan sehingga dalam satu gatra berisi delapan pukulan; (8) imbal demung rindingan: tabuhan imbal demung semacam imbal demung nglagu tetapi pukulan demung pertama dan demung kedua diolah lebih leluasa sehingga menjadi sebuah jalinan pukulan berbentuk lagu yang indah dan beraneka ragam; (9) imbal saron barung: tabuhan imbal yang diiakukan dengan menggunakan saron barung pertama bekerja sama dengan saron barung kedua; (10) imbal saron nginthil, tabuhan dua saron yang urut, tetapi ditabuh bergantian sehingga iramanya bergantian membentuk suasana ritmis. Sistem imbal harus ditabuh oleh pemain yang memiliki daya keterampilan senada. Hal ini untuk membuktikan garap-garap balungan maupun bonang semakin estetis. Dua orang pemain yang imbal harus cerdas dan tangkas memainkan tabuhan. Jika hal ini bisa dilakukan maka tabuhan akan semakin hidup, penuh daya pikat. D. Cengkok dan Lagu (Kembangan) Cengkok adalah gaya sajian (thuthukan) gamelan. Setiap wilayah atau ahli,memiliki cengkok yang berbeda. Cengkok berkaitan dengan garap. Pada dasarnya, ada yang membagi menjadi lima cengkok tabuhan, yaitu cengkok (1) Solo, (2) Ngayogyakarta, (3) Semarangan, (4) Banyumasan, (5) Jawa Timuran. Masih banyak cengkok lain, silakan saja, karena akan memperkaya karawitan Jawa. Tiap cengkok yana membedakan adalah tabuhan instrumen tertentu, tempo, syair, dan iramanya, sehingga rasanya bisa berbeda. Lagu adalah isi gendhing. Lagu merupakan substansi gending, berupa kembangan (sekaran, bunga-bunga),agar gending semakin nges. Lagu ada yang klasik ada yang modern. Ada pula campuran keduanya. Tiap-tiap gamelan memiliki "lagu",yaitu cara menabuh agar terdengar anggun. Lagu ini kadang-kadang tak mengikuti titilaras resmi, melainkan ada kreasi. Yang dipentingkan dalam lagu adalah ngeng dan jatuhnya bunyi akhir thuthukan (kempul maupun kenong) sesuai, sehingga terdengar indah. E. Tatacara Menabuh Balungan Balungan ada bermacam-macam bentuk yang perlu diketahui, yaitu: (1) balungan mlaku, struktur titilaras yang masing-masing gatra berisi sabetan, misalkan: (2) balungan nibani, yaitu struktur titilaras yang tiap gatra hanya berisi dua sabetan, nada ke satu dan ke tiga hanya berupa titik (pin), misalkan: (3) balungan nggantung, yaitu balungan yang tiap gatra tidak bebrisi titilaras secara berturut-turut, misalkan: (4) balungan rangkep, yaitu titilaras yang tiap gatra dirangkap oleh dua nada dan mungkin juga berupa gabungan dengan titik (pin), misalkan:

66 Gambar cara menabuh balungan Tabuhan balungan terdiri dari demung, saron, peking, slenthem (thuthuk satu), relatif mudah. Namun tabuhan ini membutuhkan kecermatan. Balungan itu yang akan menentukan pukulan kethuk, kenong, dan kempul. Cara menabuh masing-masing instrumen sebagai berikut. 1. Balungan Demung (1) posisi di tengah, pukul agak ke tengah, penuh pergelangan tangan (2) tangan kiri digunakan untuk "mathet" (3) ikuti laras apa (slendro atau pelog), aba-aba kendang perhatikan, pukulan suwuk setelah gong (4) jika memungkinkan, tepat gerong boleh keplok (tepuk) (5) letakkan tabuh di atas gamelanjika suwuk. 2. Balungan Saron (1) posisi di tengah, pukul agakke tengah, penuh pergelangan tangan (2) tangan kiri digunakan untuk "mathet". (3) ikuti laras apa (slendro atau pelog), aha-aba kendang perhatikan, pukulan suwuk setelah gong. (4) jika memungkinkan, tepat gerong boleh keplok (tepuk). (5) letakkan tabuh di atas gamelan,jika suwuk. (6) gending tertentu, boleh "nyacah",yang penting jatuhnya suara tepat. 3. Balungan Peking (1) posisi di tengah, pukul agakke tengah, penuh pergelangan tangan (2) tangan kiri digunakan untuk "mathet" (3) ikuti laras apa (slendro atau pelog), aba-aba kendang perhatikan, pukulan suwuk setelah gong (4) jika memungkinkan, tepat gerong boleh keplok (tepuk) (5) letakkan tabuh di atas gamelan,jika suwuk (6) menggunakan garap, selalu mendahului balungan yang lain (7) peking selalu menjadi identitas (cumengkling) meskipun kecil. F. Tatacara Menabuh Gong, Kethuk, Kempul dan Kenong 1. Kempul dan Gong (1) ikuti aba-aba buka,dari kendang,bonang,rebab dll., selalu gong siyem,begitu juga akhir gending (2) jangan sampai bersamaan dengan kethuk-kenong 66

67 (3) usahakan menggunakan dua tabuh,dudukpada posisi tengah (4) ingat, gong akan menentukan keberhasilan sebuah garapan gending 2. Kethuk dan Kenong (1) konsentrasikan diri,duduk pada posisi tengah (2) usahakan dengan 2 tabuh (3) tak bersamaan dengan kempul, kecuali pada akhir (4) perhatikan irama berapa G. Tabuhan Khusus (Mirunggan) (1) Kenong plesetan, yaitu tabuhan kenong yang tidak dijatuhkan pada titilarasnya, tetapi pada gatra berikutnya akibat dari adanya nada kembar dalam gatra tersebut setelah dhong. Kenongan ini untuk menunjukkan sebuah wiledan vokal untuk mengawali wiledan lagu yang akan jatuh pada dhongnya. Misalkan: N N N N2 (2) Kempul plesetan, keterangaan sama dengan kenong plesedan. Tabuhan dalam titilaras kembar ini memiliki implikasi untuk siap-siap (ancang-ancang). Dalam menabuh kempul jika memang kempul tidak lengkap, memang titilaras 1 dapat digantikan dengan 5 dan titilaras 2 digantikan 6, begitu seterusnya. Penggantian ini sekaligus juga sering menjadi pemanis tabuhan. (3) Gong nggandhul, adalah tabuhan gong yang untuk mengiringi lagu. Biasanya ngembat beberapa ketukan, agar seleh gendhing terasa manis. Adapun untuk gendhing-gendhing soran yang gagah, gong nggandul kurang dibenarkan. Gong tetap ngepas (lebih sedikit sekali) yang hanya dimainkan rasa. (4) Kempul nungkak menabuh kempul sedikit lebih maju dari bagian dan waktu yang seharusnya. (5) Kempul plesetan: menabuh kempul dengan nada tidak sama dengan nada balungan gendhingan, diplesetkan atau disesuaikan dengan deretan nada kembar pada gatra berikutnya. (6) Kempul sungsun, artinya menabuh kempul yang sering dilakukan pada gendhing ladrang dalam irama tanggung (irama I) dengan menggunakan kendhangan kebar, kempul pada kenongan kedua dan ketiga masing-masing ditambah satu pukulan pada sabetan pertama gatra berikutnya, sedang kempul pada kenongan keempat ditambah dua pukulan, tambahan pertama terletak antua sabetan kesatu dan kedua dan tambahan kedua terletak pada sabetan ketiga gatra berikutnya. (7) Kethuk salahan: ragam tabuhan kethuk yang berbeda dengan tabuhan kethuk biasa, digunakan untuk menggantikan tabuhan kethuk pada gendhing ladrang atau ketawang dua gatra menjelang gong sebagai isyarat bahwa gendhing akan sampai gong. Misalkan: Ldr. Semar Mantu Sl Manyura Kethuk resmi : 6 5t t 2 6N Kethuk salahan : 6 5t 1 6 t 2 1t 2 6N (irama I) Kethuk salahan : 6 5t 1t 6 t 2 1t 2 6N (irama II) 67

68 BAB VII APRESIASI WAYANG A. Wayang Purwa Ir. Sri Mulyono dalam bukunya Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya (1978), mengumpulkan berbagai pendapat yang menyatakan bahwa drama wayang telah ada sejak zaman Jawa Kuna, antara lain yang terdapat dalam prasasti Balitung (907 M) yang menuliskan mawayang buat Hyang dan adanya lakon Bhimaya Kumara. Sebelumnya, yakni pada prasasti Jaha (tahun 840 M) juga ditemukan istilah aringgit yang berarti petugas yang mengurus wayang kulit (Bandem, 1996: 22). Menurut Poensen kemungkinan yang paling mendekati kenyataan ialah bahwa pertunjukan wayang mula-mula lahir di Jawa dengan bantuan dan bimbingan orang Hindu. Sedang menurut Brandes, pada kenyataannya orang Hindu memiliki teater yang sama sekali berbeda dengan teater Jawa, dan hampir seluruh istilah teknis yang terdapat dalam pertunjukan wayang adalah khas Jawa, bukan sansekerta. Niemann juga berpendapat bahwa wayang tidak mungkin berasal dari Hindu. Hazeu, dengan menyitir beberapa pendapat pakar juga berkesimpulan bahwa wayang tidak berasal dari Hindu. Hazeu juga menelusuri beberapa kata yang berhubungan dengan teknik pementasan wayang, yakni kata wayang, kelir, blencong, kepyak, dhalang, kothak, dan cempala. Kata-kata tersebut merupakan kata asli Jawa. Namun demikian menurut Vert, baik dalam gamelan maupun wayang, ada pengaruh dari bangsa yang lebih besar yakni bangsa Hindu (Mulyono, 1978: 8-9). B. Sumber-sumber Cerita Wayang Purwa Pada prasasti Balitung telah disinggung adanya lakon Bimaya Kumara, tidak jelas bagaimana cerita itu. Namun saat ini yang dapat ditemukan dalam cerita wayang purwa, hampir semuanya berasal dari kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana yang semula merupakan kitab suci Hindu. Bila diteliti lebih lanjut, sebenarnya telah banyak terjadi penyimpangan cerita lakon wayang dari sumber Mahabharata dan Ramayana aslinya, yang tampaknya memang gubahan orang Jawa, baik berasal dari kakawin, berupa kreasi dalang tertentu (sanggit) atau memang penciptaan lakon carangan. Pada masa Jawa Kuna disalin dan digubah cerita-cerita pewayangan, antara lain: Arjuna Wiwaha Kakawin, Bhomakawya Kakawin, Bharatayudha Kakawin, Hariwangsa Kakawin, Parthayadna Kakawin, Dewaruci Kakawin, Sudamala, dsb. Saat ini ditemukan beberapa buku yang diyakini sebagai sumber cerita wayang purwa, yakni: (1) Serat Pustaka Raja Purwa karya R.Ng. Ranggawarsita (gaya Surakarta). (2) Serat Padhalangan Ringgit Purwa karya K.G.P.A.A Mangkunegara VII (gaya Surakarta) (3) Serat Kandha atau Serat Purwakandha (gaya Yogyakarta) (4) Serat Pedhalangan Ringgit Purwa Pancakaki Klaten (gaya Yogyakarta) (5) Serat Babad Lokapala Dalam hubungannya dengan sumber induknya, yakni Ramayana dan Mahabharata, dalam wayang purwa tersebar tiga jenis lakon, yakni (1) lakon baku, (2) lakon carangan dan (3). lakon sempalan. Lakon baku, atau lakon pokok, yaitu lakon yang diangkat dari cerita induknya, yakni dari Ramayana atau Mahabharata. Lakon carangan adalah lakon karangan yang masih mengambil dari lakon baku tetapi sudah diberi cerita dan bentuk baru. Adapun lakon sempalan, yaitu lakon yang dikembangkan dari sebuah peristiwa yang termuat dalam Ramayana atau Mahabharata, tetapi sudah sangat jauh atau sama sekali terlepas dari lakon baku (bdk. Mertosedono, 1992: 75) C. Wayang Dongeng dan Karakter Manusia Tema umum dalam lakon wayang adalah melukiskan pertentangan antar pihak protagonis melawan pihak antagonis dengan kemenangan di pihak protagonis. Cerita wayang purwa, baik siklus Mahabharata maupun Ramayana di Jawa berakhir dengan kemenangan pihak protagonis. Namun, ada juga satu dua lakon yang berakhir tragis pada 68

69 pagi hari, terutama pada lakon-lakon perang besar Bharatayuda, misalnya dalam gaya Yogyakarta dalam lakon Seta Gugur, Gatutkaca Gugur, Abimanyu Gugur, Paluhan, dsb. Wayang dongeng adalah tradisi lisan yang berlatar dongeng. Wayang dongeng merupakan tradisi dongeng plus, artinya mendongeng dengan tambahan tradisi dan seni pertunjukan wayang. Wayang dongeng tidak sekedar hiburan belaka, namun tetap menyimpan nilai filosofis Jawa yang berharga. Permasalahan nilai secara filosofis adalah bidang aksiologi, yaitu pengetahuan yang berusaha mempelajari perilaku manusia yang bertujuan dan memahami hakikat nilai-nilai moral secara mendalam sebagai pedoman hidup yang dikenal sekaligus sebagai kadungan dalam jagad pedalangan. Wayang dongeng biasanya menyajikan kisah-kisah yang memuat nilai filosofis. Kisah anak-anak yang bersifat imajinatif, merupakan materi wayang dongeng yang sering digelar oleh beberapa dalang di Yogyakarta. Ki Lejar, adalah dalang wayang Kancil yang belakangan juga dikenal dengan wayang dongeng. Dia banyak mendalang dengan tokoh hewan. Lakon Si Kancil jadi Raja, biasanya cocok dipentaskan setiap jaman. Ketika akan Pemilu, lakon tersebut cocok digelar. Ki dalang sering menyelipkan nilai filosofis kepemimpinan Jawa, misalnya yang berasal dari ajaran Asthabrata. Etika hidup sering menjadi focus utama dalam pertunjukan wayang dongeng. Etika adalah bagian filosofi hidup yang mengatur tindakan seseorang, baik secara indiividu maupun social. Filsafat juga lazim dipergunakan dengan istilah etika wayang (Magnis Suseno.1987: 25-30), pertimbangannya adalah bahwa etika itu merupakan cabang dari ilmu filsafat yang menjelaskan kepada manusia tentang hidup dan kehidupan yang hakiki, sehingga seluk beluk jagad wayang, sebenarnya adalah alam pikiran atau pandangan hidup masyarakat budaya wayang yang tercermin dalam seni pertunjukan wayang atau dalam karya sastra wayang, yaitu karya-karya sastra yang dipergunakan sebagai sumber acuan penggubahan cerita-cerita lakon wayang. Lakon-lakon wayang dongeng memang khas. Ki Edi Pursubaryanta, penerus Ki Lejar juga sering menggelar wayang dongeng dalam berbagai arena. Wayang yang dia gelar selalu bernuansa filosofi. Tipologi tokoh hewan seperti kancil, harimau, semut, dan lain-lain biasanya menjadi pilihan bagi dalang. Dunia anak-anak pun mereka pahami, karena hakikat wayang dongeng lebih cocok bagi anak. Jagad wayang itu sesungguhnya tipologis artinya masing-masing tokoh wayang memiliki kompleksitas keberagaman karakter, dan itulah yang dalam pengertian filsafati disebut sebagai moral wayang (Kasidi, dkk., 2009: 36). Ki Kasidi pun mengaku pernah menggelar wayang dongeng di Semarang, dengan mengikuti gaya Ki Edi dan Ki Lejar. Padahal, dia sesungguhnya dalang wayang kulit, namun ternyata juga mampu pentas wayang dongeng. Tokoh-tokoh wayang itu adalah karakter manusiawi yang kemungkinan-kemungkinan ada padanya sebagaimana manusia sesungguhnya. Berbagai kemungkinan jawaban atas keberadaannya berada pada satu dimensi yang bebas, hal itu ditawarkan kepada penghayat wayang, penonton wayang, penikmat, bahkan dalangnya sendiri harus mengmbil sikap tertentu dengan pengertian anut kadiwasaning yuswa berdasarkan kedewasaan. Ranah ini disebut sebagai estetika dan etika yang bertumpu kepada pengalaman masingmasing orang terhadap jagad wayang. Secara konkret dapat dilihat pada karya-karya sastra wayang, misalnya Kitab Mahabharata, Ramayana, Bharatayuda, Bhoma Kawya, dan sebagainya (Zoetmulder, 1983). Nilai moral yang ditawarkan dalam seni pertunjukan wayang merupakan pencerminan dari nilai moral yang ada di dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, yaitu budaya Jawa. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wayang sebagai salah satu unsur kebudayaan merupakan hasil ciptaan manusia. Koentjaraningrat mengatakan bahwa menurut pandangan orang Jawa, kebudayaan tidak merupakan suatu kesatuan yang homogen, melainkan keanekaragaman regional kebudayaan Jawa tampak pada unsur-unsur adat, upacara, kesenian, kehidupan beragama, dan sebagainya. Diketahui pula bahwa ditemukan adanya kebudayaan Jawa yang berakar di lingkungan keraton di satu pihak, kebudyaan pedesaan dengan budaya masyarakat petani di lain pihak, di kota-kota pantai Utara pulau Jawa berkembang kebudayaan pesisir, dan seterusnya (Koentjaraningrat., 1981: 29). Unsur-unsur pembentuk budaya itulah 69

70 saling melengkapi satu sama lain dan hidup bersama-sama dalam masyarakat, sampai akhirnya dianggap sebagai sebuah nilai kebenaran budaya serta diikuti masyarakat pendukungnya hingga terbentuk sikap pemilikan kolektif terhadap nilainilai budaya tersebut. Keanekaragaman kebudaaan Jawa tersebut apabila dicermati secara seksama tetap memperlihatkan identitas kebudayaan Jawa yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan orang Jawa di mana pun mereka berada. D. Wayang Dongeng Struktur wayang dongeng mirip denga struktur wayang kulit. Wayang dongeng juga menggunakan beragam sarana estetis. Struktur baku wayang dongeng antara lain: (1) Adegan, (2) Antawecana, (3) Janturan, (4) Perang, (5) Gara-gara, (6) Tancep Kayon. Enam struktur itu seringkali berubah-ubah, dan ada kalanya ada yang dipersingkat. Struktur tersebut ada yang sering dilanggar, tergantung kepentingan dna kebutuhan. Adegan, adalah struktur baku setiap wayang dongeng dipertontonkan. Tiap adegan ada masalah yang dirembug. Yang menjadi pimpinan adegan adalah hewan-hewan yang dipandang memiliki kekuasaan secara imajinatif. Setiap adegan diiringi gending dolanan yang amat bebas. Kehadiran adegan akan mempesona penonton, karena ada keterkaitan antar peristiwa. Antawecana, adalah ucapan tiap-tiap tokoh wayang. Yang menjadi masalah bagi dalang wayang dongeng, yaitu menyuarakan tokoh hewan kecil-kecil, seperti semut, lemut, dan uget-uget. Dialog antar hewan yang bias berbeda, itu yang hendak disajikan dalam struktur ini. Antawecana juga amat sederhana, tidak seperti wayang kulit. Ucapan yang mirip wayang kulit memang sering terdengar. Namun demikian dalang wayang dongeng biasanya menyesuaikan ke dunia anak. Suara-suara tokoh yang dipadu kea rah anak, akan memungkinkan pemaknaan yang lebih mudah bagi penonton. Janturan adalah ungkapan dalang yang menggambarkan suasana wayang dongeng. Janturan wayang dongeng lebih sederhana disbanding wayang kulit. Sebagai salah satu aspek sastra, janturan rasanya tidak cukup berhenti pada pemahaman segi struktur, seperti telah diuarikan pada bagian terdahulu, bahwa pembacaan dilakukan secara struktural akan menghasilkan sejumlah jalinan antarunsur pembentuk janturan itu sendiri (Teeuw, 1984). Sementara itu hakikat dari kesastraan diletakkan sebagai sebuah tanda atau suatu sistem yang di dalamnya terkandung dua hal yang sangat penting yaitu penanda dan petanda dalam tingkat semiotika. Wacana janturan merupakan karya sastra dalam tanda petik artinya pemaknaan akan terjadi secara total manakala dibawakan dalam suatu pementasan (Kasidi, 2009: 212). Janturan masih juga menggunakan bahasa sebagai medium sekaligus sebagai sistem tanda, yakni sebagai sistem tanda pada tingkat pertama yang disebut meaning arti. Janturan sebagai salah satu bentuk sastra merupakan sistem tanda berdasarkan konvensi masyarakatnya, sehingga kedudukannya setingkat lebih tinggi daripada sistem bahasa tingkat pertama, kedua arti sastra yang disebut significance makna (Isser, 1978: 33). Berdasarkan urian itu pemhaman terhadap janturan itu dapat berada (1) pembacaan semiotik dan (2) sistem tanda yang terdapat dalam janturan serta kenyataan sosial budaya sebagai latarnya. Janturan mengandung makna yang sublime. Setiap janturan selalu melukiskan berbagai hal. Masmalah keindahan alam, kewibawaan tokoh, dan seluruh hal yang bersifat filosofis akan muncul d alam janturan. Setiap dalang wayang dongeng, memiliki kebebasan dalam membuat janturan. Estetika janturan akan menentukan kualitas dalang secara komprehensif. Kaelan (Kasidi, 2009) banyak memberikan rumusan dalam pemaknaan janturan. Pemaknaan tingkat pertama disebut sebagai pembacaan heuristika dan retroaktifa. Pembacaan heuristik merupakan tahap pembacaan yang berkaitan dengan aspek-aspek kebahasaan, yaitu berupa kemampuan untuk memberikan arti terhadap bentuk-bentuk janturan yang mungkin tidak berkesesuaian dengan ketatabahasaan atau ungramaticallities.. Oleh sebab itulah penggunaan bahasa dihubungkan dengan berbagai hal yang sifatnya 70

71 realitis, sehingga unsur lingkungan sosial budayanya tidak dapat dikesampingkan. Pemaknaan semacam itu menurut hemat saya sering dilakukan oleh para peneliti tradisi lisan. Janturan sebagai asset tradisi lisan, secara tekstual memperlihatkan acuan dengan hal-hal yang nyata, bagian ini dapat dikenali lewat latar fisik maupun non fisik. Latar fisik itu meliputi tata lingkungan istana, hutan, gunung, persawahan, lautan, walaupun tidak secara eksplisit disebutkan letak geografisnya. Misalnya, adalah penyebutan lokasi negeri Hastina, yang kadangkala diidentifikasikan dengan tata letak geografis di Indonesia, gaimanakah deskripsi kota raja yang dialiri sebuah sungai sebagaimana Hastina yag terbelah oleh aliran sungai Gajahoya atau Gajahwahya. Penonton merespon berbagai wacana fisikal yang dilontarkan dalang contohnya, ketika orang mendengar dalang melantunkan janturan dalam suatu pergelaran, maka gambaran selintas yang ada ialah hamparan istana ideal yang padat dengan penghuni serta dilimpahkan oleh kemakmuran dan keadilan. Lautan, gunung, hutan, dan tanaman persawahan tersedia demi kemakmuran negeri yang bersangkutan. Gambaran itu oleh penonton sangat diakrabi sebagai budaya wayang seperti dilukiskan sebagaimana kutipan berikut. Dasar negara panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi karta tata tur raharja/ basa panjang marang dawa pujung dhuwur sepira ta dawaning praja/ sayekti dawa pocapane jembar tltahe luhur kawibawane// Loh tulus kang sarwa tinadur jinawi murah kang srwa tinumbar/ saged sinebat negari ingkang murah boga saha wastra// adalah negeri yang panjang punjung pasir wukir gemah ripah loh jinawi karta tata tur raharja/ panjang berarti luas wilayah negeri itu tidak terperikan/ yang juga diartikan sebagai hamparan kisah yang panjang dari negeri Hastina punjung memiliki kewibawaan yang tiada banding// Loh tulus artinya subur berbagai tanaman yang dapat ditanam/ jinawi artinya murah segala yang dapat dibeli oleh rahayatnya / dapat disebutkan bahwa negara yangmurah sandang dan pangan // Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa penggambaran situasi negara ideal itu dikembangkan lagi oleh dalang dengan cara memberikan perluasan arti kata-kata yang lebih menggigit, misalnya kata gemah pedagang diartikan sebagai situasi masyarakat yang mempunyai pencaharian sebagai nahkoda, pedagang, bahkan para sudagar dari negeri lain, semuanya tanpa merasa kawatir berkat negara yang aman dan tentram. Hal itu menunjukkan bahwa negeri ideal itu adalah negeri yang aman, tentram, sehingga menumbuhkan kepercayaan yang tinggi bagi mereka yang berdagang di dalamnya. Selanjutnya kata ripah penghuni artinya adalah betapa banyak penghuni yang tinggal di suatu negeri ideal, sehingga tingkat hunian meluas, banyak lahan dibuka untuk tinggal akibatnya papan wiyar katemahan rupak lahan yang luas menjadi sempit, namun demikian mereka merasa aman dan tentram. Karta ketentraman serta raharja keselamatan memiliki pengertian bahwa persatuan antara para pemegang kebijakan dan rakyat telah terbina dalam rangka meningkatkan harkat dan martabat bangsa, melalui pembangunan sesuai dengan bidang tugas masing-masing, hal ini dapat terwujud atas kewibawaan raja atau pemimpin suatu negeri ideal. Berbagai nuansa kewibawaan negera ideal itu biasanya terangkum dalam bagian Gong Nem kenong pertama sampai dengan kenong keempat Gending Karawitan. Bagian ini menurut isinya secara referensial mengacu pada pengartian dan perluasan kata-kata ungkapan kesejahteraan negeri yang ideal, namun makna yang tersirat sesungguhnya adalah sebuah cita-cita dan harapan negara Indonesia tercinta. Oleh sebab itulah apa pun lakon dan jejer kapisan ungkapan yang berorientasi idealisme tersebut menjadi penting dan baku yang tidak dapat dihindarkan. Bandingkan dengan tradisi karya sastra Jawa Kuna yang selalu diawali dengan penyebutan-penyebutan kata-kata suci yang diakukan oleh pujangga dalam syair-syair khusus. Berikutnya deskripsi tentang karakter toko wayang yang didasarkan atas tipologi masing-masing biasanya berkaitan dengan lakon, watak, kesaktian, kelahiran, dan sebagaina. Misalya, nama Duryudana secara harfiah dur artinya jelek atau jahat, yu 71

72 keselamatan dana pemberian keseluruhan dari nama itu artinya raja Hastina memiliki watak jahat dan jelek, gemar memberi hadiah kepada bawahan, sayangnya yang diberi hadiah hanya terbatas kepada sanak saudaranya saja, tidak pernah memikirkan jasa rakyat jelata akibatnya sanak saudaranya sejumlah 99 orang memiliki sifat yang kurang baik yaitu adigang-adigung-adiguna. Tampak dalam ungkapan nama itu mengandung makna, bahwa Duryudana adalah sosok pemimpin yangkurang baik, menyiratkan kepalsuan atau lamis karena hanya memikirkan diri sendiri beserta sana saudaranya untk melanggengkan kekuasaan, hal itu akan semakin tampak jika diamati lewat berbagai lakon wayang yang melibatkan tokoh Gajah, Singa, Harimau, dan Kambing. Kiranya masih ada nama e. Teks Dongeng Wayang 1. Prabu Watugunung Prabu Watugunung adalah putra Prabu Palindriya, raja negara Purwacarita. Ia menjadi raja di neagra Giling Wesi hanya karena mengandalkan kesaktiannya yang luar biasa. Dikisahkan bahwa Prabu Palindriya memiliki banyak istri. Permaisuri yang dikenal dalam pewayangan yaitu Dewi Soma yang berputera Raden Anggara dan Raden Budha, terakhir Raden Sukra. Permaisuri Dewi Shinta hanya menurunkan seorang putra bernama Raden Radite atau Jaka Wudug. Perrnaisuri Dewi Landep (adik Dewi Shinta) berputera Raden Wukir. Ketika Jaka Wudug masih kecil, ia kelewat nakal. Suatu hari ia lapar dan minta makan. tetapi sang ibu tidak segera memberinya karena nasi yang dimasak belum tuntas atau baru ditapung. Jaka Wudug semakin merengek sehingga Dewi Shinta menjadi jengkel. Saking jengkelnya, Jaka Wudug dipukul dengan entong (alat untuk mengambil nasi). Seketika itu juga Jaka Wudug uring-uringan lalu pergi meninggalkan istana Purwacarita tanpa pamit. Prabu Palindriya menjadi sangat marah terhadap Dewi Shinta karena Jaka Wudug yang kelak akan dinobatkan menjadi raja Purwacarita telah pergi dan sulit diketemukan. Akhirnya Deswi Shinta disuruh pergi. Dengan membasva duka yang teramat dalarn. Dew7 Shinta akhimya juga pergi meninggalkan istana Purwacarita diikuti oleh adiknya yaitu Dewi Landep. Syahdan, Jaka Wudug yang hidup terlunta-itmta di hutan. akhirnya timbul niat bertapa. Jika berhasil memang yang diharapkan, tetapi jika mati ya sekalian biar mati daripada hidup tak ada harapan. Jaka Wudug bertapa berdiri dengan satu kaki sementara kaki kirinya digantung. Lamanya bertapa hampir 10 tahun. sehingga Sanghyang Wenang tilemberikan kesaktian luar biasa. Jaka Wudug yang telah tumbuh menjadi perjaka. berhasil merebut negara Gingwesi hanya seorang diri. Jadilah Jaka Wudug yang dulu nakal itu menjadi raja di kerajaan Gilingwesi bergelar Prabu Watugunung atau juga bergelar Prabu Selacala. Sifat serakah dan nakal akhirnya terbawa meski telah menjadi raja. Kerajaan Purwacarita yang diperintah oleh Prab Anggara (saudaranya sendiri) ditaklukkan. Janda Prabu Palindriya yaitu Dewi Soma diboyong ke Gilingvvesi dijadikan permaisuri. Karena sifat keserakahannya pula, Prabu Watugunung berusaha rnelebarkan kekuasaannya dengan menaklukkan raja-raja dan memperistri janda anda raja yang dibunuhnya. Prabu Watugunung akhirnya juga memperistri Devi Shinta (ibunya sendiri) dan Dewi Landep (bibinya), tentu saja tanpa diketahui oleh keduanya. Dewi Shinta kemudian menurunkan 13 orang putra, dan Dewi Landep menurunkan enam orang. Perkawinannya dengan Dewi Soma menursnkan seorana putera bernama Prabu Gotaka. Putraputranya tersebut kemudian menjadi nama-nama wuku (perhitungan waktu didalam adat istiadat Jawa). 72

73 Suatu hari Dewi Shinta terkejut melihat luka di kepala Prabu Watugunung, suaminya. Prabu Watugunung sendiri mengisahkan masa kecilnya yang pergi dipukul entong oleh ibunya. Jelas sudah bahwa Prabu Watugunung sebenarnya anaknya sendiri. Meskipun telah berputera, namun Dewi Shinta menjadi malu sendiri. Janda Prabu Palindriya itu akhirnya mencari jalan untuk melepaskan diri dari keadaan Naitu dengan cara ingin dimadu dengan Batari Sri. Keinginan Dewi Shinta minta dimadu bidadari tad, ; bahkan membanakitkan sifat serakah Prabu Watugunung. Berbekal kesaktian yang tiada lawan. Prabu Watugunung memberangkatkan pasukan perangnya yang dipimpin patih Wukir untuk menggempur Suralaya. Para dewa kewalahan dalam menananggulangi gempuran Prabu Watugunung. Batara Wisnu yang saat itu ngejawantah menjadi raja di kerajaan Candrageni bergelar Prabu Satmata, dipanggil Hyang Guru agar menumpas pemberontakan Prabu Watugunung. Prabu Satmata dengan patihnya bernama Srigati akhirnva menghadapi Prabu Watugunung. Karena raja Gilingwesi terlalu tanaguh. Prabu Satmata meminjam kereta Jatisurya milik Batara Surya. Dengan menaiki kereta Jatisurya, Prabu Satmata melemparkan senjata cakra ke arah musuhnya. Berkat kesaktian senjata cakra maka tamatlah riwavat Prabu Watugunung sebagai akibat dari keserakahannva sendiri. Prabu Watugunung dan putra serta istrinva kemudian ditulis oleh Srigati sebagai perhitungan wiku yang jumlahnya 30. Nama Wuku tersebut yaitu : Watugunung, Shinta. Landep, Wukir, Kuranti, Talu, Gumbreg, Warigalit, Warigagung, Julungwangi,. Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Mandasiya, Julungpujud, Pahang, Kuruwelut, Marakeh, Tambir, Madangkungan, Maktal, Wuye, Manail, Prangbakat, Bala, Wugu, Kulawu, Dukut dan Warayang. (Harghana SW dan Bayu Aji, 2001:55-57). 2. Cupu Manik Asthagina Mereka yang berubah menjadi monyet itu adalah, Sobali, Sugriwa dan Anjani puti - a resi Gotama dari padepokan Gunung Sukendra. Walaupun itu hanya sebuah cerita, tetapi Walmiki memperhitungkan gejala alaminya, bahwa meskipun wujudnya telah menjadi kera, tapi perilakunya mirip manusia, cerdas, gagah dan sakti. Nampaknya Walmiki lebih memfokuskan martabat manusianya daripada sifat hewaninya. Sekalipun demikian hukum perubahan wujud menjadi kera, tidak dapat diubah dan akan tetap berlaku hingga keturunannya, seperti halnya dengan Anjani melahirkan anak tetap berwujud kera diberi nama: Anoman. Ada perbedaan antara Anoman di negeri ini dengan Anoman versi India. Di negara yang mayoritas beragama Hindu, makhluk sejenis monyet dianggap keramat karena konon masih keturunan Anoman. Seperti halnya dengan ular di mana Dewa Wisnu sering tidur di atas gulungan ular Ananta yang berkepala tujuh, maka ular pun dianggap sebagai makhluk keramat. Perbedaan lain bentuk Anoman India tak ubahnya monyet biasa dan tidak berbuiu putih, seperti terukir dalam relief candi Loro Jonggrang termasuk dalam kompleks Candi Prambanan yang didirikan akhir abad ke IX oleh Rakai Pikatan. Pada lain hal Anoman India adalah anak Dewa Marut pengasuh angin ribut pengiring Dewa Indra bila hendak maju perang. Sedang dalam pedalangan, kera berbulu putih itu adalah anak angkat Batara Guru. Nama Marut kerap pula dipakai dalam pedalangan, sehingga tak jarang Ki Dalang menyebut Anoman dengan nama Maruti atau Prabancana Suta yang artinya anak angin. Proses terjadinya ketiga anak resi Gotama ynenjadi kera berawal dari skandal cinta antara Windradi (istri Gotama) dengan Batara Surya (Dewa Matahari). Sebagai kenang-kenangan Surya menghadiahkan sebuah Cupu kepada Windradi. Cupu itu 73

74 berjuru delapan terbuat sebangsa manik dan intan hingga disebut Cupu Manik Asta Gina. Khasiat Cupu itu memiliki tenaga sakti segala yang diminta oleh pemiliknya dapat dikabulkan. Sesungguhnya Cupu itu adalah wadah penghidupan dan kehidupan hingga sanggup menghidupkan kembali seseorang yang telah tercabut nyawanya. Oleh Windradi Cupu itu dihadiahkan ke pada putrinya (Anjani) dan diamanatkan agar benda itu dirahasiakan. Tetapi celakanya benda itu diketahui oleh Sobali dan Sugriwa hingga menjadi rebutan. Peristiwa itu diketahui oleh sang resi dan ia kaget, karena tahu bahwa benda itu hanya patut dimiliki oleh para Dewa, dalam hal ini Dewa Surya. Ketika ditanya dari mana Anjani memperoleh benda itu, Anjani tidak berani membohong lalu diterangkan, bahwa benda ini diperoleh dari ibunya. Dipanggilnya Windradi serta didesak dari mana memperoleh benda itu. Tetapi Windradi bungkam seribu basa. Resi Gotama yang telah mencapai tataran maha sakti seketika mengetahui, bahwa telah terjadi hubungan gelap antara istrinya dengan Dewa Matahari. Maka betapapun Gotama dikenal sabar dan bijaksana, tetapi menghadapi peristiwa itu tak mampu membendung amarahnya dan dikutuklah Windradi menjadi "batu". Kemudian dengan kesaktiannya batu itu dilempar jauh dan jatuh di tepi jurang yang letaknya berhadapan dengan pulau Aiengkapura. Kemudian Cupu itu pun dilempar dan jatuh di tengah lautan berubah menjadi sebuah telaga bernama Sumala. Barang siapa yang mandi di telaga itu, akan mendapat malapetaka. Diperingatkan pula anak-anaknya untuk tidak memiliki benda tersebut. Akan tetapi karena sudah terlanjur menyenangi, maka tanpa memperdulikan larangan ayahnya, ketiga anak itu berlomba mengejar di mana benda itu akan jatuh. Sobali dan Sugriwa telah sampai ke telaga dan mengira benda itu jatuh ke dalamnya. Maka tak ayal lagi keduanya terjun ke dalam telaga mencari benda tersebut. Tetapi begitu mereka muncul di permukaan air, wujudnya telah berubah menjadi Wanara. Sedang Anjani hanya membasuh muka dan berubah pula parasnya menjadi kera. Mereka menangis saling merangkul menyesali diri tak menuruti larangan ayahnya. Untuk mendapatkan ampunan dewata, ketiga anak dititahkan bertapa di hutan belantara. Sobali diperintahkan bertapa bergantung di pohon Kalong. Sementara Sugriwa dianjurkan bertapa berjalan merangkak seperti kijang. Dan Anjani harus bertapa merendam bertelanjang bulat dan tidak diperkenankan makan apa pun kalau bukan pemberian dewa. Suatu hari Batara Syiwa lewat di tempat bertapa Anjani, lalu menjatuhkan daun Sinom (daun sakti) kemudian dimakan. Akibatnya ia mengandung dan melahirkan anak berupa Kera diberi nama Anoman, dan anak itu diaku sebagai anak Batara Syiwa. Kelak Anoman akan menjadi seorang Panglima yang gagah sakti membantu Sri Rama membebaskan Sinta yang diculik oleh Rahwana. Demikian pula Sugriwa kelak akan menjadi raja serta membantu Sri Rama menggempur negara Alengka. Sedangkan Anjani dikisahkan pulih kembali parasnya menjadi seorang putri cantik dan ditempatkan di swarga Maniloka (dikutip dari: Waluyo, 1999: ). 74

75 DAFTAR PUSTAKA Abdi Dalem Keraton Yogyakarta Labuhan di Parangtritis Arief, Yan. Prosesi Labuhan Alit Kraton Yogya di Parangkusumo. Dharmamulya, Sukirman, Dkk Permainan Tradisional Jawa. Yogyakarta: Kepel Press. Endraswara, Suwardi Materi Pembelajaran Sastra Jawa di SLTP. Yogyakarta: Bahan Penyuluhan Balai Bahasa Yogyakarta Tradisi Lisan Jawa. Yogyakarta: Narasi Metode Pembelajaran Bahasa dan Sastra Jawa. Yogyakarta: Kontul Press Folklor Jawa. Jakarta: WWS. Harymawan, RMA, 1993, Dramaturgi, Bandung: Remaja Rosdakarya Hasanudin WS Seni Pertunjukan Sastra. Bandung: Angkasa Hoetomo, Suripan, 1993, Drama dalam Sastra Jawa Modern dalam Poer Adhie Prawoto, ed, Wawasan Sastra Jawa Modern, Bandung: Angkasa Javanologi Lembaga Javanologi Yogyakarta Gelar Ruwatan Ruwatan Bersama XX Tahun 2010 Lembaga Javanologi Yogyakarta. Kahyangan Kurniawan, Yuda Tradisi Labuhan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai Pelestarian Budaya di Tengah Modernisasi. II Upacata Tradisi Labuhan Keraton NGayogyakarta Hadiningrat. Labuhan Pantai Selatan Luxemburg, Jan van, dkk, 1989, Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: Gramedia Maskarebet Mengenal Ruwatan.. Mertosedono. Amir Wayang dan Sejarahnya. Jakarta: Tiga Aksara Muddjanattistomo, dkk., 1977, Pedhalangan Ngayogyakarta. Jld I. Ngayogyakarta: Yayasan Habirandha. 75

76 76

77 MODUL PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU SEKAR MACAPAT Oleh SUWARNA RAYON 111 UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN

78 78

79 SEKAR MACAPAT A. Kompetensi yang diharapkan: 1. Melagukan dan memahami ajaran moral tembang macapat 2. Melagukan dan menganalisis tembang macapat 3. Membuat tembang macapat B. Indikator: Setelah pelatihan selesai, diharapkan peserta pelatihan dapat: 1. Menyebutkan nama-nama tembang macapat 2. Menyebutkan aturan tembang macapat 3. Menguraikan ajaran moral budi pekerti dalam tembang macapat 4. Melagukan tembang macapat 5. Membuat tembang macapat 79

80 80

81 BAB I. PENDAHULUAN A. Judul : Media Sekar Macapat B. Tema : Sekar C. Topik : Sekar Macapat D. Tujuan : Mahasiswa dapat nembang macapat (11 sekar) dan tengahan (4 sekar) E. Materi pokok : 1. Sekar Mijil 2. Sekar Kinanthi 3. Sekar Sinom 4. Sekar Asmaradana 5. Sekar Dhandhanggula 6. Sekar Gambuh 7. Sekar Maskumambang 8. Sekar Durma 9. Sekar Pangkur 10. Sekar Megatruh 11. Sekar Pocung 12. Sekar Wirangrong 13. Sekar Girisa 14. Sekar Balabak 15. Sekar Jurudemung F. Bentuk Media : CD (compact disc). Setiap tembang dilagukan 2 kali. G. Teknik perekaman : menggunakan program Sound Forge

82 H. Teknik Evaluasi 1. Latihan mingguan 2. Tes tengah semester 3. Tes akhir semester I. Tindak lanjut 1. Mahasiswa dapat transfer tembang, yaitu melagukan tembang tertentu dalam berbagai syair (cakepan). 2. Mahasiswa dapat melagukan tembang pada buku-buku karya sastra berbentuk tembang. 3. Mahasiswa dapat menggunakan kompetensi tembang pada perkuliahan komprehensi tulis, karawitan, ekspresi tulis, dan ekspresi lisan, dan PPL 82

83 BAB II SEKAR A. Pangertosan Sekar inggih menika reriptan, karangan, utawi dhapukaning basa mawi paugeran tartamtu (gumathok) ingkang pamaosipun kedah dipunlagokaken ngangge kagunan (seni) suwanten (Padmosoekotjo, 1960:25). Pangertosan kasebat kadhapauk saking bab-bab ingkang wigatos ing sekar, antawisipun: 1. reriptan Sekar menika reriptan. Tegesipun ingkang damel sekar menika tiyang, saged pujangga, guru, pedagang, pak tani, mahasiswa, siswa, utawi sinten kemawon sauger saged saha mangertos caranipun nganggit sekar. 2. paugeran tartamtu Paugeran sekar sampun gumathok, boten saged dipunewahi. Menawi dipunewahi badhe ngrisak tatanan. Tundhonipun angel dipunsekaraken, boten cocok ngeng, irama, utawi lagunipun. Ugi badhe karepotan menawi tembang dipuniringi karawitan. 3. pamaosipun kedah dipunlagukaken Pramila kawastanan sekar utawi tembang menawi caranipun maos utawi tutur cakepan mawi dipunlagokaken. Sanajan cakepan menika wau awujud cakepan tembang nanging anggenipun maos boten dipunlagokaken inggih dereng kawastanan nyekar. B. Sekar Macapat Wonten pinten-pinten pangertosan sekar macapat. 1. Kathah ingkang mastani bilih sekar macapat menika sekar ingkang anggenipun maos pamedhotanipun sekawan-sekawan wanda. Menawi boten jangkep sekawan-sekawan wanda, urut saking awal gatra kawaos sekawan wanda kalajengaken tirahanipun wanda. Upamipun 83

84 2. Sekar Pocung Bapak pocung / dudu watu / dudu gunung / : Asal saka / Plembang / : 4-2 Ngon-ingone / sang bupati / : 4-4 Yen lumampah / si pocong lem-/beyan grana : Sekar Gambuh Aja nganti / kebanjur : 4-3 Barang polah / ingkang nora / jujur : Yen kebanjur / sayekti ko-/jur tan becik : Becik ngupa-/yaa iku : 4-4 Pitutur ing-/kang sayektos : 4-4 Nanging pamedhot ingkang sekawan-sekawan wanda kalawau nuwuhaken predondi antawisipun lagu kaliyan wanguning suraos. Menawi pamedhotipun ngepas aakhiring tembung boten dados prekawis kadosta ing sekar pocung: bapak pocung, dudu watu, dudu gunung, asal saka, ngon-ingone, sang bupati, yen lumampah. Ing sekar gambuh: aja nganti, barang polah, ingkang nora, yen kebanjur. Cara pamedhoting tutur/lagu kados mekaten sinebat pedhotan kendho. Ing pedhotan kendho, eca dipunpirengaken ugi dipunsuraos maknanipun. Kosok wangsulipun wonten pedhotan kenceng. Pedhotan kenceng inggih menika, cara tutur/lagu ingkang medhot wandaning tembung. Upaminipun ing sekar pocung: si pocung lem-. Ing sekar gambuh: sayekti ko-, becik ngupa-, pitutur ing-. Wonten pamrayogi amrih eca dipunpirengaken sarta dipunsuraos, cara pamedhoting tutur inglagu maos manut tembung-tembungipun. Lagu maos inggih menika nyekar ingkang boten dipuniringi gending. Nyekar lelahanan kewamon boten mawi iringan musik. Upaminipun: 84

85 Sekar Gambuh Aja nganti / kebanjur : 4-3 Barang polah / ingkang nora / jujur : Yen kebanjur / sayekti / kojur tan becik : Becik / ngupayaa / iku : Pitutur / ingkang / sayektos : Cara kasebat namung saged kangge ing lagu maos. Dene menawi dipuniringi gending limrahipun manut irama gending, malah wonten ingkang tetep sekawansekawan wanda. Upamnipun ing sekar Sinom Parijotho Nulada la-/gu utama Tumrape wong/ tanah Jawi Wong agung ing / Ngeksiganda Panembahan / Senapati Kapati amar-/sudi Sudanen ha-/wa lan nepsu Pinesu tapa / brata Tanapi ing / siyang ratri Amemangun / karyenak tyas / ing sasama. Pmarayogi: a. Menawi sekar macapat kalagokaken kanthi maos, saenipun ngangge pedhotan kendho. Caranipun nglagokaken sekar kanthi lagu maos dipunsebat dhendha kerata. b. Menawi sekar macapat kairing gending (sekar gending), kalagokaken manur wiramaning gending. 85

86 3. Wonten ingkang mastani sekar macapat menika sekar ingkang anggenipun maos cepet. Pocapan maca cepet dados macapet. Rehning macapat boten wangun tumrap kaendahaning suwanten vokal, pocapan dados macapat. Pemanggih menika inggih kasinggihan awit maos sekar macapat pancen kedah cepat. Ing jaman kraton kerep wonten pinten-pinten macapatan, anatawisipun: a. menawi raja nembe sinau bab olah tata kaprajan. Sang raja cekap dhawuh dhateng abdinipun supados maosaken buku-buku karya sastra para pujangga utawi karyanipun sang raja piyambak. Si abdi dalem nyekar, sang saja cekap midhangetaken. Amrih ngelmunipun sakalangkung enggal kathah rinasuk, pamaosipun sekar utawi buku ugi cepet. Menawi alon-alonan, kedangon. Menawi badhe mat-matan boten ing macapatan nanging ing langen karawitan. b. Macapatan kangge pasamuan. Ing pasamuan upaminipun: wiyosan/kelairan bayi, sepasaran, selapanan, utawi pengetan-pengentan dinten menapa kemawon kadhang kala wonten macapatan. Caranipun maos inggih cepet, supados tiyang sanes kebagean kangge nyekar utawi nedahaken kagunan suwantenipun. c. Samenika taksih kathah paguyuban macapatan Upamnipun: ing Hotel Garuda, Sanabudaya, Dalem Kepatihan, RRI Yogyakarta, Yogya TV, Radio Itsa Kalisa, paguyuban macapatan UNY-UGM-Balai Bahasa-Dinas Kebudayaan, lan paguyuban macapatan sanesipun. Cara pamaosipun ingkang cepet piyambak inggih nalika abdi dalem maos sekar macapat konjuk dhateng sang nata. Dene macapatan ing pasamuan utawi paguyuban malah kepara kadamel mat-matan utawi dipunlaras kanthi larasing manah. 4. Wonten ingkang mastani sekar macapat ugi kawastanan maos sekar ingkang kaping sekawan, kanthi dhasar menika: a. maos sekar I : maos sekar ageng sapadeswara (sapada utawi kalih padadirga) b. maos sekar II : maos sekar ageng sapadadirga (kalih padapala utawi kalih gatra) c. maos sekar III : maos sekar tengahan d. maos sekat IV : maos sekar macapat (nara sumber: Kusnadi adhedhasar Mardawalagu) 86

87 C. Timbulipun Sekar Macapat Sekar Macapat sampun wonten nalika jaman Majapahit, nanging sakalangkung enem tinimbang sekar Tengahan. Manut Tedjohadisumarto, sekar macapat karipta dening Prabu Dewawasesa alias Prabu Banjaransari taun jawi 1191 utawi 1269 masehi (Prawiradisastra, 1997:101).Ngantos samenika sekar macapat taksih lestari. Menika nedahakane daya keadiluhunganing kagunan. Menawi boten adiluhung, boten badhe saged lestari. Boten wonten seni budaya ingkang saged lesatri ngantos 10-an abad menawi boten ngandhut daya linuwih. Antawisipun sekar Tengahan kaliyan Macapat paugeranipun meh utawi sami inggih menika guru gatra, guru wilangan, saha guru lagu. Awit saking menika R. Ng. Peorbatjaraka mastani menawi sekar Macapat menika boten wonten. Ingkang wonten inggih sekar Tengahan enem. Dipunwastani sekar Tengahan awit mawi paugeran kasebat. Dipunwastani enem awit nggindakaken basa Jawa enggal. Sekar tengahan limrahipun winastan kidung (Rejomulya, 1998: 15). Wonten ingkang gadhah pamanggih, badheya kados pundi tetep prelu dipunbedakaken antawisipun sekar ingkang mawi basa Jawi Tengahan kaliyan basa Jawi enggal, sanajan paugeranipun tembang sami (kapriksanana tembang Tengahan Wirangrong, Girisa; rumiyin Gambuh kaliyan Megatruh kalebet sekat Tengahan (Atmadarsana, 1956: 51). Rehning sampun wonten sekar ageng, sekar tengahan, lajeng timbul nama sekar alit utawi sekar macapat. Namaning Sekar Macapat Satunggaling pamanggih, kangge pengeling-eling sekar macapat (11 sekar) kadidene nggambaraken cakramanggilinganing tiyang (daur hidup), saking lair ngantos pejah. Bab menika namung satunggaling usul, bokmenawi taksih wonten pamanggaih sanesipun. Sedaya kedah dipunkurmati, amrih gampil mangertosipun. 1. Bayi lair nama tembangipun : mijil 2. Bayi saya ageng prelu dipunlatih mlampah nama tembangipun : kinanthi 3. Tuwuh dados temaja nama tembangipun si enom : sinom 4. Menawi enem nandhang asmara, nama tembangipun : asmaradana 5. Asmara menika endah, manis, nama tembangipun : dhandhanggula 6. Asmara ingkang nyawiji (gambuh) mangun kulawarga : gambuh 7. Gesang tansaya sepuh, penggalihanipun dereng menep antawisipun nepsu kadonya lan akherat, maksih kambang- kambang, nama tembangipun : maskumambang 87

88 8. Penggalihipun wiwit condhong dhateng kapentingan uhkrowi Utawi akherat, nama tembangipun : durma 9. Yuswa sepuh, penggalihipun saya ngungkuraken kadonyan : pangkur 10. Tiyang seda menika pegat/pedhot ruhipun/nyawanipun : megatruh 11. Mayit dipunbuntel dados pocong : pocung Kathahing pamanggih sekar macapat menika wonten 11 kasebat. Sanajan wonten ingkang mastani 9 (kolom 1) utawi malah 15. Sekar Gambuh kaliyan Megatruh, rumiyin kalebet sekar tengahan. Rehning R,Ng, Ranggawarsita ing anggitanipun ugi ngginakaken utawi nglebetaken sekar Wirangrong, Balabak, Jurudemung, Girisa ing karya kapujangganipun manunggal kaliyan jinis sekar macapat sanesipun (ing satunggal buku), lajeng sekar-sekar tengahan kasebat wonten ingkang nglebetaken ing sekat macapat. Pramila Ki Hardjawiraga (wonten ing Pathokaning Nyekaraken) saha S Tjitrasoma (wonten ing Punarbawa I) merang sekar macapatmenika wonten 15 kados ing tabel 1.1. Tabel 1. Namaning Sekar Macapat No. Ingkang baku macapat No. Estunipun sekar tenga 1 Mijil 10 Gambuh 2 Kinanthi 11 Megatruh 3 Sinom Asmaradana 12 Balabak 5 Dhandhanggula 13 Wirangrong 6 Maskumambang 14 Jurudemung 7 Durma 15 Girisa 8 Pangkur 9 Pocung 88

89 Pamrayogi: Adhedhasar panglimbang: 1) kaprahing pangangge. Kathah-kathahipun ing masyakarat mastani bilih sekar macapat menika wonten 11. 2) suraos pralambanging cakramanggilinganing gesang manungsa 3) kaprahing pangangge. Kathahipun sekar macapat ingkang kaangge ing masyarakat saha pamulangan umum (limrahipun) inggih 11 kasebat. 4) Gumathoking paugeran guru gatra, guru wilangan, saha guru lagu (11 tembang kasebat saemper). Dudutan: sekar macapat wonten 11 sekar, inggih menika: 1) Mijil 2) Kinanthi 3) Sinom 4) Asmaradana 5) Dhandhanggula 6) Gambuh 7) Maskumambang 8) Durma 9) Pangkur 10) Megatruh 11) Pocung D. Paugeran saha Dendha Kerata Sekar Macapat 1. Paugeran Sekar Macapat Sekar macapat gadhah paugeran tiga, inggih menika: a. guru gatra : cacahing larik/gatra saben sapada b. guru wilangan : cacahing wanda saben gatra c. guru lagu : dhawahing suwanten vokal ing akhir gatra (dhong-dhing). Ing ngandhap menika racikan paugeran sekar macapat saha tengahan: 89

90 Tabel 2. Paugeraning Sekar Macapat No. Namaning Sekar Paugeran Mijil Kinanthi Sinom Asmaradana Dhandhanggula Gambuh Maskumambang Durma Pangkur Megatruh Pocung Wirangrong Balabak Jurudemung Girisa 10-i, 6-o, 10-e, 10-i, 8-i, 6-u 8-u, 8-i, 8-a, 8-i, 8-a, 8-i 8-a, 8-i, 8-a, 8-i, 7-i, 8-u, 7-a, 8-i, 12-a 8-i, 8-a, 8-e/o, 8-a, 7-a, 8-u, 8-a 10-i, 10-a, 8-e, 7-u, 9-i, 7-a, 6-u, 8-a, 12-i, 7-a 7-u, 10-u, 12-i, 8-u, 8-o 12-i, 6-a, 8-i, 8-a 12-a, 7-i, 6-a, 7-a, 8-i, 5-a, a, 11-i, 8-u, 7-a, 12-u, 8-a, 8-i 12-u, 8-i, 8-u, 8-i, 8-o 12-u, 6-a, 8-i, 12-a 8-i, 8-o, 10-u, 6-1, 7-a, 8-a 12-a, 3-e, 12-a, 3-3, 12-a, 3-e 8-a, 8-u, 8-u, 8-a, 8-u, 8-a, 8-u 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 8-a, 2. Paugeran Anggitan Kajawi paugeran sekar kados guru gatra, guru wilangan, saha guru lagu, ugi wonten paugeran caranipun nganggit sekar. Paugeran anggitan inggih menika caranipun nganggit sekar macapat. Ingkang magepokan kaliyan paugeran anggitan antawisipun. 90

91 a. Baliswara Inggih menika rerangkening tembung ingkang nyebal saking paugeran awit kangge njangkepi guru lagu. Upaminipun: 1) Anoman sampun malumpat dados Anoman malumpat sampun (sekar kinanthi gatra kapisan) 2) antut runtut bisa momong dados antut runtut momong bisa (sekar dhandhanggula gatra 8) b. Daya sastra Daya sastra inggih menika ngicali akrara irung (hanuswara) kangge njangkepi guru wilangan. Daya sastra limrahipun dumados ing sekar macapat seratan Jawi. Semar (ng)guguk, nabda: bangsat teka dlarung, Ketanggor wong nekad, (m)baludhus tan wruh ing isin, Lah rasakna yen prapteng wisma tak ajar. c. Plutan Plutan inggih menika ngringkes tembung kangge ngirangi guru wilangan. Upamnipun: seru --> sru, melas --> mlas, liyan --> lyan, weruh --> wruh d. Wancahan Wancahan inggih menika ngicali wanda kangge nyuda guru wilangan. Limrahipun wanda ngajeng ingkang dipunicali.upamnipun: agung --> gung, ingkang --> kang, aywa --> ywa. e. Uluran Uluran menika kosok wangsulipun plutan kaliyan wancahan. Menawi plutan saha wancahan kangge ngirangi guru wilangan, dene uluran menika kangge nambah wanda. Caranipun kanthi nambah ater-ater /a/, /ma/ utawi /hanuswara: nya, ma, nga, na/. Upamnipun: nangis ngetan mijiki --> anangis --> mangetan --> hamijiki 91

92 f. sandi utawi garba Sandi utawi garba inggih menika manunggalaken kalih tembung ingkang mahanani luluh utawi ewahin aksara swara (vokal). Ginanipun kangge ngirangi guru wilangan saha damel endah basa susastra. Upaminipun: nara + iswara ratu + agung lebda + ing --> nareswara --> ratwagung --> lebdeng g. Sandiasma Sandiasma inggih menika asmanipun panganggit ingkang dipunsingitaken ing salebeting sekar. Sandiasma saged mapan ing awal pupuh, awal pada, awal gatra, pedhotan, wanda awal tembung, gatra, akhir gatra. Upamanipun: Sekar Dhandhanggula (ing Serat Aji Pamasa) RA-cikaning sarkara kaesthi, DEN-nya kedah memardi mardawa, NGA-yawara puwarane, BE-la belaning kalbu, I-nukarta niskarteng gati, RONG-as rehing ukara GA-garanirantuk, WAR-ta wasitaning kuna, SI-nung tengran, sembah trus kaswareng bumi TA-litining carita 92

93 h. Sengkalan Sengkalan inggih menika tetenger taun ingkang sinawung ing tembung-tembung salebeteing sekar. Kados ing sekar dhandhanggula kasebat wonten sengkalan sembah trus kaswareng bumi. Tembung sembah = 1, trus = 9, kaswareng = 7, bumi = 1. Caranipun nyusun angka dipunwalik. Sengkalan sembah trus kaswareng bumi = 1791 E. Dhendha Kerata Caranipun nyekaraken/nglagokaken sekar macapat winastan dhendha kerata. Tegesipun cetha, las-lasan, lugu, bares, saha prasaja, boten kekathahen luk, cengkok, wilet, awit kedah ngengeti suraosing sekar ingkang nembe kawaos (Pak AR, 1981:1). 1. Andhah saha anung swara Andhah swara inggih menika luk suwanten ingkang kadhawahaken ing wanda pungkasan gatra. Dene anung swara inggih menika luk suwanten ingkang kadhawahaken ing satunggal wanda saderengipun pungkasaning gatra. Upaminipun: Memanismu angujiwat Memanisme anguji andhah swara watanung swara 2. Pedhotan Pedhotan wonten kalih inggih menika pedhotan kenceng kaliyan kendho. Pedhotan kenceng inggih menika nglagokaken sekar kanthi medhot wandha ing tembung. Pedhotan kendho inggih menika nglagokaken sekar kathi medhot asoning napas ing pungkasaning tembung. Upamnipun: Sekar Kinanthi Kang aran bebuden luhur Dudu pangkat dudu ngelmi Uga dudu kapinteran Lan dudu pa- ra winasis Apa maneh kasugihan (3-5) pedhotan kendho (4-4) pedhotan kendho (4-4) pedhotan kendho (4-4) pedhotan kenceng (4-4) pedhotan kendho Nanging mung su- cining ati (4-4) pedhotan kenceng 93

94 3. Andhegan Yen pedhotan menika mapan wonten ing tembung, dene andhegan menika mapan ing pungkasaning gatra. Andhegan wonten tiga: a. Andhegan wantah: asoning napas ing pungkasaning gatra dereng sampurna awit suraosing gatra dereng jangkep. Limrahipun andhegan wantah dumadi saking gatra-gatra. b. Andhegan alit: asoning napas ing pungkasaning gatra sampun sampurna awit suraosing gatra sampun jangkep, naning dereng dumugi akhi pada. Limrahipun andhegan alit dumadi saking pinten-pinter gatra saderengipun gatra. c. Andhegan ageng: asoning napas sampun sampurna ing pungkasaning awit suraosing pada ugi sampun jangkep. Limtahipun andhegan ageng dumadi saking setunggal pada. Sekar Sinom Tabel 3. Andhegan Memanismu angujiwat, agawe sengseming ati. Ngrerepa kang sinedya, upama mundhuta rukmi. Tartamtu takturuti. Ibarat wong numpak prahu, lumampah tanpa welah, ing madyaning jalanidhi. Temah gonjing angkin jroning pagulingan. andhegan wantah andhegan alit andhegan wantah andhegan alit andhegan alit. andhegan wantah andhegan wantah andhegan walit andhegan ageng 4. Padhang saha Ulihan Andhegan wantah limrah sinebat padhang awit dereng purna, suraosipun dereng jangkep. Dene andhegan ageng winastan ulihan, suraosipun sampun jangkep. Padhang mapan wonten ing pungkasaning gatra, ulihan mapan ing pungkasaning sabeletin gatra utawi pada. 94

95 Tabel 4. Padhang saha ulihan Memanismu angujiwat, agawe sengseming ati. Ngrerepa kang sinedya, upama mundhuta rukmi. Tartamtu takturuti. Ibarat wong numpak prahu, lumampah tanpa welah, ing madyaning jalanidhi. Temah gonjing angkin jroning pagulingan andhegan wantah andhegan alit andhegan wantah andhegan alit andhegan alit. andhegan wantah andhegan wantah andhegan walit andhegan ageng padhang ulihan padhang ulihan ulihan padhang padhang ulihan ulihan 5. Wirama Wirama ing sekar macapat asipat merdika, boten ajeg. Tegesipun panyekar bebas/mardika nyekaraken trep kaliyan raos kaendahan, andhegan, andhah, anung, trep kaliyan titi laras, pedhotan, lsp. 6. Rerengganing Wirama Rerengganing wirama wonten: a. Wilet : variasi titi laras ing pangolahing cengkok b. Cengkok : rerangkening titi laras kangge ngolah lagu c. Lagu : andhap inggil, panjang pendek suwanten trep kaliyan titi laras d. Luk : andhah swara saha anung swara e. Gregel : luk ingkang cepet (trill) f. Sliring : mineur, vals, nyimpang saking skala nada. 95

96 F. Watak, Sasmita, saha Ginanipun Sekar Macapat Saben-saben sekar macapat gadhah watak piyambak-piyambak. Saben sekar ugi gadhah manfaat piyambak-piyambak No. Sekar Sasmita Watak Ginanipun 1 Mijil Ngangge tembung wijil, mijil, metu, miyos 2 Kinanthi Ngangge tembung kanthi, kinanthi, kekanthen Asih, prihatin, pangajab Seneng, asih, kasmaran Mulang tiyang ingkang nembe prihatin, mulang kebak rasa asih Mituturi, pratelan tresna, gandrung, mulang 3 Sinom Si enom, mudha Ethes, kenes Mulang, nggambarake kelimpatan 4 Asmaradana asmara Tresna, sedhih, sengsem 5 Dhandhanggula Sarkara, langking, manis 6 Gambuh Tembung-tembung jumbh, gambuh, 7 Maskumambang Kambangkambang, kintir, keli Luwes, gembira, endah Sumanak, sumadulur Nelangsa, ngeres-eresi, sedhih 8 Durma Mundur Keras, nepsu, semangat 9 Pangkur Mungkur, Sereng, nepsu, gandrung 10. Megatruh Pegat, uwal Prihatin, getun, keduwung, sedhih 11 Pocung Kluwak nomnomane 12 Wirangrong Mawi tembung wirang, rong 13 Balabak Kabalabak, keblebek 14 Girisa Tembung giris, wedi, 15 Jurudemung Mawi tembung juru, demung Sembrana parikena wibawa Sembrana, saenake, lucu Gagah, wibawa, wanti-wanti Kenes, kasmaran Mahyakaken tresna, kasmaran Mbuka sekar/serat, menapa kemawon cocok Mulang, mituturi Mahyakaken raos panalangsa utawi sedhih Tiyang nesu, perang, Pitutur radi srengen, gandrung Cariyos sedhih, prihatin, nelangsa, Cangkriman, lelucon, guyon Mahyakaken keagungan, kawibawan, piwulang Sembrana, guyonan piwulang Cocok kangge mancing asmara 96

97 TEMBANG CD 1 MIJIL Wedharingtyas Pl P Nem 97

98 KINANTHI MANGU SL. P. SANGA 98

99 SINOM GINONJING PL. P. NEM 99

100 ASMARADANA Bawaraga Sl. P. Sanga 100

101 DHANDHANGGULA Pisowanan Sl. P Sanga Sas- mi- ta- ne nga- u- rip pu- ni- ki, Ma- pan e- wuh yen o- ra we- ruh- a, Tan ju- me- neng ing u- rip- e , a- keh kang nga- ku- a- ku, Pa- ngra- sa- ne sam- pu u- da- ni, Tur du- rung wruh ing ra- sa, Ra- sa kang sa- tu- hu, Ra- sa- ra- sa- ne pu- ni- ka, u- pa- ya- nen da- ra- pon sampur- na u- gi, Ing ka- hu- rip- an ni- ra. 101

102 GAMBUH Lala Pl. P. Nem A- ja ngan-ti keban- jur, Barang po- lah ingkang no- ra ju- jur, Yen ke- banjur sayek- ti ko- jur tan becik, , Be- cik ngu- pa- ya- a i- ku, Pi- tu- tur ing- kang sa- yek- tos. MASKUMAMBANG Buminata Sl Sanga 102

103 DURMA Guntur Pl P Barang 103

104 PANGKUR Kasmaran P. P Nem 104

105 MEGATRUH Lara Nangis Pl P Barang POCUNG Paseban Sl. P. Sanga 105

106 WIRANGRONG Lagu Wacana Pl P Nem GIRISA NATAKUSUMAN Pl P Barang 106

107 JURUDEMUNG Lagu Maos Pl P Nem BALABAK Lagu Patranala Sl P Sanga 107

108 DAFTAR PUSTAKA Atmadarsana Mardawa Swara. Semarang: Yayasan Kanisius. Padmosoekotjo, S Ngengrengan Kasusastran Djawa I, II. Jogjakarta: Hien Hoo Sing. Pak AR Sekar Macapat I, II. Yogyakarta: Dinas P dan K. Prawiradisastra, Sadjijo Pengantar Seni Tembang. Diktat. Yogyakarta: FBS, UNY. Sri Hastjarja, Gunawan Macapat. Sukaharja: Cendrawasih. 108

109 MODUL PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU UNGGAH UNGGUH BASA Oleh ENDANG NURHAYATI RAYON 111 UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN

110 110

111 UNGGAH UNGGUH BASA A. Kompetensi yang diharapkan 1. Memahami konsep unggah-ungguh basa 2. Mampu mengungkapkan gagasan dalam berbagai bentuk wacana lisan berbahasa Jawa yang sesuai dengan konteksnya (unggah-ungguh basa) 3. Mampu mengungkapkan gagasan dalam berbagai bentuk wacana tulis berbahasa Jawa yang sesuai dengan konteksnya (unggah-ungguh basa) B. Indikator 1. Dapat berdialog dengan bahasa Jawa yang sesuai dengan unggah-ungguh basa (konteksnya) 2. Menceritakan pengalaman dengan bahasa Jawa yang sesuai dengan unggah-ungguh basa (konteksnya) 3. Dapat berpidato dengan bahasa Jawa yang sesuai dengan unggah-ungguh basa (konteksnya) 4. Mengarang berbagai bentuk wacana berbahasa Jawa yang sesuai dengan unggahungguh basa (konteksnya) C. Materi 1. Pengertian Unggah-ungguh Basa Unggah ungguh basa adalah sebuah tatanan yang berfungsi untuk mengatur bagaimana seseorang berkomunikasi secara santun atau beradab dengan orang lain. Santun atau beradab maksudnya adalah pantas atau sesuai dengan kondisi penutur, situasi tutur, tujuan bertutur, dan pesan yang dituturkan. Tatanan tersebut lazim disebut dengan istilah komponen tutur atau konteks tutur ( Hymes, 1972; Halliday, 1978; Poedjosoedarmo dalam Dardjowidjojo, 1985:99). Masyarakat tutur Jawa menyebut hal tersebut micara manis atau manut empan-papan lan wektu kelakone. Unggah-ungguh basa dapat dikatan juga sebagai sebuah peraturan berkomunikasi agar komunikasi bejalan lancar tanpa menimbulkan perasaan tidak senang akibat salah paham dalam hal perilaku berkomunikasi maupun salah paham terhadap isi yang dikomunikasikan. Dalam teks wulang Jawa ada beberapa hal yang perlu dipegang teguh oleh seorang penutur agar dirinya selamat dalam bertutur. Hal-hal tersebut antara lain: tingkah sing patut gerak-gerik yang pantas, satiti ngati-ati teliti berhati-hati, tan kena kanthi sembrana jangan dengan tidak serius, awya gawe serik jangan membuat sakit 111

112 hati, den sabar awya brangasan bersabarlah jangan kasar, ngajenana mring sesami menghormati sesama manusia, dan micara sarwa manis berbicara serba manis ( Tanojo, tt: 37) Kesopanan bertutur dengan bahasa Jawa disamping diatur oleh sikap-sikap seperti yang diuraiakan di atas, masih diatur lagi oleh tingkat tutur atau undha-usuking basa. Tingkat tutur atau undha-usuk adalah tingkatan pemakaian bahasa Jawa oleh penutur Jawa yang digunakan dalam berkomunikasi dengan tujuan untuk menghargai dan menghormat mitra tutur. Oleh karena itu masyarakat Jawa di dalam berkomunikasi selalu mempertimbangkan dengan baik pemilihan jenis tingkat tutur mana yang tepat untuk digunakan. Ketepatan pemilihan tingkat tutur akan memperlancar proses berkomunikasi, sebaliknya jika terjadi kesalahan pemilihan tingkat tutur akan terganggulah proses berkomunikasinya, bahkan lebih jauh lagi dapat menimbulkan hal-hal yang kurang menyenangkan diantara keduanya. Tingkat tutur bahasa Jawa di era ini dipandang memperumit proses berkomunikasi, dan pandangan ini sudah menjadi polemik umum. Hal ini membawa dampak banyak orang yang takut berbahasa Jawa karena merasa kurang menguasai tingkat tutur. Pandangan ini tidak hanya terjadi di kalangan orang dewasa tetapi juga merambah pada anak usia sekolah, sehingga anak usia sekolah merasa berat untuk belajar bahasa Jawa. Apabila ditelusuri secara bijaksana benarkah bahasa Jawa itu sulit? Jawabannya tidak bisa secara serta merta diberikan. Perlu dicari titik kelemahan yang menyebabkan permasalahan tersebut. Berdasarkan analisis fakta letak penyebab sulitnya berbahasa Jawa terletak pada kekurangpahaman masyarakat atau siswa terhadap pengetahuan undha-usuk dan pengetrapannya, serta sikap-sikap berkomunikasi seperti yang telah diuraikan di atas. Agar para guru semakin paham akan permasalah tersebut maka berikut ini akan diuraikan tentang undha-usuking basa Jawa. 2. Tingkat Tutur (undha-usuking basa) Jawa Tingkat tutur bahasa Jawa semula/ masa lalu muncul dalam varian yang cukup banyak. Tingkat tutur di masa lampau mencakup beberapa tingkatan seperti: tingkat ngoko dengan variasinya, madya dengan variasinya, dan krama dengan variasinya, jika untuk kepentingan berkomunikasi secara umum. Adapun untuk kepentingan khusus seperti pertuturan diantara para abdi dalem di dalam lingkungan kerajaan diperlukan tingkat tutur khas yang disebut tingkat tutur bagongan untuk kraton Yogyakarta dan tingkat tutur kedhaton untuk kraton Surakarta. Disamping tingkat tutur tersebut masih ada lagi jenis tingkat tutur yang khas digunakan di dalam seni lakon misalnya kethoprak, dan 112

113 wayang yang tercermin dalam tuturan para Dewa. Tingkat tutur tersebut dinamai tingkat tutur kadewatan atau tingkat tutur khas para Dewa (Nurhayati, 2005: ). Gambaran singkat tentang tingkat tutur bahasa Jawa dapat di lihat pada uraian berikut. Kiliaan (1919), Prijohoetomo (1937:31-35) dan Kementerian Pengadjaran, Pendidikan dan Kebudajaan (1946:86-87) merinci tingkat tutur bahasa Jawa menjadi ngoko lugu, ngoko andhap, madya, krama, basa kasar, dan basa kêdhaton. Tingkat tutur ngoko andhap dirinci lagi menjadi antyabasa dan basa antya. Tingkat tutur madya dirinci menjadi madya ngoko, madyantara, madya krama, krama ndésa, krama inggil. Tingkat tutur krama dirinci menjadi wrêdhakrama, mudhakrama, kramantara. Uraian tersebut selaras pula dengan uraian Hadiwidjana (1967:34-37), Poedjosoedarmo (1979:13), Poerwadarminto (1953), dan Sudaryanta (1991). Tingkat tutur ngoko adalah tingkat tutur yang mencerminkan sikap santun biasa atau tidak menghormat. Ngoko dibagi menjadi ngoko lugu dan ngoko andhap. Ngoko lugu adalah tingkat tutur yang seluruh tuturannya menggunakan kata ngoko kecuali ketika membicarakan O 3 yang berstatus sosial lebih tinggi. Contohnya ialah sebagai berikut. Aku sing nulis, kowé sing nyêmak. Saya yang menulis, kamu yang menyimak. Ngoko andhap adalah tingkat tutur ngoko yang bersifat menghormat. Tuturannya terdiri atas kata-kata ngoko yang diselipi krama dan krama inggil untuk O 2. Tingkat tutur ini dibagi menjadi antya basa dan basa antya. Antyabasa adalah tuturan yang terdiri atas kata-kata ngoko dan krama inggil untuk O 2. Berikut ialah contohnya. Mau bêngi apa sida tindak jagong? Tadi malam apakah jadi menghadiri pesta perkawinan? Pada contoh antya basa itu, sebagai penanda ialah digunakannya kata tindak. Basa antya adalah tuturan yang terdiri atas kata-kata ngoko, krama, dan krama inggil. Contohnya dapat dilihat pada tuturan berikut. 113

114 Priyé Mas, kêngslira apa sida mundhut pêkarangan? Bagaimana Mas, apakah kamu jadi membeli pekarangan? Pada contoh basa antya itu, sebagai penanda ialah digunakannya kata kêngslira yang merupakan kata krama dan mundhut yang merupakan kata krama inggil. Tingkat tutur madya adalah tingkat tutur yang menyatakan hormat secara sedang. Tingkat tutur ini dibagi menjadi madya ngoko, madyantara, dan madya krama. Madya ngoko adalah tingkat tutur yang menggunakan kata-kata madya dengan kata-kata ngoko; berawalan dan berakhiran ngoko, serta menggunakan kata ndika, samang, atau mang untuk menyapa O 2. Contohnya seperti berikut. Samang ésuk-ésuk kok wis mruput nyang pasar, ana dhayoh pa? Kamu pagi-pagi kenapa sudah ke pasar, apa ada tamu? Penanda tingkat tutur ini ialah digunakannya kata samang kamu sebagai bentuk madya, dan wis, nyang, pa sebagai penggalan dari uwis sudah, mênyang ke, apa apa. Tingkat tutur madyantara adalah tingkat tutur yang terdiri atas kata madya dan ngoko, tetapi berimbuhan ngoko. Ciri lain terlihat pada digunakannya kata seperti salira, sampéyan untuk menyebut O 2. Berikut contohnya. Sampéyan ésuk-ésuk kok wis mangsak apa arêp lungan? Kamu pagi-pagi kenapa sudah memasak apa akan bepergian? Penanda tingkat tutur itu terlihat pada digunakannya kata sampéyan kamu. Tingkat tutur madya krama adalah tingkat tutur yang terdiri atas kata-kata madya dan krama, tetapi berimbuhan ngoko. Ciri lain terlihat pada pemakaian kata sampéyan untuk menyebut O 2. Berikut ialah contohnya. Sampéyan ésuk-ésuk kok pun masak, ajêng têng pundi? Kamu pagi-pagi kenapa sudah masak, akan ke mana? 114

115 Penanda tingkat tutur itu terlihat pada pemakaian kata sampéyan kamu, pun sudah, têng ke dan kata-kata lain yang berupa kata krama. Tingkat tutur yang lain ialah krama, yaitu tingkat tutur yang bersifat menghormat atau sangat menghormat jika berupa krama inggil. Tingkat tutur ini dibagi menjadi mudha krama, kramantara, wrêdha krama, krama inggil, dan krama ndésa. Mudha krama adalah tingkat tutur yang terdiri atas kata krama dan krama inggil untuk O 2. Fungsinya sebagai alat komunikasi bagi orang yang berstatus rendah kepada yang berstatus tinggi, orang muda kepada orang tua, atau yang berstatus setara, tetapi tidak akrab. Contohnya sebagai berikut. Kangmas, panjênêngan badhé tindak pundi? Kak, kamu akan ke mana? Tingkat tutur kramantara adalah tingkat tutur yang digunakan oleh mereka yang berstatus sama atau yang O 1 -nya berstatus lebih tinggi. Tuturan kramantara terdiri atas kata krama, imbuhan krama, tetapi tanpa krama inggil untuk penyebutan O 2. Berikut ialah contoh untuk kramantara. Wontên kêpêrluan mênapa kadingarèn énjing-énjing mriki? Ada keperluan apa tumben pagi-pagi ke sini? Tingkat tutur wrêdha krama adalah tingkat tutur yang digunakan orang tua kepada orang muda yang setara statusnya. Tuturannya terdiri atas kata-kata krama, berimbuhan ngoko, tetapi tanpa krama inggil untuk penyebutan O 2. Berikut contoh tingkat tutur wrêdha krama. Kados pundi Dhi kabaré, dangu mbotên kêpanggih? Bagaimana Dik kabarnya, lama tidak ketemu? Penanda tingkat tutur itu ialah digunakannya kata kabaré kabarnya sesuai dengan digunakannya akhiran -é yang merupakan bentuk akhiran ngoko. 115

116 Tingkat tutur krama inggil adalah tingkat tutur yang sangat menghormat. Tuturannya seperti mudha krama, tetapi dengan akhiran -mu -mu diubah menjadi dalêm, kagungan dalêm; kata aku aku diubah menjadi abdi dalêm kawula, abdi dalêm kula, abdi dalêm, adalêm, dalêm, ingkang abdi, kawula, dan kula. Dari sisi lain, penyebutan untuk O 2 berubah menjadi nandalêm atau sampéyan dalêm jika O 2 ialah raja. Berikut contoh untuk krama inggil. Kawula kêparêng badhé matur dhatêng Nandalêm. Kalau boleh saya akan berbicara kepada Anda. Tingkat tutur krama ndhésa adalah tingkat tutur yang mengalami hiperkorek atas hal yang sebenarnya telah benar. Tingkat tutur ini digunakan oleh orang desa yang rendah pengetahuannya. Tuturan terdiri atas kata-kata krama dan krama ndésa. Perhatikan contoh berikut. Ndara anggèn kawula nanêm dhêkêman sampun panèn. Tuan tanaman kedelai saya sudah panen. Pada contoh itu kata dhêkêman ialah krama ndésa dari kata dhangsul kedelai. Tingkat tutur yang lain ialah basa kêdhaton. Basa kêdhaton adalah tingkat tutur yang digunakan oleh para kerabat raja dan abdi raja di hadapan raja ketika di lingkungan istana, yaitu istana Surakarta dan Yogyakarta. Tuturan terdiri atas kata-kata krama dan kata-kata basa kêdhaton tanpa krama inggil untuk O 2. Kata-kata basa kêdhaton itu antara lain mara - para aku-kamu untuk kerabat raja, manira pakênira aku-kamu untuk punggawa raja, kula - jêngandika aku-kamu untuk pênéwu dan mantri, robaya- pantên aku-kamu untuk pujangga, ênggèh (iya) iya, nêdha (ayo) mari, punapi (apa) apa, boya (ora) tidak, puniki (iki) ini, puniku (iku) itu, sêta (doyan) doyan, mau, têmbung (cêmêthi) cemeti, curiga (kêris) keris, kuda (jaran) kuda, sardula (macan) macan, dêrbé (duwé) punya, wèntên (ana) ada, dawak (duwé) punya, dan bêsaos (baé) saja. 116

117 Contoh pemakaiannya sebagai berikut. Kala wingi ing griya jêngandika wèntên tamu? Kemarin di rumahmu ada tamu? Contoh-contoh tersebut di atas adalah tingkat tutur dalam kehidupan masyarakat yang nyata. Disamping tingkat tutur dalam kehidupan nyata tingkat tutur bahasa Jawa juga digunakan dalam kesenian yang masyarakat tuturnya adalah masyarakat fiktif. Contoh berikut adalah tingkat tutur yang digunakan di dalam pertunjukan wayang kulit, yang dimulai dari tingkat tutur ngoko. Dèwi Gêndari : Kaya Bocah Kêparak têka ana ngarêpanaku. Seperti abdi utusan/ suruhan datang di hadapanku. Lurah Kêparak: Kawula nuwun inggih Gusti. Betul Gusti. Dewi Gêndari berbicara dengan tingkat tutur ngoko lugu, sedangkan lurah Kêparak mengunakan tingkat tutur krama inggil. Tingkat tutur antya basa dapat dilihat pada contoh berikut. Dèwi Gêndari : Lah kautus apa dening Yayi Prabu Mandaraka? Lalu diperintah apa oleh Dinda Prabu Mandaraka? Tingkat tutur ini di gunakan oleh Dèwi Gêndari ketika berbicara dengan puterannya yaitu Duryudana.Contoh berikutnya adalah tingkat tutur basa antya dalam tuturan Dèwi Gêndari dengan Duryudana. Dèwi Gêndari : Kêpriyé Kaki Prabu, wis dhawuh nata sanggar palanggatan, saiki dhawuh nata dhahar Bagaimana Nanda Prabu, sudahkah memerintah menata sanggar pamujan, sekarang perintahlah menata makan (hidangan). 117

118 Pada tuturan Dèwi Gêndari di atas digunakan kata-kata ngoko dan krama inggil : kautus sebagai penanda antya basa, sedangkan pada tuturan Dewi Gendari dengan Duryudana merupakan tuturan basa antya karena digunakan ngoko, krama: nata, dan krama inggil : dhawuh, dhahar.tingkat tutur madya dapat dilihat pada tuturan berikut. Dursasana : Man, kula nungsung warta Man, Paman nungsung warta, Man. Man, saya minta (menyongsong) kabar Man, Paman minta (menyongsong kabar, ) Sêngkuni : Dursasana, mbok aja njuju, brêbêg nyang kuping, kisruh nang panyawang. Dursasana janganlah bertubi-tubi, bising di telinga, kacau di penglihatan. Dursasana : Nggik Man sakniki, mang lajêngké. Iya Man sekarang, lanjutkanlah. Pada tuturan Dursasana yang pertama adalah tingkat tutur madya krama, sedangkan tuturan yang kedua adalah madyantara, hal ini terlihat pada pemakaian imbuhan ngoko. Tuturan Sêngkuni adalah tingkat tutur madya ngoko.tingkat tutur krama dapat dilihat dalam tuturan berikut. Krêsna : Katuran panakrama sarawuhipun Kaka Prabu wontên ing praja Dwarawati, Diucapkan selamat datang setibanya Kakanda Prabu di negara Dwarawati. Baladéwa : Inggih Yayi Prabu, katêdha kalingga murda, asung pambagé dhatêng raka para, kula tampi asta kêkalih, mimbuhana cahya nurcahya. Iya Dinda Prabu, saya terima dengan hurmat, memberi ucapan selamat datang kepada kakanda, saya terima dengan dua tangan, semoga menambah cahaya-cahaya (ketenaran). 118

119 Tuturan tersebut di atas adalah tingkat tutur krama inggil. Adapun penandanya terletak pada kata sebut penghormatan atau honorifik: yayi, dan raka para Contoh berikut adalah tingkat tutur madyantara oleh prampogan kepada Pragota. Prampogan : Kauningana ing sampéyan, punika wontên dadamêl raksasa saking nagari Jongbiraji, kula wangsulakên botên purun. Ketahuilah oleh mu, ini ada masalah oleh raksasa dari Jongbiraji, saya suruh kembali tidak mau. Tingkat tutur tersebut seluruhnya berupa kata-kata krama. Contoh tingkat tutur mudha krama dan wrêdha krama dapat dilihat pada contoh berikut. Baladéwa : Yayi Prabu kasinggihan sangêt ngêndikanipun Yayi Prabu ingkang sampun kapirêng dhatêng sêdaya para pinisepuh. Adinda prabu, betul sekali kata Adinda Prabu yang sudah didengar oleh semua para tetua. Dêstrarastra: Anak Prabu ragi condhong pemangihmu kêlawan pêmanggihé anak prabu Baladéwa,.. Ananda Prabu agak cocok pendapatku dengan pendapat Anak Prabu Baladéwa,.. Pada tuturan di atas Baladéwa mengunakan tingkat tutur mudha krama, sedangkan Destrarastra dengan wrêdha krama. Tingkat tutur lain yang digunakan di dalam wayang adalah tingkat tutur kêdhaton khas wayang, yang agak berbeda pemakaiannya dengan bahasa kêdhaton dalam masyarakat nyata. Dalam wayang rajalah yang mengunakan basa kêdhaton, sedangkan dalam kenyataan abdi dalêm dengan abdi dalêm yang menggunakan tingkat tutur kêdhaton atau bagongan. Berikut contoh tingkat tutur kêdhaton, Duryudana: Paman Harya, têbih manira cakêtakên pisowanira,.. Paman Harya, jauh saya dekatkan menghadapmu,.. 119

120 Penanda tingkat tutur di atas adalah manira.tingkat tutur lain yang tidak digunakan di dalam masyarakat nyata tetapi digunakan dalam wayang adalah tingkat tutur kadéwatan. Tingkat tutur ini digunakan sebagain alat komunikasi kelompok dewa dengan dewa, dan dewa dengan manusia. Berikut contohnya. Bathara Guru: Kakang Narada. Kakang Narada. Narada : Punapi Adhi Guru. Ada apa Adik Guru. Bathara Guru: Kita ulun pinta ndombani lampahé kaki Brama,.. Kamu saya minta mengikuti perjalanannya kaki Brama,.. Tingkat tutur kadéwatan menggunakan kata-kata khas seperti : ulun, kita dan sebagian kata-kata bagongan seperti : punapi. Tingkat tutur kasar juga digunakan di dalam wayang. Pemakainya biasanya para raksasa atau satria seberang. Perhatikan contoh-contoh berikut. Kala Bancuring: I kêparat, nggunggung mungsuh, kowé satriya. Hai keparat, menjumlah musuh, kamu satriya. Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa tingkat tutur bahasa Jawa memang rumit. Masing-masing jenis memiliki aturan pemakaian. Namun jika diamati secara teliti dari sekian banyak tingkat tutur dapat dirinci menjadi 3 tingkat tutur saja yaitu: ngoko, madya, dan krama yang lazim digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan tingkat tutur kedhaton dan bagongan digunakan dalam situasi khusus. Dari 3 tingkat tutur tersebut sebetulnya bisa saja diringkas lagi menjadi 2 saja yaitu: ngoko dan krama. Tingkat tutur inilah yang riil digunakan di dalam berkomunikasi. Apabila komunikasi terjadi pada kondisi biasa atau tanpa perlu penghormatan lazimnya digunakan tingkat tutur jenis ngoko, sedang untuk penghormatan digunakan tingkat tutur krama. Tingkat tutur ngoko bisa juga digunakan untuk menghormat mitra 120

121 tutur namun dalam kapasitas sedikit atau tidak sangat menghormat. Untuk mengenali kedua tipe tersebut berikut akan diuraikan ciri masing-masing. Tingkat tutur ngoko memiliki ciri seluruh rangkaian kalimat menggunakan kosa kata ngoko untuk tipe yang biasa atau tanpa penghormatan, jenis ini disebut ngoko lugu. Apabila digunakan untuk sedikit menghormat memiliki ciri rangkaian kalimat tidak seluruhnya ngoko tetapi dicampur dengan kosa kata krama/ krama inggil, pada bagian kata ganti dan kata kerja yang menunjuk orang yang dihormat. Perhatikan contoh berikut ini. (1) Partinah : Kowe wis maca buku iki Dar? Kamu sudah membaca buku ini Dar? Darmi : Durung, aku durung duwe. Belum, aku belum punya. (2) Partinah : Panjenengan wis maos buku iki Mbak? Kamu sudah membaca buku ini Kak? Mbak.. : Durung Dhik (adhi) aku durung duwe. Belum Dik (adik) saya belum punya. Kalimat (1) merupakan tuturan ngoko lugu. Partinah dan Darmi memiliki kedudukan yang sama dan akrab, sehingga Partinah atau Darmi tidak perlu saling menghormat.tuturan pada kalimat (2) Partinah menggunakan ngoko alus. Penandanya terletak pada pemakaian kata ganti panjenengan kamu, dan maos membaca yang keduanya menggunakan tingkat tutur krama. Digunakan tuturan seperti ini oleh Partinah karena Partinah harus sedikit menghormati Darmi yang lebih tua atau karena hubungan yang kurang akrab. Hal ini terlihat pada kata panggilan Mbak Kak sebutan kekerabatan Jawa yang dikarenakan usia mitra tutur lebih tua atau urutan kerabat lebih tua, atau mungkin hubungan keduanya kurang akrab. Uraian ini memberi gambaran bahwa Hubungan yang kurang akrab dan perbedaan usia menyebabkan orang menggunakan tuturan jenis hormat yaitu ngoko alus. Berikut ini perhatikan tuturan tipe penghormatan. Seluruh tuturan menggunakan kosa kata krama dan dicampur kata ganti dan kata kerja krama inggil. (3) Partini : Ibu kula aturi dhahar, kula sampun nedha! Ibu silakan makan, saya sudah makan. 121

122 Pada tuturan (3), Partini sangat menghormat mitra tutur yaitu Ibu. Sebutan Ibu dalam kekerabatan Jawa merupakan sebutan honorifik atau penghormatan, sehingga harus dihormati apalagi jika hubungannya tidak intim. Penanda penghormatan terletak pada kata aturi dhahar silakan makan yang dikontraskan dengan kata sampun nedha sudah makan untuk penutur (Partini), yang menggunakan krama lugu yaitu nedha. Pemakaian kata ini sebagai wujud penghormatan dengan cara merendahkan kedudukan penutur dari mitra tutur. Dari contoh di atas dapat dipetik pelajaran bahwa wujud penghormatan pada tuturan Jawa baik pada tingkat tutur ngoko ataupun krama memiliki pola dengan cara mencampurkan kata ganti dan kata kerja jenis krama inggil pada tuturan yang digunakan. Jikalau demikian sebetulnya tidak ada kesulitan pada pembelajar bahasa Jawa untuk menggunakan tingkat tutur yang tepat pada saat berkomunikasi. Kuncinya hanya menghafal sejumlah kurang lebih 150-an kosa kata krama inggil untuk disisipkan pada tuturan yang digunakan sebagai sarana menghormat. Apabila tidak menghormat cukup menggunakan kata-kata ngoko lugu jika berkomunikasi dengan tingkat tutur ngoko, dan krama lugu jika berkomunikasi dalam tingkat tutur krama. Satu lagi kunci penting jangan pernah menggunakan kosa kata krama inggil untuk diri sendiri. Seluruh contoh pada uraian tersebut di atas adalah jenis tuturan dialog. Penerapan unggah-ungguh basa dalam wacana lisan tidak hanya digunakan dalam bentuk dialog saja, tetapi digunakan pula dalam narasi, deskripsi, argumentasi dan lain sebagainya. Disamping digunakan di dalam wacana lisan unggah-ungguh basa juga digunakan dalam wacana tulis dalam jenis yang sama. Berikut ini akan disampaikan beberapa tipe wacana lisan dan tulis yang menggunakan bahasa Jawa dengan unggah-ungguh yang sesuai dengan konteks tuturnya. 3. Unggah-ungguh Basa dalam Wacana Lisan dan Tulis a. Wacana Lisan Dialog Contoh berikut adalah dialog Wiwaha dengan keluarga R. Hargaprawira, dalam tingkat tutur krama alus/ hormat, madya krama dan ngoko... Wiwaha: Inggih Bapak namung sasami-sami, kula rumaos kawula ingkang namung sadermi nglampahi, salajengipun kula sumanggakaken dhateng Pangeran. 122

123 R. Harga: O, inggih nak, menika kasinggihan sanget, samenika kepareng boten kepareng panjenengan kula aturi pinarak dhateng pondhok kula. Sepisan kula kepengin ngkajengaken sedherekan kalian anak, kapingkalih panjenengan ngiras pantes lerem sawetawis, ngentosi dadosing sepedha motor ingkang bade dipun dandosi rumiyin. Wiwaha: O, inggih Bapak sakelangkung nuwun. Menawi saestu boten wonten pakewedipun, kula inggih sagah keparenga nedahaken griyaning montir rumiyin ingkang saged ndadosi sepedha kula. R. Harga: E, sampun ta, boten sisah panjenengan purugaken piyambak mangke kanjengipun dipunbekta rencang kula kemawan. Kang sopir sepedha motor niki mangke mang terke ten griyane Amat montir. Mang criyos yen seking kula ngresaya ken disikake panggarape. Sesuk esuk sageta empun dadi. Sopir : Sendika. R. Harga: Ayo Ndhuk. Mangga nak nitih oto kula kemawan. Wiwaha : Kepareng kula sopiri kemawon Bapak. Panjenengan lenggah wingking mawon.... (Dikutip dari novel Jodho Kang Pinasthi, halaman 13) b. Wacana Lisan Deskripsi Wacana ini menggunakan tingkat tutur ngoko. Mungguh ing kutha Purwareja, anake wadon Raden Hargaprawira, opseter alas ing kutha iku, dadi kekidunganing para mudha. Pancen ora nggumunake amarga R. Rara Hartati tuhu sulistya ing warna. Yen cinandra citrane Sang Rara, meh bisa ngepleki kaya critane kiyai dalang kang mengkene: Sang Rara adedeg pideksa, pawakan pindha winangun, ora bentrok ora wiwing, weweg gilik awutuh. Pakulitane kuning tanggung aresik, memanise mandhes mulek muket ati. Rambut dawa semu ngembang bakung. Godheg nguduk turi, athi-athi nyakentik. Alis jalirit ireng menges pindha cecorekan. Mripat blalak-blalak agilar-gilar lir sesotya. Irung ngrungih, lambe anggula satemlik, mblenger menis-menis gawe gemese kang pada nyawang. Bawane kenya lagi umur 20 taun mlaku, yen kembanga nedeng megar ambabar gonda amrik minging angambar, maweh brangta kang samiya andulu dasar anom ayu merak ati malatkung, 123

124 kathik kursusan saka SMP pisan bisa matrabake lan mematut busana kang katrab ing awake. Suwara gandhan atanduk, solahe trepsila araga-raga karana. Mula pantes wae sang pinda Srikandi ing hargo prawiran dadi ojating para mudha ing kutha Purwareja, dadi kembang lambe ing pasrawungan... (Dikutip dari novel Jodho Kang Pinasthi,halaman 7) c. Wacana Lisan Narasi Wacana ini menggunakan tingkat tutur ngoko... Wis wetara patang sasi Raden Hargaprawira manggon ing kutha Kendal. Omahe dumunung ing sawetan kabupaten let limang surup. Dining alihe mau mung let rong sasi karo lelakon anggone nemu pamitran anyar nom-noman kang meh numbuk anake wadon mbiye. Sanalika Raden Harga uga kirim kabar bab malihe marang R.M.Wiwaha. Nanging nganti suwe durung ana kabar meneh saka anake temon iku. Ing sawijining dina Rara Hartati lungguh ana sangarapeng jendela kang menga sumeblak. Kerep wae salahsawijining kulawarga Hargaprawiran lungguh ana ing kana, amarga yen saka kana mau pada bisa nyawang sesawangan kang endah ngalangut, gawe sengseming pandulu. Nanging nalika samana Rara Hartati ora ngasaake marang endahing sesawangan, senajan uga nyekel buku wacan kandel, nanging ora diwaca. Sajake Sang Rara nuju kena ing sambang palamunan. Apa baya kang dadi rasaning atine? Sejati kang digagas-gagas Rara Hartati,dene aneh temen awake meh waras laraning ati anggone diserikkake deneng tilas pacangane. Malah nalika maca pakabaran anggone Raden Hardana pepacangan kara Rara Srikandani, putrane ingkang wedana ing boja, Rara Hartati ora duwe rasa serik utawa ngrantes ngapa teka atine bisa ngeklasake kang semana. Apa saka pituture rama lan ibune. Apa jalaran saka keslamur anggone nindaake pagawean baleomah kang luwih abot. Bisa uga kang jalaran saka iku. Dene sabenere kang dadi tambaning reh atine iku, saka daya kang dumunung ana sajroning kertu pos kawuk, kang saiki dumunung ana ing sajroning laci meja tulise ramane. Kertu pos mau asli saka Sala, ditulis deneng sawijining jejaka kang meh ngurbanake jiwane kanggo mitulungi Sang Rara. (Dikutip dari novel Jodho Kang Pinasthi, halaman 44) 124

125 d. Wacana Lisan Pidato Wacana ini menggunakan tingkat tutur krama. Sesorah Pasrah Calon Pengantin Kakung. Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatu. Puji syukur konjuk wonten ngarsanipun Allah SWT, ingkang sampun paring rahmat arupi kesehatan dalasan kalodhangan wekdal, saengga kula, Kangmas Sukarjiya sakkulawarga dalasan panjenengan sami saged sowan wonten dalem ngriki lir ing rubeda. Mboten kesupen sholawat dalasan salam katur wonten ngarsanipun Nabi Agung Muhammad SAW, kulawarga dalasan para sahabat, lumebering para umatipun dumugi ing samangke. Para sepuh, adi sepuh, para pangembating praja ingkang tuhu pantes tinulad, Bapakbapak, Ibu-ibu dalasan para tamu ingkang kula hurmati, keparenga kula matur wonten ngarsa panjenengan sekaliyan, awit minangkani dhawuhipun Kangmas Sukarjiya sarimbit, kula kapurih matur wonten ngarsanipun Bapak Asngadi sakulawarga, kepareng anglajengaken atur ingkang sesambetan kaliyan pikajengan nyaketaken pasedherekan sarana handhaupaken anak kula pun Nugraha Kuncara Yekti kaliyan putra putri panjenengan ingkang sesilih Nimas Ayu Catur Asmarayani. Awit saking menika, Kangmas Sukarjiyo sakkulawarga ngaturaken sungkem dhumateng para sepuh, salam taklim dhumateng Bapak Asngadi sakkulawarga, saha pakurmatan dhumateng sagung para lenggah. Atur saklajengipun keparenga Kangmas Sukarjiyo sarimbit lumantar kula, ing titiwekdal menika hamrasrahaken putra kakungipun ingkang peparab pun Nugraha Kuncarayekti dhateng Bapak Asngadi Sakkulawarga, kanthi panyuwun mugi Bapak Asngadi kersa nampi dalasan handhaupaken utawi hangijabaken anak kula Nugraha Kuncarayekti kaliyan ingkang putra putri pun Nimas Ayu Catur Asmarayani, jangkep satata lampahipun. Dene atur saklajengipun Kangmas Sukarjiyo namung saged matur sumangga kersa ing saklajengipun menggah titilaksitaning pahargyan. Para tamu ingkang tuhu kinurmatan, mekaten menggahing pikajengan ingkang sampun kawedhar, ing saklajengipun Kangmas Sukarjiyo kepareng ndherekaken putra kakungipun ing samangke, mugi karengkuha kadi putra pribadi wonten kulawarga ngriki, mbokmenawi ing samangke wonten duna dungkaping lampah dalasan kiranging pangertosan mugia panjenengan kersa hamrenahaken tanpa ringa-ringa ing penggalih. 125

126 Hamungkasi atur mboten ngaping kalihi, samangke ing purnaning gati Kangmas Sukarjiyo sakkulawarga nyuwun agunging samodra pangaksami mbokbilih anggen kita sowan wonten solah bawa una-uni ingkang kirang mranani dhumateng penggalih panjenengan sami, mliginipun kulawarga ageng Bapak Asngadi. Ing wusana, kula sakgotrah samangke nyuwun pamit madal pahargyan wangsul dhateng Ngayogyakarta, kanthi panyuwun donga pangestu panjengan mugi lampah kula sedaya kalis sing sambekala. Para tamu ingkang minulya, mekaten ingkang dados atur kula pinangka talang basa, dene pinangka atur kula pribadi, keparenga kula nyuwun lumunturing sih samodra pangaksami saking para tamu, dalasan kulawarga ageng Bapak Asngadi, mbokbilih anggen kula matur kirang trawaca dalasan kirang subasita. Wusasaning atur wabilahi taufik wal hidayah wassalammu alaikum warahmatullahi wabarakatu. e. Wacana Tulis Dialog, Deskripsi, Narasi, dan Pidato Contoh-contoh di atas bisajuga disebut sebagai wacana tulis dialog, deskripsi, narasi, dan pidato. Wacana di atas dapat dikatakan sebagai wacana lisan jika disampaikan dalam tuturan lisan, tetapi jika dipandang dari penuturan gagasan dalam bentuk tulisan bisa dikatakan sebagai wacana tulis.wacana di atas bisa digunakan sebagai contoh dua jenis wacana tersebut sekaligus. 4. Teknik Berlatih Menggunakan Unggah-Ungguh Basa dalam Media Wayang Purwa Belajar berkomunikasi dengan tingkat tutur yang benar harus dilatih secara intensif. Salah satu media untuk mempelajarinya adalah media wayang purwa. Dipilih wayang purwa karena tokoh-tokoh wayang purwa menggunakan tingkat tutur secara konsisten. Tokoh yang berstatus lebih rendah akan selalu bertutur dengan krama alus (inggil) terhadap mitra tutur yang lebih tinggi. Tokoh yang sederajad pada kelompok bangsawan akan selalu menggunakan tingkat tutur ngoko alus, sedangkan tingkat tutur ngoko digunakan oleh tokoh yang berstrata tinggi kepada tokoh yang lebih rendah, atau yang sederajad pada kelompok tokoh kalangan kecil, seperti prajurit dan punakawan. Pola yang demikian akan memudahkan siswa dalam mengenali tipe tuturan dari tokoh-tokoh yang dimainkan atas dasar kedudukan para tokoh. Disamping itu siswa akan mendapat tambahan wawasan tentang warisan budaya yang berupa wayang purwa, yang disinyalir banyak orang telah mulai menjauh dari kehidupan generasi muda Jawa. Pada hal wayang purwa mengandung nilai-nilai luhur yang tak ternilai pentingnya. 126

127 Berkomunikasi dengan tingkat tutur yang tepat akan membuat perasaan nyaman, sebaliknya jika terjadi kesalahan pemilihan tingkat tutur yang seharusnya, akan menimbulkan masalah bagi para penuturnya. Untuk itu perhatikan komponen tutur yang bisa memperlancar proses komunikasi, seperti: siapa kita, dimana, kapan, sedang apa, apa yang dibicarakan. Untuk jelasnya perhatikan contoh tuturan dalam media wayang purwa berikut ini. (4) Bagong : Ndara Jayawikatha wilujêng? Jayawikatha : Iyoh pamujimu Nala Garèng. (Nurhayati, 2005:346) Bagong Jayawikatha : Tuan Jayawikatha baik-baik saja/ tanpa aral? : Iya atas doamu Nala Garèng. Tuturan Bagong pada kalimat (4) bertingkat tutur krama. Bagong adalah punakawan atau abdi, maka menurut kaidah Bagong harus menggunakan tuturan krama alus seperti tuturan di atas. Sebaliknya Jayawikatha adalah tuan maka dia boleh menggunakan tuturan dalam tingkat tutur ngoko lugu. 127

128 Tuturan serupa terjadi pada kalimat (5) berikut ini. (5) Salyantaka : Rèhné kowé kuwi patih, luwih akèh kawruhmu,luwih jêmbar olatanmu, aku taktakon karokowe Patih Sêngkuni. Kira-kira kiwa têngên kêpatihan Plasa jênar apa déné kiwa têngêné kutha nêgara Ngastina kéné apa ya ana anak mantu sing wani karo maratuwa? (Nurhayati, 2005:367) Salyantaka : Karena kamu itu patih, lebih banyak pengetahuanmu, lebih luas wawasanmu, aku bertanya kepadamu Patih Sêngkuni. Kira-kira kanan kiri kepatihan Plasajênar atau kanan kiri kota negara Hastina sini apa ya ada anak menantu yang berani dengan mertua? Tuturan (5) yaitu tuturan Salyantaka dengan Sengkuni yang menggunakan tingkat tutur ngoko lugu. Salyantaka menggunakan tingkat tutur ngoko lugu karena dia seorang raja, sedangkan Sengkuni hanya seorang patih, sehingga Salyantaka memiliki kebebasan bertutur, maka dia boleh memakai tingkat tutur ngoko lugu sebaliknya Sengkuni harus bertutur dalam krama alus/ inggil. Dalam kesantunan bertutur posisi wayang juga bisa digunakan sebagai penanda perilaku. Pada tuturan (4) gambar Bagong tidak boleh ditancapkan pada pohon pisang posisi atas. Hal ini sebagai penanda strata rendah. 128

129 Perhatikan pula pada tuturan (5) Sengkuni tidak boleh ditancapkan pada pohon pisang bagian atas. Sikap Bagong dan Sengkuni juga tidak bebas, tangan Bagong dalam posisi wajar menghormat, sedangkan tangan Sengkuni ngapurancang sebagai tanda hormat. Inilah sikap yang benar atau santun menurut etiket Jawa. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa setiap tuturan akan selalu dibarengi tingkah laku atau sikap yang mendukung nilai tuturannya. Tuturan berikut (6) adalah tuturan Karna, yang menggunakan tingkat tutur krama hurmat/ alus/inggil. Pemakaian tingkat tutur ini disebabkan karena Karna seorang menantu, yang sedang berkomunikasi dengan mertua yang berkedudukan raja. Adapun Salyantaka menggunakan ngoko lugu. (6) Karna : Rama Prabu kêparênga sumêné sawêtawis ingkang putra wangsul dhatêng Ngawangga. Salyantaka : Nanging aja suwé-suwé aku sêlak kêpéngin dadi kusir. (Nurhayati,2005:369) Karna : Rama/ Ayahanda Prabu semoga berkenan istirahat sebentar ananda akan pulang ke Awangga. Salyantaka : Tetapi jangan lama-lama aku terburu ingin menjadi sais. Berikutnya tuturan (7) Dursasana bertutur dalam tingkat tutur ngoko lugu terhadap Togok, karena Togok hanya seorang abdi. Tuturan yang sama digunakan Togok terhadap Mbilung. Hal ini dilakukan karena antara Togok dan Mbilung memiliki kedudukan yang sama yaitu abdi. Posisi Togok dan Mbilung berada di bawah letak Dursasana. Posisi badan kedua abdi inipun tertunduk, tidak boleh tegak seperti Dursasana dan Banowati para majikan. Posisi yang sama terjadi pada Limbuk dan cangik yang juga abdi. Perhatikan tuturan dan gambar berikut ini. (7) Dursasana : Aja kowé mèlu-mèlu sumingkir Gok! Togok : Yung yuuung piyé Lung? Bilung : Mbok ya uwis, dinêngké waé wong wis dadi kersané. (Nurhayati, 2005:370) 129

130 Dursasana : Jangan kamu ikut campur menyingkir Gok! Togok Bilung : Aduh aduuuh bagaimana Lung? : Biar saja, didiamkan saja orang sudah dikehendaki.. Tuturan berikut ini yaitu tuturan (8) yaitu tuturan Janaka terhadap Kresna kakak ipar dan sepupunya, yang berkedudukan sebagai raja. Janaka menggunakan tingkat tutur krama lugu bukan krama inggil karena dia membicarakan dirinya terhadap kakaknya Karna. Posisi Janaka sebagai bangsawan muda berposisi di pohon pisang bawah sebagai penanda posisi dan sikap hurmat.perhatikan tuturan dan gambar berikut ini. (8) Janaka : Mbotên mêntala raosing manah kula ingatas Kaka Adipati Ngawangga mênika taksih pêpundhèn kula piyambak. (Nurhayati,2005:374) Janaka : Tidak tega rasa hatiku karena Kakak Adipati Ngawangga itu masih saudara tuaku/leluhurku 130

131 Uraian di atas menjelaskan bahwa strata masyarakat memegang peran dalam memilih unggah-ungguh dan undha-usuk basa sebagai penanda kesopanan dalam berkomunikasi. Pemakaian contoh tuturan dan gambar di atas akan lebih komunikatif jika diolah dalam gerak, sehingga dapat diketahui dengan jelas siapa yang bertutur. Andaikan tidak dengan gambar, bisa digunakan media wayang secara langsung oleh guru dan siswa, atau tayangan audio visual pertunjukan wayang purwa. Dengan cara ini siswa mampu praktik berkomunikasi dengan nyaman dari pada dengan tuturan riil (langsung) yang kadang membuat siswa malas praktik karena malu. D. Latihan dan Tugas 1. Buatlah dialog berbahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko lugu dan simulasikan di depan kelas! 2. Buatlah dialog berbahasa Jawa dalam tingkat tutur ngoko alus dan simulasikan di depan kelas! 3. Buatlah dialog berbahasa Jawa dalam tingkat tutur krama lugu dan simulasikan di depan kelas! 4. Buatlah dialog berbahasa Jawa dalam tingkat tutur krama alus dan simulasikan di depan kelas! 5. Buatlah dialog berbahasa Jawa dalam tingkat tutur campuran dan simulasikan di depan kelas! 6. Bauatlah naskah pidato dan coba dipidatokan di depan kelas! 7. Bauatlah wacana tulis jenis narasi dalam tingkat tutur krama! 8. Bauatlah wacana tulis jenis deskripsi dalam tingkat tutur ngoko! 131

132 E. Rangkuman Bertutur dalam bahasa Jawa ditentukan oleh dua aspek yang sangat penting disamping aspek kegramatikalan. Dua aspek tersebut adalah : 1. tingkat tutur yang meliputi tingkat tutur: ngoko (lugu dan alus) dan krama (lugu dan alus) yang biasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari. 2. perilaku berbahasa meliputi beberapa hal yang mesti diperhatikan agar komunikasi lancar, hal tersebut adalah tingkah sing patut gerak-gerik yang pantas, satiti ngati-ati teliti berhati-hati, tan kena kanthi sembrana jangan dengan tidak serius, awya gawe serik jangan membuat sakit hati, den sabar awya brangasan bersabarlah jangan kasar, ngajenana mring sesami menghormati sesama manusia, dan micara sarwa manis berbicara serba manis. 3. tingkat tutur disamping dua yang biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari sebetulnya memiliki variasi yang sangat kompleks, variasi tersebut adalah ngoko lugu, ngoko andhap, madya, krama, basa kasar, dan basa kêdhaton, tingkat tutur ngoko andhap dirinci lagi menjadi antyabasa dan basa antya, tingkat tutur madya dirinci menjadi madya ngoko, madyantara, madya krama, krama ndésa, krama inggil, tingkat tutur krama dirinci menjadi wrêdhakrama, mudhakrama, kramantara, tingkat tutur ini sangat jarang digunakan dalam kehidupan sehari-hari kecuali bentuk ngoko dan krama, tingkat tutur yang lain hanya digunakan dalam retorika, penulisan karya fiksi dan seni. 132

133 E. Daftar Pustaka Karti Basa. Djakarta: Kementerian Pengadjaran Pendidikan dan Kebudayaan. Hadiwidjana. R.D.S Tata Sastra. Djogja: U.P. Indonesia. Hadidjojo,Sri,R.M Djodo Kang Pinasti. Jakarta: Balai Pustaka. Holmes, Janet An Introduction to Sociolinguistics. London and New York: Longman. Kiliaan, H.N Javaansche Spraakkunst. s-gravenhage: martinusnijhoff. Nurhayati, Endang Kode Tutur Dalam Wayang Kulit. (Disertasi). Padmosoekotjo, S Ngengrengan Kasusastran Djawa I. Jogjakarta: Hien Hoo Sing Poedjosoedarmo, Soepomo,dkk.1966.Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud. Poerwadarminto Sarining Parama Sastra.Djakarta: Noordhohoff-Kolff. Prijohoetomo, M Javaansche Spraakkunst. Leiden: E.J.Brill. Sudaryanto, Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana. Tanojo, R. tt. Balsafah Gatolotjo. Solo: S. Mulija. 133

134 134

135 MODUL PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU MODEL-MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF BAHASA, SASTRA DAN BUDAYA JAWA Oleh SITI MULYANI RAYON 111 UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN

136 136

137 MODEL MODEL PEMBELAJARAN INOVATIF BAHASA, SASTRA DAN BUDAYA JAWA A. Kompetensi yang diharapkan 1. Peserta mampu mendiskripsikan paradigma pembelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa yang berkembang saat ini 2. Peserta mampu mendiskripsikan karakteristik model-model pembelajaran 3. Peserta dapat mengkaji keterpakaian dari setiap model pembelajaran 4. Peserta dapat mendiskripsikan model pembelajaran yang efektif 5. Peserta dapat merancang beberapa model pembelajaran yang inovatif un tuk mata pelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa 6. Peserta dapat menerapkan model pembelajaran bahasa,sastra, dan budaya Jawa dengan kompetensi tertentu B. Indikator 1. Peserta dapat mendiskripsikan paradigma pembelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa yang berkembang saat ini 2. Peserta dapat mendiskripsikan karakteristik model-model pembelajaran 3. Peserta dapat mengkaji keterpakaian dari setiap model pembelajaran 4. Peserta dapat mendiskripsikan model pembelajaran yang efektif 5. Peserta dapat merancang beberapa model pembelajaran yang inovatif un tuk mata pelajaran bahasa, sastra, dan budaya Jawa 6. Peserta dapat menerapkan model pembelajaran bahasa,sastra, dan budaya Jawa dengan kompetensi tertentu C. Materi 1. Pendahuluan Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI Nomor 22, dan 23 tahun 2006 kurikulum yang berlaku di pendidikan formal saat ini adalah kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang merupakan penyempurnaan kurikulum KBK. Amanat yang terkandung dalam kurikulum tersebut adalah peserta didik akan mendapatkan bekal berbagai kompetensi sesuai dengan perubahan dan perkembangan serta aspirasi terhadap gejala-gejala yang muncul di masyarakat. Terkait dengan hal itu maka ditetapkanlah bahasa,sastra dan budaya Jawa sebagai muatan local wajib di jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA. 137

138 Penentuan kebijakan tersebut didasari oleh fungsi bahasa Jawa. Sebagaimana diketahui bahwa fungsi utama bahasa Jawa adalah sebagai sarana komunikasi dalam masyarakat Jawa, maka pembelajaran bahasa, sastra dan budaya Jawa bertujuan agar siswa terampil berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Keterampilan berkomunikasi ini diperkaya oleh fungsi utama bahasa, sastra, dan budaya Jawa berupa penanaman budi pekerti, peningkatan rasa kemanusiaan, dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi sastra dan budaya Jawa, serta sebagai sarana pengungkapan gagasan, imajinasi, dan ekspresi kreatif, baik secara lisan maupun tertulis. Keterampilan berkomunikasi dalam bahasa Jawa didukung oleh kemampuan memahami dan menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan unggah-ungguh basa. Pebelajaran unggah-ungguh basa harus mendapat perhatia utama (Kurikulum Muatan Lokal Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matra pelajaran Bahasa, Sasatyra, dan Budaya Jawa Sekolah Menengah Atas, 2006) Lebih lanjut, seperti yang diputuskan dalam Kongres Bahasa Jawa IV di Jawa Tengah antara lain bahwa bahasa Jawa wajib diajarkan di sekolah-sekolah mulai SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA di tiga provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Provinsi Jawa Timur, Pembelajaran bahasa tersebut harus bersifat kontekstual, memanfaatkan teknologi informasi, mengembangkan metode pembelajaran yang inovatif dan kreatif dengan memperhatikan varian lokal sebagai pijakan pembelajaran bahasa Jawa baku. 2. Model Pembelajaran Pada Umumnya Secara khusus istilah model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Dalam pengertian lain, model juga diartikan sebagai barang atau benda tiruan dari benda sesungguhnya, seperti globe adalah model dari bumi tempat kita hidup. Istilah model yang dipergunakan dalam paparan ini merujuk pada pengertian yang pertama yaitu sebagai kerangka konseptual. Dengan demikian yang dimaksud dengan model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merancang dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar. Dengan demikian akivitas belajar mengajar benar-benar merupakan kegiatan bertujuan yang tertata secara sistematis (Saripuddin, 1994) 138

139 Bruce Joyce dan Marsha Weil (dalam Saripuddin, 1994) menyajikan berbagai model belajar mengajar yang telah dikembangkan dan ditest keberlakuannya oleh para pakar kependidikan. Dalam berbagai model belajar mengajar tersebut menyangkut kegiatan guru mengajar, akan tetapi lebih menitikberatkan pada aktivitas belajar murid. Lebih lanjut dijelaskan bahwa hakikat mengajar atau teaching adalah membantu para pelajar memperoleh informasi, ide, keterampilan, nilai, cara berfikir, sarana untuk mengekspresikan dirinya, dan cara-cara belajar bagaimana belajar. Dalam kenyataan sesungguhnya, hasil akhir atau hasil jangka panjang dari proses belajar mengajar ialah kemampuan siswa yang tinggi untuk dapat belajar lebih mudah dan efektif di masa yang akan datang. Karena itu, proses belajar mengajar tidak hanya memiliki makna deskriptif dan kekinian, akan tetapi juga bermakna prospektif dan berorientasi masa depan. Labih lanjut dipaparkan berbagai model belajar mengajar yang secara khusus telah dikembangkan dan dites oleh pakar kependidikan di bidang itu dikelompokkan ke dalam empat kategori, yakni : a. Kelompok model Pengolahan Informasi atau The Information Processing Family b. Kelompok model Personal atau The Personal Family c. Kelompok Model Sosial atau The Social Family d. Kelompok Model Sistem Prilaku atau The Behavioral System Family e. Kelompok Model Pengolahan Informasi/ The Information Processing Family Model-model Belajar Mengajar Pengolahan Informasi pada dasarnya menitik beratkan pada cara-cara memperkuat dorongan-dorongan internal (daaing dari dalam diri) manusia untuk memahami dunia dengan cara menggali dan mengorganisasikan data, merasakan adanya masalah dan mengupayakan jalan pemecahannya, serta mengembangkan bahasa untuk mengungkapkannya. Beberapa model sebagian lagi menitik beratkan pada pembentukan konsep dan pengetesan hipotesis, dan sebagian lainnya memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif. Beberapa model sengaja dirancang untuk memperkuat kemampuan intelektual umum. Secara umum banyak dari model pengolahan informasi ini yang dapat diterapkan kepada sasaran belajar dari berbagai usia. Yang termasuk kelompok ini adalah: 1) Model Pencapaian Konsep (Concept Attainment) 2) Model Berfikir Induktif (Inductive Thinking) 3) Model Latihan Penelitian (Inquiry Training) 4) Model Pemandu Awal (Advance Organizers) 139

140 5) Model Memorisasi (Memorization) 6) Model Pengembangan Intelek (Developing Intellect), dan 7) Model Penelitian Ilmiah (Scientific Inquiry) a. Kelompok Model Personal atau Personal Model Model Personal beranjak dari pandangan kedirian atau selfhood dari individu. Proses pendidikan sengaja diusahakan untuk memungkinkan dapat memahami diri sendiri dengan baik, memikul tanggung jawab untuk pendidikan, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Disadari bahwa kenyataan hidup manusia pada akhirnya terletak pada kesadaran individu. Manusia mengembangkan kepribadian yang unik, dan melihat dunia dari sudut pandangannya yang juga unik yang merupakan hasil dari pengalaman dan kedudukannya. Pengertian umum merupakan hasil kesepakatan individu-individu yang harus hidup, bekerja, dan membentuk keluarga secara bersama-sama. Kelompok model Personal memusatkan perhatian pada pandangan perseorangan dan berusaha menggalakkan kemandirian yang produktif, sehingga manusia menjadi semakin sadar diri dan bertanggung jawab atas tujuannya. modelmodel belajar mengajar yang termasuk kelompok ini adalah: 1) Model Pengajaran Tanpa Arahan (Non Directive Teaching) 2) Model Sinektiks (Synectics Model) 3) Latihan Kesadaran (Awareness Training), dan 4) Model Pertemuan Kelas (Classroom Meeting). b. kelompok Model Sosial atau Social Models Kelompok Model Sosial ini dirancang untuk memanfaatkan fenomena kerjasama. Kerjasama merupakan salah satu fenomena kehidupan masyarakat. Dengan kerjasama manusia dapat membangkitkan dan menghimpun tenaga secara bersama yang disebut sinergi. Sinergi dapat memberikan keuntungan, dan oleh karena itu pula model-model sosial merupakan bagian penting dari proses belajar mengajar secara keseluruhan. Kelompok model ini meliputi: 1) Model Investigasi Kelompok (Group Investigation) 2) Model Bermain Peran (Role Playing) 3) Model Penelitian Yurisprudensial (Jurisprudential Inquiry) 4) Model Latihan Laboratoris (Laboratory Training) 140

141 5) Model Penelitian Ilmu Sosial (Social Science Inquiry) c. Kelompok Model Sistem Perilaku atau Behavioral System Dasar teoritik dari kelompok model ini ialah teori-teori belajar sosial atau social learning theories. Model ini dikenal pula sebagai model Modifikasi Perilaku atau Behavioral Modification. Dasar dari pemikiran kelompok model ini adalah sistem komunikasi yang mengoreksi sendiri atau self-corecting communication systems yang memodifakasi perilaku dalam hubungannya dengan bagaimana tugas-tugas dijalankan dengan sebaik-baiknya. Model ini memusatkan perhatian pada perilaku yang terobservasi atau overt behavior, serta metode dan tugas yang diberikan dalam rangka mengkomunikasikan keberhasilan. Yang termasuk ke dalam kelompok ini yaitu; 1) Model Belajar tuntas atau Mastery Learning 2) Model Pembelajaran langsung atau Direct Instruction 3) Model Belajar kontrol diri atau Learning Self Control 4) Model Latihan Pengembangan Keterampilan dan Konsep atau Training for Skill and Concept Development, dan 5) Model Latihan Asertif atau Asertive Training. Dijelaskan pula bahwa masing-masing model pembelajaran tersebut memiliki beberapa unsur, yaitu; 1) sintakmatik, 2) sistem sosial 3) Prinsip reaksi 4) sistem pendukung 5) dampak instruksional dan pengiring Sintakmatik merupakan tahapan-tahapan yang dilalui oleh model tersebut, sedang sistem sosial merupakan situasi atau suasana serta norma yang berlaku bagi model pembelajaran tertentu. Prinsip reaksi yang dimaksudkan adalah pola kegiatan yang seharusnya dilakukan oleh pengajar, yang dalam hal ini bagaimana guru melihat dan memperlakukan pelajar termasuk bagaimana pemberian respon untuk model itu. Sedang sistem pendukung adalah sarana, bahan, dan alat yang diperlukan oleh model pembelajaran itu. Dampak instruksional merupakan hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para pelajar pada kompetensi yang telah ditentukan, sementara itu dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang muncul sebagai 141

142 akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung tanpapengarahan dari pengajar. Selanjutnya masing-masing modelpun mempunyai karakteristik khusus, maksudnya masinmg-masing model pembelajaran secara khusus dipergunakan untuk mencapai kompetensi tertentu. Hal itu nampak pada tabel berikut. NO JENIS MODEL ORIENTASI POKO - Proses kognitif - Pemahaman dunia 1. Model Pengolahan Informasi - Pemecahan masalah - Berfikir induktif - Kesadaran individu - Uniquenes 2. Model Personal - Kemandirian - Pembinaan kepribadian - Semangat kelompok/ sinergi - Kebersamaan 3. Model Sosial - Interaksi sosial - Individu sebagai aktor sosial - Social learning - Koreksi diri 4. Model Sistem Perilaku - Terapi9 perilaku - Respon terhadap tugas 3. Pemilihan Model Belajar yang Efektif untuk Mata Pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Model Belajar Mengajar atau Model of Teaching menurut Joyce dan Weil (dalam Saripuddin, 1994) digunakan untuk menunjukkan sosok utuh konseptual dari aktivitas belajar mengajar yang secara keilmuan dapat diterima dan secara operasional dapat dilakukan. Karena itu dalam model selalu terdapat tujuan dan ansumsi, sintakmanik, sistem sosial, sistem pendukung, dan dampak instruksional dan pengiring. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa model belajar mengajar itu merupakan inti atau jantungnya dari strategi mengajar. Cukup banyak model belajar mengajar yang dapat dipakai oleh pengajar, dalam melaksanakan proses belajar mengajar, namun pengajar sebaiknya memilih model yang dianggap atau diperkirakan paling efektif. Houston, Clift, Freiberg, dan Waner (dalam Saripuddin, 1994) menyebutkan bahwa terdapat lima faktor yang menentukan efektifitas mengajar para pengajar. a. Ekspektasi pengajar tentang kemampuan pembelajaran yang akan dikembangkan. b. keterampilan pengajar dalam mengelola kelas. 142

143 c. Jumlah waktu yang digunakan oleh pembelajar untuk melakukan tugas-tugas yang bersifat akademis d. kemampuan pengajar dalam mengambil keputusan pembelajaran, dan e. variasi metode mengajar yang dipakai oleh pengajar. Terkait dengan pemilihan model pembelajaran yang akan dipergunakan untuk mata pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa, selain harus memperhatikan kelima faktorfaktor tersebut di atas tentunya yanng tidak kalah penting harus memperhatikan karakteristik pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa itu sendiri. Kompetensi yang diamanatkan dalam mata pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa mempertimbangkan kedudukan dan fungsi bahasa Jawa, Dalam hal ini kedudukan bahasa Jawa sebagai bahasa daerah berkedudukan sebagai; (1) lambang kebanggaan daerah, (2) lambang identitas daerah, dan (3) alat perhubungan di dalam keluarga dan masyarakat saerah. Sedangkan fungsi bahasa Jawa khususnya mata pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawaadalah sebagai; (1) sarana pembina rasa bangga terhadap bahasa Jawa, (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya Jawa, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (4) sarana penyebarluasan pemakaian bahasa Jawa yang baik dan benar untuk berbagai keperluan menyangkut berbagai masalah, dan (5) sarana pemahaman budaya Jawa melalui kesusasteraan Jawa. Terkait dengan itu ditetapkanlah standar kompetensi mata pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa yang mencakup kemampuan berbahasa dan bersastra dalam kerangka budaya Jawa. Aspek-aspek tersebut perlu mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu. Di samping itu, kompetensi berbahasa dan bersastra dalam kerangka budaya Jawa meliputi aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, keempat aspek kompetensi tersebut dalam pelaksanaannya harus secara terpadu. Penerapan keterpaduan dari berbagai aspek tersebut nampak sebagai misal seorang guru akan menyampaikan kompetensi memahami dan menanggapi sesorah dalam berbagai kegiatan di masyarakat. Jika dilihat dari aspek keterampilan berbahasa yang terkandung dalam kompetensi itu, maka kompetensi tersebut menekankan pada aspek menyimak, namun dalam menanggapi sesorah itu dapat digunakan keterampilan berbahasa yang lain, dalam hal ini tanggapan dapat dilaksanakan secara lisan maupun tertulis. Sehingga keterapilan menyimak itu paling tidak sudah terpadu dengan keterampilan berbnicara dan menulis. Demikian juga jika dilihat dari isinya, sewaktu 143

144 menanggapi sesorah tersebut yang dibahas semua aspek yang terkandnung dalam sesorah tersebut, baik dari aspek bahasa, sastra, maupun budayanya. Penyampaian kompetrensi yang telah diamanatkan oleh mata pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa apabila dikaitkan dengan model pembelajarannya secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu model pengorganiasasian pertemuan dan model diskusi kelompok. Merujuk pada model pertemuan yang telah dikembangakan oleh Center for Advencement of Teaching Macquirie University dalam prosen pembelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa dapat menggunakan model antara lain: sajian visual, kerja kelompok, penyajian situasi, penyajian skill. Sedang model diskusi kelompok antara lain dapat menggunakan model kelompok curah pendapat atau brainstorming group, model studi kasus atau case study, model bermain peran atau role play, atapun model simulasi atau simulation. Untuk masing-masing model akan dipaparkan ciri-cirinya berikut ini. Ciri-ciri model sajian visual: - informasi lebih rinci - mengundang pendapat peserta didik Ciri-ciri model kerja kelompok:: - terdiri dari orang per kelompok - pertemuan diatur sendiri dalam kelompok - memerlukan laporan kelompok Ciri- ciri penyajian situasi: - Menyajikan bermain peran - Menuntut adanya komentator - Peserta memperoleh informasi untuk berdiskusi Ciri-ciri penyajian skill: orang mendemonstrasikan keterampilan - Peserta mendiskusikan kebaikan dan keburukannya Ciri-ciri kelompok curah pendapat atau Brainstorming Group: - Kelompok terdiri dari 3-12 peserta - Tidak memerlukan pemimpin yang penuh - Waktu pertemuan berkisar dari pertemuan singkat beberapa menit sampai pertemuan panjang beberapa jam 144

145 - Biasanya digunakan sebagai langkah awal membuat keputusan atau memecahkan masalah - Para peserta diminta untuk mengemukakan ide sebanyak mungkin dalam waktu yang berkelanjutan menuju pemecahan masalah - Ide-ide yang muncul tidak diberi kritik atau tanggapan Ciri-ciri model studi kasus atau Case Study: - Jumlah anggota kelompok bersifat luwes - Waktu pertemuan bervariasi sesuai dengan tingkat kerumitan kasus - Para peserta dihadapkan kepada suasana problematik - Para peserta dituntut untuk berbagai evaluasi terhadap kasus dan memberi jalan melakukan tindakan Ciri-ciri model bermain peran atau Role Play: - Jumlah anggota kelompok bervariasi - Waktu pertemuan bervariasi sesuai dengan peran yang harus dimainkan - Peserta mencoba sendiri peran-peran yang harus dimainkan dalam suasana interaktif Ciri-ciri model simulasi atau simulation : - Jumlah anggota kelompok fleksibel - Waktu pertemuan bervariasi sesuai dengan lama pertemuan yang tersedia - Para peserta dihadapkan kepada model kehidupan nyata - Para peserta diminta mengandaikan peran tertentu dan bertindak sesuai dengan aturan tertentu D. Rangkuman Pembelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa perlu memperhatikan kedudukan dan fungsi bahasa Jawa sebagai bahasa daerah. Standar kompetensi mata pelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa yang mencakup kemampuan berbahasa dan bersastra dalam kerangka budaya Jawa. Aspek-aspek tersebut perlu mendapat porsi yang seimbang dan dilaksanakan secara terpadu. Di samping itu, kompetensi berbahasa dan bersastra dalam kerangka budaya Jawa meliputi aspek menyimak, berbicara, membaca, dan menulis, keempat aspek kompetensi tersebut dalam pelaksanaannya harus secara terpadu. Untuk melrealisasikan hal tersebut hendaknya digunakan model-model pembelajaran yang sesuai dengan berbagai aspek yang melingkupinya agar 145

146 pembelajaran Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa benar-benar dapat mencapai tujuan yang diharapkan. E. Daftar Puskata Saripuddin, Udin Model-model Pembelajaran. Direktorat Jenderal Tinggi. Pendidikan Soekamto, Toeti Teori Belajar. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Dinas Pendidikan Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta Kurikulum Muatan Lokal Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Mata Pelajaran Bahasa, sastra, dan Budaya Jawa. Yogyakarta Suparman, Atwi Desain Instruksional. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. 146

147 CATATAN : 147

148 148

149 MODUL PENDIDIKAN DAN LATIHAN PROFESI GURU PENGEMBANGAN ASESMEN PROSES DAN HASIL BELAJAR Oleh MULYANA RAYON 111 UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA TAHUN

150 150

151 PENGEMBANGAN ASESMEN PROSES DAN HASIL BELAJAR A. Pendahuluan Berkaitan dengan perubahan kurikulum, yakni dari kurikulum 2004 atau yang sering disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tampaknya memunculkan sejumlah perubahan signifikan dalam proses pembelajaran di sekolah. Tidak terkecuali, mata pelajaran Bahasa Jawa di SMA/SMK/MA. Keadaan ini tentu saja mendorong guru untuk bersikap aspiratif terhadap gejala-gejala yang muncul di dunia pendidikan. Dalam kondisi ini, kemampuan guru, mulai dari penguasaan materi, penguasaan kelas, penguasaan pengembangan proses pembelajaran, dan penguasaan asesmen atau penilaian proses belajar harus benarbenar relevan dan sesuai dengan tuntutan kualitas pendidikan itu sendiri. Khusus pada persoalan asesmen, para guru dituntut bersikap bijak, adil, dan proporsional terhadap kemampuan dan kemajuan belajar siswa. Dalam persoalan ini, sikap profesionalisme guru harus komprehensif. Mencakup makna proses perbaikan sistem dan praksis pendidikan (Suyanto, 2007:6). Mengapa seorang guru perlu menilai hasil belajar siswa? Apa yang perlu dinilai? Bagaimana cara menilai? Apa manfaat melakukan penilaian? Masih ada sederet pertanyaan sejenis yang dapat diajukan. Sebelum mendiskusikan sejumlah pertanyaan tersebut, kiranya perlu dikemukakan di sini bahwa istilah penilaian - yang sering disamakan dengan asesmen, evaluasi atau tes menimbulkan banyak penafsiran yang berbeda-beda, bahkan ada yang berkonotasi negatif. Penilaian dalam konotasi negatif sering dipandang sebagai sesuatu yang menakutkan, tidak menyenangkan, khususnya bagi pihak yang akan dikenai tindakan penilaian, baik pihak itu bernama siswa, mahasiswa, guru, lembaga, atau pihak-pihak lain. Penilaian mungkin dipandangnya sebagi suatu pelanggaran terhadap hak, atau sesuatu yang membatasi ruang gerak, atau sebaliknya pemaksaan untuk melakukan sesuatu hal (Nurgiyantoro, 1988:4). Bagaimanapun, penilaian tetap perlu dilakukan. Apalagi, dalam dunia pendidikan. Sebagaimana kita tahu, pendidikan atau belajar adalah sebuah proses yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan (Mulyana, 2006). Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat keberhasilan pencapaian tujuan tersebut, diperlukan suatu alat atau kegiatan yang disebut penilaian. 151

152 B. Sistem dan Proses Penilaian Sebuah penilaian harus berorientasi pada tingkat penguasaan kompetensi yang ditargetkan di dalam standar isi dan standar kompetensi lulusan. Penilaian pelajaran Bahasa Jawa cukup dilakukan oleh para guru dan dalam proses ujian sekolah (PP 19/2005 pasal 63 ayat 1). Pada ayat tersebut juga dinyatakan bahwa penilaian hasil belajar dilakukan secara berkesinambungan untuk memantau proses, kemajuan dan perbaikan hasil belajar dalam bentuk ulangan harian, ulangan tengah semester, dan ulangan akhir semester. Sementara itu, istilah penilaian sebenarnya sering bersinggungan dengan istilah pengukuran, pengujian, penilaian, dan evaluasi. Pengukuran adalah kegiatan yang sistematik untuk menentukan angka objek atau gejala; pengujian adalah sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban benar atau salah; penilaian adalah penafsiran hasil pengukuran dan penentuan capaian hasil belajar; evaluasi adalah penentuan nilai suatu program dan penentuan pencapaian suatu tujuan (Suwarna, 2007:2). Dalam draf Uji Publik Panduan Umum Penilaian Pendidikan (BSNP, 2006:5), dinyatakan bahwa hakikat sistem penilaian adalah prosedur yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang prestasi atau kinerja peserta didikl. Hasil penilaian digunakan untuk melakukan evaluasi terhadap ketuntasan belajar siswa dan efektifitas proses pembelajaran. informasi tersebut merupakan hasil pengolahan data yang diperoleh melalui kegiatan pengukuran dan non-pengukuran. Kedua kegiatan tersebut adalah proses untuk memperoleh data tentang karakteristik siswa dengan aturan tertentu. Hasil pengukuran berupa data numerik atau kuantitatif, sedangkan hasil non-pengukuran berupa adata kualitataif. Selanjutnya, Suwarna (2006:2) menjabarkan bahwa sistem penilaian membawa pada implikasi tujuan penilaian, prinsip penilaian, teknik penilaian, prosedur penilaian, pengolahan dan penafsiran hasil penilaian, pelaporan atau pemanfaatan hasil penilaian. Oleh karena itu secara ideal penilaian pelajaran Bahasa Jawa berdasarkan KTSP harus menjangkau tahap-tahap tersebut secara komprehensif. C. Penilaian Pelajaran Bahasa Jawa Secara umum, penilaian setiap mata pelajaran memiliki tujuan yang hampir sama, yaitu untuk mengetahui tingkat kemampuan dan keberhasilan pembelajaran yang dilakukan di sekolah. Hasil penilaian pada akhirnya dapat digunakan untuk bahan evaluasi dan strategi pengembangan proses pembelajaran itu sendiri. namun, dalam 152

153 sistem penilaian pelajaran Bahasa Jawa, memiliki karakteristik tersendiri dan relatif khas. Hal itu tampak dalam tujuan dan proses penilaiannya. 1. Tujuan dan Prinsip Penilaian Berdasarkan Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran Bahasa dan Sastra Jawa untuk SLTA (KML SK-KD, 2006:3), tujuan penilaian adalah untuk mengetahui apakah siswa telah atau belum menguasai kompetensi dasar tertentu. Selain itu, penilaian juga bertujuan untuk: (1) mengetahui tingkat pencapaian dan perkembangan siswa (2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan siswa (3) mendiagnosis kesulitan belajar siswa (4) mengetahui hasil pembelajaran (5) mengetahui pencapaian kurikulum (6) mendorong siswa belajar dan mengembangkan diri (7) mendorong guru untuk mengajar lebih baik dan lebih berhasil Secara lebih spesifik, tujuan penilaian tersebut lebih berorientasi pada pemantauan kompetensi bahasa Jawa para siswa, memperbaiki proses pembelajaran bahasa Jawa (teknik pembelajaran, kemampauan guru, dan kualitas proses pembelajaran bahasa Jawa). Sementara itu, menurut Suwarna (2006:3) prinsip penilaian yang sebaiknya diikuti mengacu pada dasar-dasar: (1) Terpadu, yaitu penilaian diarahkan pada peningkatan mutu pembelajaran bahasa Jawa (2) Terbuka, prosedur penilaian, kriteria penilaian, dan dasar pengambilan keputusan dapat diketahui oleh pihak yang berkepentingan. (3) Objektif, penilaian berdasarkan pikiran jernih tidak emosional dan sentimen pribadi (4) Adil, tidak ada peserta didik yang diuntungkan atau dirugikan karena latar belakang suku, agama, budaya adat, status sosial, ekonomi, dan gender. (5) Akuntabel, dapat dipertanggungjawabkan dari segi teknik, prosedur dan hasil. (6) Beracuan kriteria, mencerminkan indikator pencapaian kompetensi yang ditetapkan dalam KBK 2004 dan penyempurnaannya di KTSP. (7) Holistik, mencakup semua aspek kompetensi (kognitif, afektif, psikomotoorik). (8) Berkesinambungan, merekam berbagai perkembangan kompetensi siswa sehingga dapat menggambarkan profil kemampuan siswa secara utuh. (9) Sistematis, dilakukan secara berencana dan bertahap untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar siswa dalam belajar bahaas Jawa. 153

154 (10) Belajar tuntas, siswa dapat mencapai kompetensi tertentu (tuntas), hanya waktu yang dibutuhkan berbeda-beda. Ketuntasan 75% siswa telah menguasai > 75% NBAK (nilai batas ambang kompetensi) materi pelajaran bahasa Jawa. Kesimpulannya, penilaian sebenarnya lebih diartikan sebagai upaya mengumpulkan informasi untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi berbahasa dan bersastra dalam kerangka budaya Jawa yang diperoleh siswa setelah beberapa tatap muka di kelas pada tengah semester, akhir semester, dan akhir tahun. Aspek yang dinilai mencakup tiga ranah, yaitu aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik. 2. Penyusunan Instrumen Langkah awal dalam mengembangkan instrumen adalah menetapkan spesifikasi yang mencakup kegiatan a) menentukan tujuan, b) menyusun kisi-kisi, c) memilih bentuk instrumen, dan 4) menentukan panjang instrumen. Intinya perencanaan penilaian perlu disusun secara lebih integratif ke dalam silabus. Berikut tabel format kisi-kisi penilaian yang menyatu dengan silabus. Format 1. Kisi-kisi penilaian yang menyatu dengan silabus. Bentuk instrumen sebaiknya bervariatif, seperti pilihan ganda, uraian objektif, uraian bebas, jawaban singkat, menjodohkan, unjuk kerja atau performansi, dan portofolio. Dengan demikian dapat diperoleh data yang komprehensif dan akurat. 154