Apa hubungan antara Syekh Jambu Karang dengan nama Baturaden

Level 7 !!Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)Ceritakanlah kisah Nabi Adam A.S mulai dari awal penciptaan hingga wafat..._ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ … _ _ _ _---------------------------------------------------------Untuk Ka @KirbyanMetaKnightmaksih banyak y ka, Saya jadi dapet peringkat baru... arigatou ( ̄∇ ̄)..............................................................................Sekarang gantian kasihnya ^v^​

Nama-nama Khalifah Bani Abbasiyah dan masa periodesasinya​

Gambar gerabah dan penjelasan nya​

Melalui Abu Muslim Al-khurasani, gerakan Abbasiyah dapat menarik banyak pengikut..a. KUffahb. Khurasanc. Mesird. DamaskusTOLONG JAWAB YG BETULL YAA PA … KE PENJELASAN NYA​

tolong dijawab buat nya harus 15 mohon dibantu​

kenapa pki masih ada setelah pemberontakan madiun?​

1. jelaskan sejarah pembukuan hadis pada masa Umar bin Khattob2. Tuliskan urutan pembukuan hadis 3. sebutkan 3 fungsi hadis​

bumi itu datar apa bulat?​

surat al fatihah disebut ummul qur'an. Ummul qur'an artinya induk al Qur'an.mengapa surah Al-Fatihah disebut induk al Qur'an​

Mengapa hanya memohon kepada Allah​

Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dalam masyarakat pada masa lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa yang memiliki kultur budaya yang beraneka ragam mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing bangsa. Pada umumnya, cerita rakyat mengisahkan tentang suatu kejadian di suatu tempat atau asal muasal suatu tempat. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam cerita rakyat umumnya diwujudkan dalam bentuk binatang, manusia, maupun dewa.

Setiap daerah memiliki cerita rakyat yang berhubungan dengan asal-usul nama daerah. Salah satunya adalah cerita rakyat masyarakat Banyumas tentang asal-usul nama Baturaden. Saat ini Baturaden merupakan objek wisata yang berada di kaki gunung Slamet. Saat ini makam Mbah Atas Angin masih tetap terawat dengan baik di objek wisata Baturaden tersebut. Ada banyak versi tentang asal-usul nama Baturaden. Salah satu versi adalah versi Sultan Maulana Maghribi. Baturraden berasal dari dua kata yaitu ‘Batur’ yang dalam bahasa Jawa berarti Pembantu, Teman, atau Bukit dan ‘Raden’ yang dalam bahasa juga berarti Bangsawan. Dilihat dari susunan kata-katanya, maka nama Baturraden terdiri dari kata : Batur – Adi, yang artinya tanah yang indah

Secara umum cerita rakyat memiliki ciri-ciri antara lain sebagai berikut.

  • Disampaikan turun-temurun.
  • Tidak diketahui siapa yang pertama kali membuatnya
  • Kaya nilai-nilai luhur
  • Bersifat tradisional
  • Memiliki banyak versi dan variasi
  • Mempunyai bentuk – bentuk klise dalam susunan atau cara pengungkapkannya.
  • Bersifat anonim, artinya nama pengarang tidak ada.
  • Berkembang dari mulut ke mulut.
  • Cerita rakyat disampaikan secara lisan.

Asal-usul Nama Baturaden

Konon di Negara Rum, bertahta seorang Pangeran bernama Syekh Maulana Maghribi berasal dari Turki. Pada waktu fajar menyingsing, beliau melihat cahaya bersinar disebelah timur menjulang di angkasa. Timbullah niat di dalam sanubarinya dan mencari tempat asal cahaya tersebut. Bersama sahabatnya Haji Datuk, para hulubalang dan balatentaranya beliau berlayar menuju kearah datangnya cahaya misterius tersebut.

Sampailah mereka di ujung timur sebuah pulau yang bernama dengan Pulau Jawa. Tempat dimana mereka membuang sauh saat ini dikenal dengan nama Pantai Gresik. Pada suatu waktu terlihat kembali cahaya terang yang sedang dicarinya itu disebelah barat. Mereka kembali kearah barat dengan menempuh jalan di laut Jawa sampai di pantai Pemalang Jawa Tangah. Ditempat ini Syekh Maulana Maghribi meminta para armadanya untuk pulang ke negerinya, sedangkan Syekh Maulana Maghribi ditemani oleh Haji Datuk dan untuk sementara bermukim ditempat itu.


Mereka berdua melanjutkan perjalanannya dengan jalan kaki menuju kearah selatan. Karena tekadnya yang kuat, perjalanan tersebut akhirnya sampailah mereka di tempat yang dituju. Beliau bertemu dengan seorang pendekar sakti bernama Jambu Karang. Berkat kesaktian Syeh Maulana Magribi Jambu Karang berhasil dikalahkan dan akhirnya memeluk agama Islam, namanya diubah menjadi ‘Syekh Jambu Karang’. 

Apa hubungan antara Syekh Jambu Karang dengan nama Baturaden

Syekh Jambu Karang mempunyai seorang putri bernama ‘Rubiah Bhakti’ yang kemudian dipersunting oleh Syekh Maulana Maghribi. Setelah memperistrikan putri Syekh Jambu Karang, Syekh Maulana Maghribi berganti nama menjadi ‘Atas Angin’. 

Di tempat tersebut Mbah Atas Angin menderita penyakit gatal-gatal yang susah disembuhkan. Sesudah sholat Tahajud.dia mendapat Ilham bahwa dia harus pergi ke Gunung ‘Gora’ dimana ia akan mendapatkan obat mujarab untuk menyembuhkan penyakitnya itu. 

Pagi-pagi waktu Shubuh Mbah Atas Angin bersama Haji Datuk pergi kearah barat dan pada siang hari sampailah mereka dilereng Gunung Gora. Sesudah sampai di lereng Gunung Gora beliau meminta Haji Datuk untuk meninggalkannya dan beristirahat sambil menunggu di tempat yang datar, sebab Mbah Atas Angin akan meneruskan perjalanannya kearah suatu tempat yang mengepulkan asap. Ternyata disitu ada sumber air panas dan Syekh Maulana Maghribi menyebutnya ‘Pancuran Pitu’ yang artinya sebuah sumber air panas yang mempunyai tujuh mata air. 

Setiap hari Syekh Maulana Maghribi mandi secara teratur di tempat itu, dengan begitu dia sembuh dari penyakit gatalnya. Sesudahnya beliau memanjatkan do’a syukur kehadirat Illahi serta mengucap syukur bahwasanya ia telah dikaruniai sembuh dari sakitnya yang telah sangat lama dideritanya. Setelah ia kembali ketempat dimana Haji Datuk menunggu, ia berkata : Saksikanlah, saya sekarang telah sembuh dari sakitku dan telah terhindar dari penderitaan.


Dia mengganti nama Gunung Gora itu menjadi ‘Gunung Slamet’. Slamet dalam bahasa Jawa berarti aman. Selama Syekh Maulana Maghribi berobat di Pancuran Pitu, Haji Datuk tetap dan taat menunggu ditempat yang ditunjuk semula dan kepadanya diberi julukan ‘Haji Datuk Rusuladi’. Rusuladi artinya ‘Batur Yang Baik’ (Adi). Dan konon kabarnya tempat tersebut oleh penduduk sekitarnya hingga kini disebut dengan ‘Baturaden’ yang berasal dari kata batur dan adi.

Part 3

Apa hubungan antara Syekh Jambu Karang dengan nama Baturaden
Sumber:travel.detik.com

Terik tampak datang lebih awal hari ini, jam sepuluh pagi aku sudah melahap semua materi perkuliahan. Jumat adalah hari yang tepat untuk menghabiskan waktu di luar pondok karena ngaji diniyah sore libur. Aku, Aisyah, dan Fatimah memilih mengerjakan tugas di perpustakaan sampai jam istirahat tiba. Kita berencana makan siang di kedai baru area masjid kampus yang sedang promo besar-besaran. Belum sempat memesan aku melihat Mas Zaid keluar masjid kampus usai salat jumat, dia mengarahkan motornya ke arahku. Ingin aku berpura-pura tidak melihatnya, sialnya dia sudah menangkap pandanganku dari kejauhan.

“Ra, Mas Zaid.” Aisyah membulatkan matanya di depan mataku. Menegaskan keberadaan Mas Zaid dan menyimpan pertanyaan akan kesiapanku ditemui olehnya. Ya jelas aku tidak siap.

“Ngga papa Ra, siapa tau Mas Zaid sudah menyesali perbuatannya.” Fatimah membuat harapanku kembali tumbuh. Aku hanya terdiam mematung membiarkan bayang-bayang Halimah memenangkan hati seseorang yang sangat aku cintai hingga tak sadar Mas Zaid sudah berdiri di  depanku, Aisyah dan Fatimah meninggalkanku.

“Sudah selesai kuliahnya Ra?” Mas Zaid bertanya sambil membuka helm, rambutnya yang sudah cukup panjang untuk ukuran laki-laki berhamburan berantakan menutupi sebagian dahi dan matanya. Kaki kanannya menjadi tumpuan saat standar motor dijatuhkan sedangkan kaki kirinya masih ningkring pada pedal kaki bagian kiri motornya. Hidungnya yang mancung dibiarkan mengempis karena sengaja menghirup udara terlalu dalam sebagai cara menetralkan suasana hati.

“Sampun Mas.” Denyar yang sama masih saja muncul ketika aku melihat rautnya yang tenang, melihat jambang dan kumisnya yang sudah menebal, melihat senyumnya yang menawan ditambah dengan celana mocca dan hem panjang navy blue yang lengannya sengaja dilipat tiga per empat. Masih sama seperti saat aku menjadi ratu dikerajaannya. Tapi kini ada yang berbeda dari caranya memandangku, bola matanya seperti memancarkan sesuatu yang tajam yang membuat hatiku tercabik-cabik dan ingin menangis menyalahkannya. Bayang Halimah menebas kagumku, dadaku semakin sesak ingin menangis meraung-raung di depannya dan menuntut cintanya yang sebagian diserahkan untuk Halimah. Tapi aku harus terlihat tegar di depannya, aku tidak mau terlihat hancur dan membuatnya bersalah.

“Sudah, jangan mikir macem-macem. Mas mau minta sesuatu sama kamu boleh?” Matanya mencari-cari bola mataku yang aku umpatkan. Sungguh aku rindu dengan tatapannya yang tulus tapi aku tidak berani menatapnya, aku tidak ingin membiarkan gejolak ini tertangkap olehnya.

“Nopo Mas?” Aku menjawabnya lirih dan sedikit melontarkan bola mataku menuju bola matanya yang sangat aku rindukan.

“Tapi jangan menolak ya, harus mau.” Mas Zaid memaksaku menuruti permintaannya.

“Nggih..”

“Temenin Mas beli tanaman hias ya, kemarin Kang Hamid, Kang Husen dan kawan-kawan mau bikin taman di sebelah pos lah Mas kebagian beli bunganya. Kamu kan pakarnya bikin lansekap taman Ra hehe. Mau yaa.” Aku hanya terdiam tidak mengiyakan juga tidak menolak. Pasti dia menyanggupi tugas itu biar ada alasan bisa mengajakku pergi. Andai aku tidak dipaksa, pasti aku tidak akan membiarkan kesempatan rinduku tersampaikan begitu saja.

“Hey! Kamu tambah cantik kalau lagi nahan rindu Nduk. Jangan kaku begitu lah, Mas terima rindumu Nduk, rindu yang sama untukmu. Haha.” Aku terperanjat mendengar panggilan sayangnya untukku yang sudah lama tak kudengar sejak Halimah hadir diantara kami. Aku merasa sangat disayangi ketika dipanggil Nduk olehnya. Masih sama, Mas  Zaid selalu begitu membirkanku malu dihadapannya. Mungkin aku memang terlalu kaku setelah semua ini terjadi.

“Nopo sih Mas, mboten kados niku koh.” aku jadi salah tingkah. Mas Zaid terus memandangiku sambil meledekku, membiarkanku semakin malu.

“Kangen sama mie ayam mewah Bu Sumi ngga Nduk? Lama ya kita ngga makan di sana, siapa tau bakulnya kangen sama Mas.” Ada saja usaha Mas Zaid untuk mencairkanku yang sedang beku. Mie ayam mewah itu akronim dari mie ayam mepet sawah dan Bu Sumi adalah nama penjualnya. Aku yang awalnya tidak suka mie ayam kini jadi makanan favorit gara-gara setiap minggu menemani Mas Zaid makan di sana.

“Ngga mungkin lah, njenengan itu nggak ngangenin.” Aku mulai berbiasa membalas kelakarnya.

“Kalau ngga ngangenin kenapa setiap malam Mas merasa dikangenin sama kamu ya Nduk? Hahaha.”

“Pe-de banget sih Mas.” Aku tidak bisa menahan merah dipipi muncul terang-terangan.

“Tuh kan ngga mau ngaku. Hahaha.” Mas Zaid terus menaruh mukanya didepan mukaku, mencari-cari tatapan dan senyum maluku.

“Sampun Mas, katanya mau mie mewah.” Aku terpaksa langsung mengajaknya pergi karena untuk mengalihkan ledekaan Mas Zaid yang semakin membuatku salah tingkah.

“Yuk, bonceng aja.” candanya setengah serius, aku hanya membalas dengan senyuman jutek tanda menolak. Meskipun di luar pondok, aku dan Mas Zaid tidak pernah berboncengan, karena menjaga image-ku sebagai seorang santri. Selain itu berboncengan dengan lawan jenis adalah peraturan yang sangat dilarang, sekali ketahuan bisa langsung masuk ndalem dan pasti dimarahi habis-habisan oleh Bu Nyai. Jangankan berboncengan, salim saja kita tidak pernah melakukannya.

“Nanti habis ngemie langsung ke bakul kembang ya Nduk, di Baturaden saja yang searah.” Seperti biasa, Mas Zaid mempersilahkan motorku untuk laju dahulu lalu dia mengekoriku di sepanjang jalan. Kukendarai motor kearah utara mendekati Gunung Selamet yang indah menjulang. Dalam perjalanan sesekali aku mengintip kaca spion memastikan Mas Zaid ada di belakangku, tak jarang juga Mas Zaid mendapatiku sedang melihatnya di kaca spion lalu dia tersenyum dan aku malu.

Setelah sekitar lima belas menit perjalanan aku menyalakan lampu sen menepi ke sebelah kanan jalan dan diikuti Mas Zaid. Kami sampai di warung mie ayam mewah Bu Sumi namun Bu Sumi hanya duduk melamun di depan warungnya yang tutup.

“Mboten bukak nopo Bu mie ayame?” Mas Zaid bertanya setelah mesin motor kami dimatikan. Bu Sumi tumben sekali tidak memasang wajah cerianya. Dia hanya menjawab seperlunya tanpa ekspresi.

“Ngapunten Mas, warunge badhe tutup selawase.”

“Owalah nggih Bu, maturnuwun.” Mas Zaid menjawab dengan air muka yang penuh tanda tanya berbicara dengan Bu Sumi yang tak seperti biasanya. Aku hanya diam memandangi mereka berdua, tidak berani menyapa Bu Sumi yang sedang aneh. Lalu Mas Zaid memberiku isyarat untuk langsung meneruskan perjalanan menuju toko tanaman hias.

Hawa dingin menusuk persendian tulangku seolah sudah bukan lagi jam dua siang, sangat sejuk. Motorku melaju melewati saung-saung yang terbuat dari kayu-kayu jati dan dikelilingi oleh berbagai jenis tanaman hias yang sebagian berbunga. Arah motorku semakin mendekat dengan Gunung Selamet, melewati jalan menanjak yang kanan-kirinya banyak terdapat toko-toko tanaman hias. Cuaca di Baturaden sangat baik untuk pertumbuhan tanaman hias sehingga banyak yang memanfaatkannya sebagai ladang penghasilan.

Setelah beberapa kilometer melewati indahnya pemandangan lahan pertanian akhirnya kami menepi di sebuah toko tanaman hias yang memiliki lahan paling luas diantara toko-toko lain yang sudah terlewati. Biasanya pemiliknya selalu stay di kebun, tapi kali ini hanya ada satu pegawainya yang jaga.

“Ngapunten Mas, Pak Ahmad mboten teng mriki nopo?” Tanya Mas Zaid pada pegawai yang sedang memilah-milah tanaman krokot yang berbunga dengan yang tidak.

“Nggih Mas, Pak Ahmad seg berduka garwane nilar wau enjing.” Sekertika aku dan Mas Zaid terkejut saling bertatapan dengan mata yang melebar lalu malafadkan kalimat istirja. Istri Pak Ahmad adalah Bu Sumi yang tadi baru saja kita temui di warung mieayamnya yang katanya akan tutup selamanya. Bu Sumi meninggal pagi hari sementara ini sudah masuk sore hari, jadi yang tadi kita temui bukan lagi Bu Sumi. Tanpa bertanya apa pun kami langsung berpamitan.

“Ternyata tadi bukan Bu Sumi ya Nduk, mari kirim Fatihah untuk beliau.” Aku meresponnya dengan menggigit bibir bawahku merasakan merinding sekujur tubuh. Mas Zaid memimpin doa untuk dihadiahkan kepada Bu Sumi, lalu aku mengikutinya dan mengaminkannya. “Mie ayam tutup, toko tanaman hias tutup, daripada sudah jauh-jauh ke Baturaden mending kita lanjutkan saja ke objek wisatanya ya Nduk.” Mimik mukanya menyimpulkan harapan besar agar aku tidak menolaknya. “Masih jam setengah tiga lagian ngaji diniyah sore ini kan libur, ayo mau alasan apa lagi?” mukanya sengaja dipasang didepan mukaku mencari bola mataku memaksa aku mengiyakan.

“Mboten lah Mas, mending wangsul teng pondok mawon.” Aku berpura-pura menolaknya agar terkesan aku tidak merindukan jalan bedua dengannya, padahal di hati aku sangat mengiyakan.

“Ayo lah Nduk, luruskan niat yang baik. Niat untuk napak tilas mawon Nduk, setuju nggih?” ada saja alasan Mas Zaid agar aku mau mengiyakan.

“Napak tilas nopo teng Baturaden Mas?”

“Loh kamu itu orang Banyumas kok ndak tau cerita rakyat dan sejarah daerah yang ada didalamnya. Makanya ayo kesana nanti sambil Mas certakan.” Tidak ada pilihan lain selain mengangguk, padahal aku tau tentang makam leluhur Mbah Atas Angin atau Syekh Maulana Magribi seorang penyebar agama Islam di Jawa yang berasal dari Turki. Tapi aku ingin diceritakan olehnya, sembari mengobati rinduku yang sangat menggebu.

Lalu kulanjutkan perjalanan ditengah cuaca yang mendung dan sedikit rintikkan gerimis menampari kaca helmku, memang curah hujan di Baturaden sangat tinggi sehingga gerimis sering datang dengan tiba-tiba. Kulewati jalan dengan pemandangan kebun-kebun tanaman hias di kanan-kiriku, menanjak semakin mendekati Gunung Selamet dengan senyum yang sesekali tersungging karena hati yang berbunga-bunga, tidak menyangka rinduku yang selama ini aku pendam dan selalu aku abaikan bisa terbalas. Namun, rasa kecewa dan sakit hati tidak bisa hilang dari hatiku. Bayang Halimah selalu mengganggu pandanganku saat menatap Mas Zaid.

Setelah beberapa menit perjalanan akhirnya sampai di lokawisata Baturaden, Mas Zaid memarkirkan motornya didekat motorku lalu membenarkan posisi motorku yang terpakir tidak rapi. Saat keluar parkiran menuju pintu masuk Mas Zaid menyempatkan memotret pesawat yang terpajang di dekat area parkir sebelum pintu masuk. Mas Zaid juga melihat-lihat bonsai, kantong semar, anggrek, dan banyak tanaman hias lainnya yang tertata rapi di depan pintu masuk. Sepertinya Mas Zaid tertarik dengan bonsai yang batangnya terlihat sangat estetik.

“Ini bagus dipajang diteras nggih Nduk?” Mas Zaid sengaja memberi pertanyaan seolah kita sudah punya rumah. Hubungan saja dia ingkari, aku tidak merespon dadaku sesak membayangkan jika yang akan serumah dengannya kelak adalah Halimah.

“Iya itu bagus Mas, biasanya dipajang di teras atau di pojokan ruangan. Ini istrinya pasti suka dibelikan anggrek.” Seketika aku terkejut mendengar tukang bunga mengira aku adalah istrinya, kulihat Mas Zaid tersenyum karena berhasil membuat tukang bunga mengira aku sebagai istrinya.

“Kamu mau Nduk?” Mas Zaid merespon dengan menawariku bunga anggrek bulan putih merah jambu yang tertanam di sekam dalam pot putih, terlihat jelas senyumannya yang sedang menganggapku istri di depan tukang bunga itu. Aku menolak tawarannya dan memintanya untuk beranjak dari toko bunga. Kami memasuki gerbang pintu masuk berupa gapura hitam yang bertuliskan “Lokawisata Baturaden” setelah membayar seharga empat belas ribu per orang. Aku hanya membuntuti Mas Zaid dan mendengarkan ceritanya tentang babad Baturaden dan sesekali menggombaliku. Beberapa kali ponselnya berdering tapi dia selalu mematikannya dan mengabaikannya. Dia sangat menghagai kesempatan ini, kesempatan untuk mengembalikan harapanku, memberiku banyak kesempatan utuk semakin sakit hati.

“Kamu siap jalan jauh Nduk? Untuk sampai ke makam Mbah Atas Angin butuh waktu satu jam loh, kalau belum siap kita disini aja napak tilasnya lain waktu. Gimana?”

“Mboten nopo Mas, seniki mawon.” Aku mau melanjutkan perjalanan, karena aku masih ingin membalas rinduku yang sudah mengendap terlalu lama.

“Sambil cerita tentang Mbah Atas Angin ya biar ndak kerasa capeknya.” Aku mengangguk, Mas Zaid menjejeriku namun aku selalu menjaga jarak dengannya. Aku sudah sangat menantikan cerita itu keluar dari mulutnya. Aku rindu gaya bicaranya yang lembut dan terstruktur.

“Kamu tau ndak Mbah Atas Angin itu siapa?” dia bertanya padaku dan menghentikan langkahnya menatapku memastikan aku sudah tau.

“Syekh Maulana Magribi itu penyebar Islam dari Turki?” aku hanya membalas seperlunya dan pura-pura belum banyak tau tentang cerita Mbah Atas Angin, sebenarnya sih sudah di luar kepala hanya saja aku ingin dia yang menceritakannya untukku.

“Nah pasti kamu salah mendengarkan cerita Nduk, memang cerita rakyat yang beredar kurang tepat dimana Mbah Atas Angin disebut sebagai Syekh Maulana Maghribi yang merupakan ulama dari Turki, padahal jika membaca sejarah aslinya yaitu Babad Cahyana nama aslinya adalah Syarif Abdurrahman al-Qadiry yang berasal dari Arab.” Jelasnya sambil sesekali mengamatiku khawatir aku lelah dan butuh istirahat. Mas Zaid memang orang yang tau sejarah dan pengetahuannya sangat luas di berbagai bidang sehingga dia menjadi aktivis baik di kampus, di masyarakat, hingga relasinya ada dimana-mana dan dari berbagai macam kalangan.

“Pembuktian mengenai sejarah masuknya Mbah Atas Angin di tanah Jawa selama ini hanya mengandalkan cerita rakyat yang berkembang di mana pada suatu ketika, sehabis shalat Subuh, Mbah Atas Angin mendapatkan ilham berupa penampakan tiga buah cahaya putih yang menjulang tinggi di bagian bumi sebelah Timur. Bersama beberapa orang pengikutnya, Mbah Atas Angin kemudian meninggalkan tanah kelahirannya di Arab guna mencari sumber cahaya tersebut. Selama menempuh perjalanan, Mbah Atas Angin pernah Singgah di daerah Gresik, Pemalang, kemudian gunung Cahya (Panungkulan). Di Gunung Cahyana inilah Mbah Atas Angin berhasil menemukan tiga cahaya yang dicari. Letak gunung Cahya itu sendiri berada di desa Grantung, Karangmoncol, Purbalingga.” Aku terkejut karena daerah yang disebutkan Mas Zaid adalah daerah Zaenab, tapi Zaenab tidak pernah menceritakan itu padaku.

“Wah itu desanya Zaenab loh Mas.” Sesekali Mas Zaid menengok arloji hitam yang melingkar di pergelangan tangannya, beberapa kali ponselnya berdering tetapi selalu ia abaikan.

“Ohya? Tapi dia ndak pernah menceritakan kisah ini sama kamu Nduk? Wah aku sangat berterima kasih kepada Mbah Atas Angin yang memberikan restu kisahnya sampai padamu hanya melalui mulutku Nduk. Hahaha.” Entah kenapa Mas Zaid selalu membuatku baper, aku benci jika harapanku semakin menguat padanya. Ponselnya kembali berdering tetapi tidak juga diangkat. Aku merasa sangat dihargai, dia menyerahkan waktu sepenuhnya untukku.

“Kok ngga diangkat telfonnya Mas? Kalau penting gimana?” Aku mempersilahkannya mengangkat telfon yang berkali-kali bedering.

“Mboten Nduk. Ini teman PMII minta daftar calon pembicara padahal sudah pernah Mas kasih, biarin dia nyari sendiri lagi. Hehe.” Aku hanya menganguk dan lega karena aku mengira telfon itu dari Halimah.

“Lanjut nggih. Mbah Atas Angin dan Pangeran Jambukarang diwarnai dengan cerita-cerita mistis yang berkembang di masyarakat. Disebutkan bahwa ketika Mbah Atas Angin sampai di sumber cahaya yang dicari selama pengembaraan, nampak ada seorang laki-laki yang sedang bertapa di dekat sumber cahaya tersebut, yang tidak lain adalah pangeran Jambukarang. Dalam pertemuan tersebut, terjadilah adu kesaktian antara Pangeran Jambukarang dan Mbah Atas Angin yang berujung pada masuknya Pangeran Jambukarang memeluk Islam. Pangeran Jambukarang merasa bahwa hidayah Islam yang diterimanya sangat berharga, karena itu ia melamar Mbah Atas Angin untuk dinikahkan dengan puterinya yang bernama Rubiah Bhekti sebagai ungkapan terimakasih. Dari pernikahan ini lahirnya Mahdum Husen, Mahdum Medem, Mahdum Umar, Nyai Rubiah Raja, dan Nyai Rubiah Sekar. Akhirnya, bersama anak keturunannya, Mbah Atas Angin berhasil mengembangkan Islam di daerah Cahyana dan sekitarnya yaitu Banyumas. Bahkan pada masa kesultanan Demak, salah seorang keturunan dari Mbah Atas Angin yang bernama Wali Prakosa berhasil menjalin hubungan diplomatik yang harmonis antara perdikan Cahyana dan Kerajaan Demak. Hasilnya, penyebaran Islam mendapatkan pengakuan dan sekaligus dukungan yang kuat dari Sultan Demak yang pada waktu menguasai tanah Jawa.”

“Mas ceritane sing teng Baturaden mawon nggih, mengkin Ira mboten mudheng hehehe.” Jika dibiarkan, pasti Mas Zaid akan menceritakan dari bebagai sudut dan pastinya akan lebih rumit dan luas. Bagiku lebih mudah belajar matematika, kimia, atau fisika daripada harus menghafal dan memahami sejarah yang bagiku sangat rumit. Aku hanya menatapnya dengan memasang raut muka lelah jika harus belajar serupa sejarah, Mas Zaid tersenyum memaklumi.

“Kenapa ndak mau belajar lebih luas lagi Nduk, jangan batasi diri untuk belajar dong. Oke karena sebentar lagi sampai, itu suara gemercik Pancuran Pitu juga sudah terdengar jadi Mas ceritakan versi Baturadennya saja ya.” Setelah melewati hutan yang menanjak akhirnya sampai di lokasi pemakaman yang tidak jauh dari Pancuran Pitu. Pancuran Pitu adalah sumber mata air panas yang dipercaya mengandung banyak khasiat seperti menyembuhkan penyakit kulit dan beberapa penyakit lainnya. Disebut Pancuran Pitu karena terdapat tujuh sumber mata air yang berdekatan.

“Oke singkat cerita Mbah Atas Angin mendapat musibah penyakit gatal di sekujur tubuhnya yang tidak dapat disembuhkan. Setelah melaksanakan tahajud beliau mendapatkan sebuah petunjuk agar pergi ke suatu tempat bernama Gunung Gora. Setelah fajar tba beliau ditemani oleh sahabatnya yaitu Haji Datuk pergi ke Gunung Gora. Sesampainya di lereng Mbah Atas Angin menyuruh sahabatnya untuk istirahat dan menunggunya disitu. Beerapa saat Mbah Atas Angin menemukan suatu tempat yang memunculkan asap, tempat tersebut adalah sumber mata air panas yang memiliki tujuh pancuran yang kemudian dinamai olehnya sebagai Pancuran Pitu. Setiap hari beliau mandi di situ hingga akhirnya penyakit gatal-gatalnya sembuh. Setelah itu beliau kembali menuju tempat dimana Haji Datuk menunggu. Kemudian Mbah Atas Angin menamai Gunung Gora menjadi Gunung Slamet yang artinya aman, selain itu Haji Datuk yang setia menunggui Mbah Atas Angin berobat kemudian diberi julukan Haji Datuk Rusuladi yang berarti abdi yang baik. Karana kejadian itulah tempat tersebut diberi nama Bturraden, dimana batur berarti pembantu dan raden nerarti pembantu/abdi.” Mas Zaid memelankan akhir kalimatnya menandakan salesainya cerita lalu menatapku mempersilahkanku bertanya.

“Ooh begitu ya Mas. Berarti selama ini cerita rakyatnya ada kekeliruan nama tokoh ya.” Pancuran Pitu sudah menyambut kedatanganku dan Mas Zaid.

“Nggih Nduk, lah makam Syekh Maulana Maghribi kan ada di Cirebon. Kemarin kamu ikut ziarah Wali Songo kan?” perjalanan hampir dua jam tidak terasa lelah karena terkalahkan oleh bahagiaku bisa memuntahkan rinduku yang selama ini aku tahan. Mas Zaid mengajakku turun menikmati hangatnya air Pancuran Pitu.

Saat aku melangkah di bebatuan yang licin tiba-tiba aku terpeleset hampir terjatuh, refleks Mas Zaid menangkap tanganku agar aku bisa menjaga keseimbangan. Aku tidak bisa menjelaskan apa rasanya ketika tangan kita saling berkaitan. Seketika denyar menyambar, detak jantung berdetak kencang, dan sendi-sendi tulangku terasa lemas. Setelah aku berdiri seimbang segera aku lepaskan pegangaku lalu Mas Zaid meminta maaf dan aku berterima kasih. Aku sangat salah tingkah namun Mas Zaid pandai mencairkan keadaan hingga aku segera kembali berbiasa.

“Wudlu yuk Nduk, sempatkan berziarah sebentar kita ngalap berkahnya Mbah Atas Angin.”

“Nggih Mas.”

Setelah selesai berwudlu Mas Zaid memasuki makam dan aku membuntutinya, dilanjut Mas Zaid memimpin doa, bertawassul, tahlil dan doa lainnya. Aku tidak berdua saja, ada beberapa ibu-ibu yang mengikuti doa Mas Zaid. Mataku kian memanas mengikuti doa Mas Zaid, harapanku padanya semakin kuat, sesak mengingat ketulusanku yang dia curangi. Selesai itu, kita kembali menikmati sore hari di Pancuran Pitu, dengan sengaja Mas Zaid memfotoku begitupun aku padanya. Mas Zaid meminta foto berdua denganku, tapi aku menolaknya karena bisa gawat jika sampai pengurus Keamanan mengetahui bisa-bisa dipanggil ndalem. Sedang asyik-asyiknya,  Mas Zaid izin padaku untuk mengangkat telfonnya. Siapa dibalik layar HPnya? Apakah Halimah? Jantungkku berdegub kencang api cemburu membara.

“Sudah jam lima, balik ke pondok yuk Nduk.” Aku bisa menangkap warna mukanya yang berubah” seperti ada yang memengaruhinya, tak sengaja aku mengintip layar HPnya dan benar nama Halimah yang tertera. Aku mengangguk membuntutinya turun menuju parkiran aku tidak bisa menahan air mataku, pada jejak pijakan kakinya bulir-bulir air mataku menetes deras tanpa sepengetahuannya. Aku lemas, ingin menjatuhkan tubuh menangis meraung-raung di tanah Baturaden ini, Mbah Atas Angin menjadi saksi hatiku yang semakin remuk membiarkan ketulusanku dicurangi. (Yesi Dyah)

BERSAMBUNG…