Menurut hadis rasul orang yang berpakaian transparan seperti

Ilustrasi mengganti kain hijab. Foto: Shutter Stock

Dalam Islam, wanita diperintahkan untuk menutup auratnya dengan benar sesuai ketentuan syar’i. Jumhur ulama menyepakati batasannya sampai seluruh anggota tubuh, kecuali telapak tangan dan wajah.

Secara bahasa, aurat berasal dari kata “aar” yang berarti aib. Sedangkan secara istilah, aurat adalah bagian anggota tubuh yang tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain selain mahramnya.

Dalam beberapa kitab, ulama fiqih telah mengkaji adab menutup aurat untuk umat Muslim, khususnya wanita. Mereka disyariatkan untuk menggunakan pakaian yang longgar, tidak terawang, dan tidak membentuk lekuk tubuh.

Berpegang pada syariat tersebut, wanita yang memakai pakaian ketat tentu tidak diperbolehkan. Banyak hadits tentang wanita berpakaian ketat yang disabdakan Rasulullah SAW.

Hadits tentang Wanita Berpakaian Ketat

Jumhur ulama mengatakan bahwa wanita dilarang untuk mengenakan pakaian ketat di tempat umum seperti pasar, jalan raya, kantor, dan lain sebagainya. Sebab, ini bisa mengundang syahwat lawan jenis yang melihatnya.

Ilustrasi memakai hijab dengan dalaman. Foto: Shutter Stock

Khalid bin Abdurrahman dalam buku Bahaya Mode menyebutkan, pakaian ketat merupakan fitnah bagi seorang wanita yang dikhawatirkan bisa membawa petaka di kemudian hari. Gaya berpakaian seperti ini tidak dianjurkan dalam Islam.

Rasulullah SAW telah memberikan peringatan tegas kepada para wanita untuk menutup auratnya dengan benar. Dalam sebuah hadits, beliau melarang wanita mengenakan pakaian ketat dan mempertontonkannya.

Dari Usamah bin Yazid dia mengatakan, Rasulullah pernah memakaikanku baju Quthbiyyah yang tebal. Baju tersebut dulu dihadiahkan Dihyah Al Kalbi kepada beliau. Lalu, aku memakaikan baju itu kepada istriku. Suatu kala Rasulullah SAW bertanya,

"Kenapa baju Quthbiyyahnya tidak engkau pakai?" Aku menjawab, "Baju tersebut kupakaikan pada istriku wahai Rasulullah." Beliau berkata, "Suruh ia memakai baju rangkap di dalamnya karena aku khawatir Quthbiyyah itu menggambarkan bentuk tulangnya."

Berpakaian ketat termasuk dalam tindakan tabarruj, yaitu berlebihan dalam menampakkan perhiasan dan kecantikan. Dalam salah satu riwayat dikatakan, gaya berpakaian ini sama saja seperti telanjang.

Sebab, lekuk tubuh terlihat dengan jelas tanpa ada pembatas di antaranya. Hal ini bisa mengundang nafsu syahwat laki-laki yang melihatnya.

Ilustrasi Hijab Foto: Shutterstock/MawardiBahar

Menurut jumhur ulama, segala bentuk pakaian, gerak-gerik, ucapan, serta aroma yang bertujuan untuk mengundang rangsangan birahi dilarang dalam Islam. Dikutip dari jurnal Ansharullah yang berjudul Pakaian Muslimah dalam Perspektif Hadits dan Hukum Islam, Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa memakai baju kemewahan (karena ingin dipuji), maka pada hari kiamat Allah akan mengenakan untuknya baju semisal. Ia menambahkan dari Abu Awanah, "lalu akan dilahab oleh api neraka." Telah menceritakan kepada kami Musaddad berkata, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah ia berkata, "Yaitu baju kehinaan." (HR. Abu Daud)

Adapun pakaian yang dianjurkan bagi seorang wanita adalah pakaian yang longgar, menutupi seluruh anggota badan, dan tidak terawang. Dalam surat Al-Ahzab ayat 59, Allah Swt berfirman:

"Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka."

Menurut hadis rasul orang yang berpakaian transparan seperti
Doa dan Ucapan Saat Menyambut Tamu

BincangSyariah.Com – Dalam syariat, ada seseorang yang yang secara lahir menggunakan pakaian namun sesungguhnya sebaliknya yaitu bertelanjang. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah “berpakaian yang telanjang” kasiyatin ‘ariyatin sebagaimana tersebut dalam salah satu hadits Nabi Muhammad Swt.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda;

 قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا، قَوْمٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُونَ بِهَا النَّاسَ، وَنِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مُمِيلَاتٌ مَائِلَاتٌ، رُءُوسُهُنَّ كَأَسْنِمَةِ الْبُخْتِ الْمَائِلَةِ، لَا يَدْخُلْنَ الْجَنَّةَ، وَلَا يَجِدْنَ رِيحَهَا، وَإِنَّ رِيحَهَا لَيُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ كَذَا وَكَذَا»

“ada dua kelompok penghuni neraka yang tidak aku lihat. Pertama, kelompok yang membawa cemeti mirip buntut sapi, dengan cemeti itu mereka mencambuk manusia. Kedua, perempuan-perempuan yang berpekaian tapi telanjang, genit dan tidak patuh.

Kepala mereka mirip dengan punuk unta buhkti yang miring. Mereka tidak masuk surga dan tidak menemukan aromanya padahal aroma surga terjangkau dari jarak sekian dan sekian.” [HR. Muslim]

Hadits di atas ini penting untuk diperhatikan terutama bagi kaum perempuan yang menjadi sasaran langsung. Namun, tidak menutup kemungkinan laki-laki juga menjadi sasaran dari hadits tersebut. 

Tak bisa dipungkiri, dalam syariat yang dikenal dengan kamil dan syamil (purna dan lengkap), salah satunya mengatur persoalan pakaian baik untuk laki-laki maupun perempuan. Di dalam syariat Islam setiap muslim dan muslimah wajib mengenakan pakaian yang menutupi aurat, sopan dan adaptif dengan lingkungan. 

Lebih lanjut, dalam kajian hadits ini akan memfokuskan pada kata nisa’un kasiyatun ‘ariyatun (perempuan berpakaian namun telanjang). Menurut K.H Afifuddin Muhajir, dalam Kriteria Pakaian Islami: 7-9, bahwa kata di atas memiliki dua makna yang inheren satu sama lain. 

Pertama, bermakna orang yang lahirnya berpakaian, namun batinnya telanjang. Dengan demikian, setiap orang yang fasik yang suka berbuat dosa juga menjadi sasaran dari hadits ini meskipun mereka menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian. Karena yang dimaksud dengan telanjang adalah telanjang dari taqwa sebagai pakaian batin.

Kedua, bermakna orang-orang yang mengenakan pakaian dan menutupi sebagian auratnya. Sementara bagian yang lain dibiarkan terbuka. Atau karena terlalu tipis, ketat dan transparan.

Kenapa kedua makna di atas bersifat inheren? Karena pada umumnya, orang yang menggunakan pakaian seperti di atas merupakan orang yang fasik dan pendosa. Sebaliknya, orang yang pendosa dan fasik biasanya tidak peduli terhadap pakaian yang digunakan. 

Sudah barang tentu, tidak semua orang berlaku sama dengan di atas, sebagaimana ditegaskan bahwa hal itu bersifat ghalib. Karena pada tataran faktanya, terkadang ada orang yang sangat peduli terhadap pakaian yang digunakan namun justru melakukan perbuatan yang curang dan fasik.  

Sedangkan Muhammad Fawaid Abdul Baqi dalam Syarah Shahih Muslim [2192/4] menjelaskan bahwa “berpakaian yang telanjang” memiliki empat kemungkinan pengertian, dimana pengertian-pengertian tersebut pada dasarnya sudah terakomodir dalam penjelasan K.H. Afifuddin.

Pertama, berpakaian dengan geliamangan nikmat Tuhan yang telah diberikan namun telanjang untuk bersyukur. Kedua, berpakaian dengan sempurna namun telanjang (tidak) melakukan perbuatan yang terpuji, tidak mementingkan amalan akhiratnya dan tidak perhatian kepada ketaatan. 

Ketiga, berpakaian sebagian tubuhnya sementara bagian yang lain sengaja dibuka untuk menampilkan kecantikan dan kemulusan badannya. Keempat, menggunakan pakaian yang transparan sehingga auratnya masih terlihat.

Demikian penjelasan terkait sosok manusia yang termasuk “berpakaian yang telanjang”. Semoga bermanfaat. (Baca: Sisa Noda Detergen Pada Pakaian, Apakah Suci?)