Perkebunan yang diselenggarakan oleh perorangan atau kelompok adalah


Page 2

Pelaksanaan Program Dan Hasil Yang Dicapai

Pelaksanaan Program dan Hasilhasil yang Dicapai

Berdasarkan program kegiatan yang telah ditetapkan dalam tahun anggaran 1998/1999, maka pelaksanaan program dan hasil-hasilnya adalah :

1. Pelaksanaan Program

Pelaksanaan program dibagi dalam beberapa bidang, yaitu : Bidang Permukiman.

Realisasi kegiatan penyiapan areal masing-masing berkisar sekitar 90% - 100% diantaranya adalah kegiatan pemasangan batas HPL, pengukuran dan pemasangan batas UPT, pengukuran dan pembagian lahan pekarangan lahan usaha I dan blok lahan usaha II, rancang kapling TSM, pembagian sertifikat lahan pekarangan dan lahan usaha 1. Namun demikian terdapat kegiatan yang realisasinya cukup rendah yaitu kegiatan penerbitan sertifikat hak milik transabangdep sebanyak 16.284 bidang.

Realisasi penyiapan lahan pekarangan Transmigrasi untuk PTB tercapai 100% meliputi program luncuran 16.405 KK, program murni : TU/TSB 1.357 KK, PTLG 1.600 KK, program TSM 13.123 KK sedangkan program cicilan 1.758 KK (89,79 %). Penyiapan lahan usaha I realisasinya 100% untuk program luncuran dari target 14.447 KK, program cicilan dari target 100 KK sedangkan program murni terealisasi 505 KK (71,63 % dari sasaran 705 KK).

Pembangunan prasarana permukiman realisasinya sebagai berikut : jalan penghubung/poros sepanjang 82,86 Km (79,92 %), jalan desa 293,03 Km ( 85,09

%), Gorong-gorong 3.442,52 m’(80,53 %), jembatan kayu 823,55 m' (90,70), jembatan semi permanen 436 m' (100%) dan drainase 63,89 Km (79,97%).

Pembangunan fasilitas umum rata-rata terealisasi 100% untuk kantor unit 28 unit, balai desa 34 unit, puskesmas pembantu 39 unit gudang unit 40 unit, rumah kepala unit 30 unit, sedangkan rumah ibadah 90 unit (97,83%), rumah petugas 42 unit (95,45%).

Realisasi penyiapan lahan permukiman transmigrasi untuk PTA realisasinya adalah pembangunan prasarana permukiman seperti jalan penghubung/poros terealisasi sepanjang 557,67 Km (94,24%), Goronggorong 5.858,00 m' (97,59%), jembatan kayu 1.944,55 m’(87,69%), jembatan semi permanen 2.257,80 m' (100%), drainase 109,12 Km (78,44%) dan dermaga 320 m2 (83,12%) dari sasaran 385 m2.

Realisasi pembuatan rencana teknis satuan permukiman (RTSP) dan rencana teknis sarana dan prasarana (RTSP), rata-rata tercapai 100% yang terdiri dari rencana tata ruang satuan pemukiman (RTSP), rencana satuan kawasan pengembangan (RSKP), perencanaan teknis jalan poros, rencana teknis sarana dan prasarana (jembatan), perencanaan teknis drainase dan perencanaan teknis irigasi.

b. Bidang Pengerahan dan Penempatan.

Realisasi pelaksanaan penyuluhan dan motivasi dalam rangka menunjang tercapainya sasaran program penempatan telah berhasil meningkatkan minat masyarakat bertransmigrasi sejumlah 20.530 KK dari 27 propinsi, sebanyak 31.669 KK diantaranya ditempatkan sebagai


Page 3

Kegiatan ketatausahaan meliputi penyusunan petunjuk teknis pembinaan jabatan fungsional arsiparis, pedoman pengelola dokumentasi, penghapusan arsip, pelaksanaan teknis operasional kearsipan.

Penyusunan draft petunjuk pelaksanaan perencanaan dan penentuan kebutuhan perlengkapan di lingkungan Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, sosialisasi Kepmen Nomor 15/MEN/ 1995 tentang Penyimpanan, dan Distribusi Barang Persediaan dilingkungan Departemen Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan.

Reinventarisasi kekayaan negara, pengembangan program aplikasi IKN tahap III beserta pemantauannya, monitoring dan up dating data realisasi pengadaan perlengkapan, pembinaan inventaris

kekayaan negara, keamanan, ketertiban, kebersihan, dan kerapian serta pelayanan pegawai di kantor pusat, pengurusan perizinan, pembayaran jasa dan pembinaan pemeliharaan sarana komunikasi.

Kegiatan pelatihan transmigrasi, meliputi sejumlah 28.900 orang (95,62 % dari target 30.223 orang, yang terdiri dari pelatihan yang dilaksanakan oleh Pusbinlatrans sebanyak 270 orang (100 %), Balatrans daerah asal sebanyak 7.882 orang (86,19% dari target 9.145 orang), Balatrans daerah transmigrasi sebanyak 28.900 orang (95,62 % dari target 30.223 orang), pelatihan yang dilaksanakan bekerjasama dengan Yayasan Ria Pembangunan sebanyak 10 angkatan 213 KK (88,75 % dari target 240 KK), Yayasan Dharmais sebanyak 60 angkatan 2.021 KK (84,21% dari target 2.400 orang)

Visi transmigrasi adalah mewujudkan masyarakat baru yang tumbụh dan berkembang secara mandiri dan berkelanjutan


Page 4

Dimasa yang akan datang akan dikembangkan program Gema Palagung pada lahan-lahan yang belum diusahakan seluas 100.000 Ha per tahun anggaran, melalui kerjasama dengan PT. Dharma Niaga dan Koperasi Gemah

Ripah. 7) Untuk meningkatkan produksi pertanian

yang menunjang pola tanaman pangan, telah dikembangkan pengairan dengan sistim irigasi sederhana, di Propinsi Sulawesi Tenggara, dan sedang direncanakan penambahan pada 4 lokasi lainnya.Untuk mendukung produksi tanaman hortikultura pada daerah yang sulit air pertanian telah dibangun jaringan irigasi pertanian perpipaan untuk 200 KK dilokasi Lembah Palu,

Sidera, Propinsi Sulawesi Tengah. 8) Sebagai uji coba pada tahap awal, pada

tahun anggaran 1999/2000, juga akan diprogramkan pengembangan transmigrasi dengan mekanisasi pertanian di

Senggi, Irian Jaya sebanyak 500 KK. 9) Penggunaan alat mesin pertanian untuk pengolahan tanah,

panen

dan penanganan pasca panen diberikan alat pertanian kepada transmigran berupa Hand Tractor, Tractor roda 4, Rice Milling Unit, dan Threser, dengan disertai bimbingan pengelolaan

peralatan. 10) Untuk memberikan Cash Income

transmigran, melalui Skim kredit pengembangan ternak unggas, transmigran diberikan 10 ekor ayam/KK dan alat penetas telur, dengan harapan pada akhir tahun 1 akan mendapat pendapatan sebesar Rp. 400.000,- dan populasi ayam menjadi 70 ekor. Kegiatan ini telah diawali dengan pencanangan di Propinsi Riau dan diikuti oleh Propinsi-Propinsi lainnya.

11) Pemanfaatan kapal ikan asing yang

dinyatakan dirampas untuk negara dengan sasaran pembangunan armada kapal ikan nelayan pada umumnya dan nelayan transmigran pada khususnya melalui pemanfaatan kapal ikan asing yang dirampas untuk negara dengan diatur dalam Keputusan Menteri Transmigrasi Nomor : KEP. 125/MEN/

1998. 12) Ijin pelaksanaan transmigrasi dengan

sasaran meningkatkan pelayanan kepada badan usaha yang berpartisipasi dalam pelaksanaan transmigrasi sehingga tujuan terciptanya lapangan kerja dan peluang berusaha serta mendorong perluasan dan pengembangan investasi, melalui penerbitan IPT kepada beberapa perusahaan antara lain PT. Multi Jaya Perkasa di lokasi Sekadau Hulu dan Hilir untuk pengembangan perkebunan PIR-Trans, PT. Candra Transawit Sejahtera di Manis Raya dan Pauh Raya Kabupaten Sintang dengan pembangunan perkebunan PIR-Trans, PT. Kalbar Inti Sawit Pratama di Sekadau Hilir Kabupaten Sanggau dengan sasaran pembangunan PIR-Trans.

b. Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kesra)

1) Peningkatan kualitas anak balita (0-4

tahun) di daerah transmigrasi sebanyak 88.907 anak dengan angka kematian bayi (AKB) 47 per 1000, ini berarti di bawah AKB nasional 58 per 1000.

. 2) Pengadaan lapangan kerja dengan

program padat karya di 124 UPT bagi 37.450 KK transmigran untuk membantu mengatasi dampak ke

keringan masa lalu dan krisis moneter. 3) Dalam rangka meningkatkan kualitas

perumahan transmigran telah dilakukan kerjasama dengan Prefecture Government Kobe untuk pembangunan


Page 5

Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur (BKS

PTN INTIM). 2) Dalam rangka meningkatkan intensitas

penanganan yang berkaitan dengan KKN telah dibentuk Tim Khusus sesuai

Keputusan Menteri Nomor KEP.62/

MEN/1999 tanggal 4 Mei 1999 tentang

Penyelesaian Kasus KKN. 3) Disamping program diklat reguler yang

setiap tahun jumlahnya terbatas, telah dilaksanakan tambahan program Diklat Adum sebanyak 11 angkatan dengan peserta 330 pegawai, dan Spama 2

angkatan dengan peserta 60 pegawai. 4) Telah dapat menayangkan pelayanan

informasi Tingkat Perkembangan Unit Pemukiman Transmigrasi melalui jaringan internet dengan nama deptranspph.go.id. Khususnya di tingkat Pusat Pelayanan Informasi “terprogram” telah dapat diakses pada lebih kurang 104 titik koneksi atau dengan kata lain sudah on line ke

internet atau E-mail. 5) Pembentukan Tim Khusus penyelesaian

kasus korupsi, kolusi dan nepotisme di lingkungan Departemen Transmigrasi dan PPH dengan sasaran menyelesaikan

kasus-kasus yang berindikasi praktek-

praktek korupsi, kolusi dan nepotisme

melalui KEPMEN Nomor : KEP. 62/

MEN/1999. Sebagai tindak lanjut dari instruksi in dari temuan sebanyak 1.056 kejadian telah ditindaklanjuti sebanyak 273 kejadian (25,85%) dengan temuan senilai Rp. 245.218.170,57, sementara

yang telah ditindaklanjuti sebesar


Rp.39.783.553,40 (16,22%). Di samping itu, telah dilakukan tindakan

terhadap 6 pegawai yang diindikasikan

melakukan praktek KKN dengan perbuatan melakukan pemungutan uang

3. Realisasi Keuangan

Untuk menunjang pelaksanaan programprogram tersebut dari alokasi anggaran tahun anggaran

1998/1999 sebesar Rp.1.020.720.132.000,- telah terealisasi sebesar Rp. 984.901.704.615. (97,66%) terdiri dari anggaran pembangunan sebesar Rp. 855.250.373.600 (97,41%) dan anggaran

rutin sebesar Rp. 139.651.331.025 (97,84%) Hambatan

Dalam pelaksanaan program pembangunan transmigrasi TA. 1998/1999 sampai dengan akhir tugas Kabinet Reformasi Pembangunan, hambatan dalam pelaksanaan program yang dijumpai adalah: 1. Adanya krisis moneter menyebabkan

program pembangunan TA. 1998/1999 (termasuk program transmigrasi) mengalami beberapa revisi/penyesuaian terhadap UU APBN yang telah mendapat persetujuan

DPR. 2. Adanya kerusuhan dan gangguan keamanan

yang terjadi di beberapa daerah seperti Ambon, Sambas, Kupang, Timtim dan DI. Aceh, yang berdampak terjadinya pengungsian secara besar-besaran (eksodan), baik masyarakat umum maupun para transmigran/ eks transmigran. Dalam hal ini, Departemen Transmigrasi dan PPH ditugasi untuk membantu menangani melalui program

pemukiman kembali (resettlement). 3. Situasi keamanan yang kurang kondusif

utamanya di Propinsi Irian Jaya, Timtim dan DI. Aceh yang menyebabkan warga transmigran di unit-unit permukiman transmigrasi di ketiga propinsi tersebut mengalami keresahan sehingga perlu dukungan dari pihak keamanan untuk memulihkan kondisi keamanan di ketiga propinsi.


Page 6

Dari beberapa hal yang telah diuraikan terdahulu, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. . Secara kuantitatif penyelenggaraan trans

migrasi telah mencapai hasil yang diharapkan, namun dari segi kualitas diakui masih

perlu ditingkatkan. 2. Upaya-upaya yang telah dilakukan untuk

meningkatkan kualitas penyelenggaraan transmigrasi adalah melakukan programprogram yang reformis dan crash program antara lain program penempatan UPT Bhinneka Tunggal Ika, peningkatan swasembada pangan melalui Gema Palagung, mekanisasi pertanian, peningkatan program penjemputan dan pemagangan bagi calon transmigran, pembentukan satuan ronda desa di setiap UPT dan pembentukan Garda Keamanan di Kantor Pusat dan penyelesaian masalah sengketa tanah sebagai

akibat kelemahan administrasi di masa lalu. 3. Secara kuantitatif realisasi program penem

patan transmigrasi TA. 1998/1999 cukup berhasil, yaitu dari sasaran program pengerahan dan penempatan sebanyak 32.485 KK yang terdiri dari TU/TSB sebanyak 19.362 KK dan TSM sebanyak 13.123 KK terealisasi sebanyak 31.669 KK (97,49%) yang terdiri dari TU/TSB sebanyak 18.684 KK (96,50%) dan TSM sebanyak

12.985 KK (98,95%). 4. Untuk mendukung sasaran program pokok

telah dilaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat pendukung di bidang kesekretariatan dan pengawasan. Kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain berupa kegiatan

perencanaan dan penganggaran, ketata- laksanaan dan ketatausahaan, pembinaan aparatur, pendidikan dan pelatihan, peraturan dan perundang-undangan, pelatihan transmi- grasi, penelitian dan pengembangan, pengembangan sistem informasi manajemen transmigrasi, serta pengawasan pengen- dalian. Dari segi anggaran, dari pagu sebesar Rp.1.020.720.132.000,- terealisir sebesar

Rp.984.901704.615 (97,66 %) yang terdiri

dari anggaran pembangunan sebesar Rp.855.250.373.600,- (97,41 %) dan anggaran rutin sebesar Rp.139.651.331.000,-

(97,84 %) 5. Terjadinya kerusuhan/gangguan keamanan di

beberapa wilayah seperti di Ambon, Kupang, Sambas, Timor Timur dan DI. Aceh menyebabkan terjadinya pengungsian besarbesaran yang perlu bantuan penanganan Pemerintah Pusat.

Departemen Transmigrasi dan PPH peduli terhadap pengungsi melalui program resettlement, seperti dilokasi Tebang Kacang, Kalimantan Barat

diubah menjadi Departemen Pemerataan

Pembangunan Daerah. 2. Ukuran keberhasilan program penyeleng

garaan transmigrasi telah diatur dengan Kepmen Transmigrasi dan PPH Nomor. 06/ MEN/1999. Untuk itu, program kegiatannya perlu disusun dari bawah (bottom up planning) yang merupakan aktualisasi dari

program pemberdayaan masyarakat. 3. Mengingat gangguan keamanan yang diikuti

pengungsian telah menimbulkan kerugian

baik psikologis, ekonomis maupun politis, maka dukungan pemerintah pusat perlu ditingkatkan dalam rangka mengatasi

masalah gangguan tersebut. 4. Tingginya potensi konflik yang cenderung

mengarah pada desintegrasi bangsa, perlu diantisipasi dengan meningkatkan program transmigrasi, mengingat program transmigrasi merupakan salah satu wahana yang dapat dijadikan perekat persatuan dan kesatuan bangsa.

Departemen Kehutanan dan

Perkebunan

Harimau Sumatera (Panthera tigris) Salah satu satwa langka yang harus dilindungi di Indonesia. Di pulau Sumatera populasinya diperkirakan tinggal 5000 ekor.


Page 7

Buku Laporan Menteri Kehutanan dan Perkebunan ini merupakan bagian dari buku Memori Masa Bakti Kabinet Reformasi Pembangunan, untuk memberikan gambaran perjalanan reformasi pembangunan kehutanan dan perkebunan yang dilaksanakan selama masa periode Kabinet Reformasi Pembangunan yang dimulai sejak bulan Mei 1998.

Selama perjalanan tersebut, pasang surut kinerja pelaksanaan reformasi pembangunan kehutanan dan perkebunan telah kita alami. Dalam pasang naiknya, pembangunan kehutanan dan perkebunan dalam ukuran sistem nilai telah berhasil meletakkan kerangka dasar perubahan yang meletakkan peran hutan dan kebun untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian fungsinya.

Kebijakan lama pembangunan kehutanan yang banyak menitik beratkan pada orientasi aspek ekonomi dan cenderung kurang menekankan pada sistem sumberdaya hutan serta meminggirkan rakyat dari proses pembangunan telah dirubah dengan menempatkan masyarakat tidak lagi menjadi objek akan tetapi menjadi subjek pembangunan. Demikian pula dalam pembangunan perkebunan dikotomi inti-plasma dalam Perkebunan Inti Rakyat telah memunculkan kesenjangan yang amat mendalam antara rakyat pada sisi plasma dan pengusaha pada sisi inti. Untuk itu penataan kembali sistem pengusahaan hutan dan kebun antara lain melalui restrukturisasi lahan pengusahaan hutan dan kebun yang mengarahkan agar kesenjangan makin dapat dieliminir dan proses pemberdayaan masyarakat serta pemerataan pemanfaatan hutan dan kebun dapat terlaksana sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan berkelanjutan.

Dalam pasang surutnya, pembangunan kehutanan dan perkebunan masih dinilai belum betul-betul diimplementasikan secara nyata menuju perubahan tersebut. Hal ini sangat dipahami mengingat untuk melakukan perubahan tidak dapat dilaksanakan dalam waktu yang sangat pendek. Penerimaan konsep pemikiran baru, juga sangat relatif tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya. Sehingga sebagian pihak dapat saja melihatnya secara skeptis apa yang telah dilakukan Departemen Kehutanan dan Perkebunan terhadap perubahan sesuai dengan tuntutan reformasi.

Di dalam persepsi umum yang menganggap pasang naik, sebagian mengatakan bahwa kinerja pelaksanaan reformasi pembangunan kehutanan dan perkebunan sudah baik, tetapi sebagian mengatakan bahwa kinerja yang dimaksud sesungguhnya belum nyata. Dan inilah salah satu realita dalam suatu proses membangun sistem yang baru. Suatu realita yang terbangun oleh relativitas sistem nilai, kepentingan, dan keragaman persepsi terhadap apa yang dihadapi sehari-hari. Suatu realita kehidupan yang tidak senantiasa bisa dijelaskan semata-mata melalui logika formal yang rasional dan terverifikasi. Relativitas sistem nilai dan kepentingan - yang terkadang tidak netral - inilah yang menentukan keragaman pemikiran atau mindset kita, keragaman dalam cara pandang dan cara untuk melakukan sesuatu. Dan biasanya sekali mindset terbentuk, umumnya cukup lamban untuk mengalami perubahan meskipun situasi, struktur, dan perilaku kehidupan di sekitar kita terus berubah. Akan tetapi bagaimanapun mindset ini bisa mengalami perubahan dan pengembangan melalui proses pembelajaran bersama (social learning process) dengan mengadaptasikan proses pemikiran kritis terhadap perubahan-perubahan yang terus terjadi.


Page 8

Persoalan susulan yang menyertai bencana ini adalah terganggunya swasembada pangan yang berkembang menjadi kerawanan pangan nasional.

Dampak terjadinya kekeringan, kebakaran dan kegagalan panen belum dapat teratasi sepenuhnya, disusul kemudian dengan timbulnya krisis moneter yang berlanjut menjadi krisis ekonomi. Bencana alam dan krisis ekonomi yang berkepanjangan ini telah membawa dampak yang serius dan sangat luas di berbagai bidang kehidupan nasional. Dampak yang menonjol akibat terjadinya bencana tersebut antara lain adalah: 1. Hilangnya kemampuan swasembada beras

yang menjurus pada timbulnya kerawanan

pangan nasional. 2. Terganggunya proses pembangunan nasional.

Pertumbuhan ekonomi selama Orde Baru yang dapat mencapai 7 - 8 %, menurun drastis

sampai pada tingkat minus 10 - 15%. 3. Hampir sebagian besar perusahaan, khususnya

perusahaan besar yang sangat tergantung pada komponen impor, tidak mampu lagi bertahan, sehingga terjadi pemutusan hubungan kerja

(PHK). 4. Naiknya harga barang-barang di satu sisi dan

menurunnya kemampuan daya beli masyarakat di sisi lain, telah mengakibatkan menurunnya kualitas hidup yang terutama diakibatkan sulitnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, seperti untuk memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan untuk pendidikan.

Disamping itu, kebijakan yang diterapkan selama masa Orde Baru telah menimbulkan kesenjangan, baik kesenjangan antar wilayah, antar golongan dan antar sektor. Menumpuknya asset negara pada beberapa individu dan kelompok tertentu telah menyulut kecemburuan yang cenderung menjurus pada permasalahan sosial.

1. Meningkatkan upaya keberpihakan kepada

rakyat. Upaya ini ditempuh melalui kebijakan yang dapat mempercepat tumbuh dan berkembangnya ekonomi rakyat yang mandiri,

tangguh dan berkelanjutan. 2. Memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

(KKN) di sektor kehutanan dan perkebunan. 3. Melakukan restrukturisasi pemanfaatan lahan

hutan dan kebun untuk mewujudkan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan, efisien, dan adil untuk sebesarbesarnya kesejahteraan rakyat, sehingga mampu menciptakan suatu kondisi yang harmonis dalam aspek sosial, ekonomi dan ekologi.

Berbagai upaya dan langkah terobosan telah ditempuh untuk mewujudkan tuntutan reformasi dengan diawali dengan pembentukan Komite Reformasi Kehutanan dan Perkebunan (KRKP). KRKP merupakan komite yang independen dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 521/Kpts-II/ 1998 tanggal 29 Juni 1998. Sebagian besar keanggotaan KRKP adalah dari kalangan akademisi, LSM, asosiasi, dan masyarakat, dan sebagian kecil adalah anggota dari kalangan birokrasi. KRKP berperan menjadi mitra Departemen Kehutanan dan Perkebunan dalam menetapkan langkah-langkah strategis pelaksanaan reformasi.

Langkah berikutnya adalah melakukan penyempurnaan dan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan untuk menjadi landasan pelaksanaan reformasi. Sejalan dengan langkah tersebut dilakukan penyempurnaan dan pembentukan institusi yang mendukung kelancaran pelaksanaan reformasi serta penerapan berbagai kebijakan baru yang memungkinkan terwujudnya percepatan pemberdayaan masyarakat.


Page 9

Dalam rangka menampung aspirasi reformasi dan dengan mencermati perkembangan kondisi nasional dewasa ini, maka kebijaksanaan Reformasi Pembangunan Kehutanan dan Perkebunan, khususnya dalam jangka pendek, difokuskan pada upaya-upaya penyelamatan (rescue) dan pemulihan (recovery) kondisi krisis untuk memasuki abad 21, antara lain: a. Melanjutkan upaya terciptanya pembangunan

sektor kehutanan dan perkebunan yang

berkelanjutan (sustainable development). b. Mewujudkan integritas dan sinergisitas

pelaksanaan pembangunan kehutanan dan perkebunan yang berazaskan pada kelestarian ekologi, ekonomi, dan sosial menuju pada terwujudnya konsep forests and estate crops

for people. c. Melakukan pergeseran kebijaksanaan orientasi

pengelolaan sumberdaya hutan dari bobot timber management menjadi konsep yang mengarah pada bobot multipurpose forest

management. d. Menata sistem pengusahaan hutan dan lahan

perkebunan dalam kerangka redistribusi manfaat, untuk meningkatkan pertumbuhan dan pemerataan melalui peningkatan investasi dan daya saing, khususnya bagi skala usaha

kecil, menengah dan koperasi. e. Mempertangguh daya saing komoditas

perkebunan dan kehutanan melalui upaya peningkatan mutu hasil dengan dukungan kelembagaan koperasi atau kelembagaan ekonomi masyarakat lainnya dan kemitraan usaha, yang mampu mendorong peningkatan

perolehan devisa. f. Menyempurnakan kelembagaan, peraturan

perundang-undangan yang lebih mencerminkan keberpihakan kepada rakyat; serta

Komodo, Babi Rusa, Banteng dan Tapir merupakan sebagian satwa endemik yang hidup hanya di daerah tertentu di Indonesia, sebagian satwa endemik telah berhasil di bina pelestariannya baik secara insitu maupun eksitu


Page 10

Hutan mengrove di Kutai Teluk Kalimantan Timur. Keberadaan hutan mangrove sangat penting sebagai ekosistem pantai antara lain untuk pelindung intrusi air laut dan aberasi pantai

Hutan Sebagai Sumber Pangan Nasional.

Buku Kumpulan Saran dan Masukan Kepada Menhutbun dari Staf Dephutbun.

Membangun Perkebunan Abad 21: Membalik

Arus dan Gelombang Sejarah. Indonesia National Forest Porgramme 2010.

1. Intended beneficieries harus jelas; 2. Public accountability terjamin yang

dicerminkan dengan sistem pengawasan dan

pertanggung jawaban yang mantap; 3. Bersifat transparant, yang akan menjamin

kepercayaan masyarakat akan kejujuran para

pelaksana pembangunan; 4. Local specific sehingga cocok dengan kondisi

sosial ekonomi dan budaya setempat; 5. Memberikan perhatian dan peranan yang lebih

besar kepada usaha-usaha skala kecil, menengah dan koperasi agar mereka dapat meningkatkan kualitas, produktifitas, dan daya

saing ekonomi rakyat; dan, 6. Melanjutkan pembangunan sehingga terwujud

ekonomi rakyat yang mandiri, tangguh dan berkelanjutan

Buku Saku Sustainable Forest Management (SFM).

Selain itu telah dibuat media informasi yang dikemas dalam bentuk Visual Compact Disc (VCD) melalui jaringan internet yang dapat diakses pada alamat: http://mofrinet. cbn.net.id. Publikasi-publikasi di atas telah disebar luaskan kepada berbagai kalangan, seperti instansi pemerintah pusat dan daerah, perguruan tinggi, LSM, anggota legislatif, yayasan, tokoh dan masyarakat umum lainnya. Penyebarluasan kepada masyarakat internasional akan disajikan dalam versi bahasa Inggris.

Dalam rangka pemasyarakatan pelaksanaan reformasi pembangunan kehutanan dan

Langkah-Langkah Implementasi Kebijaksanaan Reformasi

Restrukturisasi Pengusahaan Hutan

Kebijaksanaan ini berkaitan dengan penguasaan areal pengusahaan hutan yang sangat luas. Kondisi demikian mengakibatkan pengusahaan hutan menjadi tidak efisien dan cenderung mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang lestari sebagai akibat adanya private land banking. Pada era ke depan pengusahaan hutan haruslah mengikuti pola menuju down sizing, multi sources, subcontracting, economic of time, economic of scale dan economic of scope. Arah demikian merupakan ciri-ciri industri masa depan sebagai implementasi prinsip ekonomi modern.

sustainable forest management. Keuntungan seperti demikian pada akhirnya bermuara pada efisiensi pengusahaan dimana perusahaan besar tinggal lebih mengarahkan perhatiannya pada down stream industry untuk mampu dan sanggup bersaing pada era perdagangan bebas.

Dalam rangka restrukturisasi lahan yang lebih adil seperti diutarakan di atas, PP Nomor 6 Tahun 1999 mengatur ketentuan tentang pembatasan luas maksimum areal kerja HPH dan HPHTI yang berlaku untuk satu perusahaan dengan grupnya. Pengaturan demikian adalah maksimum 100.000 hektar dalam satu propinsi dan 400.000 hektar di seluruh wilayah Indonesia.

Kebijaksanaan restrukturisasi diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 1998 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi, yang membatasi luas maksimum areal HPH yang berlaku untuk satu perusahaan dengan grupnya. Arah kebijaksanaan ini untuk terjaminnya pelaksanaan pengelolaan hutan secara lestari, dan mencerminkan keberpihakan pada kepentingan rakyat banyak. Sasaran jangka panjang diarahkan untuk mengembangkan peran masyarakat dalam kelembagaan koperasi, pengusaha kecil dan menengah, serta lembaga keagamaan dan kelompok masyarakat hukum adat, dengan mengurangi peran pemerintah dan perusahaan besar.

Selanjutnya HPH dapat diberikan kepada BUMN, BUMD, BUMS (swasta) dan koperasi. Sedangkan untuk HPHTI selain kepada empat bentuk badan usaha di atas, juga dapat diberikan kepada perusahaan swasta asing yang berbentuk persero dengan badan hukum Indonesia. Selanjutnya pengaturan pola pengusahaan hutan adalah sebagai berikut: a. Luasan 50.000 hektar sampai 100.000 ha

diberikan melalui penawaran dalam pelelangan yang diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor

731/Kpts-II/1998 tanggal 10 Nopember 1998. b. Luasan kurang dari 50.000 hektar diberikan

melalui permohonan. Pemberian hak diprioritaskan kepada koperasi, pengusaha

kecil dan menengah. c. Sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi,

pemberian HPH dengan luasan kurang dari 10.000 hektar dilimpahkan kepada Gubernur

Kepala Daerah Tingkat I. d. Untuk luasan skala kecil (maksimum 100

hektar), dapat diberikan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) kepada perseorangan, koperasi, dan badan usaha yang seluruh modalnya dimiliki warga negara Indonesia. Kewenangan perijinan dilimpahkan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II.

Dalam arti sempit pembatasan ini akan menimbulkan pengurangan areal kerja HPH untuk ditata kembali pola pengusahaan hutannya. Dilihat dari sisi manajemen atau pengelolaan hutan produksi akan memiliki beberapa keuntungan, antara lain: a) adanya efisiensi penggunaan lahan hutan, b) terselenggaranya asas pemerataan, dan c) terbentuknya sistem pengusahaan hutan produksi dalam satu kesatuan manajemen, sebagai salah satu syarat pelaksanaan


Page 11

dengan kebijaksanaan relokasi lahan hak pengusahaan hutan, masih tersedia areal hutan kurang lebih 919 ribu hektar. Selanjutnya areal tersebut akan diredistribusikan menjadi HPHKm untuk kurang lebih sebanyak 92 unit. Dengan demikian HPHKm yang akan dikembangkan akan menjadi sebanyak 189 unit dengan luas kurang lebih 1,4 juta hektar.

Restrukturisasi Perkebunan

Usaha perkebunan mempunyai peranan yang strategis dalam rangka pembangunan ekonomi nasional, antara lain untuk memperoleh devisa, penyerapan tenaga kerja dan peningkatan kesempatan berusaha. Usaha sub sektor perkebunan menjadi sangat penting karena bertumpu pada sumber daya alam yang tidak tergantung pada komponen impor, sehingga menjadi salah satu andalan untuk memacu perputaran roda perekonomian nasional.

Penguasaan areal perkebunan saat ini memang sebagian besar, atau lebih dari 80%. merupakan kebun rakyat. Namun demikian, Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan seluas 20% dari areal perkebunan yang ada, terkonsentrasi kepemilikannya pada sejumlah kecil pengusaha besar, sehingga perlu dilakukan pembatasan luas. Kebijaksanaan restrukturisasi adalah untuk membatasi penguasaan lahan perkebunan oleh perusahaan besar atau grup perusahaan besar, dengan sasaran untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada peran masyarakat dalam kelembagaan koperasi, pengusaha kecil dan menengah, serta lembaga keagamaan dan kelompok masyarakat hukum adat, dengan mengurangi peran pemerintah dan perusahaan besar.

a. Pola Koperasi Usaha Perkebunan; dengan pola

ini masyarakat membentuk koperasi perkebunan, membangun kebun dan fasilitas pengolahannya, serta mengembangkan sarana dan prasarananya. Dalam proses pengembangan ini, koperasi usaha perkebunan ini dapat meminta bantuan pihak ketiga berdasarkan contract management (CM). Biaya pembangunan kebun, fasilitas pengolahan, dan sarana prasarana perkebunan serta biaya CM bersumber dari fasilitas kredit

lunak jangka panjang. b. Pola Patungan Koperasi dan Investor; pola ini

merupakan pengembangan dari pola PIR yang berlaku saat ini, yaitu menghilangkan pembatas kelembagaan plasma dan inti. Dalam pola ini sejak awal masyarakat membentuk koperasi dan berpatungan dengan perusahaan sebagai satu unit usaha patungan. Dengan pola ini secara menyeluruh komposisi pemilikan saham koperasi dan perusahaan

menjadi sekitar 65:35 persen. c. Pola Patungan Investor dan Koperasi; seperti

pola b., tetapi kontribusi koperasi terbatas pada in kind contribution yang disetarakan dengan nilai uang, misalnya pemilikan lahan oleh koperasi dinilai sebagai saham. Secara menyeluruh pangsa (sharing) koperasi pada tahap awal sekurang-kurangnya 20 persen, yang selanjutnya meningkat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kondisi

usahanya. d. Pola BOT; pola ini terbuka bagi investor

(BUMN/BUMS) termasuk PMA. Dengan pola ini investor membangun kebun, pabrik dan sarana prasarana pendukungnya, termasuk membangun koperasi usaha perkebunan yang akan menerima dan melanjutkan usahanya. Tahapan serta persyaratan membangun, mengoperasikan, dan mentransfer dirancang kesesuaiannya dengan karakteristik komoditas perkebunan yang diusahakan serta perkiraan kondisi pasarnya. Pada intinya, kebun dan pabrik ditransfer pada saat koperasi sudah siap

Untuk mengembangkan ekonomi rakyat dan menghilangkan struktur ekonomi dualistik akan diterapkan restrukturisasi organisasi produksi dan kelembagaan usaha perkebunan dengan menetapkan 5 (lima) pola pengembangan usaha perkebunan, yaitu:


Page 12

Kopi hasil produksi perkebunan di Indonesia dengan beragam merek dagang sudah dapat dinikmati di manca negara antara lain dikenal dengan merek dagang seperti Java Coffee, Lampung Coffee, Timoresse Coffee, Toraja Coffee dll.


Page 13

dapat berjalan dengan lancar akan dibentuk suatu institusi/lembaga pelaksana yang indenpenden untuk melakukan seleksi, monitoring dan evaluasi atas lahan-lahan hutan dan kebun yang dihibahkan peng-usahaannya melalui skema land grant college.

Perkembangan pelaksanaan LGC adalah telah dibuat memorandum of understanding (MoU) antara 12 perguruan tinggi dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Dilain pihak 29 pondok pesantren (ponpes) telah mengajukan permohonan, yang terdiri dari 12 pondok pesantren dengan "bedol" ponpes dan 17 ponpes mengajukan permohonan biasa. Dari 12 rencana bedol ponpes, 2 ponpes telah mengadakan MoU dengan mitra perusahaan swasta, dan 10 ponpes masih dalam tahap penelaahan. Dari kelompok yang mengajukan permohonan biasa, 3 ponpes telah memperoleh pencadangan areal, 2 lembaga (1 ponpes dan 1 MUI Kalsel) telah membuat MoU dengan Dephutbun, tetapi belum memperoleh lokasi, 7 permohonan ponpes dalam proses penelaahan lokasi dan 5 ponpes permohonannya tidak memenuhi persyaratan.

Beberapa komoditis hasil hutan dan kebun saat ini masih belum mampu bersaing dengan produk yang sama dari negara lain. Hal tersebut antara lain disebabkan: a) pengembangan kegiatan pengusahaan hutan dan kebun kurang didukung SDM yang berkualitas/profesional, disamping pengembangan Iptek yang dibutuhkan tidak berjalan seperti apa diharapkan, b) sebagian ekspor hasil hutan dan kebun adalah hasil industri hulu yang promosinya masih lemah, c) beberapa segmen pekerjaan masih harus menggunakan tenaga kerja asing (TKA) yang menimbulkan pemborosan pada biaya produksi, dan d) selama ini sudah ada pungutan sejenis levy and grant, akan tetapi pengelolaannya tidak efektif dan digunakan tidak secara transparan.

Dengan meningkatnya kualitas SDM, inovasi Iptek dan pengembangan promosi, yang merupakan kebutuhan manajemen diharapkan permasalahan tadi dapat diatasi secara simultan dan sekaligus mampu bersaing dan makin menjamin pengelolaan hutan dan kebun secara lestari.

Implementasi selanjutnya akan dibentuk kelembagaan berupa yayasan/badan, yang anggotanya terdiri dari asosiasi pengusaha hutan dan kebun serta unsur pemerintah yang terkait dengan pengelolaan sumber daya hutan dan kebun, pengembangan SDM dan Iptek serta promosi. Dalam program ini peran pemerintah bersifat fasilitator, pembinaan dan pengawasan agar program tersebut benar-benar dilaksanakan serta tidak menyimpang dari kebijaksanaan.

Khusus di bidang perkebunan, embrio penerapan konsep levy and grant telah berkembang yaitu dengan adanya Asosiasi Penelitian Perkebunan Indonesia (AP21). Prinsip utamanya adalah pengembangan jaringan yang bekerja atas dasar sharing, baik pengetahuan, teknologi, SDM, sarana prasarana maupun resiko adanya ketidakpastian. Dana dikumpulkan dari perusahaan melalui lembaga Levy and Grant sebagai pengelolanya. Dana itu juga kemudian digunakan oleh perusahaan yang bersangkutan

Permasalahan penerapan LGC terutama yang dilakukan oleh Ponpes, bahwa secara manajerial kemampuan manajemen (baik teknis maupun usaha) masih terbatas. Untuk itu bagi lembaga yang dinilai belum mampu melaksanakan manajemen pengusahaan dalam penerapan LGC, akan dilakukan secara bertahap dimulai dengan alokasi pemberian saham perusahaan yang proporsional untuk saham perusahaan swasta, koperasi dan lembaga keagamaan.

Levy and Grant

Langkah kebijaksanaan lain untuk meningkatkan SDM dan Iptek di bidang kehutanan dan perkebunan adalah melalui paket levy and grant. Hal ini perlu dilaksanakan dalam rangka menghadapi perdagangan bebas dalam era globalisasi dan persiapan penerapan ecolabel tahun 2000 serta untuk meningkatkan daya saing produk


Page 14

1. Aspek Piranti lunak/Peraturan Perundang

undangan Pemberian ijin HPH, HPHTI dan perkebunan yang ternyata banyak terakumulasi pada kelompok-kelompok tertentu tidak lepas dari adanya praktek KKN. Akan tetapi secara prosedural kesemuanya telah sesuai dengan Peraturan Perundangan-undangan yang berlaku. Dengan demikian penanggulangannya harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari terjadinya tuntutan-tuntutan hukum baik melalui PERATUN maupun PERDATA. Upaya penanggulangan KKN dari aspek legalitas dilakukan secara bertahap dengan menyusun peraturan yang mengarah kepada pembatasan kepemilikan HPH, HPHTI dan perkebunan melalui kegiatan restrukturisasi. Hal ini karena dirasakan sejauh ini peraturan perundang-undangan yang ada di bidang kehutanan dan perkebunan dapat membuka adanya peluang terjadinya KKN. Dalam UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 dan PP No. 21 Tahun 1970, terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaannya karena : a. Belum adanya pengaturan pembatasan luas

areal maksimum yang dapat diberikan

dalam pengusahaan hutan. b. Kurang mencerminkan kepada upaya

pemberdayaan ekonomi rakyat. c. Proses pemberian ijin HPH yang kurang

transparan. d. Mudahnya proses pelepasan lahan untuk

peruntukan non kehutanan. Untuk itu upaya-upaya yang akan ditempuh oleh Dephutbun antara lain melalui peninjauan kembali dan atau penyempurnaan terhadap perangkat lunak/peraturan perundangan tersebut, antara lain : a. Penyempurnaan UU Pokok Kehutanan

No. 5 Tahun 1967. RUU Kehutanan saat

ini sedang dalam proses pembahasan di DPR RI. Dalam RUU ini disamping memperhatikan aspek kelestarian hutan juga memberikan peluang bagi keikutsertaan dan kepentingan masyarakat di sekitar hutan untuk mengelola dan

memanfaatkan hutan. b. Diterbitkan PP No. 6 Tahun 1999 tentang

HPH dan HPHH pada hutan produksi yang mengatur adanya batasan luasan maksimum bagi usaha Pengusahaan Hutan serta memberlakukan pengenaan tarif

secara progresif. c. Keputusan Menteri Kehutanan dan

Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan. Dalam keputusan ini areal hutan kemasyarakatan yang merupakan kawasan hutan negara diberikan hak pengusahaannya kepada

masyarakat setempat. d. Keputusan Menteri Kehutanan dan

Perkebunan No. 728/Kpts-II/1998 tentang Luas Maksimum Pengusahaan Hutan dan Pelepasan Kawasan Hutan. Untuk Sumber Daya Perkebunan antara lain menetapkan areal HPH atau HPHTI baik untuk pulp maupun untuk non pulp dalam 1 (s propinsi maksimum seluas 100.000 Ha, dan untuk seluruh Indonesia maksimum seluas

400.000 Ha. e. Keputusan Menteri Kehutanan dan

Perkebunan No. 313/Kpts-II/1999 tentang Tata Cara Pelelangan Hak Pengusahaan Hutan. Ketentuan ini adalah tata cara untuk memperoleh HPH dalam hutan produksi yang luasnya 50.000 sampai dengan 100.000 Ha, melalui suatu pelelangan yang

terbuka. f. Keputusan Menteri Kehutanan dan

Perkebunan No. 307/Kpts-II/1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembaharuan Hak Pengusahaan Hutan, antara lain menetapkan luas areal HPH yang dapat diperbaharui maksimum seluas + 100.000 Ha dalam satu propinsi kecuali di Irian Jaya maksimum + 200.000 Ha, dan untuk


Page 15

3. Penelitian dilaksanakan terhadap 3 (tiga)

perusahaan yang termasuk Surya Damai Group. Dua perusahaan dalam taraf PPUB dan 1 (satu) perusahaan sudah melaksanakan pembukaan lahan.

1. Penelitian Administrasi perusahaan di bidang

perkebunan yang diduga adanya KKN
sebanyak 33 perusahaan di 11 propinsi, yang ditindak lanjuti dengan pemeriksaan ke

lapangan terhadap 19 perusahaan, yang terdiri

dari 17 perusahaan telah operasional dan 2 masih tahap Persetujuan Prinsip Usaha Budidaya (PPUB).

Dari 17 perusahaan yang telah operasional

secara umum kondisi kebunnya baik, kecuali 2 dua perusahaan dikatagorikan kurang baik (kelas IV dan V), dan 4 perusahaan di Lampung terjadi ketidak sesuaian antara pengelola kebun dengan kepemilikan lahan ( HGU). Enam Perusahaan dari seluruh perusahaan

yang diteliti telah berubah kepemilikan

sahamnya kepada pihak lain. Dua perusahaan

yang masih dalam taraf PPUB sampai dengan

bulan Maret 1999 tidak mengajukan perpanjangan izinnya dan tidak ada kemajuan

perkembangan yang berarti. 2. Uji petik dilaksanakan terhadap 7 perusahaan

yang terdiri dari 4 perusahaan yang telah operasional, 2 perusahaan mulai operasional (konstruksi) dan 1 perusahaan masih dalam taraf PPUB.

a. Perusahaan yang telah operasional :


Keempat perusahaan tersebut telah memperoleh HGU dan kebunnya dikelola dengan baik. Dari ke 4 perusahaan tersebut, 1 (satu) perusahaan arealnya tumpang tindih dengan kawasan cagar alam dan

areal yang dicadangkan untuk PIRSUS


PTP XVIII. b. Perusahaan dalam taraf konstruksi dan

PPUB. Dua perusahaan sedang melaksanakan pembukaan lahan dan mulai kegiatan penanaman, sedangkan 1 (satu) perusahaan arealnya mengalami pergeseran dan tidak ada kemajuan usaha.

1. Penggunaan kawasan hutan dengan prosedur

pinjam pakai yang diindikasikan adanya KKN meliputi 8 perusahaan. Telah dilaksanakan uji petik pemeriksaan dengan hasil : a. PT. Semen Cibinong (di Gn. Karang

Bogor). Dikenakan peringatan I dengan batas waktu 1 bulan, untuk secepatnya menyelesaikan tanah kompensasi dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung sejak tgl. 1 September 1999. Apabila tidak diselesaikan maka pinjam pakai kawasan hutan dikenakan ratio 1:2 dari luas tanah

kompensasi. b. PT. Indocement Tunggal Perkasa (di Gn.

Karang Bogor). Dikenakan peringatan I dengan batas waktu 1 bulan, untuk secepatnya menyelesaikan permasalahan gugatan atas tanah kompensasi dalam jangka waktu selambat- lambatnya 3 bulan terhitung tgl. 1 Septem- ber 1999. Apabila tidak diselesaikan maka persetujuan prinsip pinjam pakai kawasan

hutan akan dibatalkan. c. PT. Artha Putra Internasional (di Riau).

Dikenakan peringatan i dengan batas waktu 1 bulan untuk secepatnya menyelesaikan pinjaman pakai dengan jangka waktu selambat-lambatnya 3 bulan terhitung sejak 1 September 1999. Apabila tidak diselesaikan maka persetujuan prinsip

pinjam pakai akan dibatalkan. 2. Penggunaan kawasan hutan dengan prosedur

tukar menukar yang diindikasikan diperoleh karena adanya KKN meliputi 12 perusahaan, dan telah dilaksanakan uji petik pemeriksaan di lapangan terhadap 3 perusahaan, dengan hasil : a. PT. Bali Turtle Island Development (di Menteri Keuangan dan akan dikirim ke

Ngurah Rai, Bali). Proses tukar menukar dapat dilanjutkan karena menguntungkan negara, akan tetapi masih perlu dikaji lebih

mendalam. b. PT. Semen Dwima Agung (di Tuban,

Jatim). Dari tukar menukar menjadi pinjam

pakai dengan kompensasi 1 : 2. c. PT. Kusuma Raya Utama (di Tretes,

Jatim). Ratio tanah pengganti 1 : 10 akan diadakan rekalkulasi.

3. Pelepasan kawasan hutan yang diindikasikan

adanya KKN meliputi 2 perusahaan, dengan hasil sbb :

a. PT. Buana Mega Wisata (di P. Bintan,

Riau). Areal seluas 11.829,12 Ha dapat ditarik kembali untuk dijadikan kawasan TWA, dan areal seluas 9.100 Ha harus diselesaikan dengan cara relokasi fungsi

atau tukar menukar kawasan hutan. b. PT. Surya Bangun Pertiwi (di P. Bintan,

Riau). Menyiapkan pembatalan atas pelepasan kawasan hutan (P. Loban) seluas 370 Ha untuk dikembalikan sebagai kawasan hutan.

hutan, yang pada akhirnya mengakibatkan kondisi hutan yang rusak.

Kendala yang dihadapi antara lain : a. Sulitnya pengawasan karena keterbatasan

petugas serta kondisi lapangan yang berat dan

aksesibilitas yang rendah. b. Menyangkut hubungan 2 (dua) negara (Indo

nesia dan Malaysia). c. Adanya oknum aparat/petugas yang

memungkinkan terjadinya penebangan liar. d. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di daerah

perbatasan masih memprihatinkan, sehingga mudah tergoda untuk membantu melakukan penebangan liar dan penyelundupan kayu.

Langkah-langkah upaya tindak lanjut yang akan ditempuh adalah: a. Mencabut/menyempurnakan Keppres Nomor

44 Tahun 1994, dan selanjutnya pengelolaan di wilayah perbatasan akan memperhatikan Keppres Nomor 13 Tahun 1998 tentang Penetapan Kawasan Pengembangan Ekonomi

Terpadu (KAPET) Sanggau. b. Mencabut ijin HPH PT. Yamaker melalui

Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan Nomor 347/Kpts-II/1999 tanggal 21 Mei 1999 tentang Pembatalan Surat

Menhut Nomor 1355/Menhut-IV/1989 tentang

Persetujuan Prinsip Perpanjangan HPH PT.

Yamaker. c. Menyusun design pengelolaan hutan di

perbatasan, khususnya pengelolaan hutan eks HPH PT Yamaker. Konsep perencanaan umum penanganan hutan di perbatasan perlu adanya sinkronisasi antara kebijakan di pusat dan daerah.

Pengelolaan Kawasan Hutan di Perbatasan di Kalimantan

Pengelolaan kawasan perbatasan di Kalimantan yang diatur berdasarkan Keppres No. 44 tahun 1994, diantaranya memberikan ijin HPH kepada PT Yamaker di sepanjang perbatasan dengan lebar 20 Km. Luas areal HPH tersebut adalah 834.500 hektar di Propinsi Kalimantan Barat dan 265.000 hektar di Propinsi Kalimantan Timur. Pengelolaan kawasan tersebut tidak berjalan dengan baik dan banyak menghadapi masalah antara lain timbulnya pencurian kayu, penjarahan/pencurian kayu yang memasuki wilayah Indonesia, dan penyelundupan hasil

d. Melibatkan Perum Perhutani dalam

pengelolaan wilayah perbatasan. Telah diterbitkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan tentang Penunjukan Perum Perhutani untuk mengelola areal hutan eks HPH PT Yamaker di Propinsi Kalimantan Barat dan Kelimantan Timur.

Hutan yang sebagian di tutupi oleh kabut di kawasan Bukit Raya/Baka Kalimantan Barat. Hutan primer yang berperan sebagai gudang sumber genetika

Traditional Forestry knowledge di akomodasikan pada kegiatan hutan kemasyarakatan. Pemungut getah damar di Krui, Lampung

Presiden melalui Menteri Sekretaris Negara. b. Pemungutan DR diusulkan untuk dilakukan di

Tempat Penimbunan Kayu (TPK) di hutan secara official assessment.

Peruntukkan DR digunakan untuk : a. Dana pembangunan dan kegiatan penunjang

yang dituangkan dalam dokumen anggaran. b. Untuk Penyertaan Modal Pemerintah (PMP)

dan subsidi bunga pinjaman dalam rangka

pembangunan hutan tanaman. c. Dana pinjaman bergulir (revolving fund) yang

diutamakan untuk mendukung program pemberdayaan usaha ekonomi rakyat yang antara lain dialokasikan untuk koperasi, usaha kecil, menengah dan masyarakat, BUMN dan perusahaan patungan di bidang kehutanan.

oleh Menteri untuk dikelola oleh masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan. Tujuan utamanya adalah pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan mensejahterakan masyarakat. Pengusahaan hutan kemasyarakatan bertumpu pada pengetahuan, kemampuan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri melalui pendekatan community based forest management. Oleh karena itu prosesnya berjalan melalui perencanaan bawahatas, dengan bantuan fasilitasi dari pemerintah secara efektif, terus menerus dan berkelanjutan yang menjadi kunci keberhasilan dari

upaya

ini. Berdasarkan jenis komoditas, pengusahaan hutan kemasyarakatan memiliki pola yang berbeda untuk setiap status kawasan hutan, disesuaikan dengan fungsi utamanya. Pemilihan komoditas ditentukan berdasarkan kepentingan kehutanan dan kebutuhan masyarakat secara seimbang dan dinamis, baik untuk jenis kayu, non kayu maupun jasa lingkungan. Untuk itu dipersyaratkan bahwa pola HKm mengutamakan pentingnya menjaga beragamnya jenis dan multistrata dalam satu kesatuan areal pengelolaan, agar kebutuhan masyarakat dapat terjamin secara berkelanjutan dan fungsi hutan tetap terjaga.

Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Pengusahaan hutan kemasyarakatan telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 677/Kpts-II/1998. Keputusan tersebut sebagai penyempurnaan Keputusan Menteri Kehutanan No. 622/Kpts-II/ 1995. Prinsip-prinsip pengusahaan hutan kemasyarakatan adalah: a. Menitikberatkan pada kepentingan untuk

mensejahterakan masyarakat. b. Membangun dan memperkuat kelembagaan

masyarakat setempat yang berbasis pada infrastruktur fisik, sosial, ekonomi dan budaya

setempat. c. Pelatihan dan pendampingan untuk

mewujudkan lembaga masyarakat yang tangguh dan profesional dalam pengelolan hutan yang lestari.

Penerapan HPHKm merupakan salah satu langkah untuk penerapan redistribusi pengusahaan hutan, khususnya dalam rangka pemberdayaan ekonomi rakyat.

Hutan kemasyarakatan diartikan sebagai hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan

Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan

Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai kesulitan, diantaranya masalah pangan bagi lebih dari 200 juta penduduk. Hutan dan kebun apabila ditata dapat diandalkan untuk memecahkan permasalahan tersebut.

Dilihat dari potensi luas hutan dan kebun yang ada, maka selama ini kita masih belum secara sungguh-sungguh melaksanakan program pengembangan pangan dari hutan dan kebun, dan belum mengoptimalkannya sebagai sumber pangan nasional. Tujuan lain penanaman tanaman pangan ini adalah untuk lebih terjaganya cadangan dan sumber air bagi masyarakat serta bertambahnya produksi oksigen dari dalam hutan dan kebun. Dengan kemampuan seperti demikian, maka fungsi hutan tropis ini antara lain sebagai


Page 16

Musang (Nyctimene Cephalotes)

Aneka jenis flora dan fauna yang potensial yang diusahakan oleh masyarakat, terutama dalam skala usaha kecil, antara lain adalah jangkrik, biawak, ular, lipan, katak, aneka burung, kera, musang, ikan arwana, kupu-kupu, laba-laba, cacing merah, ikan hias, sarang walet, kadal, tokek, anggrek, pakis, dan kayu gaharu. Pada saat ini, komoditas di atas telah menjadi mata dagang ekspor yang dapat mendorong atau sebagai potensi penghasil devisa. Jangkrik misalnya, harga ekspor sekitar US$ 15 per 1.000 ekor padahal penangkaran jangkrik oleh anggota keluarga, mampu menghasilkan 10.000 ekor sehari dengan harga jual lokal sekitar Rp. 50,- per ekor atau 1 unit penangkaran tersebut akan dapat menghasilkan kurang lebih Rp. 50.000,- per hari. Musang, harga di tingkat penangkap sekitar Rp. 5.000,- per ekor, di tingkat pengumpul antara Rp. 7.500,- sampai Rp. 25.000,- per ekor dan harga ekspor antara US$ 5 sampai dengan US$ 15 per ekor. Harga eskpor kupu-kupu antara US$ 1 sampai US$ 10 per ekor. Harga yang kurang lebih sama adalah katak dan tokek.

Melihat potensi di atas, pemanfaatan aneka komoditas flora dan fauna akan sangat prospektif untuk membuka peluang usaha masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Memang, pemanfaatan berbagai jenis flora dan fauna harus mengikuti pengaturan kuota sebagaimana ditetapkan di dalam dokumen CITES. Sesuai

ketentuan tersebut, pemerintah menunjuk 2 (dua) badan, yaitu LIPI sebagai scientific authority dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan sebagai management authority dalam peredaran flora fauna. Pemanfaatan flora dan fauna dikendalikan oleh Dephutbun melalui kuota yang ditetapkan oleh usulan LIPI.


Page 17

Dalam masa krisis seperti sekarang, dimana sektor industri besar banyak yang macet, justru usaha-usaha ini mampu menambang dollar dengan bermodal rupiah. Ironis memang, pengusaha industri besar yang banyak dimanjakan fasilitas kredit justru banyak yang berguguran, sedangkan pengusaha flora dan fauna yang tidak tersentuh permodalan dari lembaga keuangan, banyak menyumbang terhadap kegiatan ekonomi masyarakat.

Permodalan memang menjadi permasalahan dalam rangka pengembangan usaha ekonomi skala kecil. Dalam kegiatan usaha di atas, keterbatasan modal bagi pengumpul, mengakibatkan terhambatnya arus uang kepada masyarakat karena ketidakmampuan membayar tunai. Apabila mereka diberi fasilitas permodalan, maka akan mampu menyerap hasil usaha masyarakat dan akan mampu mengembangkan usaha penangkaran bersama masyarakat demi kelangsungan usahanya.

Pemanfaatan satwa liar dan tumbuhan alam diatur berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1990 dan PP Nomor 8 Tahun 1999. Sedangkan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi, diatur dengan PP Nomor 13 Tahun 1994. Tata usaha peredaran flora dan fauna diatur berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 62/Kpts-II/1998. Sampai saat ini terdaftar 235 eksportir aktif dan 174 penangkar yang melakukan perdagangan spesimen tumbuhan dan

satwa liar dengan jumlah jenis yang ditangkar sebanyak 99 jenis tumbuhan dan satwa, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi. Peluang ekspor flora dan fauna berdasarkan 2 katagori, yaitu kuota dari habitat alam dan non kuota dari penangkaran. Bagi flora fauna yang ditetapkan kuotanya, peluang ekspor ditentukan dengan mempertimbangkan kelestarian populasi. Untuk tahun 1999 telah ditetapkan kuota untuk reptil 161 jenis (2,39 juta ekor), amphibia 55 jenis (404,7 ribu ekor), insekta 99 jenis (615 ribu ekor), hasil satwa liar burung walet 3 jenis (pemanenan bebas), dan flora 9 jenis (257 ribu batang).

Kendala yang dihadapi dalam meningkatkan ekspor flora dan fauna, antara lain : a) kuota belum didasarkan atas hasil inventarisasi di lapangan, dan b) belum seluruh jenis komersial diketahui teknik penangkarannya. Untuk itu, maka penetapan kuotanya didasarkan atas dasar hasil survey di lapangan, baik oleh LIPI maupun unit pelaksana teknis Dephutbun di daerah yang telah direkomendir metodologinya oleh LIPI. Selanjutnya akan ditingkatkan kerjasama lembaga penelitian, lembaga konservasi, dan LSM, terutama untuk ujicoba penangkaran jenis, seperti kupu-kupu, rusa, beo, kera, kima, cendrawasih, dan harimau.

Dampak krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia banyak menimbulkan bisnis yang mengalami gangguan. Di sisi lain, usaha di bidang wisata alam justru menjanjikan perolehan devisa yang menggembirakan.

dan agrowisata. Berdasarkan identifikasi Masyarakat Ekowisata Indonesia (MEI), di Indonesia terdapat 61 daerah tujuan ekowisata potensial.

Dalam rangka pengembangan obyek dan daya tarik wisata yang berorientasi kepada alam, Indonesia memiliki peluang yang cukup besar di masa yang akan datang yang didukung dengan kekayaan alam yang dikenal sebagai mega diversity jenis hayati dan mega center keanekaragaman hayati di dunia.

Indonesia memiliki kurang lebih 17.000 pulau yang memiliki keanekaragaman flora dan fauna, serta berbagai jenis ekosistem. Kekayaan flora dan fauna di Indonesia ditunjukan dari kurang lebih 10% tumbuhan berbunga di dunia berada di Indonesia, 12% binatang menyusui, 16% reptilia dan amphibia, 17% burung, 25% ikan, dan 15% serangga, meskipun luas daratan Indonesia hanya 1,23% dari luas daratan di dunia.

Untuk tujuan ke arah pengembangan ekoturisme, jumlah potensi obyek wisata alam hutan yang ada saat ini berjumlah lebih dari 127 buah, meliputi taman nasional 38 buah, taman hutan raya 9 buah, taman wisata alam 73 buah, taman wisata laut 7 buah, hutan lindung, serta kawasan perkebunan sebagai sasaran ekowisata

Kendala yang dihadapi dalam kaitannya dengan pengembangan ekoturisme, antara lain adalah keanekaragaman sumber daya alam yang dimiliki Indonesia belum merupakan suatu daerah tujuan ekowisata dari sumber pasar wisatawan, dan lokasi ekowisata yang dikembangkan kurang terjaga/terpelihara dan belum didukung sarana prasarana yang memadai, serta adanya persaingan dengan negara lain yang memiliki obyek yang sama. Upaya yang akan dilakukan, selain menentukan tujuan wisata, penyusunan rencana kelola, dan rencana investasi, serta pengembangan sarana prasarana pariwisata alam yang memadai, juga akan ditingkatkan peran serta masyarakat dalam kegiatan ekowisata. Pengembangan peranserta masyarakat merupakan hal yang sangat penting. Hal ini karena masyarakat lokal merupakan bagian integral yang mempunyai potensi untuk ikut berperan serta sebagai subyek yang berkaitan langsung dengan pengembangan obyek wisata alam dan daya tarik kultural yang sering banyak diminati oleh para wisatawan. Dengan upaya-upaya di atas, maka ekoturisme mempunyai peluang dan harapan yang sangat besar sebagai wahana pemberdayaan ekonomi kerakyatan di bidang kehutanan dan perkebunan di masa-masa yang akan datang.

Canopy trail seperti gambar diatas adalah salah satu sarana prasarana yang dibangun di Taman Nasional untuk menunjang pengembangan ekoturisme

melaksanakan pengusahaan hutan sebanyak 420 unit HPH dengan luas areal kerja 51,6 juta hektar. Dari jumlah unit HPH tersebut yang dipegang oleh perusahaan swasta murni meliputi 324 unit dengan luas kurang lebih 39,2 juta hektar, perusahaan patungan antara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan swasta di bidang kehutanan sebanyak 87 unit yang meliputi luas 8,3 juta hektar, dan BUMN sebanyak 9 unit dengan luas areal kerja 4,1 juta hektar. Sedangkan jumlah HPH yang tidak aktif sebanyak 235 unit dengan luas hampir 18 juta hektar, terdiri dari 10 unit yang belum ada penugasan seluas 963 ribu hektar, dilakukan perubahan fungsi sebanyak 37 unit seluas 3,23 juta hektar, pencadangan areal sebanyak 39 unit dengan luas 4,29 juta hektar, dan eks HPH yang direhabilitasi oleh BUMN sebanyak 149 unit

dengan luas 9,47 juta hektar. c. Untuk kegiatan Tebang Pilih dan Tanam In

donesia (TPTI) pada pengusahaan hutan alam produksi, untuk tahun 1998/1999 realisasinya adalah:

Pelaksanaan dan Hasil-Hasil Program Pembangunan

Program Pemantapan Kawasan Hutan Dan Peningkatan Produktivitas Hutan Alam

1) Penanaman pengayaan (enrichment plant

ing) di areal HPH seluas 430 ribu hektar,

atau 54% dari target seluas 800 ribu hektar. 2) Penanaman lahan kosong, kiri-kanan jalan

angkutan dan pohon kehidupan 45,3 ribu hektar atau 25% dari target seluas 180 ribu hektar.

Program pemantapan kawasan hutan dan peningkatan produktivitas hutan bertujuan untuk meningkatkan kemantapan kawasan hutan dan peningkatan produksi dari hutan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat dan industri hasil hutan secara lestari.

Hasil-hasil pelaksanaan pembangunan program ini antara lain: a. Realisasi penataan batas sampai dengan bulan

April 1999 mencapai panjang + 211, 3 ribu kilometer; terdiri dari penataan batas luar sepanjang +161,6 ribu kilometer, atau mencapai 78,16 % dari target, dan penataan batas fungsi sepanjang + 49,6 ribu kilometer,

atau mencapai 61,22 % dari target. b. Sampai dengan bulan Juni 1999 jumlah

perusahaan pemegang HPH yang aktif

d. Kegiatan yang berkaitan dengan pembentukan

Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi (KPHP) telah dilaksanakan pembuatan rancangan unit KPHP Propinsi di 11 propinsi yaitu DI. Aceh, Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Kalsel, Sulteng dan Maluku, dan pembuatan draft rancangan KPHP propinsi Sumbar, Sulut dan Sulsel.

e. Produksi kayu bulat pada tahun 1998/1999

mencapai 18,73 juta m3. Jumlah ini hanya 50% dari rencana sebesar 37,48 juta m3, atau mencapai 71 % dibandingkan dengan jumlah produksi pada tahun 1997/1998 sebesar 26,42

f. Dari kegiatan pengusahaan hutan pada tahun

1998/1999 telah dihasilkan penerimaan negara yang meliputi penerimaan Iuran Hasil Hutan/ Provisi Sumber Daya Hutan (IHH/PSDH) sebesar Rp. 693,2 milyar atau 103% dari rencana sebesar Rp. 671,9 milyar, dan penerimaan Dana Reboisasi (DR) sebesar Rp. 1.902,2 milyar atau 202% dari rencana

sebesar Rp. 938,9 milyar. g. Dalam rangka sertifikasi pengelolaan hutan

lestari telah disetujui 2 (dua) Standar Nasional Indonesia (SNI), yaitu SNI 19-5000-1998 dan SNI 19-5000-1-1998, dan dan 1 (satu) Pedoman BSN (BSN 99-1999). Selain itu telah diajukan 1 (satu) RSNI, yaitu RSNI 19-50051998, dan 8 (delapan) Rancangan Pedoman BSN kepada Badan Standarisasi Nasional. Selanjutnya telah pula disusun draft S-PHTIL dan Sistem SLB, serta telah dilakukan pelatihan sebanyak 86 asesor (penilai) dalam rangka pelayanan sertifikasi PHL. Dalam rangka pelaksanaan PHL ini telah 14 perusahaan pemegang HPH yang mengajukan permohonan sertifikasi PHPL, dimana 1 (satu) perusahaan pemegang HPH telah dinyatakan lulus.

ubah sebagai akibat belum tuntasnya paduserasi TGHK dan RTRWP. Selain itu dalam rangka pelaksanaan penataan batas di lapangan seringkali dihadapkan pada hambatan dimana areal hutan yang akan dilakukan tata batas ternyata telah diokupasi penduduk Target tata batas masih menggunakan acuan pola TGHK dan/atau RTRWP yang belum dimantapkan. Hal ini sebagai akibat belum definitifnya padu-serasi TGHK dan RTRWP. Adanya penurunan aktivitas/operasional HPH karena pengaruh krisis moneter dan ekonomi, serta gangguan keamanan. Terdapat areal eks HPH yang belum jelas status pengelolaannya. Dilain pihak BUMN yang ditugaskan melakukan rehabilitasi hutan eks areal terbatas kemampuan sumberdayanya. Kepedulian pemegang HPH terhadap kelestarian sumberdaya hutan masih kurang, sehingga kegiatan regenerasi hutan kurang diperhatikan. KPHP belum diimplementasikan di lapangan. Adanya gangguan kegiatan operasional HPH seperti adanya penjarahan kayu, penyanderaan dan perusakan alat berat, perusakan/ pembakaran base camp dan gangguan keamanan lainnya. Selanjutnya masih terjadi adanya penebangan ilegal. Masih adanya tunggakan penerimaan kehutanan (PSDH/IHH dan DR) yang jumlahnya cukup besar, yaitu PSDH/IHH sebesar Rp.57,1 milyar, dan DR sebesar Rp. 135,8 milyar dan US$3,5 juta. Belum semua aparat kehutanan dan pihak perusahaan swasta kehutanan memahami arti pentingnya Sertifikasi Pengelolaan Hutan Lestari (S-PHL) dalam rangka pelaksanaan ecolabeling Pembinaan pengembangan dan produksi hasil hutan non kayu (HHNK) masih kurang intensif. Sistem monitoring dan pelaporan produksi HHNK masih kurang lancar.

h. Dalam rangka pengembangan produksi hasil

hutan non kayu (HHNK) maka realisasi produksi pada tahun 1998/199 adalah sebagai berikut: rotan 53 ribu ton, damar 6,7 ribu ton, gondorukem 43 ribu ton, terpentin 7,3 ribu ton, getah pinus 30,6 ribu ton, minyak kayu putih 357 ribu ton. HHNK adalah salah satu jenis komoditas ekspor yang potensial untuk meningkatkan perolehan devisa negera. Untuk itu pengembangan produksi komoditas ini akan makin dikembangkan.

Permasalahan yang dihadapi dalam rangka pelaksanaan program ini antara lain adalah:

Dalam rangka penataan batas areal hutan, deliniasi trayek kawasan hutan sering berubah

Mengkaji pembentukan BUMN baru di bidang kehutanan yang diberi tugas utama untuk melaksanakan rehabilitasi hutan areal eks HPH.

Kegiatan rehabilitasi dan regenerasi hutan dijadikan prioritas dalam kegiatan HPH untuk mencegah kerusakan dan penurunan mutu hutan alam.

KPHP digunakan sebagai acuan dalam redistribusi dan penataan kembali areal-areal kerja HPH, termasuk HPH skala kecil dan Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm).

1. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI)

Perkembangan permohonan HPHTI yang telah mendapat areal sampai dengan akhir April 1999 berjumlah 162 unit, terdiri dari 29 unit HTI Pulp, 66 unit HTI Kayu Perkakas, dan 67 unit HTI Pola Transmigrasi (HTI Trans). Dari jumlah permohonan tersebut sebanyak 98 unit HPHTI telah mendapatkan Surat Keputusan definitif, yaitu 18 unit HTI Pulp, 31 unit HTI Perkakas, dan 49 unit HTI Trans Realisasi fisik pembangunan hutan tanaman pada tahun 1998/1999 mencapai areal seluas 179.318 hektar atau 72 % dari target seluas 250.000 hektar. Luasan tersebut terdiri dari HTI Pulp seluas 82.604 hektar, HTI Kayu Pekakas seluas 22.291 hektar, HTI Trans seluas 28.887 hektar, dan penanaman tanaman jenis kayu andalan seluas 45.536 hektar. Disamping itu masih terdapat penyiapan lahan untuk pembuatan hutan tanaman seluas 158.356 hektar.

Diperlukan upaya represif penegakan hukum dan upaya persuasif serta membuka kesempatan yang lebih luas bagi masyarakat dalam kegiatan pengelolaan hutan. Mengembalikan sistem self assessment ke official assessment

Meningkatkan pemantauan, pengawasan dan penagihan iuran IHH/PSDH dan DR. Meningkatkan sosialisasi S-PHL kepada aparat kehutanan dan swasta kehutanan.

2. Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (HKm)

Pembangunan HKm dimaksudkan untuk meningkatkan interaksi positif antara masyarakat dan hutan/kehutanan, sehingga kedua belah pihak dapat memperoleh

Menyelesaikan penilaian sertifikasi PHL bagi perusahaan pemegang HPH.


Page 18

Program Pengembangan Usaha Pengolahan Hasil Hutan

potensi hutan yang makin meningkat, dengan titik berat kegiatan pada pengembangan hutan rakyat, persuteraan alam dan perlebahan.

Hasil-hasil pelaksanaan kegiatan pembangunan program di atas adalah: a. Dalam rangka pengembangan hutan rakyat

telah dilaksanakan pembuatan areal model hutan rakyat sebanyak 23 unit seluas 575 hektar, pengadaan bibit 5,3 juta batang, pelatihan petani hutan rakyat 360 orang, pembuatan areal model budidaya bambu seluas 2.000 hektar, penyaluran kredit hutan

rakyat sebesar Rp.749.424.000,-. b. Pengembangan persuteraan alam telah

dilakukan di Sulawesi Selatan, Jawa Barat dan Sumatera Barat. Pada tahun 1998/1999 dilakukan penanaman murbei 472 hektar, pemberian bantuan tanaman 1,7 juta stek, bantuan bibit telur kepada petani 120 box, pelatihan petani 120 orang, pelatihan petugas 80 orang, penyaluran kredit persuteraan alam sebesar Rp.4.422.451.340,- pada luasan usaha 1.382,3 hektar. Dalam rangka pengembangan produksi pada tahun 1998/1999 telah dihasilkan kokon sebanyak 288 ton dan benang

sutera sebanyak 42 ton. c. Di bidang pengembangan perlebahan telah

dilakukan pelatihan teknis budidaya lebah kepada 210 orang petani dan 40 orang tenaga penyuluh serta pengadaan 60 koloni lebah Apis mellifera.

Permasalahan yang menyangkut pengembangan kegiatan usaha perhutanan sosial antara lain kurangnya kemampuan kewirausahaan petani peserta usaha, tidak memadainya dana pengembangan usaha serta rendahnya kemampuan teknis budidaya baik petani maupun aparat penyuluh. Dampak yang terjadi adalah kurang pastinya pemasasaran hasil dan rendahnya mutu produksi. Upaya yang perlu ditempuh adalah penyediaan sumber pendanaan yang memadai, peningkatan kemampuan manajerial dan teknis usaha budidaya, menciptakan peluang pasar baik dalam

Program ini diarahkan untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil hutan, baik berupa kayu maupun non kayu dalam rangka peningkatan efisiensi pemanfaatan bahan baku. Gambaran keadaan usaha-usaha pengembangan usaha pengolahan hasil hutan di Indonesia antara lain 1. Jumlah industri utama pengolahan kayu yang

ada saat ini meliputi industri plywoodmill sebanyak 107 unit, sawmill sebanyak 1.701

unit, dan industri pulp & paper sebanyak 6 unit. 2. Produksi kayu olahan pada tahun 1998/1999

antara lain plywood sebesar 6,45 juta m3, sawnwood sebanyak 2,37 juta m3, woodworking sebanyak 5,67 ribu m3, blockboard 0,61 juta m3, pulp sebanyak 1,85 juta ton, dan

kertas 0,22 juta ton. 3. Realisasi ekspor hasil olahan kayu selama

tahun 1998/1999 adalah plywood sebesar 3,88 juta m3, sawnwood sebesar 34,01 ribu m3, woodworking sebanyak 1,92 ribu m3, blockboard sebanyak 0,48 juta m3, pulp sebanyak 0,61 juta ton, dan kertas sebanyak 3,18 juta ton

Masalah yang paling menonjol dalam rangka pengembangan usaha pengolahan hasil hutan adalah adanya kesenjangan penyediaan bahan baku antara permintaan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dengan kemampuan supply penyediaan bahan baku dari hutan. Saat ini sebagian besar kebutuhan bahan baku untuk industri pengolahan kayu, khususnya industri plywood dan sawn timber, masih harus dipenuhi dari kayu-kayu yang berasal dari hutan alam produksi. Khusus untuk kegiatan tahun 1998/1999, dimana kegiatan pengusahaan hutan mengalami penurunan operasional sebagai dampak terjadinya krisis, maka kegiatan pada


Page 19

Kegiatan pemanfaatan limbah kayu menjadi pupuk kompos; merupakan salah satu bentuk kemitraan perusahaan perkayuan dengan masyarakat di sekitarnya dalam wadah koperasi, yang hasil usahanya antara lain untuk media persemaian


Page 20

memperoleh nilai tambah yang tinggi dengan masukan modal tehnologi manajemen dan akses pasar. Pelaksanaan program PUP ini dilakukan melalui proyek PUP baik di tingkat pusat dan daerah serta bagian proyek STCPP (Smallholder Tree Crop Processing Project) dan PIR (Perkebunan Inti Rakyat).

Pelaksanaan kegiatan dari proyek ini antara lain adalah:

Melaksanakan pengembangan kelembagaan petani plasma PIR-Bun sebanyak 75 lokasi dengan luasan 397.584 ha dengan tanaman yang dibina adalah kelapa sawit, karet, kelapa dan teh.

perkebunan. Pelaksanaan program P2RT dilaksanakan oleh proyek P2RT di pusat serta proyek P2RT yang tersebar di berbagai daerah.

Kegiatan utama dari proyek P2RT adalah : Melaksanakan kegiatan pembinaan unit pelayanan pengembangan (UPP) intensifikasi sebanyak 200 unit mencakup tanaman tebu, tembakau, kapas, serat karung dan jarak serta UPP eks PRPTE (Pengembangan Rehabilitasi dan Perluasan Tanaman Ekspor) sebanyak 573 unit untuk pembinaan kebun seluas 290.348 hektar yang meliputi tanaman karet, kelapa, kopi, lada, kakao, dll. Melakukan kegiatan diversifikasi usaha tani Melaksanakan pembinaan kegiatan P2WK (Pengembangan Perkebunan Wilayah Khusus) dan P2RT lanjutan seluas 269.967 hektar untuk berbagai tanaman.

Permasalahan yang dijumpai pada proyek P2RT antara lain adalah (a) penyediaan agroinput khususnya untuk kegiatan intensifikasi tidak tepat waktu karena berbagai hambatan yang bersifat administrasi sehingga mempengaruhi tingkat produktivitas tanaman, (b) untuk pengembangan partisipasi petani dalam kegiatan pemeliharaan belum seperti yang diharapkan sehingga sebagian tanaman yang dikembangkan kurang berhasil.

Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut, dilakukan upaya : (a) meningkatkan koordinasi antar berbagai instansi tehnis maupun perbankan untuk mendukung penyediaan agroinput sesuai dengan kebutuhan dan tepat waktu, (b) mendorong petani untuk memeliharan tanamannya melalui dukungan pelatihan baik secara individu maupun kelompok serta memotivasi petani untuk meningkatkan dan mengaktifkan kelembagaan.

Melaksanakan kegiatan peningkatan mutu dan standarisasi hasil perkebunan rakyat. Mengembangkan kelembagaan petani plasma PIR-Trans (perkebunan inti rakyat yang dikaitkan dengan program transmigrasi) sebanyak 55 unit dengan luasan 584.626 ha untuk tanaman kelapa sawit dan kelapa hibrida.

Melaksanakan percepatan konversi baik untuk proyek PIR-Bun maupun PIR-Trans.

Membangun UPH (Unit Pengolahan Hasil). Melaksanakan pelatihan petani.

Untuk kelompok proyek PUP ini, berbagai permasalahan yang ditemui serta upaya tindak lanjutnya antara lain adalah :

Pengembangan perkebunan melalui proyek PIR-Trans, sebagian besar didanai dari dana swasta dan perbankan, sehingga akibat krisis moneter yang melanda Indonesia telah menyebabkan kesulitan dalam penyediaan kredit untuk pengembangan perkebunan. Kemitraan antara pengusaha besar dan kecil masih mengalami kendala antara lain karena kurang transparannya mekanisme penetapan harga, rendemen dan lain-lain yang menimbulkan kerawanan dalam keberlanjutan kerjasama tersebut.

Program Pembangunan Usaha Perkebunan (PUP)

Program ini diarahkan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dalam rangka mempercepat pertumbuhan ekonomi di pedesaan guna

Peningkatan produksi kelapa sawit untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat dan pendapatan negara

pusat yang berkoordinasi dengan proyek serupa di lingkungan Departemen Pertanian.

Berbagai upaya yang dilaksanakan antara lain adalah : (a) meningkatkan kerjasama kemitraan dengan diberikannya kesempatan kepada plasma untuk dapat memiliki saham koperasi/unit-unit processing yang selama ini hanya dimiliki oleh perusahaan besar, (b) melakukan restrukturisasi pola pengembangan perkebunan melalui penerapan lima pola pengembangan baru (pola koperasi usaha perkebunan, pola patungan koperasi investor, pola patungan investor koperasi, pola BOT dan pola BTN).

Kegiatan yang dilaksanakan banyak yang bersifat koordinasi dengan proyek-proyek DPG lingkup pertanian serta penyediaan informasi tehnis yang diharapkan dapat dimanfaatkan oleh petugas-petugas pembina di daerah. Kegiatan proyek DPG ini antara lain :

Penyusunan analisa produksi dan ketersediaan
pangan komoditas perkebunan untuk masa lima tahun mendatang Penyusunan pedoman penyusunan neraca

bahan makanan komoditas perkebunan

Pembinaan DPG di beberapa wilayah

perkebunan

Penyusunan dan penyebaran informasi petunjuk tehnis pemanfaatan hasil pekarangan.

Program Diversifikasi Pangan dan Gizi

Program ini diarahkan untuk memelihara kemantapan swasembada pangan dan memperbaiki gizi masyarakat melalui penganekaragaman jenis pangan. Pelaksanaan operasional program ini dilaksanakan melalui proyek Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG) yang berada di tingkat

Dalam pelaksanaan proyek DPG dirasakan perlu meningkatkan koordinasi dengan proyekproyek DPG lingkup pertanian, mengingat pada umumnya kegiatan yang ada pelaksanaannya membutuhkan keterpaduan dari masing-masing sektor.

Mengingat proyek ini sebagian besar dibiayai dari dana luar negeri sehingga ketentuan administrasinya mengacu kepada dua ketentuan yaitu ketentuan APBN dan dari donor. Ketentuanketentuan tersebut sebagian sangat ketat sehingga menghambat pelaksanaan proyek-proyek yang menyebabkan penyerapan dana sangat jauh dari yang diharapkan. Disamping itu kegiatan pembinaan tanaman terutama pemupukan tidak dapat dilaksanakan tepat waktu sesuai standar tehnis sebagai akibat adanya penyesuaian harga pupuk.

Program Pembangunan Sumber Daya Sarana dan Prasarana Perkebunan (PSSP)

Upaya tindak lanjut yang perlu dilakukan antara lain adalah :

Program ini diarahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mandiri dan mampu berkompetisi dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam secara optimal serta mengembangkan sarana dan prasarana yang diperlukan dalam pembangunan perkebunan. Pelaksanaan operasional program

ini dilaksanakan melalui proyek PSSP baik di pusat dan daerah dengan berbagai bagian proyek seperti proyek TCSDP (Tree Crops Smallholder Development Project), TCSSP (Tree Crops Smallholder Sector Project), UFDP (Upland Farming Development Project), EISCDP (Eastern Island Smallholder Cashew Development Project), ISDP (Integrated Swamp Development Project), SADP (Sustainable Agriculture Development Project), SRADP (Smallholder Rainfed Agriculture Development Project), bagian proyek ketenagaan, perbenihan dan perlindungan tanaman.

a. Dalam penyusunan perjanjian pelaksanaan

proyek-proyek, agar dapat diberikan kelonggaran-kelonggaran terhadap pelaksanaan kegiatan, terutama pasal-pasal yang mengatur pelaksanaan pembiayaan proyekproyek yang selama ini dirasakan sangat ketat sedangkan di lapangan sangat tergantung pada musim. Dengan fleksibilitas yang tinggi diharapkan pelaksanaan proyek dapat lebih

efektif dan efisien. b. Melakukan revisi DIP untuk pupuk agar

pengadaannya dapat dilaksanakan. Disamping itu mendorong dan memotivasi petani memanfaatkan pupuk kandang, serasah, dan garam dapur khususnya untuk kelapa.

Program Pendidikan, Pelatihan, dan Penyuluhan

Program PSSP ini dilaksanakan terutama melalui proyek-proyek bantuan luar negeri yang kegiatan utamanya adalah optimasi pemanfaatan sumber daya alam melalui pengembangan tanaman perkebunan yang diikuti dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pelatihan serta pengembangan kelembagaan petani. Melalui program ini telah dapat dikembangkan sekitar 800.272 ha berbagai tanaman perkebunan seperti karet, kelapa, teh, jambu mete yang melibatkan 916.713 KK petani. Disamping pengembangan tanaman juga dilakukan pembangunan kebun bibit unggul, kegiatan perlindungan tanaman serta kelengkapan laboratoriumnya yang tersebar di beberapa propinsi.

Program ini bertujuan meningkatkan kemampuan dan keterampilan sumberdaya manusia, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas pembangunan kehutanan. Pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia kehutanan dalam Pelita VI mendapat perhatian yang besar. Sejalan dengan itu, lembagalembaga diklat kehutanan ditingkatkan intensitas, kualitas, dan kuantitasnya agar menghasilkan lulusan yang akan menjadi tenaga yang bermotivasi tinggi dan terampil serta mewujudkan kampus diklat sebagai human resource development center.

Pembangunan penyuluhan kehutanan dan perkebunan menitik beratkan pada operasionalisasi penyuluhan dengan mengembangkan institusi, peningkatan kemampuan tenaga penyuluh yang diikuti dengan pengembangan status tenaga penyuluh sebagai tenaga fungsional, dan mengembangkan metodologi dan materi penyuluhan. Makin berkembangnya kegiatan penyuluhan kehutanan dan perkebunan telah dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya fungsi dan peranan hutan dan kebun dalam segala aspek kehidupan masyarakat.

organisasi ujung tombak di daerah. Pengembangan sistem imformasi dilakukan melalui pembuatan jaringan lokal (local area network) di seluruh kator pusat dan wilayah. Pengembangan sarana prasarana dan pendayagunaan sistem di atas telah dapat meningkatkan efektivitas dan keterpaduan pembangunan kehutanan dan perkebunan secara baik dalam menunjang pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan tugas pembangunan, walaupun dirasakan masih belum memadai baik dari segi jumlah maupun kualitasnya.

Berkaitan dengan upaya peningkatan pengawasan dan pengendalian telah dilaksanakan operasional pengawasan, meliputi pemeriksaan reguler sebanyak 188 obrik dari rencana 276 objek pemeriksaan (obrik), dan pemeriksaan khusus 65 obrik dari rencana 40 obrik. Keadaan yang berkembang saat ini bahwa struktur organisasi yang seharusnya dapat memberikan kejelasan tentang fungsi, wewenang dan tanggung jawab, pembagian tugas serta hubungan kerja antara satu fungsi dengan fungsi yang lain, pada kenyataannya belum dapat memberikan kontribusi yang optimal bagi aparat untuk mengimplementasikannya pada pekerjaan. Disamping itu rencana kerja semata-mata bersifat given, sekedar pengulangan kegiatan sebelumnya sebagai rutinitas.

Program Peningkatan Sarana, Prasarana Dan Efisiensi Serta Pendayagunaan Sistem Dan Pelaksanaan Pengawasan Aparatur

Tujuan pelaksanaan program ini adalah meningkatkan pendayagunaan organisasi, ketatalaksanaan dan pengembangan peraturan sehingga tercapai pelaksanaan tugas yang efektif dan efisien. Pengembangan dan pendayagunaan kelembagaan dilakukan secara berkelanjutan sesuai dengan misi, kebijaksanaan dan program pembangunan, khususnya untuk melaksanakan tuntutan reformasi di sektor kehutanan dan perkebunan. Untuk itu telah dilaksanakan penyempurnaan organisasi Departemen Kehutanan dan Perkebunan pada tingkat pusat, mulai dari struktur organisasi tingkat eselon I sampai pada struktur jabatan tingkat eselon IV dan jabatan non struktural. Penyempurnaan organisasi jajaran kehutanan dan perkebunan di daerah akan dilakukan setelah adanya paket undang-undang tentang otonomi daerah.

Pendayagunaan organisasi dilakukan antara lain melalui pemantapan dan penataan pendelegasian tugas pelaksanaan (dekonsentrasi), penyerahan urusan (desentralisasi) dan tugastugas pembantuan (medebewind). Selanjutnya pengembangan sarana dan prasarana diarahkan pada pemenuhan kebutuhan untuk menunjang pelaksanaan tugas, khususnya bagi unit-unit

Masalah mendasar kegiatan pengawasan dan pengendalian adalah masih terjadi tumpang tindih pemeriksaan antar Aparat Pengawasan Fungsional (APF) yaitu Bepeka, BPKP dan Itjen. Selanjutnya struktur organisasi unit kerja pada umumnya belum dijabarkan lebih lanjut dengan uraian tugas yang jelas, aplikatif dan baku dalam bentuk Daftar Susunan Personil dan Perlengkapan (DSPP), pendelegasian tugas dan kewenangan kepada personil bawahan tidak tegas, lugas dan transparan, keadaan tersebut akan memberikan peluang timbulnya berbagai macam penyimpangan, dan belum adanya kesungguhan serta keterbukaan dalam jalinan koordinasi yang lancar, teratur dan lugas antar unit kerja yang terkait sejak

Pelatihan aparat ujung tombak sebagai prioritas pengembangan dan pembinaan SDM kehutanan dan perkebunan

memperhatikan masukan yang berasal dari temuan hasil pemeriksaan APF.

tahap perencanaan, pelaksanaan hingga tahap evaluasi hasil yang dicapai, serta data dan informasi yang digunakan kurang akurat dan valid, jarang di update sebagai akibat budaya pencatatan dan pelaporan belum berjalan secara konsisten, skala prioritas, relevansi serta manfaat dari suatu rencana belum diseleksi dan ditetapkan secara cermat dan tajam, dan hampir seluruh kegiatan/proyek belum mencantumkan indikator keberhasilan kinerja secara konkrit sehingga sulit dievaluasi pencapaian keberhasilannya.

Pelaksanaan program rescue terkait dengan pelaksanaan Program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Untuk sektor Kehutanan dan Perkebunan telah dilaksanakan melalui Proyek Padat Karya Sektor Kehutanan (P2KSK). Proyek padat karya sektor kehutanan diprogramkan untuk dapat memecahkan persoalan-persoalan sebagai dampak terjadinya krisis ekonomi, bencana kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan.

Upaya tindak lanjut yang akan dilaksanakan antara lain mengusulkan kepada Menko Wasbang dan PAN tentang hirarki pemeriksaan antar APF. Dalam rangka meningkatkan disiplin aparatur jajaran Departemen Kehutanan dan Perkebunan yang mantap sebagai suatu proses yang terencana, terpadu dan terarah, perlu dilakukan penyempurnaan Job Description (uraian tugas) serta tata laksana yang jelas dan baku sesuai dengan struktur organisasi Dephutbun yang baru, penyusunan rencana harus benar-benar terarah, valid, realistis, selektif dan tajam, memadukan perencanaan dua arah dan transparan, mengacu pada hasil evaluasi dan kajian atas pelaksanaan kegiatan sebelumnya,

Proyek padat karya sektor kehutanan dimaksudkan untuk menangani 3 (tiga) permasalahan di pedesaan sekitar hutan secara terpadu, yaitu: a. Mengatasi pengangguran (dan atau setengah

pengangguran) melalui pengembangan berbagai kegiatan padat karya kehutanan yang

produktif dan berkelanjutan. b. Mengatasi rawan pangan dan meningkatkan

ketahanan pangan masyarakat melalui pengembangan komoditas pangan masyarakat


Page 21

dan industri yang cepat menghasilkan antara

lain dengan pola agroforestry. c. Mengatasi kerusakan hutan dan tanah kritis

melalui berbagai kegiatan penghutanan kembali guna memulihkan kondisi dan atau fungsi lingkungan hidup guna mendukung pembangunan ekonomi wilayah.

Tujuan Proyek Padat Karya Sektor Kehutanan adalah terwujudnya kondisi masyarakat dengan kelembagaan masyarakat pedesaan yang mandiri dan kuat dalam mengelola hasil-hasil proyek sebagai aset usaha yang produktif dan berkelanjutan, serta berpola usaha yang mampu menyerap tenaga kerja potensial dan pengangguran di pedesaan, dan berkemampuan profesional dalam pembangunan nasional, khususnya di bidang kehutanan dan perkebunan yang dapat mendukung penyediaan pangan nasional secara berkelanjutan.

Kegiatan dan sasaran fisik Proyek Padat Karya Sektor Kehutanan adalah:

Penyerapan tenaga kerja sebanyak 30,6 juta hari orang kerja (HOK) Membangun hutan rakyat seluas 50.900 hektar Pembangunan hutan tanaman industri pola padat karya seluas 51.340 hektar Rehabilitasi hutan lindung seluas 4.670 hektar Pembangunan jalur hijau dalam hutan negara seluas 4.470 hektar

Pembangunan sekat bakar/ilaran api sepanjang 710 km Pembuatan jalan trail wisata sepanjang 200 km Pembuatan jalan patroli/batas zonasi sepanjang 830 km Rehabilitasi areal bekas kebakaran hutan seluas 1.570 hektar Pendidikan dan latihan masyarakat dan penyuluh sejumlah 2.880 orang Penyuluhan kehutanan sejumlah 360

kelompok tani


Proyek Padat Karya Sektor Kehutanan dilaksanakan pada 19 propinsi, yaitu DI Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, NTB, NTT, Sulsel, Kaltim, Kalbar, Kalteng, dan Kalsel, dengan cakupan wilayah sebanyak 155 kabupaten pada 810 desa. Keseluruhan pendanaan Padat Karya Sektor Kehutanan sebesar Rp.490.521.561.000,-. Sebagian besar alokasi anggaran padat karya adalah untuk komponen pembayaran upah dalam rangka menyerap tenaga kerja.

Pelaksanaan dan hasil-hasil kegiatan padat karya sektor kehutanan antara lain adalah: 1. Pembangunan HTI dan Intensifikasi

Tumpangsari (ITS) Pola Padat Karya, telah dilaksanakan di 11 propinsi, yaitu DI. Aceh, Sumut, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, Kalbar, Kalteng, Kaltim dan Sulsel. Realisasi pembangunan HTI seluas 14.703 Ha dan ITS seluas 8.550 Ha. Serapan HOK sebanyak 2,75 juta. Masalah yang dihadapi, antara lain sebagian areal yang diplot untuk HTI dan ITS, ternyata telah dikuasai/dirambah oleh masyarakat setempat, terdapat beberapa lahan yang dialokasikan untuk HTI dan ITS tidak cocok untuk produksi tanaman pangan, standar upah HOK yang ditetapkan lebih kecil dari upah HOK di lapangan, dan belum dapat direalisasikannya produksi tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, dll.).


Page 22

2. Pembangunan Persemaian Hutan Rakyat;

rencana 933.564 HOK, terealisasi 596.989 HOK.

dengan realisasi sampai Januari 1999 sebesar 42%.

Masalah yang sering dihadapi dalam rangka pelaksanaan di atas antara lain:

3. Pembangunan Tanaman Hutan Rakyat;

rencana 11.251.383 HOK, terealisasi 8.424.676 HOK; penanaman, rencana 46.300 ha, realisasi 34.669 ha

4. Intensifikasi Tumpang Sari Hutan Rakyat;

rencana 5.440.411 HOK, terealisasi 3.586.794 HOK; penanaman, rencana 50.900 ha, realisasi 33.558 ha

5. Budidaya Tanaman Pangan/Obat-obatan;

rencana 1.485.743 HOK, terealisasi 1.210.088 HOK; penanaman, rencana 9.050 ha, realisasi 7.407 ha

6. Pembuatan Embung-Embung; rencana

543.749 HOK, terealisasi 2.692 HOK; fisik,

rencana 185 unit, realisasi 92,50 unit 7. Sutera alam; rencana 1.293.127 HOK,

terealisasi 1.064.671 HOK; penanaman kebun murbei, rencana 680 ha, realisasi 366.31 ha

Pelaksanaan Padat Karya sangat didominasi dengan kegiatan vegetatif dimana kegiatan efektif dimulai bulan September 1998, karena kegiatan yang dilaksanakan tergantung pada musim, maka dengan terlambatnya pelaksanaan kegiatan tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan Padat Karya. Keterbatasan kesiapan sumberdaya dari LSM lokal sebagai Tenaga Pendamping Masyarakat (TPM) Sulitnya mencari lokasi yang sesuai juknis, karena banyak yang telah dirambah dan berubah menjadi kebun karet dan perladangan masyarakat. Harga bibit jauh lebih tinggi dari plafond, dan tidak adanya masyarakat sekitar yang bersedia melakukan pembibitan. Di beberapa Propinsi upah tenaga kerja lebih tinggi dari plafond. Adanya revisi lokasi proyek, dan tersendatnya laporan bulanan dari daerah, juga mempengaruhi tinggi/ rendahnya pencapaian target.

8. Pembangunan Persemaian/Areal Model

Hutan Rakyat; rencana 613.497 HOK, terealisasi 165.758 HOK

9. Pembangunan Tanaman Areal Model Hutan

Rakyat; rencana 1.115.290 HOK, terealisasi 214.920 HOK; kegiatan fisik, rencana 184 unit, realisasi 35 unit.

Upaya tindak lanjut yang dilakukan adalah:

10. Intensifikasi Tumpang Sari Hutan Rakyat di

dalam Hutan Negara; rencana 574.298 HOK, terealisasi 276.245 HOK; penanaman, rencana 29.339 ha, realisasi 14.112 ha.

Pelaksanaan Kegiatan Padat Karya sektor kehutanan yang didominasi dengan kegiatan vegetatif, sebaiknya disesuaikan dengan pola/ tata waktu musim tanam.

11. Rehabilitasi Hutan lindung; rencana 130.123

HOK, terealisasi 9.047 HOK; penanaman, rencana 4.670 ha, realisasi 325 ha.

12. Pembangunan jalur hijau di 9 (sembilan)

Propinsi yaitu : Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, NTB, NTT, dan Sulawesi Selatan,

Melakukan sosialisasi dan desiminasi untuk menyamakan persepsi serta kesiapan ketrampilan pengetahuan para pelaksana. Melibatkan lembaga perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat sebagai tenaga konsultan teknis dan untuk pendampingan kepada masyarakat.


Page 23

Diterbitkan oleh : Departemen Penerangan RI
Dicetak oleh : Perum Percetakan Negara RI


Page 24

Dengan memanjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah S.W.T. “Laporan Masa Bhakti Kabinet Reformasi Pembangunan” pada Sektor Perhubungan ini dapatdiselesaikan. Diharapkan buku ini akan menjadi dokumen resmi yang dapat memberikan informasi yang akurat tentang berbagai langkah dan upaya Sektor Perhubungan dalam melaksanakan reformasi di sektor perhubungan dan menanggulangi krisis untuk menggerakkan roda perekonomian nasional serta mendukung pembangunan sektor lainnya.

Sebagaimana disadari bahwa Kabinet Reformasi Pembangunan mempunyai tugas yang tidak ringan, karena di samping berupaya untuk mencapai sasaran pembangunan juga dihadapkan kepada berbagai permasalahan yang muncul dan harus ditanggulangi sehubungan dengan adanya krisis ekonomi yang sampai saat ini belum pulih kembali.

Selanjutnya diharapkan buku ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi pembangunan di masa mendatang. Semoga Allah S.W.T. senantiasa melindungi dan memberikan petunjuk kepada kita semua dalam mengemban tugas bangsa dan negara.


Page 25

b. Pengelolaan atas milik negara yang menjadi

tanggung jawabnya. c. Pelaksanaan tugas pokoknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

. d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas pokok

sesuai dengan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rincian masing-masing fungsi unit kerja Departemen Perhubungan adalah sebagai berikut. a. Sekretariat Jenderal mempunyai fungsi : 1) Koordinasi dalam arti mengatur dan

membina kerjasama, mengintegrasikan dan mensinkronisasikan seluruh administrasi departemen, termasuk kegiatan pelayanan teknis dan administratif bagi seluruh unit

organisasi dalam lingkungan departemen. 2) Perencanaan dalam arti mempersiapkan

rencana, mengolah, menelaah dan mengkoordinasikan perumusan kebijaksanaan sesuai dengan tugas pokok

departemen. 3) Pembinaan administrasi dalam arti

membina urusan tata usaha, mengelola dan membina kepegawaian, mengelola keuangan dan peralatan/perlengkapan

seluruh departemen. 4) Pembinaan organisasi dan tata laksana

dalam arti membina dan memelihara seluruh kelembagaan dan ketatalaksanaan

departemen serta pengembangannya. 5) Kerjasama luar negeri dalam arti

memberikan pelayanan teknis dan administratif dalam bidang kerjasama dan bantuan luar negeri sesuai dengan tugas

pokok departemen. 6) Hubungan masyarakat dalam arti

melakukan hubungan dengan lembaga

resmi dan masyarakat. 7) Koordinasi penyusunan peraturan

perundang-undangan dalam arti mengkoordinasikan perumusan peraturan

perundang-undangan yang menyangkut

tugas pokok departemen. 8) Keamanan dan ketertiban dalam arti

membina dan memelihara keamanan dan

ketertiban dalam lingkungan departemen. b. Inspektorat Jenderal mempunyai fungsi : 1) Pemeriksaan terhadap semua unsur dan

aspek yang dipandang perlu, yang meliputi bidang administrasi umum, administrasi kepegawaian, administrasi keuangan, rencana dan program, administrasi perlengkapan/peralatan, serta pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan di lingkungan

departemen. 2) Pengujian serta penilaian atas hasil laporan

berkala atau sewaktu-waktu dari setiap

unsur dan aspek di lingkungan departemen. 3) Pengusutan mengenai kebenaran hasil

laporan atau pengaduan tentang hambatan, penyimpangan atau penyalahgunaan di bidang administrasi umum, administrasi keuangan, rencana dan program serta pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh unsur dan aspek di lingkungan

departemen. c. Direktorat Jenderal Perhubungan Darat

mempunyai fungsi : 1) Perumusan kebijaksanaan teknis,

pemberian bimbingan dan pembinaan serta pemberian perizinan sesuai dengan

kebijaksanaan yang ditetapkan oleh

Menteri dan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. 2) Pelaksanaan tugas pokok Direktorat

Jenderal Perhubungan Darat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang

berlaku. 3) Pengamanan teknis atas pelaksanaan tugas

pokok Direktorat Jenderal Perhubungan
Darat sesuai dengan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Menteri serta berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Page 26

penentuan susunan pengajaran pendidikan dan latihan serta menyelenggarakan unitunit pendidikan dan latihan, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri Perhubungan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. 3) Mengendalikan dalam arti mengkoor

dinasikan kegiatan untuk mengamankan penyelenggaraan, pemeliharaan dan pengembangan semua unit-unit pendidikan

dan latihan di lingkungan Departemen. 4) Menilai dalam arti menelaah secara

keseluruh an hasil penyelenggaraan unitunit pendidikan dan latihan dalam rangka pelaksanaan tugas pokok Departemen

Perhubungan. i. Badan SAR Nasional mempunyai fungsi :

1) Perumusan kebijaksanaan teknis SAR. 2) Pelaksanaan tindak awal operasi SAR. 3) Koordinasi, pembinaan dan pengerahan

potensi SAR. 4) Koordinasi dan pengendalian operasi SAR

atas potensi SAR yang dimiliki oleh

instansi dan organisasi lainnya. 5) Pelaksanaan hubungan dan kerjasama di

bidang SAR baik di dalam negeri maupun

dengan luar negeri. j. Badan Meteorologi dan Geofisika mempunyai

fungsi : 1) Merencanakan dalam arti mempersiapkan

rencana, mengolah dan mengkoordinasikan serta merumuskan kebijaksanaan teknis

dalam bidang meteorologi dan geofisika. 2) Membina, mengatur, mengawasi dan

menyelenggarakan pengamatan, pengumpulan, pengolahan dan analisis data

meteorologi, klimatologi dan geofisika. 3) Membina, mengatur, mengawasi dan

menyelenggarakan prosedur kerja teknis administrasi dibidang meteorologi dan geofisika.

4) Menyelenggarakan pelayanan jasa

meteorologi dan geofisika. k. Mahkamah Pelayaran mempunyai fungsi : 1) Penelitian sebab-sebab kecelakaan kapal

dan penentuan ada atau tidak adanya kesalahan dan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh nakhoda atau pemimpin kapal dan atau perwira kapal atas terjadinya

kecelakaan kapal. 2) Penjatuhan sanksi administratif kepada

nakhoda atau pemimpin kapal dan atau perwira kapal yang memiliki sertifikat keahlian pelaut yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia yang melakukan kesalahan dan atau kelalaian dalam menerapkan standar profesi

kepelautan. 1. Pusat Data dan Informasi mempunyai fungsi : 1) Analisis dan evaluasi kebutuhan data dan

informasi serta penyusunan rencana pengembangan sistem informasi berbasis komputer di lingkungan Departemen

Perhubungan. 2) Pengumpulan data dan informasi di bidang perhubungan dan sektor lain yang terkait.

. 3) Analisis sistem, dan pembangunan program

aplikasi serta pengembangan dan

pemeliharaan jaringan. 4) Penyajian dan publikasi informasi dan

pelaksanaan kerjasama bidang informasi. 5) Pelaksanaan urusan tata usaha, per

lengkapan, rumah tangga, kepegawaian dan keuangan di lingkungan Pusat Data dan

Informasi. 6) Pelaksanaan pembinaan jabatan fungsional

statistisi dan pranata komputer di ling

kungan Departemen Perhubungan. m. Kantor Wilayah Departemen Perhubungan

mempunyai fungsi: 1) Pengumpulan dan pengola han data,

penyusunan rencana dan program perhubungan di wilayah.