Bagaimana sikap Ayub Ketika mengalami penderitaan

Balchin, John. Intisari Alkitab Perjanjian Lama. Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2016.

Bullock, C. Hassell. Kitab-Kitab Puisi Dalam Perjanjian Lama. Malang: Gandum Mas, 2003.

Drane, John. Memahami Perjanjian Lama 1. Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab, 2009.

Fokkelman, Jan. Menemukan Makna Puisi Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009.

Kurniadi, Bartholomeus Wahyu. “Inspirasi Kisah Ayub Bagi Seorang Katolik Dalam Menghadapi Diungkapkan Penderitaan.” MELINTAS 1, no. 31 (2015)

Lasor, Hubbard, and Bush. Pengantar Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011.

Osborne, Grant R. Spiral Hermeneutika: Pengantar Komprehensif Bagi Penafsiran Alkitab. Surabaya: Momentum, 2012.

Santoja, Jakub. “Peran Eksegese Narasi Dalam Studi Teologi.” Jurnal Gema, no. 45 (1993)

Stevanus, Kalis. Ada Penyesat Yang Memplesetkan Injil Dalam Jemaat, Apa Sikap Anda. Yogyakarta: Pustaka Nusatama, 2016.

———. “Analisis Pertanyaan Retorika Dalam Ayub 40:1-28.” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 2, no. 2 (2018)

———. “Kesadaran Akan Allah Mellaui Penderitaan Berdasarkan Ayub 1-2.” DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani 3, no. 2 (2019)

Sukmana, C. Iman. “Penderitaan Ayub Dan Kekerasan Massa: Refleksi René Girard Dan Hannah Arendt.” Jurnal : RESPONS 14, no. 1 (2009)

Tolanda, Irvin, and Peniel Maiaweng. “Kedaulatan Allah Atas Iblis Berdasarkan Kitab Ayub Pasal 1 Dan 2 Serta Relevansinya Dalam Kehidupan Orang Percaya.” Jurnal Jaffray 9, no. 2 (2011): 60–61.

Wahono, S. Wismoady. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987


Page 2

  • There are currently no refbacks.
Copyright (c) 2019 LOGIA: Jurnal Teologi Pentakosta

Bagaimana sikap Ayub Ketika mengalami penderitaan


This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

Bagaimana sikap Ayub Ketika mengalami penderitaan

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-ShareAlike 4.0 International License.

Logia: Jurnal Teologi Pentakosta has been registered on:

Bagaimana sikap Ayub Ketika mengalami penderitaan
 
Bagaimana sikap Ayub Ketika mengalami penderitaan
 
Bagaimana sikap Ayub Ketika mengalami penderitaan

Bagaimana sikap Ayub Ketika mengalami penderitaan

Bagaimana sikap Ayub Ketika mengalami penderitaan

Oleh : M.M Hendriks Ririmasse

  • Judul buku: “Ayub, Bergumul dengan Penderitaan, Bergumul dengan Allah”
  • Penerbit : BPK, Gunung Mulia, 2016
  • Jumlah halaman : 167 halaman
  • Pengarang: Marie-Claire Barth-Frommel
  • Kata pengantar: Mujiburrahman, Dosen, IAIN Antasari.

Buku ini sangat menarik walaupun telah dipublikasikan pada 2016, dan perlu diperkenalkan agar dikenal luas, dimiliki dan dibaca oleh banyak orang, terutama oleh warga gereja dari berbagai denominasi. Buku ini berbicara mengenai iman kepada Tuhan di tengah penderitaan. Suatu persoalan yang dihadapi oleh semua orang beriman.

Buku ini perlu juga dimiliki oleh para pegiat teologi – baik mahasiswa, dosen teologi maupun para pemimpin gereja – sebab penderitaan dan iman adalah topik teologi yang cukup rumit dan terus dipercakapkan serta didebatkan. Orang terus bertanya, kenapa dan dari mana penderitaan ini datang, kenapa Tuhan membiarkan hal itu terjadi dalam hidup orang beriman. Penderitaan juga adalah pergumulan teologis yang universal dan dibicarakan dalam semua agama. Hal ini diperlihatkan dalam kata pengantar yang ditulis oleh DR. Mujiburrahman, seorang teolog Muslim. Manusia beriman, dari kepercayaan manapun bisa mengidentifikasikan diri dengan tokoh-tokoh yang dibicarakan dalam kitab Ayub. Pandangan-pandangan mereka dibuat sangat jelas dan membumi dalam buku karangan Marie Barth Frommel ini, merupakan pandangan-pandangan yang sering mengemuka dalam hidup orang beriman.

Iktisar buku

Bagaimana sikap Ayub Ketika mengalami penderitaan
Buku ini pada dasarnya merupakan sebuah buku tafsir atas kitab Ayub, salah satu kitab dalam Perjanjian Lama Kristen, atau Kitab Suci Agama Yahudi. Buku yang ditulis Marie Claire Barth Frommel ini berbeda dari buku tafsir yang biasanya mengambil bentuk ulasan akademis dan lebih menyasar pada kepentingan para akademisi di  lembaga-lembaga pendidikan teologi; kurang memperhitungkan minat  para warga gereja yang awam di bidang tafsir Alkitab. Buku karangan Marie Claire Barth Frommel tentu saja tidak meninggalkan hakekat ilmu tafsir. Tanpa menyebut jenis dari metode tafsir yang digunakan, Penulis secara jitu menggunakan metode tafsir naratif yang sangat kena dengan budaya orang-orang di belahan timur dunia. Cara penyajian yang lugas dan menarik serta metode tafsir yang digunakan, membuat tulisan ini menjadi mudah dipahami serta menarik untuk dibaca, baik di lingkup para akademisi maupun oleh mereka yang tidak bergiat di bidang studi teologi.

Tulisan ini dibagi dalam 9 bab, yaitu:

Bab 1, Gambaran Umum tentang tokoh, jenis sastra dalam kita Ayub.

Dalam bab ini, Penulis memberikan suatu gambaran tentang aspek-aspek penting dari kitab Ayub. Jadi secara garis besar pembaca buku ini akan mampu memperoleh suatu ulasan selayang pandang mengenai inti berita dari kitab Ayub maupun informasi yang berkaitan dengan jenis sastera yang digunakan, tempat dimana sastera tersebut dikembangkan maupun posisi tokoh Ayub dalam agama-agama Abrahamik. Uraian ini sangat penting dan menarik sebab dia memberikan bagi para pembaca suatu gambaran umum tentang kitab Ayub serta garis besar pembahasan yang terdapat dalam bab-bab selanjutnya.

Bab 2, Pembukaan (prolog) suatu ulasan tentang Ayub fasal 1-2. Pembahasan ini dibagi dalam 6 babak

Babak I secara khusus melihat tokoh Ayub sebagai seorang yang memperoleh pendidikan hikmat. Dia adalah juga seorang pengusaha yang berhasil (1:3), dan beriman kepada Allah, sikap mana terimplementasi dengan sikap hidup adil dan benar. Hal ini menumbuhkan penghargaan masyarakat kepadanya (band.29:7,8, dst) serta penerimaan Allah yang intim terhadapnya (band.29:4). Babak 2 berjudul “pertemuan pertama disorga”, dimana Allah membuat pertemuan dengan kuasa-kuasa lain termasuk setan. Pengarang melihat bahwa penyebutan tentang adanya kuasa-kuasa yang majemuk di sekeliling Allah ini, sama sekali tidak menyangkali penekanan pada aspek monolatrein (penyembahan pada Allah yang satu, yang dipraktekkan dalam kehidupan orang-orang Israel. Babak 3, Penekanan pada Ayub yang tetap mempertahankan imannya kepada Allah, di tengah goncangan akibat musibah yang dialami Ayub. Babak 4 mempersoalkan suatu argumentasi teologis penting, yang berkaitan dengan sikap Allah yang menyerahkan Ayub sekali lagi kepada Setan untuk diuji. Pertanyaan penting yang dikemukan pengarang adalah “bagaimana mungkin Allah menyerahkan hambaNya yang paling setia kepada penderitaan yang sangat berat itu tanpa alasan (khinom)”? Tegasnya pengarang secara tepat menekankan bahwa izin yang diberikan Allah bagi setan untuk mencelakakan Ayub adalah masalah teologis yang sangat pelik dan menimbulkan banyak persoalan iman. Babak 5, Penulis menekankan pada sikap Ayub yang tidak bersedia melakukan dosa dengan mengutuk Allah walaupun isterinya menantangnya untuk melakukan hal dimaksud. Bab 6 membahas pemunculan para sahabat Ayub yaitu, Elifas, Bildad dan Zofar yang datang untuk menyatakan simpati serta menghibur dia.

Bab 3. Keluhan Ayub.

Disini Penulis secara tepat melihat adanya kemiripan antara keluhan yang diutarakan oleh Ayub dengan keluhan nabi Yeremia (Yer.20:14-15). Adalah menarik bahwa pada catatan kaki bab ini, penulis memperlihatkan berbagai penderitaan yang dihadapi manusia sepanjang sejarah termasuk di zaman modern sekarang ini. Penderitaan seperti sakit penyakit, bencana alam, kelaparan dll, bisa saja menyebabkan munculnya berbagai keluhan seperti yang diutarakan oleh Ayub.

Bab 4, Dialog antara Ayub dan ketiga temannya, pembahasan tentang Ayub 4-27

Penulis berpendapat bahwa percakapan yang terjadi antara para sahabat dan Ayub seperti tergambar dalam fasal-fasal in, terjadi pada dua tingkatan berbeda. Para sahabat menggunakan pandangan hikmat (tradisional) dengan argumentasi-argumentasi yang sangat rasional serta menggunakan hukum “sebab akibat”, sebagai titik tolak penilaian mereka. Tokoh Ayub dipihak lain, lebih memfokuskan perhatian pada penderitaannya dan lebih menginginkan agar para sahabat menghibur dan menguatkannya di tengah penderitaan. Dia tidak menghendaki mereka menuduhnya sebagai orang yang berdosa sehingga mengakibatkan penderitaan yang dialaminya.

Hal lain yang menarik yang bisa ditemui dalam pikiran penulis adalah pengakuan bahwa hukum “sebab akibat”, yang digunakan dalam hikmat tradisional, dimana penderitaan seseorang diasalkan pada dosa dan kesalahan yang telah dibuatnya sering kali berlaku secara tepat. Namun Penulispun tidak menyangkali kenyataan bahwa adakalanya pula terdapat hal-hal tersembunyi lain yang berpengaruh dalam hidup manusia sehingga membuat seseorang menderita. Jadi penderitaan yang dialami seseorang tidak semata-mata disebabkan oleh karena kesalahan dan dosa yang pernah dilakukannya.  Apalagi dalam kenyataannya semua manusia adalah sama berdosanya. Tidak ada satu orangpun yang sama sekali tidak berdosa. Artinya karena semua manusia berdosa maka tidak mungkin hanya sebagian yang menderita dan yang lain tidak menderita. (kalimat terakhir ini adalah bacaan saya terhadap pikiran penulis).

Tokoh Ayub yang menolak pandangan hikmat tradisional dalam kaitan dengan kasus penderitaannya, justru merasa bahwa Allah sendirilah yang menyebabkan penderitaannya. Dia menuduh Allah sebagai penyebab dari seluruh kepahitannya. Tuduhan ini ditentang juga oleh para sahabat yang bertindak membela Allah sebagai pihak yang tidak bersalah.

Penulis juga menyimpulkan bahwa dalam pergumulannya menghadapi penderitaannya, tokoh Ayub juga bergumul dengan dua gambaran Allah yang saling bertentangan dan membingungkan dirinya, yaitu pada satu pihak dia menemukan Allah sebagai Pelindung yang baik tetapi pada pihak lain Dia juga dialami sebagai Penyiksa. Selain itu sebagai manusia Ayub tidak bisa meIawan Tuhan kalaupun benar Allah adalah penyebab dari penderitaannya. Satu-satunya cara yang bisa menolongnya dalam menghadapi penderitaan itu adalah dengan menunggu Allah yang baik itu untuk menebusnya karena Ayub yakin bahwa Allah adalah Penebusnya yang hidup.

Pandangan lain dari Penulis yang perlu mendapat perhatian adalah pengakuan bahwa pandangan hikmat ini sebenarnya penting untuk difungsikan sebagai patokan selalu mengingatkan kita untuk tidak melakukan kejahatan dalam hidup. Tetapi khususnya dalam menghadapi orang-orang yang sedang bergumul dengan penderitaan, argumentasi “sebab akibat” dalam hikmat tidak selalu cocok untuk digunakan karena dia tidak menguatkan ataupun menghibur tetapi sebaliknya justru mendatangkan rasa tertekan serta menambah penderitaan.

Bab 5, Pembahasan tentang Ayub 28, Suatu sisipan syair tentang Hikmat.

Disini Penulis menemukan pikiran yang mengagungkan hikmat. Dia merupakan hal yang sangat penting dan bernilai melebihi emas, perak dan permata. Hikmat penting bagi manusia untuk menjadi patokan dalam memelihara hidup yang berasal dari Allah. Hikmat bersumber dari Allah dan hanya Allah sendirilah yang memiliki Hikmat yang sebenarnya.

Berkaitan dengan itu, suatu pertanyaan penting yang dipersoalkannya adalah apakah manusia dalam kenyataannya sudah memberlakukan hikmat, apakah kegiatan ekonominya dilakukan dengan patokan hikmat sehingga kegiatan dimaksud bermanfaat bagi sesama manusia?

Bab 6, Ayub menuntut Jawaban

Dalam bab ini Penulis menggambarkan keluhan Ayub kepada Allah, dimana dia menghendaki jawaban Allah yang membenarkan dirinya. Secara tepat Penulis merincikan tiga alasan yang membuat Ayub berbicara dengan Allah, yaitu pertama, tentang ingatannya kepada keadaan ketika Allah memberkatinya (fsl. 29). Berkat Allah ini menempatkan dia pada posisi tinggi dalam masyarakat. Kedua, menggambarkan kondisi sekarang dimana dia dihina dan disusahkan tanpa pertolongan (fsl.30). Kesusahan dan penderitaan ini menempatkannya pada posisi rendah dan ditinggalkan . Menarik bahwa Penulis merelevansikan kedudukan Ayub dalam penderitaannya dengan masyarakat asli di berbagai daerah Indonesia termasuk dan khususnya mereka yang tinggal di pedalaman di bagian timur Indonesia. Pelanggaran terhadap hak hidup dan sikap tidak peduli para pendatang terhadap kebudayaan masyarakat asli telah mengakibatkan banyak penderitaan termasuk, ketiadaan kesejahteraan fisik, psikis dan rohani. Penulis mencatat adanya upaya untuk mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat modern di masa depan. Apa akibatnya bagi mereka nanti tidak dibicarakan. Ketiga, Ayub mengangkat sumpah tidak bersalah (fsl. 31:1-31). Terhadap setiap dosa yang dilarang dalam hukum, Ayub menyatakan diri tidak bersalah dan karena itu dia meminta Allah untuk membenarkan dirinya dan melepaskannya dari penderitaan.

Dalam kaitan dengan pandangan Ayub dimaksud, Penulis berpendapat bahwa sikap Ayub yang mengukur dosa dan kesalahan seorang beriman hanya dalam kaitan dengan hal taat atau tidaknya dia kepada hukum saja adalah keliru. sebab menurut Penulis, Allah bukan cuma Pemberi dan Penjaga petunjuk dan larangan (hukum) saja. Allah justru melebihi segala yang dapat dipikirkan dan dibayangkan manusia.

Bab 7, Pertimbangan Elihu (fsl. 32-37).

Intisari dari pandangan Elihu, adalah bahwa dalam menghadapi penderitaan, orang tidak perlu selalu mempertanyakan tentang kenapa dia menderita tetapi tentang apa tujuan dari penderitaan yang dialaminya. Dengan kata lain, jangan melihat selalu ke belakang tetapi pandanglah ke depan. Menurut penulis pandangan Elihu ini tidak berbeda dengan pandangan ketiga teman sebelumnya, dimana semuanya bertolak dari pandangan hikmat.

Bab 8. Pertemuan antara Ayub dengan Allah(fsl.38-42:6).

Percakapan Allah dengan Ayub yang dibicarakan dalam bab ini, menyadarkan Ayub dan para pembaca kitab ini bahwa manusia tidak berhak meminta pertanggungjawaban dari Allah atas pengalaman penderitaannya. Sebab menuntut hal itu akan membawa kita ke jalan buntu. Jadi menurut Penulis, pertanyaan Ayub tentang asal usul penderitaan tidak terjawab. Yang bisa dipegang adalah bahwa Allah memberikan hidup dan berkat dan bahwa pada akhirnya Dia akan meniadakan kuasa-kuasa yang jahat. Manusia termasuk yang sedang menderita dipanggil untuk terus berpegang kepadaNya. Sebab dengan berpegang teguh kepadaNya, manusia akan melihat muka Allah sebagai Bapa yang baik dari tengah penderitaannya.

Percakapan itu juga menyadarkan Ayub

Bab 9. Epilog (fsl 42:7-17).

Menurut Penulis merupakan akhir yang membahagiakan, karena Allah memulihkan keadaan Ayub. Pemulihan mana berlangsung juga terhadap relasi Ayub dengan teman-teman dan keluarga yang dulu menjauhinya karena penderitaan. Demikian juga segala yang diambil dari padanya dikembalikan secara berlipat ganda.

Pikiran-Pikiran Penulis yang Menarik

Menurutnya, kitab Ayub mempersoalkan asal usul penderitaan tetapi persoalan itu tidak berjawab. Memang dalam upaya menjawab masalah tersebut, pandangan hikmat digunakan. Ada pandangan hikmat tradisional yang mengasalkan penderitaan pada kesalahan dan dosa, demikian pula pandangan hikmat yang kemudian yang menganjurkan agar mengubah cara pandang dengan lebih melihat ke depan. Artinya dalam menghadapi penderitaan adalah lebih baik orang mencari tujuan dari penderitaan agar supaya sikap diubah menjadi lebih optimis dalam menghadapi penderitaan. Penulis sendiri berpendapat bahwa kedua pandangan hikmat itu tidak memberi jawaban yang tepat mengenai asal usul dan bagaimana menghadapai penderitaan. Menurutnya kitab Ayub mengindikasikan adanya cara ketiga yaitu berpegang kepada Allah di tengah penderitaan dan menemukan wajahNya sebagai Bapa yang Pengasih dalam penderitaan itu. Sebab hakekat Allah tidak bisa diukur dengan hikmat manusia. Dia lebih besar dari pikiran manusia. Panggilan kepada manusia adalah menjalani hidup dengan segala kesempatan dan tantangannya sebagai seorang beriman dengan terus berpegang teguh kepada Allah dalam semua kondisi dan terus mencari wajahNya yang penuh kasih. Sebab itulah yang akan kita alami dan akui pada akhirnya.

Beberapa Catatan Akhir

Berdasarkan pertimbangan yang telah dibicarakan di atas, maka catatan pertama adalah merekomendasikan agar buku ini dimiliki dan dibaca oleh kita semua demi memperkaya pemahaman kita tentang kitab Ayub sendiri dan relevansinya bagi kita sepanjang masa. Khususnya pemahaman tentang pertimbangan-pertimbangan hikmat yang sangat popular di masa lalu dan masih terus digunakan di masa kini. Kita disadarkan tentang kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh hikmat dalam menolong kita mengatur hidup, tanpa melupakan bahwa ada pula kekurangan dan keterbatasan dari hikmat dan ilmu pengetahuan. Masalah hidup tidak semuanya bisa dijawab dengan akal budi dan kemampuan pikir manusia.

Catatan kedua adalah, iman kepada Tuhan sebagai unsur penting bagi hidup orang percaya. Buku ini menolong kita untuk sadar bahwa dalam berhadapan dengan berbagai tantangan hidup yang berat bahkan menyiksa, maka ada cara terbaik bagi kita untuk menghadapinya. Cara dimaksud adalah terus berjalan menghadap tantangan itu, sambil terus berpegang kepada Tuhan, sebab pada akhirnya kita akan mengalami wajah Tuhan sebagai Bapa Pengasih itu dalam pergumulan kita. Kita boleh bertanya kenapa menderita, kita boleh bersungut, kita boleh mengeluh , tetapi jangan melepaskan Tuhan. Dia sebenarnya adalah Bapa yang mengasihi kita dan Wajah Kasih itulah yang akan kita alami dan kenal pada akhirnya.

Buku ini penting khusus bagi Umat Percaya di abad modern ini.  Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi dilihat sebagai jawaban atas semua persoalan manusia maka buku ini menyadarkan kita bahwa ada yang lebih besar dari semua itu. Karena itu kerendahan hati dan ketergantungan kepada Tuhan adalah hal yang penting dikembangkan di lingkup gereja.

Selamat membaca dan pasti bermanfaat.